Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

SANTET BALUNG IRENG

Kemenangan Trah Mangkubirawa di Perang Rojopati harus dibayar dengan kematian Raden Arya dan kedua anaknya.

"Santet Balung Ireng" Menjadi pilihan Karjo untuk membalaskan dendamnya.


JEJAKMISTERI - Dendam yang mendalam menciptakan Kegelapan yang tak berujung, Namun ketika kegelapan itu semakin pekat.. Ketakutan merasuk ke semua asa yang bahkan dapat dirasakan oleh kegelapan itu sendiri.

Kepergian Raden Arya Mangkubirawa dan kedua anak bungsunya meninggalkan kepedihan bagi kesepuluh anaknya. Sebuah kesalahan fatal yang seharusnya tidak harus terjadi seandainya mereka lebih waspada.

"Santet Balung Ireng"

Hanya dengan sebuah kalimat yang dikatakan oleh Karjo, seluruh pusaka keramat milik kesepuluh Rojo bergetar seolah tidak ingin terlibat dengan santet itu.

Kesepuluh ingon yang sudah berumur Ratusan tahun sangat mengerti mengenai kengerian santet ini dan resiko yang terjadi setelahnya.
Namun perintah Karjo mutlak. Tidak ada satupun saudara yang menentang keputusanya apalagi para abdi yang mengikuti mereka.

Pada saat keadaan semakin mencekam, Rumah Waras mengeluarkan titah untuk warga agar selama tiga puluh hari, semua warga dilarang berkativitas di luar rumah. Semua kebutuhan hidup akan ditanggung para Rojo dan disalurkan oleh para abdi yang ditugaskan.

Setiap rumah diberi Kembar Mayang yang telah disediakan oleh rumah waras untuk melindungi warga dari kemungkinan buruk yang akan datang.

Hari ini tepat tujuh hari setelah titah disampaikan, sudah dipastikan tidak ada warga yang keluar dan melanggar perintah dari Rumah Waras. Selama tujuh hari itu pula langit begitu gelap dan awan mendung tidak pernah berhenti menyelimuti desa.

Para Rojo sudah menyelesaikan persiapan masing-masing dan segera mengurung diri di Rumah Waras. Setelah ini sama sekali tidak ada yang diijinkan untuk keluar dari rumah waras apapun alasanya.

Malam ini adalah persiapan terakhir, Para Rojo memakai pakaian kebesaranya dan mempersiapkan kesepuluh pusaka yang telah di ruwat. Di malam inilah Karjo melakukan tirakat terakhir untuk mempersiapkan jiwa dan raganya serta mengumpulkan ke sepuluh ingon yang masih tersisa.

Saat itu semua Rojo tanpa terkecuali memegang pusakanya dan membacakan mantra pemanggil.
Angin bertiup kencang di sekitar Rumah Waras. Hawa dingin yang tidak biasa dapat dirasakan hingga beberapa kilometer dari tempat itu.

Tak lama setelahnya kesepuluh Ingon kebanggaan Trah Mangkubirawa telah hadir di sisi pusaka masing-masing.

“Njenengan saya panggil kesini tentu sudah tahu maksud saya” Ucap Karjo kepada kesepuluh ingon yang berkumpul di sekitar kesepuluh Rojo.

Seluruh ingon merespon dengan anggukan sopan ke arah Karjo.

"Malam ini saya ingin meminta restu untuk apa yang akan kita lakukan besok" Lanjut Karjo yang segera direspon dengan majunya ke empat ingon yang paling tua dan paling kuat diantara kesepuluh Ingon Keluarga Mangkubirawa.

Keempat Ingon itu adalah Ki Ranu dari Pusaka Ronggolewu milik Broto, Patih Gadang Ireng dari Pusaka Rogonyowo milik Marjdi, Patih Mahareksa dari Pusaka batara abang milik Warjo dan terakhir adalah Raden Jaya Dwipa dengan pusaka Keris Ireng milik Karjo sendiri.

Santet Balung Ireng adalah santet yang memiliki resiko besar, Semakin kuat Ingon yang menjadi medianya diharapkan dapat memperkecil kemungkinan untuk gagal dan mengurangi resiko yang diakibatkan.

"Le.. Kamu yakin akan menunaikan Santet Balung ireng ini? Bayaran yang harus kamu tanggung sangat besar!" Ingon dari pusaka Karjo, Raden Jaya merasa khawatir dan mencoba memperingati Karjo.

Namun bukanya menjawab, Karjo malah mengeluarkan sebuah lembaran yang dibuat dengan kulit hewan.. diatasnya tertulis untaian aksara rumit yang ditulis menggunakan darah Karjo dan sembilan saudaranya yang menanggung Santet ini.

"Ini... kami sudah mempersiapkan ini sebagai bayaranya" Ucap Karjo dihadapan ke sepuluh ingon.

Kesepuluh ingon melihatnya dengan bergetar, sekarang mereka yakin Karjo tidak menginginkan sedikitpun kegagalan sehingga menyiapkan bayaran sebesar ini.

"Setengah dari sukmamu dan Kesembilan Rojo atas bayaranya? Ini sangat besar!" Peringat Raden Jaya kepada Karjo.

"Lawan kita adalah Ki Sedo dan sisa antek-anteknya, bayaran yang pantas untuk memastikan permintaan terakhir Bapak bisa terwujud" Ucap Karjo dengan tegas yang disetujui oleh sembilan saudaranya.

Ketika kehilangan setengah dari sukmanya, para Rojo akan kehilangaan sebagian kesaktian bahkan mungkin sebagian umurnya, tidak jarang bila sukmanya memang sudah lemah sejak awal mereka akan langsung mati.

Kali ini Karjo mengangkat kepalanya, terlihat air mata dendam mengalir di pipinya.

"Tekad kami sudah bulat.. Santet Balung Ireng harus dilaksanakan besok malam tanpa belas kasihan. Darah hitam mereka harus tertumpah tanpa bersisa.. ketika kami merayakan pembalasan dendam kami, di situ kalian bisa berpesta diatas kematian mereka" Ucap Karjo yang penuh dendam.

Sebelumnya Karjo belum pernah berucap sesadis ini.

Malam itu juga, sebuah kesepakatan terbentuk diantara kesepuluh Rojo dan kesepuluh ingon yang mengabdi kepada mereka.

Esoknya, hari yang diputuskan telah tiba. Kesepuluh Rojo berkumpul di pendopo masing-masing dengan meletakan pusakanya. Terbenamnya matahari di ufuk barat merupakan tanda ritual harus segera dimulai.

Empat ekor ayam cemani.
Empat kerbau hitam.
Empat kambing Hitam.
Disembelih dihadapan ke sepuluh pusaka dan darah hewan itu dikumpulkan jadi satu dengan dan empat mangkuk darah dari para pemilik Pusaka tertua.

Berbeda dari biasanya, pemanggilan ingon keempat pusaka terkuat dipanggil dengan mengucapkan mantra kuno yang telah diwariskan lebih dari ratusan tahun.
Dengan semua ritual itu, keempat ingon hadir dengan wujud yang hampir tidak dikenali.

Mereka menggunakan jubah hitam kelam dan segera meminum darah yang disajikan oleh kesepuluh Rojo. Seketika kulit mereka menjadi gelap.. segelap dendam yang akan mereka tuntaska.

Bersamaan dengan hujan yang turun dengan deras, keempat ingon menghilang untuk menunaikan tugas terbesarnya.

*****

(Di kawasan hutan milik Balanggawe...)

Dari keseratus orang abdi setia Ki Sedo, hanya tersisa sepuluh orang yang masih hidup. Trah Balanggawe yang masih tersisa hanya Ki Sedo sendiri dan istrinya Nyi Laras yang sedang hamil tua.

Di hutan tersebut terdapat sebuah rumah tua yang dibangun dengan kayu pohon keramat dengan ornamen dinding dari tulang belulang hewan yang sudha dikorbankan. Tempat ini adalah tempat dimana keluarga Trah Balanggawe melakukan pemujaan terhadap demit-demit peliharaanya.

"Pak.. Firasatku tidak enak, kesepuluh anak Raden Arya pasti tidak akan tinggal diam" Ucap Nyi Laras kepada Ki Sedo yang juga terlihat gelisah.

"Maafkan aku Laras... semalam guruku, Ki Rosyid datang di mimpiku. Dia memberi petunjuk agar anak kita yang saat ini berada di perutmu harus dikeluarkan malam ini juga.. apapun caranya" Ucap Ki Sedo dengan wajah yang tidak tega.

Terlihat Nyi Laras mencoba menahan rasa sedihnya, ia tidak tahu apakah bayi yang belum genap sembilan bulan ini dapat bertahan hidup apabila dikeluarkan malam ini. Namun firasat yang ia dapat jauh lebih mengerikan dibanding pertaruhan yang ditawarkan.

"Bagaimana keputusanmu Laras? Waktu kita tidak banyak lagi" Tanya Ki Sedo yang sadar akan bencana yang segera menghampirinya.

Nyi Laras mengangguk sambil mengelus-elus perutnya yang berisi bayinya yang bernasib malang.

Terlihat air mata menetes di pipinya menyayangkan semua kejadian ini. Namun inilah bayaran atas perbuatan Trah Balanggawe dan hanya ini satu-satunya cara untuk menyelamatkan garis keturunan mereka.

"Pak.. Aku melihat ketakutan di wajahmu, belum pernah aku melihatmu seperti ini.. jika ini adalah keputusanmu, maka sudah seharusnya itu yang kita lakukan" Jawabnya dengan pasrah.

Mendengar jawaban Nyi Laras, Ki Sedo cukup lega. Ia mulai mempersiapkan segalanya.

Mulai dari mengumpulkan seluruh demit alas untuk menjaga hutan ini. Hingga membuat pagar ghaib diantara hutan dan Rumah.

Persalinan Nyi Laras dilakukan oleh Ki Sedo sendiri dibantu dengan abdi tertua Trah Balanggawe Mbok Narti.

"Mbok... Setelah berhasil mengeluarkan anak ini, Segeralah lari sejauh mungkin. Namun tinggalkan ari-arinya di tempat ini" Jelas Ki Sedo pada abdinya itu.

Mbok Narti mengerti. Segera mereka melakukan persalinan yang berjalan dengan lancar dan cukup cepat.

Rumah di tengah hutan itu dihiasi suara tangisan bayi laki-laki yang cukup keras. Dengan segera Mbok Narti menyerahkan ari-ari anak itu kepada Ki Sedo.
Belum sempat memulihkan kondisi istrinya, Suara ledakan besar terdengar di ujung hutan.

"Pak.. i...itu suara apa" Ucap Nyi Laras yang masih lemah.

"Mereka sudah datang.. Kamu tenang saja, aku sudah memasang pagar untuk menghalangi mereka" Ucap Ki Sedo menenangkan istrinya yang terbaring lemah.

Di pelukan Mbok Narti, Anak yang baru lahir itu terus menangis.

Ki Sedo mendekati dan membisikan sesuatu ke telinga bayi itu.

"Le.. ilingo! Kowe harus iso mateni uwong-uwong seng jahat karo keluargamu yo le"
(Nak.. ingatlah! Kamu harus bisa membunuh semua orang yang sudah jahat dengan keluargamu ini ya nak..) Bisik Ki Sedo dengan tegar.

Segera ia mengalihkan pandanganya ke Mbok Narti dan memerintahkanya untuk meninggalkan tempat ini.
Setelah memastikan anaknya telah pergi, Ki Sedopun keluar untuk memeriksa apa yang sudah terjadi dan melihat sisa-sisa pengikutnya.

Saat melihat semua pengikutnya masih berjaga dan berkegiatan seperti biasa, ia terlihat cukup tenang. Namun ia mulai curiga ketika melihat ribuan demit yang ia tugaskan untuk menjaga hutan ini tidak terlihat satupun di hadapanya.

Sebelum sempat mencari keberadaan demit-demit itu, terjadi keanehan pada sisa-sisa pengikutnya itu.

"Ki... Ki Sedo... apa ini..?" Salah satu pengikut Ki Sedo menghampirinya dengan wajah yang kesakitan dengan seluruh tubuhnya mulai membiru.

Ki Sedo mencoba mendekat, namun ketia ia melihat apa yang terjadi pada pengikutnya, ia mengurunkan niatnya.
Satu persatu bagian tubuh yang membiru terputus dari tubuhnya. Jari tangan, jari kaki, lengan dan setiap persendianya mulai terputus secara berurutan.

Anehnya tidak ada setetespun darah yang menetes dari sisa bagian tubuh yang terpisah.
Yang mengerikan lagi, dari sela-sela kulit mereka terlihat tulang mereka mulai menghitam.

"Trah Mangkubirawa! Sungguh biadab kalian!" Teriak Ki Sedo yang gentar melihat kejadian ini.

Tubuhnya lemas hingga terduduk di tanah. Ia tidak pernah menyangka anak-anak yang tersisa dari Trah Mangkubirawa mau dan mampu merapalkan ilmu santet yang sehitam ini.
Sekarang ia tidak heran, wajar saja seluruh demit peliharaanya sampai takut untuk menghadapi serangan ini.

"Laras... Laras...!"
Ki Sedo teringat dengan Laras yang masih terbaring di rumah. Ia segera berdiri dan berlari menerobos pintu untuk memastikan kondisi istrinya itu.
Namun semua sudah terlambat...

Seluruh tubuh Nyi Laras sudah membiru, kaki dan tanganya sudah tidak lagi menyatu dengan tubuhnya.

"Pak... tolong pak... sakit pak.." Rintih Nyi Laras yang menahan rasa sakit dari santet yang diterimanya.

"Laras.. bertahan Laras, aku akan mencari cara menghentikan santet ini" Ucap Ki Sedo.

Sebuah ilmu dirapalkan oleh Ki Sedo, beberapa jenis kembang yang selalu tersedia di rumah itu ditaburkan di tubuh Nyi laras.

"To.. long..." Ucapan Nyi Laras menggema di telinga Ki Sedo.

Dengan kondisi ini, hampir tidak ada lagi yang bisa ia lakukan terhadap istrinya itu.
Di tengah keputus asaanya, suara menggelegar terdengar hadir di halaman rumah itu.

Ki Sedo menghapus air matanya, mengambil pusaka Keris Putu Barong miliknya dan bersiap keluar menghadapi makhluk yang datang di wilayahnya itu.

Keempat ingon terkuat milik keluarga Karjo sudah bersiap di depan untuk membalaskan perbuatan Ki Sedo terhadap Raden Arya dan kedua anaknya.

Dengan segera Ki Sedo menghunuskan kerisnya ke langit dan merapalkan mantra kuno pemanggil Ingon tertua dan tersakti yang dimiliki oleh Trah Balanggawe untuk menandingi keempat makhluk dihadapanya.

Suara guntur menggelegar, Angin bertiup dengan kencang, Namun tak terlihat satupun sosok makhluk yang memenuhi panggilanya.
Ki Sedo merasa heran, namun sebelum sempat merapalkan mantranya lagi, terdengar suara menggema di hutan yang hanya bisa didengar oleh Ki Sedo.

"Hahaha... Tidak ada gunanya... nyawamu sudah diujung tanduk, tidak ada untungnya kami membantumu saat ini..."
Itu adalah suara Ki Bathur Ijo ingon paling tua dan sakti milik Balanggawe.

"Ki Bathur Ijo! Apa maksudmu? Kau mau berkhianat dengan Trah Balanggawe yang telah mengikat perjanjian denganmu?!" Teriak Ki Sedo mencari penjelasan.

"Berkhianat?? Tidak Ki Sedo... Aku akan membalaskan dendamu, saat ini aku akan mengikuti anakmu dan memastikan ia akan siap untuk menerima tugas pembalasan dendam ini" Jelas Ki bathur Ijo yang masih menolak untuk membantu Ki Sedo.

"Dan untuk kamu, nikmatilah sebaik mungkin rasa sakit dan kepedihan yang akan kamu terima sebentar lagi... Hahahahaha" Terdengar suara tawa menggelegar seolah menikmati penderitaan Ki Sedo saat ini.

Tak lama setelahnya, suara itu menghilang bersamaan dengan hilangya Keris Putu Barong dari tangan Ki Sedo.

"Pak... Sakit pak..." terdengar suara rintihan dari dalam rumah.
Ki Sedo yang cemas dengan keadaan istrinya tidak mempedulikan musuhnya di luar dan menghampiri suara itu.

Namun semua sudah terlambat, saat ini terlihat Leher Nyi Laras sudah terpisah dari tubuhnya.
Mata dari kepala yang sudah terputus itu masih melirik kearah Ki Sedo dengan air mata yang menetes.

"Sa... kit.." Suara nyi laras mulai menghilang, tidak lagi terlihat pergerakan dari tubuhnya. Ia mati dengan mata yang masih terbuka dan bekas air mata di wajahnya.

"Terkutuk! Terkutuk kalian Trah Mangkubirawa!!!!" rasa sedih bercampur marah terdengar dari teriakan Ki Sedo saat itu.

Tidak berhenti sampai di situ, setelahnya suara dari halaman terdengar jelas di telinga Ki Sedo dan segera menghampirinya. Itu adalah suara yang muncul dari kepala anak buahnya yang telah terpisah dari badanya meminta pertolongan.

Ketakutan yang amat sangat mulai menghantui perasaan dirinya, suara-suara itu terus bergema di telinganya sampai akhirnya tanpa sadar ia melihat tubuhnya juga mulai membiru.

Rasa sakit mulai menjalar, ia mulai merasakan seluruh bagian tubuhnya seolah tertarik mencoba lepas dengan sendirinya dari tubuhnya.

"Bajingan kalian! Harusnya ribuan demit yang kukumpulkan cukup untuk menghabisi kalian" Teriak Ki Sedo yang masih berharap demit-demit pengikut-pengikutnya masih bisa membantunya.

"Kakek tua bodoh! Kami ini bukan demit... kami ini berasal dari berbagai macam kerajaan, dan tidak sedikit dari kami adalah para Panglima yang pernah menaklukan lebih dari puluhan kerajaan! Jangan bandingkan kami dengan demit-demit cecunguk andalanmu itu!" Ucap Raden Jaya Dwipa yang memastikan Ki Sedo Balanggawe sebagai orang terakhir yang menerima Santet Balung ireng sekaligus memusnahkan Trah Balanggawe di rumah itu.

*****

Lima belas tahun berlalu,
Udara panas di tengah malam membuat seorang anak muda terbangun dari tidurnya di sebuah rumah. Rumah itu adalah rumah yang tidak sengaja ia temui saat kabur dari rumah majikanya.

Saat ia keluar kamar terdengar suara seperti ada seseorang di dalam rumah itu.
Ia mencoba memperhatikan dengan khusuk dan akhirnya menemukan suara itu berasal dari kursi goyang yang ada di teras.

Pemuda itu berjalan keluar dan mendapati seorang pria tua tengah duduk sembari memainkan tongkatnya. Sejenak ia berfikir bahwa pria ini adalah pemilik rumah.

"Se.. sepurane mbah, kulo wes lancang masuk kerumah njenengan tanpa ijin" (maafkan saya mbak, saya sudah lancang masuk ke rumah mbah tanpa ijin) Ucap pemuda itu.

Namun bukanya mendapatkan jawaban, Kakek itu malah tertawa keras dengan suara mengerikan. Bersamaan dengan tawa itu, terdengar juga suara tawa lain dari seluruh penjuru rumah tanpa dapat terlihat asal dari suara itu.

Pemuda itu merasa ketakutan, ia berlari meninggalkan rumah itu dan terus berlari. Sepanjang jalan pelarianya, berbagai macam makhluk ghaib berdiri berjejer seolah mengarahkan bocah itu.

"Waktune wes teko" (Waktunya sudah tiba) Semua makhluk ghaib yang ia lewati meneriakan hal yang sama di telinganya.

Pemuda itu berlari hingga kelelahan dan terbaring tak sadar di salah satu rumah warga di sebuah desa.

Di pagi berikutnya pemuda itu terbangun, kali ini didepannya terdapat berbagai macam makanan dan seorang wanita yang sudah berumur.

Ia memaksakan dirinya untuk duduk dan mencoba memberi salam. Namun sebelum sempat berbicara, wanita itu membuka pembicaraan terlebih dahulu.

"Kamu asalnya dari mana le? Kok Ibu ndak pernah liat kamu di sekitar sini?" Tanya wanita yang menjaganya sambil menyelesaikan jahitan pada selendang yang ada di tanganya.

"Sa.. saya dari dusun ngalor bu. Saya kabur dari rumah majikan saya setelah tidak kuat atas siksaanya.." Jelas pemuda itu.

"Saya dikejar oleh preman suruhanya hingga tersesat di hutan" lanjutnya

Mendengar ceritanya, Wanita itu meletakan jahitan di tanganya dan mulai memperhatikan si pemuda.

"Kasihan kamu le.. terus bagaimana kamu bisa sampai ke sini?" sekali lagi wanita itu mencoba mencari tau asal-usul pemuda itu.

"Di hutan saya tersesat di sebuah rumah, saat terbangun sudah ada banyak demit di sana dan mulai mengejar saya hingga akhirnya terhenti di sini dan kehilangan kesadaran" Wanita itu berfikir sejenak, dia mengingat pelindung ghaib yang dia pasang di rumahnya. Mungkin itu yang membuat pemuda ini selamat dari kejaran demit-demit itu.

"Mohon maaf apabila saya sudah lancang masuk ke rumah ini, Saya ijin pamit bu" Ucap pemuda itu yang terlihat merasa tahu diri.

Sebelum sempat meninggalkan tempatnya, wanita itu menahanya.

"Sudah-sudah ga usah minta maaf.. kamu di sini dulu aja, tempat sini aman buatmu.. kalau kamu mau, kamu bisa membantu mengurus ternak milik keluarga saya" Wanita itu mencoba menawarkan kemungkinan terbaik untuk membantu pemuda itu.

"Yang bener bu.. Matur suwun sanget.. Ibu…"

"Sumiyati… Nama saya Sumiyati, panggil saja Bu Sum"

Pemuda itu segera menghampiri Wanita itu dan mencium tanganya untuk menyampaikan rasa terima kasih dan baktinya.

"Lha jenengmu sopo le?" Tanya wanita yang senang ketika pemuda itu menerima tawaranya.
*
*
"Nami kulo Toha bu..."

(SANTET BALUNG IRENG - TAMAT)
close