Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

PAGELARAN LUDRUK IRENG

Cerita ini merupakan asal mula dari cerita Ludruk Topeng Ireng yang kemarin saya share..

Narasumbernya sendiri dari salah satu warga sebut saja namanya Arjuna.

***

Mas Arjuna mendapatkan cerita ludruk ireng dari keluarganya yang ternyata terlibat langsung dengan kejadian ini jauh di tahun 1950an...

Dia menceritakan..
Kenapa ludruk ini dibentuk?
Kenapa ludruk ini memakan korban?
Bagaimana ludruk ini dulu dikalahkan?

Dan tak cukup sampai disitu, dia juga menceritakan mengenai tragedi akar permasalahan sebelumnya, silsilah dan pusaka keluarganya yang terlibat..


JEJAKMISTERI - Cerita ini terjadi beberapa tahun setelah negeri ini merdeka tepatnya di Blitar Era tahun 1950an...
Aku hidup di keluarga yang sangat kental dengan klenik dan ilmu batin, tak sedikit pusaka yang dimiliki oleh keluargaku mulai dari yang bersahabat hingga mengerikan.

Namaku Pudjo, aku tinggal di sebuah desa di kota Blitar yang masih jauh dari jangkauan pemerintah saat ini. Terlalu sulit untuk kami dan desa sekitar kami untuk mendapatkan kabar dan informasi apapun di luar sana.

Hal itulah yang membuat kami tidak dapat memastikan mengenai apa yang terjadi diluar sana. Salah satunya adalah mengenai wabah yang menyerang desa-desa dan menelan banyak korban.

Konon wabah ini adalah serangan sekumpulan makhluk ghaib ke sebuah desa yang menyebabkan kematian mendadak.

Dengan sedikitnya informasi yang ada, kami menjadi terlena dan sedikit tenang. Apalagi desa kami termasuk yang paling aman dengan adanya keluargaku yang dianggap mampu menjaga desa dari hal buruk dengan ilmu batin yang kami miliki.

Tapi persoalan kali ini berbeda, malam ini seharusnya aku bisa tidur dengan nyaman.. namun hawa malam hari berubah menjadi dingin, lebih dingin dari biasanya.. Hal ini membuatku terbangun. Ditengah rasa kantuku, samar-samar terdengar suara bisikan di telingaku.

“Le, kandani Bapakmu Benang Ireng wes ketok nang timur” (Le.. beri tahu ayahmu “Tali Hitam” sudah terlihat di timur)

Aku paham dengan suara ini, ini adalah suara dari ingon atau roh pelindung yang dimiliki keluargaku yang bernama Raden Segara Dwipa dan sudah menjaga keluargaku bahkan dari jaman Leluhur mataram kuno.

Walau ini sudah malam aku yakin bapak masih berada di pendopo keluarga, biasanya iya sedang beristirahat atau melakukan tirakatan.
Aku berlari menghampiri bapak, namun ketika sampai di pintu masuk pendopo hal yang tidak biasa terlihat di depan mataku.

Mataku melihat ke sekeliling. Pendopo ini terasa penuh dengan berbagai macam perewangan dari negeri Segoro Sewu yang berkumpul di tempat ini.
Ketika aku masih menerawang dengan apa yang terjadi, bapak memanggilku terlebih dulu.

“Le.. Panggil semua Rojo kesini ada yang harus bapak sampaikan”

Sepertinya bapak sudah mengetahui apa yang akan aku sampaikan melalui Roh pelindung lain yang saat ini menjadi peganganya. Aku segera paham dengan apa yang dimaksud bapak dan segera mengirim pesan untuk para Rojo.

Rojo yang dimaksud adalah sebutan untuk sepuluh bersaudara kakak beradik yang dipercayakan sepuluh pusaka keramat dari alam negeri yang berbeda-beda.

Salah satunya adalah Bapak yang dikenal dengan nama Pak Sukarjo yang dipercayakan Pusaka Keris Ireng dengan Raden Jaya dwipa dari negeri Sangkala sebagai Ingonya.

Aku mengirimkan pesan kepada mereka melalui bisikan ghaib untuk mengumpulakan mereka di “Rumah Waras” dimana seluruh keluarga besar kami bisa berkumpul dengan aman.

Dalam waktu tiga hari para Rojo yang kami undang sudah berkumpul, mereka membawa serta seluruh keluarga besar mereka sehingga rumah ini terasa cukup sesak namun untuk ke sepuluh rojo memiliki tempat sendiri untuk membicarakan bencana yang akan terjadi ini.

Ketika malam sudah mulai larut dan keluarga besar mulai beristirahat, aku dan para Rojo berkumpul di ruangan yang telah dipersiapkan, dan bapak membuka pembicaraan.

“Saya baru didatangin Raden Jaya, dari perkataanya akan ada wabah besar yang tiba ke desa kita dan ini bukan wabah biasa, wabah ini tidak akan berhenti dan terus berpindah”

Ke sembilan saudara bapak mengangguk-angguk seolah sudah mengetahui berita ini juga dari Roh pelindungnya masing-masing.

Salah satu adik bapak, Lek Warjo saudara yang dipercayakan dengan pusaka Keris Batara Abang dengan pelindung Patih MahaReksa dari Negeri Sedino mencoba menyampaikan penglihatan yang ia dapat.

“Lalu piye Kang Mas? soale penerawanganku iki ono hubungane karo kejadian jaman mbiyen”
(Lalu bagaimana Kang Mas? Soalnya penglihatanku ini ada hubunganya dengan kejadian masa lalu”

Seluruh keluarga yang ada di ruangan menoleh kepada Lek Warjo, mereka tahu kemampuan yang di miliki Lek Warjo adalah penerawangan yang bisa melihat semua hal yang terjadi di masa Lalu Bahkan Sejak Jaman Mataram Kuno.

“Maksudmu piye jo?” Tanya bapak memperjelas maksudnya.

“Menurut penerawangan saya, ini... ini semua ada hubunganya dengan tragedi Rojopati” Jawab Lek Warjo dengan sedikit gelisah.

“Rojopati? Yang benar kamu Jo?” Pakde Broto sedikit tidak percaya dengan ucapan Lek Warjo, ia adalah sesepuh tertua yang dipercayakan Pusaka keris Ronggolewu dengan pelindungnya Ki Ranu dari negeri Banyuwira.

“Kejadian Rojopati itu sudah terjadi lebih dari 25 tahun yang lalu, tidak ada sisa-sisa dari kejadian itu!” Kali ini Lek mardji pemegang Keris Nogonyowo dengan Patih Gadang Ireng dari negeri Sumuncak yang protes dengan pernyataan Lek Warjo.

“Bener Kang Mas tapi memang itu kenyataanya, itu penglihatan yang saya dapat” Ucap Lek Warjo, kali ini dengan suara yang lebih pelan.

Seluruh anggota keluar gelisah apabila ini benar-benar ada hubunganya dengan tragedi Rojopati.

“Ya sudah... sebelumnya kita hadapi masalah yang di depan kita dulu, mengenai wabah yang akan datang ini bagaimana kang mas?” Lek Giman pemegang pusaka Tombak Kuning dengan pelindung Cah Buto dari negeri Segara Buto mencoba meluruskan diskusi kami.

Bapak menghela nafas, ia benar-benar harus memutuskan sesuatu yang berat.

“Wabah ini disebabkan oleh kumpulan demit, jumlahnya bahkan bisa menghabisi satu desa..“ Walaupun terlihat bingung, suara bapak cukup tegas.

“Hanya ada satu cara untuk mengatasi wabah ini.. Pagelaran Ludruk Ireng harus Dilakukan!”

***

Ucapan Lek Warjo mengenai tragedi Rojopati saja sudah cukup mengagetkan, kali ini bapak memutuskan untuk mengadakan Pagelaran Ludruk ireng?

Seluruh anggota keluar mulai gelisah, karena siapapun tau.. Jika Ludruk Ireng sudah digelar berarti wabah yang dihadapi bukan wabah biasa. Apalagi persiapanya sama sekali tidak mudah.

Salah satu syarat yang paling berat adalah salah satu pemeran yang bermain ludruk ini harus seorang lelaki bujang yatim piatu berusia dua puluh lima tahun dan lahir dengan dengan Getih Anget.

Getih anget (darah hangat) adalah sebutan untuk mereka yang lahir dengan tubuh dan sukma yang khusus, tubuh mereka sangat mudah dirasuki oleh roh lain. Hal ini menjadi penting karena ia akan menjadi wadah bagi demit pembawa wabah itu sendiri.

Mencari orang seperti itu sangat sulit, selain karena kriteria sesulit itu nyawa sang pemain ludruk sudah pasti berada dalam bahaya.

Walaupun dengan berat hati, seluruh keluarga sepakat dengan Pagelaran ludruk ireng itu demi menyelamatkan seluruh desa dan agar wabah itu tidak menyerang tempat lain lagi.

Cukup lama untuk mengumpulkan pemain ludruk ireng sampai akhirnya bisa terkumpul. Untuk pemain utamanya diputuskan seorang anak bernama Toha yang bekerja di rumah Bude Sum.

Bude Sum sendiri saudara bapak yang dipercayakan pusaka Konde Prabu dengan pelindung nyai Solek dari negeri Sirep Abang. Ternyata Toha sengaja bekerja di keluarga bude sum karena Pusakanya mampu melindungi Toha dari para roh dan demit yang mencoba memanfaatkan Getih angetnya.

Dengan panduan dari Bapak, Ritual pembentukan kelompok Ludruk Ireng inipun dilakukan latihan untuk prosesi-prosesi menolak balapun berjalan dengan mudah.

Lek Endar pemegang Cambuk RogoPatih dengan panglima Putih dari negeri Pamangsa dan Lek Min pemegang Cambuk BatangSewu dengan Panglima Projo dari neger winasakti yang bertugas melatih pemain-pemain ini untuk melindungi diri dan menyelesaikan misinya.

Toha terlihat cukup mudah menerima pelajaran yang diajarkan oleh mereka sampai akhirnya kelompok ludruk ireng inipun siap untuk pentas.

***

Malam selasa kliwon, hawa dingin yang tidak biasa mendatangi desa.. sebuah panggung sudah berdiri tegak disana bersiap menampilkan pertunjukan Ludruk.

Di udara sedingin ini seluruh warga diwajibkan untuk menonton pertunjukan ini tanpa boleh ada seorang wargapun yang tinggal di rumah. Hal ini dimaksudkan agar tidak ada satupun warga yang lolos dari perlindungan kami.

Awalnya pertunjukan berjalan seperti biasa, warga terhanyut dengan peran yang dimainkan oleh kelompok ludruk ireng ini.

Namun perlahan warga merasakan kehadiran sosok lain yang menonton di sekitar mereka. Pertunjukan yang dimainkan oleh kelompok Ludruk ireng ini menarik minat para demit-demit ini.

Puncaknya di akhir acara Toha yang memiliki peran terpenting melakukan prosesi penarikan dimana seluruh Demit dan roh halus yang ada di sana tertarik dengan Getih anget yang ada di tubuh Toha.

Hawa dingin kembali bertiup menandakan aliran kekuatan demit-demit yang berebut untuk merasuki tubuhnya sebagai sang ludruk ireng.
Proses itu tidak berlangsung lama, hingga akhirnya suasana mencekam hilang dan kami tahu rencana kami berhasil.

“Bapak... Desa sudah bersih, acaranya berhasil pak” Ucapku dengan sedikit tenang.

“Iya le.. tapi bapak heran, setelah kemasukan demit sebanyak itu kok Toha masih segar bugar ya?” Lanjut bapak.

Benar juga, kerasukan satu demit saja sudah beratnya bukan main. Entah mengapa Toha masih segar bugar seperti tak terjadi apa-apa.

“Ya sudahlah, kita liat perkembanganya nanti di pertunjukan lain.” Lanjut bapak yang masih belum mengerti.

Setiap selasa kliwon Pagelaran Ludruk ireng diadakan dari desa kedesa, sebisa mungkin kami menyelamatkan seluruh desa yang berpotensi diserang demit-demit sesuai arahan dari roh pelindung kami masing-masing.

Seluruh rangkaian acara berjalan dengan lancar hingga akhirnya pertunjukan terakhir diadakan di Rumah Waras untuk atas petunjuk Bule Sumi pemilik selendang Pucuk Ayu denga pelindung Nyi Marni dari negeri Wetan, beliau beralasan agar diadakan di Rumah Waras untuk menyelesaikan dan membersihkan sisa-sisa ritual yang telah dijalani.
Kami menonton pertunjukan dengan senang, hiburan yang disajikan sungguh mampu membuat kami terhipnotis dengan tiap candaan dari kelompok ludruk ini. Namun aku sedikit merasa aneh dengan gelagat Pakde Yuti, iya memegang pusaka keris candrasewu di tanganya.

Padahal ini harusnya menjadi acara yang santai untuk menutup semua musibah.
Aku berharap ke khawatiranku hanyalah sebuah rasa gelisah biasa, hingga akhirnya acara ludrukpun selesai.
Kami bertepuk tangan sebagai bentuk apresiasi atas usaha mereka selama ini, dan lebih hebatnya lagi, tidak ada korban jiwa dari ritual ini.
Namun bukanya membubarkan diri, seluruh anggota ludruk malah berdiri di tempat, tepat di panggung kecil tempat mereka melakukan pertunjukan.

Kali ini berbeda dengan saat mereka tampil, mereka berdiri dengan tanpa sedikit ekspresipun di wajahnya.

“Ada apa ini, apa ada yang salah?” Para Rojo mempertanyakan kelakuan para pemain Ludruk itu.

Toha.. sang pemeran utama Ludruk ireng menunjuk kepada para Rojo dan menunjuk dengan wajah penuh emosi.

“Apa kalian Ingat dengan Nyi Laras? istri dari Ki Sedo?” Tanya Toha dengan tangan yang menunjuk ke para Rojo dengan gemetar.

Pakde Yuti berdiri, terlihat roh pelindung pusakanya Pangeran Aji Dwipa dari negeri Wetan Abang sudah berdiri di sebelahnya seolah bersiap akan sesuatu.

“Nyi Laras? Ki Sedo? Keturunan dari Trah Balanggawe.. itu yang kamu maksud?” Tanya Pakde Yuti.

Tangan Toha masih gemetar, kali ini wajahnya memerah.. bukan karena dandanan pemain ludruk, namun jelas terlihat itu semua dari emosinya yang seolah sudah tertahan lama.

“Ya... mereka, Mereka yang kalian BUNUH DENGAN SANTET BALUNG IRENG!!!!” Toha berteriak melampiaskan emosinya.

Bude Sum maju ke depan,
“Maksud kamu apa Toha..? Demit apa yang menguasai kamu?”

Terlihat bude sum merasa bertanggung jawab karena beliau yang merekomendasikan Toha untuk peran ini.

“Nyi Laras.. Yang kalian bunuh saat sedang mengandung, Dia adalah ibuku!”

Kali ini wajahnya terlihat sangat menyeramkan emosi marah dan sedih bercampur diwajahnya, seolah ia menangis tanpa bisa lagi air mata menetes dari matanya.

***

Hingga di akhir kekesalanya sebuah mantra kuno dibacakan oleh Toha..

Dalam sekejap ribuan siluman,demit alas berkumpul di belakangnya, Mereka semua adalah para penyebab wabah yang sengaja Toha sebagai Ludruk ireng Kumpulkan untuk membalas dendam kematian keluarganya.

“Sudah cukup... sudah cukup kebenaran yang kuketahui selama hidup bersamamu” Ucapnya sambil menunjuk kepada Bude Sumi.

“Ini adalah hari yang kunantikan, hari di mana aku bisa melihat manusia Biadap seperti kalian Mati!!!”

Suara alunan gamelan terdengar, kali ini bukan berasal dari alat musik, melainkan suara dari alam ghaib seolah menandakan mulainya peperangan.
Bapak maju membuka Jalan, seolah tak gentar dengan ancaman sang ludruk iya maju dan menantangnya.

“Apa kamu belum tau siapa yang berdiri didepanmu ini??” Seolah memberi komando seluruh Rojo berkumpul mendekati bapak dengan mempersiapkan pusakanya masing-masing.

“Inilah Hari Pembalasan Atas santet Balung Ireng Yang Menghabisi Keluargaku Kalian pun Harus mati dengan rasa sakit yang sama!!!” Toha mulai kehilangan kesadaran dan terbuai dengan nafsu membunuh yang merasuki dirinya.

Ratusan demit mulai menyerang, namun Lek Giman memanggil tombak kuningnya dan memerintahkan Cah Buto untuk menghalau ratusan demit yang mencoba menyerang Rumah Waras.

Berbagai kutukan dirapalkan oleh setan-setan demit alas, namun dengan selendang Ayu Bule Sumi semua kutukan itu terpental dan tak ada satupun yang melukai para Rojo.

Tak sedikit siluman yang berkeliaran mencoba mencari celah di sekitar kami tapi mereka semua terhempas dengan tarian kedua adik bapak Lek Endar dan Lek Marji yang memainkan cambuk pusakanya.
Bapak maju dan memperingatkan kelompok Ludruk itu sekali lagi.

“Kamu lihat? Tidak ada satupun kesempatanmu untuk menang melawan kami!”

***

Toha tidak, membalas.. ia masih mengamuk dengan dendam yang membakar seluruh amarahnya.

“Ini Adalah Perang Terakhir Akan Kupastikan keturunan Ki Rosyid dan Trah Banggalawe Habis tak bersisa!”

Teriak Bapak memimpin anggota keluarganya untuk menyelesaikan pertempuran ini.
Saat semua pusaka Rojo berkumpul, hampir tidak ada kekuatan ghaib yang bisa mengalahkanya. Setiap pusaka memiliki peranya masing-masing sehingga tidak ada celah untuk dikalahkan.

Pertempuran berlangsung semalam suntuk. Tidak ada yang tahu bagaimana proses dan ujung dari pertempuran ini.
Yang terjadi di akhir malam Para Rojo keluarga bapak berhasil bertahan hidup tanpa kekurangan suatu apapun.

Namun keberadaan para pemain Ludruk ireng itu tidak pernah ditemukan wujudnya. Seluruh panggung dan perlengkapan Ludrukpun hilang tanpa jejak, hanya tersisa sebuah topeng berwarna hitam tergeletak di tanah tepat di mana panggung itu berdiri.

Bapak yakin iya sudah menghabisi seluruh pemain ludruk dan keturunan Trah Banggalawe sisa-sisa Tragedi Rojopati, sebuah tragedi perang santet antar saudara seperguruan yang melibatkan dua tuan tanah dua puluh lima tahun yang lalu.

Namun tetap ada rasa khawatir di diri bapak apabila kejadian ini terulang lagi di masa depan dan ketika saat itu tiba tidak ada pusaka para Rojo yang bisa menghentikanya.

---===SEKIAN===---

Note :
Jujur, termasuk cukup sulit saya menulis cerita ini karena pengetahuan saya mengenai "Pusaka" dan "Ingon" masih kurang..

Mohon maaf jika ada salah kata, semua cerita di sini mohon disingkapi dengan bijak.. dan semoga tetap dapat menghibur.
close