Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

SUMUR PATI (Part 28) - Rencana


"Lintang...!?"
"Gembul...!?"

JEJAKMISTERI - Wulan dan Bu Ratih sama sama terperangah, saat mendapati kini telah ada lima sosok Lintang yang berdiri di hadapan mereka. Lima sosok yang benar benar sama persis. Wajah, perawakan, bahkan pakaian yang mereka kenakan, sedikitpun tak ada perbedaannya.

Kedua perempuan itu lalu bermaksud untuk mendekat kearah lima sosok kembar itu, namun salah satu dari mereka, yang kemungkinan adalah sosok Lintang yang asli, memberi kode dengan menggerak gerakkan telunjuknya kekiri dan kekanan, menyuruh Wulan dan Bu Ratih untuk diam dan menunggu sejenak.

"Terimakasih saudara saudaraku, kalian telah berkenan memenuhi panggilanku," ujar sosok yang sepertinya adalah Lintang yang asli itu.

"Ada keperluan apa adikku, sampai engkau memanggil kami untuk mewujud di hadapanmu?" tanya salah seorang sosok itu.

"Iya, ada apa Kakang sampai memanggil kami? Adakah sesuatu yang sekiranya bisa kami bantu?" tanya sosok yang lain lagi.

Bu Ratih dan Wulan saling pandang. Bahkan suara dari kelima kembar itupun sama persis, tak ada bedanya sama sekali. Hanya cara mereka memangil Lintang asli yang berbeda. Sosok yang pertama memanggil Lintang asli dengan sebutan adik, sedang sosok yang kedua memanggil Lintang asli dengan sebutan Kakang (kakak). Entah dengan dua sosok lagi yang sepertinya lebih memilih untuk diam dan mendengarkan perintah yang akan diberikan oleh Lintang yang asli.

"Maaf saudara saudaraku," ujar Lintang yang asli. "Aku memang sedikit membutuhkan bantuan kalian. Saat ini, aku sedang menghadapi masalah yang lumayan pelik. Kalian lihat sendiri kan, di kejauhan sana ratusan iblis sedang berusaha untuk menyerang desa ini. Jadi aku mohon bantuan kepada kalian, bisakah kalian untuk sementara membentengi desa ini, agar para iblis itu tak bisa masuk ke desa ini?"

"Hmmm, itu bukan soal yang sulit adikku. Kalau hanya sekedar membentengi desa ini, dengan sangat mudah bisa kami lakukan." jawab sosok yang memanggil Lintang asli dengan sebutan adik itu.

"Benar Kakang, jangankan hanya membentengi desa ini, melenyapkan para iblis itupun kami sanggup melakukannya. Jadi kalau Kakang menginginkan, dengan senang hati kami akan melakukannya." sambung sosok yang memanggil Lintang asli dengan panggilan kakang itu.

"Tidak saudaraku! Untuk saat ini aku hanya memerlukan bantuan kalian untuk membentengi desa ini. Soal iblis iblis itu, biar nanti aku dan teman temanku yang mengurusnya." ujar Lintang yang asli.

"Baiklah adikku. Apakah ada tugas lain yang perlu kami lakukan selain membentengi desa ini?"

"Kurasa, untuk sementara cukup itu dulu. Nanti kalau sekiranya aku butuh bantuan lain, aku akan memanggil kalian lagi."

"Baiklah kalau begitu. Akan segera kami laksanakan tugas darimu itu adikku. Kami mohon pamit!"

Keempat sosok kembar itu lalu saling pandang sejenak, lalu seolah dikomando, keempatnya segera melesat kearah empat penjuru desa, meninggalkan Lintang asli yang masih berdiri dan menatap kepergian keempat kembarannya itu.

"Mbul!" Wulan yang sepertinya sudah tak sabar segera menghampiri Lintang yang asli. "Bodohnya kamu! Kau bersusah payah memanggil mereka hanya untuk memagari desa ini?"

"Ya," dengan santainya Lintang menjawab, sambil tetap memandang ke kejauhan, dimana kini nampak gumpalan kabut yang bergulung gulung keluar dari keempat sudut desa. Gumpalan kabut yang masing masing berwarna merah, hitam, kuning, dan putih itu semakin lama semakin menebal, untuk selanjutnya menyatu dan menyelimuti setiap penjuru desa Kedhung Jati. "Dan kau lihat, sepertinya mereka berhasil."

"Tentu saja berhasil! Hanya membuat benteng seperti itu, apa susahnya buat mereka! Yang aku herankan, kenapa tak kau perintahkan saudara saudaramu itu untuk langsung menghabisi iblis iblis itu? Aku yakin mereka pasti mampu Mbul!" sungut Wulan sedikit kesal.

"Tidak Lan," Lintang kini mendekat ke arah Wulan. "Aku tidak akan menyuruh saudara saudaraku untuk melakukan hal hal yang seharusnya bisa kulakukan sendiri."

"Oh, jadi kau merasa mampu melenyapkan iblis iblis itu ya? Coba kaulakukan sekarang! Aku ingin melihat bagaimana...."

"Wulan, Wulan," Lintang berdecak sambil menggeleng gelengkan kepalanya. "Kapan kau akan mulai bersikap dewasa hah? Masalah yang sedang kita hadapi ini, tak bisa kita selesaikan dengan serta merta sayang! Aku merasa, ada hal besar yang sepertinya masih tersembunyi, yang menunggu untuk kita pecahkan berdua. Jadi, daripada kita berdebat tanpa guna disini, kenapa kita tak masuk ke dalam saja? Kita bisa menyusun rencana dan mencari jalan keluar untuk masalah ini bersama sama. Juga Melihat kondisi para warga dan melepas kangen dengan keluarga kita."

"Cih! Sok bijak!" lagi lagi Wulan mendengus. Panggilan 'sayang' yang diucapkan oleh Lintang barusan terasa bagaikan sebuah sindiran untuknya.

"Sepertinya benar apa yang dikatakan Lintang barusan Lan," Bu Ratih yang sejak tadi diam ikut menyela. "Ibu juga merasa ada sesuatu dibalik peristiwa ini. Dan itu masih berhubungan dengan kalian, karena sebelumnya Wak Dul...., ah, uwakku yang malang...!" Bu Ratih terisak, ingat akan nasib yang menimpa sang uwak.

"Yach, sedikit banyak aku sudah bisa meraba Bu," Lintang mendesah. "Dan aku juga sangat menyesal dengan apa yang telah menimpa Pak Modin. Bagiku beliau bukan orang lain lagi. Andai saja ....."

"Ya. Ibu mengerti Tang. Kita sama sama merasa kehilangan. Tapi kita tak boleh larut dalam kesedihan. Ibu bangga dengan kalian. Ibu sama sekali tak menyangka, kalian murid murid kebanggan ibu, telah berkembang sedemikian pesat kini. Jadi, mari segera kita selesaikan masalah ini bersama. Ayo, kita masuk dan bicara di dalam. Ibu juga sudah rindu dengan kalian. Masih boleh kan ibu memeluk kalian?"

Bu Ratih menatap kedua muridnya yang kini telah beranjak dewasa itu. Lintang dan Wulan tersenyum. Bu Ratih ikut tersenyum. Guru perempuan itu lalu merengkuh bahu kedua muridnya itu lalu membimbing mereka masuk kedalam rumah Pak Dul Modin.

****

Suasana di dalam rumah itu sudah sangat mirip barak pengungsian. Hampir seluruh warga desa Kedhung Jati berkumpul disitu. Wajah wajah ketakutan menyambut kedatangan keempat jagoan itu. Wulan, Lintang, Bu Ratih, dan Ramadhan. Keempatnya balas menatap wajah wajah warga yang ketakutan itu dengan tatapan iba.

Pak Slamet yang tengah menggendong Ratri segera menurunkan sang anak dan menyambut Bu Ratih dengan penuh rasa lega. Sedangkan Wulan, gadis itu langsung menghambur kedalam pelukan Mas Joko dan Mbak Romlah.

Lintang sendiri, pemuda itu masih berdiri terpaku di depan pintu. Satu persatu wajah wajah para warga dirumah itu ia amati. Namun ia tak menemukan wajah yang dicarinya. Wajah Mbak Patmi, emaknya. Ada kemungkinan beliau masih berada di desa Kedhungsono, yang berarti belum diketahui seperti apa nasibnya.

Lintang mendesah. Ia hanya bisa berharap bahwa sang emak saat ini masih dalam keadaan baik baik saja. Meski harapan itu sepertinya sangatlah tipis. Desa Kedhungsono, desa tempat ia tinggal, juga ikut terkena dampak dari pageblug yang sedang terjadi ini. Dan di desa itu, tak ada orang yang bisa diandalkan untuk menghadapi pageblug ini. Lintang hanya bisa berharap kepada nasib baik yang mungkin masih bebaik hati untuk berpihak kepada emaknya itu.

"Mas," Lintang mendesis, sambil menoleh ke arah Ramadhan yang juga masih berdiri di sebelahnya itu. Pemuda adik dari Bu Ratih itu juga sepertinya masih belum bisa mengesampingkan rasa bersalah yang dirasakannya akibat tak bisa menyelamatkan Pak Dul Modin. "Dimana jenazah Pak Modin disemayamkan?"

"Ada didalam kamar Tang," jawab Ramadhan lirih.

"Antar aku kesana Mas," ujar Lintang lagi.

Berdua mereka lalu menyelinap diantara kerumunan warga yang duduk berdesak desakan diatas lantai itu, lalu memasuki sebuah kamar yang berada di sisi ruangan rumah itu. Dan saat Lintang membuka pintu kamar itu, kembali pemuda itu dibuat terpaku, saat mendapati jasad Pak Modin yang telah terbujur kaku diatas pembaringan. Sebuah pemandangan yang kembali menyadarkan Lintang, bahwa laki laii sepuh yang selama ini ia anggap sebagai gurunya itu benar benar telah pergi. Pergi untuk selama lamanya, dan tak akan pernah kembali lagi.

Dengan mata berkaca kaca Lintang menatap wajah dari jenazah yang terbaring diam itu. Wajah yang terlihat begitu teduh, tenang, dan menyejukkan, meski sudah tak ada pancaran kehidupan lagi. Pelan pelan Lintang mendekat ke arah ranjang itu, lalu menyentuh pelan bahu Mak Karni, perempuan istri dari si mati yang tengah bersimpuh disisi pembaringan sambil menangis sesenggukan itu.

"Wak, Lintang turut berduka ya Wak! Dan Lintang minta maaf karena...."

"Lintang?" perempuan itu menoleh. Dan dari wajahnya yang basah oleh air mata itu tersungging seulas senyum yang Lintang tau bahwa itu adalah sebuah senyum yang dipaksakan. "Kau sudah pulang Le? Syukurlah! Uwakmu..., uwakmu Le...."

Wak Karni tak mampu meneruskan kata katanya. Perempuan itu kembali terisak, sambil menarik lengan Lintang. Lintangpun lalu ikut bersimpuh disamping perempuan yang segera memeluknya itu. "Uwakmu..., uwakmu sudah ndak ada Le..."

"Iya Wak, maafkan Lintang! Lintang datang terlambat. Andai saja ...."

"Sudahlah Le," Wak Karni mengangkat wajahnya, lalu menghapus air matanya. "Tak ada yang perlu dimaafkan, karena engkau memang tak bersalah. Semua ini mungkin sudah takdir. Sudah waktunya uwakmu untuk pergi. Meski uwak sendiri merasa belum rela, tapi, tak ada yang bisa kita lakukan sekarang, selain mendoakan uwakmu,"

"Iya Wak, Lintang mengerti," pemuda itu lalu duduk tepekur, menundukkan wajahnya, khusyu' memanjatkan doa untuk sang guru yang kini telah tiada.

"Wak," Wulan yang ternyata segera menusul Lintang masuk kedalam kamar itu ikut duduk di samping pembaringan. Gadis yang biasa tampil tegar itu kini juga menampakkan wajah sendunya. Tanpa diminta gadis itu lalu memanjatkan doa disamping jenazah Wak Dul.

"Kau juga ikut pulang Nduk?" sapa Wak Karni begitu Wulan telah selesai memanjatkan doanya.

"Iya Wak. Maaf, Wulan datang terlambat. Andai saja..."

"Sudahlah Nduk, tak ada yang perlu dimaafkan. Semua ini sudah menjadi kehendak Yang Maha Kuasa. Kalian sudah pada dewasa sekarang. Uwakmu ini...., uwakmu ini pasti bangga memiliki keponakan keponakan seperti kalian. Meski sudah tak punya kesempatan lagi untuk momong kalian lebih lama lagi. Satu yang uwak harap dari kalian, dan mungkin juga diharapkan uwakmu dari alam sana, kematian uwakmu ini, jangan sampai menimbulkan dendam di dalam hati kalian. Uwak tau, kalian pasti tidak akan terima begitu saja atas apa yang telah terjadi pada uwakmu ini. Tapi dendam tidak akan pernah bisa menghidupkan uwakmu lagi. Jadi, uwak mohon, cukup uwakmu saja yang menjadi korban dari pageblug ini. Jangan ada korban korban yang lain lagi."

"Iya Wak," hampir serempak Lintang dan Wulan menyahut.

"Tapi pageblug ini harus segera diakhiri Wak. Aku tak akan membiarkan pengorbanan Wak Modin ini sia sia. Jadi maaf Wak, aku tak bisa berlama lama disini. Masih banyak tugas yang harus kami selesaikan. Bukankah benar begitu Mbul?" Wulan melirk ke arah Lintang.

Yang dilirik hanya mendesah pelan. Berat rasanya harus merelakan kepergian sang guru ini. Tapi benar kata Wulan, pageblug ini harus segera diakhiri. Banyak nyawa yang harus mereka lindungi. Ia tak boleh terlalu lama larut dalam kesedihan. Meski sebenarnya rasa kehilangan atas kepergian sang guru belum sepenuhnya bisa ia hilangkan.

"Ya. Kita harus segera mengakhiri semua ini Lan. Bayak nyawa yang harus kita lindungi dan selamatkan. Jadi, tunggu apa lagi. Ayo kita beraksi!"

*****

"Ya. Kita harus segera mengakhiri semua ini Lan! Banyak nyawa yang harus kita lindungi dan selamatkan! Karena itu, tunggu apa lagi! Ayo kita beraksi!" Lintang mendesis tajam, lalu menyalami dan mencium tangan Wak Karni. "Lintang mohon pamit dan doa restunya ya Wak!"

"Wulan juga Wak, mohon doa restunya juga!" Wulan tak mau ketinggalan.

"Yah, kalian anak anak muda harapan desa. Uwak merestui kalian Nduk! Le! Berhati hatilah, dan semoga kalian berhasil mengatasi semua pageblug ini!"

Kedua muda mudi itu lalu beranjak keluar dari kamar itu. Mata Lintang kembali dihadapkan pada wajah wajah penuh pengharapan dari para warga yang diarahkan kepadanya, membuat Lintang sadar bahwa tugas yang harus ia emban kini sangatlah berat, tanpa adanya Pak Dul Modin yang selama ini menjadi tempatnya untuk berkeluh kesah. Dan melihat wajah wajah penuh pengharapan itu, kembali mengingatkannya kepada sang emak, yang kini entah dimana dan seperti apa nasibnya. Lintang gelisah!

"Jangan terlalu lama berpikir Tang! Aku sudah tak sabar...!"

"Ya. Aku mengerti!" pelan Lintang menukas ucapan Wulan yang diucapkan dengan setengah berbisik itu. Ia lalu mendekati Bu Ratih dan Ramadhan, dan mengajak mereka ke ruang belakang yang sepi. Tepatnya ke ruangan dapur yang berada di bagian kiri bangunan rumah itu

"Mohon maaf Bu Ratih, kalau tak keberatan mulai sekarang biar Lintang yang mengambil alih masalah ini! Sedikit banyak Lintang sudah bisa meraba masalah apa yang sedang kita hadapi ini, apa penyebabnya, dan bagaimana cara mengatasinya. Tapi Lintang perlu cerita yang lebih mendetail lagi dari Bu Ratih yang melihat dan mengalami kejadian ini dari awal!" tegas Lintang tanpa berbasa basi lagi.

"Ah, iya. Ibu mengerti Tang. Dan kau juga Wulan. Kalian murid murid ibu, sekarang sudah dewasa. Kemampuan kalian juga sudah meningkat dengan pesat. Sudah saatnya bagi kalian untuk menjadi penerus Ibu dalam mengurus desa ini. Akan ibu ceritakan awal mulanya sampai pageblug ini bisa terjadi," Bu Ratih lalu menceritakan semua kejadian yang menjadi awal dari malapetaka yang kini melanda desa mereka itu.

"Jadi seperti itu ya," Lintang mengangguk anggukkan kepalanya, mencoba mencerna semua ucapan sang guru yang baru saja didengarnya itu. "Dhemit dhemit itu awalnya dikurung di dalam kendi dan ditanam jauh dibawah tanah. Yang jadi pertanyaan, kenapa sampai dhemit dhemit itu dikurung? Dan siapa yang mengurung mereka?"

Wulan dan Bu Ratih nampak saling pandang sejenak. "Karena dhemit dhemit itu sangat berbahaya?" tebak Wulan.

"Ya, bisa jadi. Tapi, kalau berbahaya, kenapa tidak dilenyapkan saja? Kenapa hanya dikurung yang bisa beresiko untuk bisa lepas kembali?" tanya Lintang lagi.

"Ada dua kemungkinan," kini Bu Ratih yang menyahut. "Antara si pengurung dhemit ini memang tak bisa melenyapkannya, atau tak mau melenyapkannya."

"Tepat sekali Bu," sahut Lintang. "Lalu siapa kira kira si pengurung dhemit itu?"

"Sebelumnya Wak Dul sempat menyinggung soal Mbah Kendhil, kakeknya Wulan," lagi lagi Bu Ratih yang menjawab. "Dan ibu juga punya dugaan yang sama. Wak Dul pernah cerita, dulu, di desa ini sudah pernah terjadi pageblug yang tak kalah mengerikan dibandingkan dengan yang sekarang ini. Waktu itu kakeknya Wulan masih ada. Dan beliau yang akhirnya bisa mengatasi pageblug itu. Wak Dul juga terlibat waktu itu. Bahkan sempat ikut kakeknya Wulan ke tempat para lelembut itu bersarang. Sayangnya, Wak Dul tak sempat mendengar pembicaraan antara Mbah Kendhil dan ratu dari para dhemit itu. Yang Wak Dul tau, pageblug itu bisa terselesaikan tanpa harus ada pertarungan ataupun pertumpahan darah. Kuat dugaan Mbah Kendhil melakukan negoisasi atau semacam kesepakatan kepada para dhemit itu, demi menghindari pertumpahan darah. Karena tak lama setelah pageblug itu terjadi, kakeknya Wulan tiba tiba menghilang secara musterius."

"Sebuah kesepakatan ya," Lintang nampak berpikir serius. "Apakah Mbah Kendhil meminta ratu dhemit itu untuk menyerahkan anak buahnya yang mengacau desa di waktu itu, dengan imbalan dia harus meninggalkan desa ini dan tak ikut campur urusan mereka lagi? Atau, lebih parahnya, mbah Kendhil menukar jiwanya dengan keselamatan warga desa?"

"Kukira dugaan pertamamu itu yang lebih tepat Tang. Mengingat sosok Mbah Kendhil ini bukanlah sosok yang bisa dianggap remeh. Mbah Kendhil menawan dhemit dhemit yang mengacau desa waktu itu, dengan syarat dia harus pergi dan tak ikut campur dengan urusan para dhemit itu lagi. Namun sepertinya perjanjian itu batal, karena saat kelahiran Wulan dulu, Mbah Kendhil sempat kembali dan menggagalkan aksi iblis yang mencoba menculik bayi Wulan."

"Hmmm, ini sangat menarik! Kesepakatan yang diingkari, membuat para dhemit itu geram dan marah! Namun mereka tak berdaya untuk membalas, karena selain Mbah Kendhil sempat menitipkan ilmunya kepada Wulan, sebagian dari mereka juga telah ditawan oleh Mbah Kendhil. Dan lepasnya dhemit dhemit yang sekarang ini, itu menjadi kesempatan bagi mereka untuk menuntut balas kepada Mbah Kendhil, atau penerus Mbah Kendhil, yang berarti itu adalah kamu Lan!"

Wulan tercekat mendengar ucapan Lintang barusan. Bukan karena takut, tapi dendam lama yang sudah berakar dalam dirinya, yang sekian lama telah ia kubur dalam dalam, kini seolah terbangkitkan kembali. Dhemit dhemit itu, bahkan dari semenjak ia baru lahir sudah mencoba untuk mencelakainya. Dan ia tak mau kalau kejadian buruk itu kini harus terulang kembali.

"Kukira masalah itu sudah selesai saat dulu aku melenyapkan Mbah Boghing di alas Tawengan. Ternyata tidak ya! Sampai sekarang mereka ternyata masih mengincarku. Kalau sudah begini, apa boleh buat, tantangan dari mereka itu, dengan senang hati akan aku terima!' desis Wulan tajam.

" jangan terburu buru Lan," Lintang menyela. "Masih ada satu soal yang belum terjawab. Kenapa kakekmu hanya mengurung dhemit dhemit itu didalam tanah? Kenapa tak melenyapkannya?"

"Mungkin karena mereka memang tak bisa dilenyapkan," tebak Wulan. "Kau lihat sendiri kan tadi saat aku dan Bu Ratih bertarung dengan mereka? Serangan serangan kami dengan mudah mereka patahkan. Bahkan mereka justru menyerapnya, dan itu membuat mereka justru semakin kuat."

"Kukira tidak," bantah Lintang. "Tidak seperti itu Lan. Kuat dugaanku, kakekmu hanya mengurung mereka, karena kakekmu memang tak ingin membunuh! Aku masih ingat kisah kelahiranmu dulu. Waktu itu kakekmu juga hanya menghajar Mbah Boghing itu sebelum melemparnya jauh ke alas Tawengan. Padahal kalau mau, bisa saja waktu itu kakekmu melenyapkannya. Sedikit banyak aku tau cerita tentang kakekmu Lan! Beliau bukanlah orang sembarangan! Bahkan ratu dhemit Tegal Salahanpun dengan mudah bisa ia takhlukkan. Satu hal yang membuat kakekmu tak mau melenyapkan mereka, karena kakekmu sadar bahwa melenyapkan lawan bukanlah satu satunya cara untuk menang. Beliau sudah banyak makan asam garam kehidupan. Dari kecil beliau hidup dalam bayang bayang dendam yang tak berkesudahan. Dan beliau pernah, bahkan sering melenyapkan lawan demi untuk menuntaskan dendamnya. Tapi yang ia dapat akhirnya bukanlah sebuah rasa kemenangan. Tapi rasa penyesalan yang tak berkesudahan, penyesalan yang menyiksa dan menghantui kehidupan di hari tuanya. Karena itulah dia akhirnya memilih untuk tinggal menyendiri di Tegal Salahan, demi merenungi segala rasa penyesalannya."

"Hmmm, bisa jadi," Wulan mengangguk angguk. "Lalu?"

"Yach, sepertinya kita juga harus mengikuti kebijaksanaan kakekmu itu. Kembali mengurung dan mengubur dhemit dhemit itu untuk mengakhiri pageblug ini, sepertinya suatu tindakan yang cukup bijaksana. Yang jadi pertanyaan sekarang, bagaimana caranya?"

"Mengurung mereka dalam kendi kembali dan menguburnya dalam dalam?" kembali Wulan menebak.

"Kita tak punya kemampuan untuk itu Lan, lagipula kata Bu Ratih kendi itu sudah pecah dan dibawa polisi untuk barang bukti."

"Kita bisa mencari kendi yang baru. Soal kemampuan untuk mengurung mereka kedalam kendi, serahkan saja padaku."

"Kemana kita akan mencari? Kau pikir bisa sembarang kendi bisa dipakai?"

"Wak Dul sempat berpesan kemarin," Bu Ratih menyela. "Beliau berpesan, agar kalau kalian berdua telah kembali, kalian harus secepatnya pergi ke lereng Lawu."

"Lereng Lawu? Untuk apa Bu?" hampir serempak Lintang dan Wulan bertanya.

"Entahlah, ibu juga kurang mengerti," jawab Bu Ratih. "Tapi menurut dugaan ibu, ini juga masih ada hubungannya dengan kakekmu Lan, karena ibu dengar dulu semasa mudanya kakekmu itu berguru dan menyepi ke lerang Lawu sebelum akhirnya mendapatka kekuatan yang sangat luar biasa itu."

"Lereng Lawu ya," Lintang menggumam. "Itu bukan tempat yang dekat. Dan kita tak punya waktu banyak. Apalagi dhemit dhemit itu juga tak akan membiarkan kita bebas bergerak. Ditambah dengan masih samarnya apa yang harus kita cari disana, aku rasa ...."

"Lintang, tak ada yang sulit di dunia ini untuk kita lakukan, selama kita mau berusaha. Soal hasilnya nanti bagaimana, serahkan kepada yang diatas sana. Kalau niat kita baik, insya Allah pasti Dia akan memberi jalan." ujar Bu Ratih.

"Ya. Benar apa kata Bu Ratih," sambung Wulan. "Soal waktu dan jauhnya lereng Lawu, bukan masalah buatku Mbul. Aku punya ajian baru yang bisa menjangkau lereng Lawu hanya dengan sekejap mata. Juga ajian yang bisa mengecoh dhemit dhemit itu agar tak bisa melacak pergerakan kita kesana! Apa yang kita cari disana, itu urusan nanti kalau kita sudah sampai disana. Kalau perlu kita obrak abrik istana Lawu, agar penguasa disana bersedia menunjukkan apa yang kita inginkan darinya."

"Sompral kamu!" dengus Lintang yang mulai menyadari kekonyolan Wulan. "Eh, tapi bener kamu sudah mengusai dua ajian yang kau sebutkan tadi? Sejak kapan?"

"Huh! Memangnya kamu saja yang punya ilmu baru! Aku juga punya Mbul. Bahkan kalau dulu ari ariku tidak dimakan oleh Mbah Bhoging sialan itu, aku juga bisa memanggil saudara saudaraku seperti yang kaulakukan tadi. Jadi jangan sok jumawa. Mentang mentang punya ilmu baru!"

"Eh, bukannya kamu yang sok jumawa?!"

"Hmmm, mulai deh," Bu Ratih menyela perdebatan tak berguna itu. "Jadi, sejak kapan kalian bisa menguasai ajian ajian itu? Ajian barumu itu Lan, apakah yang kau maksud adalah s*p* angin dan p*ngl*m*nan? Itu ajian langka yang sulit didapat lho, dan perlu tirakat dan lelaku yang sangat berat! Kamu juga Lintang, sejak kapan kamu bisa memanggil keempat saudaramu hingga mewujud nyata begitu?"

"Biasa Bu, Gembul itu suka ikut perguruan perguruan ga jelas gitu, yang suka aneh aneh dan sok jago, padahal ilmunya nggak seberapa!" Wulan menyahut cepat.

"Enak saja!" Lintang tak kalah cepat menukas. "Aku kan hanya ikut perguruan bela diri, mana ada mempelajari yang aneh aneh. Aku bisa memanggil keempat saudaraku karena dulu pernah diajari sama Pak Modin, lalu aku terus mengasah dan memperdalamnya sampai seperti sekarang ini. Memangnya kamu Lan, berlatih saja ndak pernah! Heran saja kalau kamu bisa dapat ilmu yang sehebat itu!"

"Yeee, kamu yang ngawur Mbul. Siapa bilang aku ndak pernah berlatih! Aku rutin berlatih kok, punya guru juga, dan aku juga rutin tirakat!" Wulan menjawab tak kalah sengit.

"Mana ada! Aku ndak pernah tuh lihat kamu berlatih atau tirakat!"

"Ya jelas saja kamu ndak pernah lihat, wong aku melakukannya dalam mimpi!"

"Dalam mimpi? Hahaha...!!! Ada ada saja kamu Lan! Mana ada orang latihan dan tirakat didalam mimpi!"

"Kamu ndak percaya?! Mau nyoba ilmu baruku?! Guruku selalu rutin datang dan melatihku dalam mimpi! Makanya..."

"Sudah sudah!" Bu Ratih kembali menyela perdebatan kedua muridnya itu. "Kalian ini, dari dulu tak pernah berubah! Selalu saja ribut kalau ketemu. Ingat! Sekarang kita sedang menghadapi masalah serius! Ibu harap kalian bisa bekerja sama untuk menyelesaikannya. Jadi, kapan kalian mau berangkat ke lereng Lawu?"

"Mungkin..."

"Secepatnya Bu. Detik ini juga Wulan siap!" dengan cepat Wulan memotong ucapan Lintang.

"Ngawur!" sungut Lintang. "Masih ada satu hal yang harus kita pikirkan. Keselamatan warga desa lain yang juga terkena dampak pageblug ini, sepertinya tak bisa kita kesampingkan. Andai mereka semua bisa kita bawa ke desa ini..."

"Soal itu, serahkan pada Ibu. Biar nanti ibu yang keluar desa dan menjemput mereka. Kalian fokus saja pada rencana kalian untuk pergi ke lereng Lawu." usul Bu Ratih.

"Lalu tugas untuk aku apa?" Ramadhan yang sejak tadi diam, menyela. Sungguh, ia merasa menjadi seorang pecundang saat berada diantara ketiga orang itu. Dari mereka berempat, hanya dia yang tak memiliki kemampuan istimewa. Tapi ia tak mau dikesampingkan begitu saja. Sedikit banyak ia juga ingin punya andil dalam aksi menyelamatkan desa ini.

"Tenang Mas, aku punya tugas khusus buatmu," Lintang melepaskan kalung benang lawe berbandul bungkusan kain kumal yang melingkar di lehernya, lalu mengalungkannya pada leher Ramadhan. "Aku ingin, selama aku pergi, Mas Ramadhan menggantikan posisiku untuk sementara."

"Eh?!" Ramadahan tak mengerti dengan maksud Lintang.

"Keempat saudaraku yang diluar sana itu," kata Lintang lagi sambil membuat sebuah lingkaran diatas lantai dengan menggunakan sepotong kunyit yang ia ambil dari tempat bumbu bumbu dapur yang ada di dekatnya. "Mereka tak bisa jauh jauh dariku, emmm, maksudku tak bisa jauh jauh dari kalung yang sekarang Mas Rom pakai itu. Jadi selama aku pergi, Mas Rom jangan kemana mana, tetap berada didalam lingkaran yang aku buat ini, jangan keluar apapun yang terjadi."

"Hanya itu? Tugasku hanya duduk saja disini tanpa melakukan apa apa?" protes Ramadhan.

"Ini tugas penting juga Mas. Karena kalau sampai Mas Rom gagal, maka keempat saudaraku yang sedang membentengi desa di luar sana itu akan pergi menyusulku ke lereng Lawu, yang berarti dhemit dhemit yang diluar sana itu bisa dengan leluasa kembai masuk ke desa ini!"

"Ah, seperti itu ya?" Ramadhan meraba kalung aneh yang kini melingkar di lehernya itu.

"Jadi," Wulan menyela. "Semua sudah jelas kan? Lalu tunggu apa lagi? Ayo kita berangkat Mbul!"

"Tunggu Lan, kaubilang tadi dengan ajian barumu itu kau bisa pergi kemana saja hanya dalam sekejap mata dan tanpa terendus oleh para dhemit itu?" tanya Lintang.

"Ya. Betul!"

"Kalau begitu, bisa kan kita mampir sebentar ke Kedhungsono?"

"Untuk apa?"

"Aku ingin bertemu emakku dulu."

"Aish, dasar anak emak!"

"Ayolah Lan. Kau sudah bertemu dengan keluargamu. Sedangkan aku? Paling tidak aku juga ingin tau keadaan emakku Lan!"

"Huh! Merepotkan saja! Ya sudah, ayo! Bu Ratih, Mas Ramadhan! Kami pamit ya! Kamu Mbul, pejamkan matamu dan jangan pernah lepaskan pegangan tanganku dari tanganmu!" Wulan dengan cepat menyambar tangan Lintang dan menggenggamnya dengan erat, lalu mulai merapal ajiannya. Namun Lintang lagi lagi menyela.

"Tunggu Lan!" sela Lintang cepat.

"Haduh! Apa lagi sih Mbul?"

"Emmm, aku..., aku lapar. Semenjak pagi sebelum berangkat kesini, aku belum makan apa apa sama sekali! Apakah Bu Ratih masih punya makanan?"

"Arrggghhhhhh...!!! DASAR GEMBUUULLLL...!!!"

BERSAMBUNG

*****
Selanjutnya

*****
Sebelumnya
close