Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

SINTRU (Part 6 END)


JEJAKMISTERI - Takut, itu yang sekarang sedang aku rasakan. Setelah seharian melewati teror dari mereka yang sebelumnya tidak aku percayai keberadaannya. 

Sedangkan Mas Doni, tak kunjung datang. Sudah lumayan lama aku menunggu dia depan pintu rumah Simbah. Meringkuk sendirian, berharap ada sesuatu yang akan membebaskanku. 

ERRRGGGMMM...

Saat aku sedang berusaha untuk tidak panik, dari arah dapur terdengar suara mengeram seperti tadi. 

Mendengar itu, aku memilih untuk menutup mataku agar aku tidak melihat sosok-sosok yang mengerikan lagi.

Namun tiba-tiba, tepat di sebelahku terdengar suara tawa mengerikan. Pada saat aku menengok ke samping, ternyata tepat di sebelahku telah duduk sosok yang tadi aku lihat di halaman belakang. 

Tubuhku bergetar hebat dan hanya terpaku di tempatku, sedangkan kini sosok itu mulai menjulurkan lidahnya yang berwarna merah darah. 

Lidahnya yang panjang perlahan mulai menyentuh wajahku. Aku hanya mampu membelakakan mataku karena sentuhan lidahnya di wajahku. 

Tanpa sadar, lidah berbau busuk itu sudah membelit tubuhku kencang. Hingga aku hampir sulit bernafas, tapi pandanganku tetap saja terpaku pada sosok mengerikan di depanku.

Tubuhnya yang berbulu hitam, mata merahnya yang menyala dan taring panjang. Belum lagi lidahnya yang sangat panjang hingga bisa membelit tubuhku.  

Makhluk apakah yang ada di depanku dan sedang berusaha menyakitiku ini? 

***

Aku pikir, aku akan mati kehabisan nafas karena ulah sosok mengerikan di depanku ini. Akan tetapi tiba-tiba pintu rumah Simbah terbuka. Membuat sosok di depanku melepaskan lilitan lidahnya. 

Lalu dia pun menghilang dalam kegelapan di belakangnya. Sedangkan aku mulai terbatuk-batuk hebat. 

"Ninaa..." 

Aku mendengar suara Mas Doni dan melihatnya menghampiriku. Setelah Mas Doni sampai di depanku yang sedang terduduk lemas. Aku pun langsung memeluknya erat. 

"Aku takut, Mas," isakku. 

"Maafkan aku, Nin. Aku tidak bisa menjagamu," balas Mas Doni sembari mengelus punggungku lembut. 

"Maaf menyela, tapi sebaiknya kita bawa istrinya Mas Doni, keluar dulu dari sini." Tampak seorang pria dengan memakai baju putih dan sorban di kepalanya memperingatkan Mas Doni. 

Baru aku sadari, Mas Doni tidak men jemputku sendirian. Dia di temani oleh dua orang laki-laki yang salah satunya aku kenali sebagai tukang ojek yang tadi pagi aku naiki. 

Aku di papah oleh Mas Doni yang masih memakai baju kerjanya untuk keluar dari rumah Simbah. 

"Arsa di mana, Mas?" tanyaku panik. 

"Arsa sama Mamah, Nin. Kamu jangan kuatir," jawab Mas Doni. 

Sesaat aku berhenti tepat di depan pintu rumah Simbah. 

"Kenapa kamu titipkan Arsa pada Ibumu, Mas?!!" 

"Memangnya kenapa?" tanya Mas Doni dengan wajah heran. 

"Ibumu melakukan pesugihan dan dia menjadikan aku tumbalnya sekarang!!"ucapku dengan nada tinggi. 

Aku bisa melihat air muka Mas Doni yang kaget, begitu juga dua orang yang ada di samping Mas Doni. 

"Jadi itu, alasan rumah ini tidak pernah lagi di tinggali meskipun kondisinya masih sangat layak." Laki-laki bersorban itu menanggapi kata-kataku. 

"Tapi tidak mungkin Mamah melakukan hal seperti itu, Nin," sangkal Mas Doni. 

"Simbah juga korban, Mas. Yang tinggal bersama kita selama ini bukanlah Simbahmu, tapi sosok mengerikan yang menyerupai Simbah." 

Aku tahu Simbah meninggal tidak wajar, bukan menjadi tumbal sepertiku tapi karena di bunuh oleh Ibunya Mas Doni, menantunya sendiri karena Simbah berusaha menghentikan pesugihan yang di lakukan oleh menantunya itu. 

Tadi, saat aku di halaman belakang. Sosok Simbah yang sebenarnya telah menemuiku. Simbah dengan kondisi normal tanpa wajah dan suara yang mengerikan. 

Entah kenapa, mengingat Simbah, aku jadi ingin menangis karena beliau harus menerima kematian yang tidak adil dari menantunya sendiri.
 
***

Aku berusaha meyakinkan suamiku, meskipun aku lihat keragu-raguan di matanya. 

"Kamu harus mempercayaiku, Mas. Aku tidak berbohong padamu," ucapku sembari masih berpegangan pada tangan Mas Doni. 

Akan tetapi, Mas Doni hanya bergeming. Mungkin dia tidak percaya padaku.

"Lebih baik kita pergi dulu dari sini," ujar Mas Doni tanpa melihatku. 

Namun, belum juga aku melangkah. Tiba-tiba tubuhku terasa di tarik ke belakang. Aku yang kaget berusaha berpegangan pada Mas Doni lebih kencang.

"Ninaa...!!"

Tukang ojek yang masih memakai jaket merahnya itu juga ikut memegangiku. Sedangkan laki-laki bersorban tampak sedang berdoa sembari memegangi tasbihnya.
"Mas, jangan lepasin aku," ucapku sembari menangis. 

"Pegang, jangan sampai di lepas!" perintah laki-laki bersorban itu. 

"Pak Kyai, kekuatane kuat sanget," ungkap si tukang ojek dengan memegangi tanganku satunya.  

[Pak Kyai, kekuatannya sangat kuat]

Aku tidak tahu lagi mereka bicara apa, karena badanku terasa sangat sakit seperti ada sesuatu yang tak kasat mata sedang meremukan badanku. 

Meksipun begitu, aku berusaha keras untuk terus memegangi tangan Mas Doni dan tukang ojek itu. Aku tidak ingin berakhir sebagai tumbal, aku tidak bisa mati seperti ini. 

Sesaat aku melihat laki-laki bersorban yang ternyata adalah seorang Kyai itu. Sepertinya beliau sedang serius berdoa. Tapi tiba-tiba, Pak Kyai itu terbatuk-batuk dengan mengeluarkan darah segar dari mulutnya. 

"Ce..kel te..ruuss!" perintahnya dengan suara terbata-bata. 

[Pegang terus!]

Pada saat aku sudah hampir tidak bisa bertahan, akhirnya sesuatu yang menarik tubuhkupun menghilang digantikan dengan suara pintu dan jendela yang menutup-membuka dengan keras. 

Bukan hanya itu, terdengar suara erangan yang mengerikan dari arah dalam rumah. Erangan yang penuh dengan kemarahan. 

***

Akhirnya kami ber empat mulai meninggalkan rumah Simbah. Sesaat aku menatap ke belakang untuk melihat rumah Simbah. 

Terlihat di sana Simbah dan tiga anak kecil yang aku temui tadi berdiri melambai ke arahku. Bukan hanya itu, pocong yang mengerikan tadi pun juga seakan sedang menatapku. 

Tanpa sadar aku melepaskan pegangan Mas Doni dan pada saat aku kembali menatap ke depan untuk menghampiri mobil Mas Doni. 

Tanpa sengaja aku tersandung sesuatu, aku pun terjungkal ke depan. 

"NIN...," teriak Mas Doni.

Aku pikir, aku hanya tersandung seperti saat tadi di halaman belakang rumah Simbah dan bisa bangun kembali. Tapi, rasanya badanku terasa nyeri dan perih. 

Sesaat aku menatap wajah Mas Doni yang sekarang sedang menghambur ke arahku, wajahnya terlihat begitu panik. 

Pada saat Mas Doni menyentuh tubuhku yang masih tengkurap, aku merasa begitu kesakitan hingga memuntahkan darah segar. 

Aku tidak tahu apa yang sedang terjadi pada tubuhku, belakangan aku tahu bahwa saat aku terjatuh. Aku menimpa bambu yang ujungnya runcing. Hingga bambu itu menusuk perutku hingga menembus ke punggung. 

Aku pun hanya mengingat hal-hal bahagia yang aku lalui bersama Mas Doni dan Arsa, anakku. 

"Jaaa...gaaa Ar...ssa, Mas...."

***

Malam ini, aku duduk sendirian. Di temani oleh sunyi dan dinginnya malam. Terdengar suara lolongan anjing malam, membuat malamku terasa mencekam. 

Mencekam untuk mereka, tidak untukku. Karena sekarang aku bagian dari sesuatu yang dulu begitu aku takuti. 

Ku tatap rumah Simbah yang masih tetap sama, kotor dan berdebu. Tapi sekarang rumah itu adalah tempatku tinggal. Entah sampai kapan aku akan terus berada di sini. 

Lalu pandanganku tertuju pada jendela besar yang kini terbuka lebar, di sana terlihat mertuaku dan dua iparku yang tampak menyedihkan. 

Terlihat tali tambang di leher mereka yang kini tampak patah, membuat kepala mereka teleng ke samping. Aku tertawa melihat mereka, dendamku terbalaskan. Setidaknya mereka juga berakhir sama sepertiku. 

Tawaku berubah menjadi tangisan, aku rindu suami dan anakku. Meskipun kadang aku menemui mereka, tapi hanya anakku yang bisa merasakan kehadiranku.

Di sisi lain aku  melihat Simbah yang duduk di kursi goyangnya, di sampingnya tampak tiga anak kecil yang menjadi korban tumbal mertuaku, mereka tampak sedang duduk bersimpuh dengan tali di kaki mereka. 

Sedangkan pocong yang menakutiku dulu, terlihat berdiri tepat di bawah pohon pisang seberang rumah. Dia juga adalah korban tumbal mertuaku yang dulu bekerja sebagai pembantu rumah tangga di rumah Mas Doni. 
 

šŸŽµAku ingin berjalan bersamamu
Dalam hujan dan malam gelap
Tapi aku tak bisa melihat matamu

Aku ingin berdua denganmu
Di antara daun gugur
Aku ingin berdua denganmu
Tapi aku tak bisa melihat matamu

Aku menunggu dengan sabar
Di atas sini melayang-layang
Tergoyang angin menantikanšŸŽµ

Sekarang aku lebih sering bernyanyi lagu kesukaanku. Jika ada yang menyanyikan lagu ini dengan menyebut NINA, namaku. Pasti aku akan hadir. 

Hadir dengan sosokku sekarang. Rambut panjang yang menjuntai hingga lutut, baju putih kusam dan juga wajah penuh darah. Bauku busuk karena lubang yang ada di punggungku penuh dengan nanah dan belatung. 

Aku sangat suka duduk di atas lemari sembari mengguncang-guncangkan kakiku. Mungkin sekarang aku sedang memperhatikanmu yang sedang menatap ponsel. Karena aku tahu, kamu sudah menyebut namaku dalam keheningan tanpa sadar. 
---==SELESAI==---

*****
Sebelumnya

close