Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

GENDHING ALAS KULON (Part 2 END)

Lanjutan kisah hidup seorang manusia dengan iblis yang bersemayam dalam dirinya.
...

BERHENTI!"

Sebuah teriakan lantang menggema! Aku bagai tersadar. Suasana mendadak berubah. Panggungnya hilang. Semua orang pun ikut menghilang menyisakan beberapa orang lelaki yang terkapar di tanah. Tapi tidak dengan penari itu.

Dia masih ada di hadapanku. Namun kini sosoknya berubah menyeramkan! Wajahnya penuh dengan luka yang membusuk. Matanya kosong melompong dengan darah hitam yang kental mengalir keluar dari rongganya! Nyi Arum Dalu!


GENDHING ALAS KULON Part 2 End

Setelah beberapa saat, aku berniat untuk pamit. Namun pak Marsudi bersikeras menahanku dan malah memintaku untuk menginap.

Dia beralasan kalau dia takut Nyi Arum Dalu datang lagi. Dan dia percaya kalau aku mampu melawannya. Walah! Gimana ini?

Aku tak kuasa menolak permintaan itu. Pak Marsudi dan istrinya nampak sumringah. Namun aku merasa kalau ada hal lain yang membuat mereka jadi sebahagia itu. Dan kelak aku tau apa yang membuat mereka jadi begitu.

Esok paginya, sejak bangun tidur, aku diperlakukan bak seorang raja. Sehabis mandi, aku dijamu dengan sarapan yang terbilang mewah.

Bahkan saat melihat bungkus rokok yang tersembul di kantong jaketku, pak Marsudi langsung membelikanku rokok yang sama lima slop sekaligus!

Ini kalau Mayang Kemuning sampai tau, bisa ngamuk dia!

Seusai sarapan, aku diajak untuk duduk-duduk di teras rumah. Tapi di luar dugaan, ternyata sudah ada beberapa orang yang menunggu di sana. Mau apa mereka?

Ketika melihatku muncul, seorang wanita langsung berdiri dan hendak mencium tanganku. Aku pun menolaknya. Ini ada apa?

"Mas, tolong saya mas, tolong cari dan temukan mas Bejo, suami saya. Sudah hampir 3 tahun dia hilang di Alas Kulon. Tolong mas..." Ucap wanita itu dengan nada memelas.

Aku tertegun untuk sesaat. Wajah sedihnya sungguh membuatku iba. Tapi belum sempat aku menjawab, seorang lelaki tua ikut berdiri dan langsung menghampiriku sambil menunduk hormat. "Tolong saya juga mas. Tolong temukan anak saya. Dia juga hilang di hutan itu."

Aku tak mampu berkata-kata. Kini seolah ada beban berat di pundakku. Betapa hatiku tersentuh melihat harapan yang menyala di mata mereka.

"Kalian semua tenang dulu. Biarkan mas Yudha ini duduk dulu." Pinta pak Marsudi coba atasi suasana.

Mereka pun menurut lalu kembali duduk sambil memandangku dengan tatapan penuh asa. Hatiku langsung nelangsa. Aku tak mampu menahan haru bila itu menyangkut tentang keluarga. Semua itu mengingatkanku pada kedua orang tuaku yang telah tiada.

"Bapak dan ibu semuanya, saya ini hanya orang biasa. Tapi saya akan berusaha untuk mencari keluarga kalian. Semoga saja mereka bisa ditemukan dengan selamat. Berdoa saja mudah-mudahan Allah meridhoi usaha saya nanti."

"Terima kasih mas! Terima kasih!" Ucap wanita tadi spontan mendekat lalu bersimpuh hendak mencium lututku. Tentu saja aku menghindar dan memintanya untuk kembali ke tempat duduknya.

"Sekarang lebih baik bapak dan ibu pulang saja dulu." Pintaku dengan sopan.

Namun mereka nampak keberatan hingga pak Marsudi harus meyakinkan mereka. Akhirnya mereka pun membubarkan diri.

"Memangnya sudah berapa banyak orang yang hilang pak?" Tanyaku pada pak Marsudi setelah orang-orang itu pergi.

"Banyak mas. Mungkin puluhan. Sebenarnya ada beberapa orang yang bisa kembali, tapi mereka semua jadi kurang waras."

Ya Allah.. Leherku tercekat mendengarnya. Tapi memang harus kuakui, kekuatan hitam yang kurasakan itu memang tergolong dahsyat. Pantas saja akibatnya bisa begitu fatal.

Lalu dari dalam rumah, datang istri pak Marsudi bersama si gadis cantik berambut panjang lalu ikut duduk di samping pak Marsudi. Gadis itu terlihat berbeda kalau tak mau dibilang makin cantik dengan dandanannya.

"Mas Yudha, ada yang hendak kami sampaikan." Ucap pak Marsudi.

"Ada apa pak?" Sahutku penasaran melihat mereka semua saling pandang.

Sebelum menjawab, Pak Marsudi melirik ke arah gadis itu yang langsung mengangguk lalu menunduk dengan wajah merona merah.

"Waktu Bayu hilang dan kami kesulitan menemukannya, kami sampai bernazar, barang siapa bisa menemukan Bayu, kalau dia perempuan, akan kami beri hadiah sebidang tanah dan juga kami anggap saudara. Tapi kalau dia laki-laki, akan kami nikahkan dengan Dara, adiknya Bayu ini."

DHUAAARR !

Aku langsung melongo! Kenapa jadi begini? Lagi-lagi urusan perempuan!

"Eh, nggak perlu sampai begitu pak! Saya ikhlas kok menolong Bayu! Lagi pula saya ketemu Bayu kan secara tak sengaja?" Ucapku coba berkilah.

"Nggak masalah mas. Apa pun itu, mas Yudha adalah orang yang telah menyelamatkan Bayu. Jadi kami mohon ijinkan kami menunaikan nazar kami." Ucap pak Marsudi memaksa.

"Aduh pak, gimana ya? Saya nggak bisa."

"Memangnya kenapa? Apa mas Yudha ini sudah menikah? Nggak masalah. Dara siap jadi istri kedua. Iya kan nak?" Jawab pak Marsudi sambil memandang ke arah Dara yang kembali mengangguk tersipu.

"Saya belum menikah pak. Tapi saya sudah punya tunangan."

"Lho, apalagi baru tunangan. Belum tentu jadi toh?"

Ya ampun! Maksa banget! Belum tau saja dia! Ini bisa memicu perang besar yang imbasnya bisa lebih menakutkan dari teror Nyi Arum Dalu!

"Gimana? Apa mas Yudha bersedia?" Tanya pak Marsudi pantang menyerah.

"Aduh, maaf pak. Saya benar-benar nggak bisa. Gini aja, bagaimana kalau saya dan Dara jadi saudara saja? Jadi adik-kakak gitu? Bisa kan?" Pintaku coba menawar sambil melirik ke arah Dara yang justru nampak kecewa.

Sejenak pak Marsudi merenungi permintaanku. Dia nampak berpikir keras. Selagi dia begitu, aku pun coba utarakan pendapatku demi membuatnya berubah pikiran.

"Menurut saya, bapak ini sudah menunaikan nazar bapak dengan menawarkannya pada saya. Dan bukan salah bapak kalau saya menolak. Lagi pula, ikatan saudara sama kuatnya dengan ikatan pernikahan." Ucapku berharap mampu mempengaruhinya.

"Baiklah. Saya rasa ucapan mas Yudha ada benarnya. Gimana Dara? Kamu mau kan jadi adiknya mas Yudha? Kamu jadi punya kakak laki-laki dua orang lho." Ujar pak Marsudi yang seketika membuatku lega.

Tapi tidak dengan Dara. Gadis cantik itu nampak murung sambil menjawab dengan pelan. "Terserah mas Yudha saja."

"Alhamdulillaah.." Batinku berucap lega. Bayangan amukan Mayang Kemuning beserta bala tentaranya seketika sirna.

"Bagaimana kondisi Bayu pak?" Tanyaku coba untuk alihkan pembicaraan.

"Dia masih istirahat. Tapi kondisinya sudah jauh lebih baik." Jawab pak Marsudi.

Istri pak Marsudi yang sejak tadi diam akhirnya ikut angkat bicara. "Lalu bagaimana rencana mas Yudha selanjutnya? Apa mas Yudha benar-benar akan kembali ke Alas Kulon untuk mencari yang lainnya?" Tanya wanita itu.

"Iya bu. Hari ini juga saya akan kembali ke sana. Doakan saja supaya saya bisa berhasil."

Mendengar jawabanku, pak Marsudi berdecak kagum sambil geleng-geleng kepala.

"Luar biasa.. Saya sudah yakin kalau mas Yudha ini bukan orang sembarangan. Buktinya tak nampak rasa takut pada diri mas Yudha. Senang rasanya punya anak angkat macam mas Yudha begini. Iya kan bu?"

"Iya betul. Sebenarnya kalau boleh jujur, saya lebih senang kalau mas Yudha ini jadi menantu kami. Tapi jadi anak angkat pun sudah lebih dari cukup." Jawab istri pak Marsudi.

Mataku langsung tertuju ke arah Dara yang hanya diam sambil meremas-remas jemarinya. Entah apa yang ada dalam pikiran gadis itu. Semoga saja dia ikut senang dengan keputusanku.

***

Siang hari setelah sholat Zuhur, aku pun pamit. Pak Marsudi beserta beberapa orang ikut mengantarku sampai ke tepi hutan.

"Semoga berhasil mas Yudha. Maaf kalau kami tak bisa ikut membantu." Ucap pak Marsudi.

"Terima kasih pak. Mudah-mudahan saya bisa menemukan mereka. Doakan saja. Saya pamit dulu."

Aku pun kembali masuk ke dalam hutan diiringi tatapan mata penuh harap dari setiap orang.

Tapi baru sebentar saja aku berada di dalam hutan ini, langsung terasa kekuatan itu kembali menyelimuti. Auranya begitu hitam, penuh amarah dan dendam.

Aku terus melangkah menuju tempat dimana aku menemukan Bayu semalam. Ilmu pelindung raga sudah kupersiapkan. Pukulan pemusnah pun siap di kedua tangan. Sembari membuka mata lebar-lebar berharap bisa menemukan sesuatu.

Hingga akhirnya diriku sampai di tempat tujuan. Aura magis itu kian kuat. Aku menduga kalau tempat ini dulunya adalah tempat dimana Nyi Arum Dalu menyembelih para korbannya.

Namun aneh, tempat ini begitu sunyi. Meski aura jahatnya kuat terasa, namun tak ada tanda-tanda kehadiran mahluk halus di sini. Jangankan Nyi Arum Dalu, demit hutan pun tak nampak.

"Mungkin aku harus menunggu sampai malam." Batinku coba membesarkan hati. Akhirnya aku putuskan untuk meninggalkan area ini demi menjelajah ke tempat lain.

Sebenarnya tujuan utamaku adalah untuk mencari orang-orang yang hilang. Bila aku bisa menemukan mereka tanpa harus berhadapan dengan Nyi Arum Dalu, itu jauh lebih baik.

Namun setelah beberapa jam menjelajah, usahaku seperti sia-sia. Aku seperti sendirian di hutan ini. Hingga hari menjelang sore, aku tak juga menemukan apa-apa. Lalu kuputuskan untuk kembali saja ke tempat tadi.

Sejenak aku berpikir, kenapa aku tidak bisa menemukan apa-apa? Padahal kemarin begitu banyak demit hutan yang kutemui. Kenapa sekarang mereka seolah lenyap?

Apa jangan-jangan kekuatan hitam itu begitu hebat menguasai sampai-sampai para demit pun ikut menyingkir? Bisa jadi.

Atau mungkin aku mencari dengan cara yang salah? Sejak tadi aku memang mencari dengan mata kasar. Mungkin aku harus menggunakan mata batin agar bisa mendapat sudut pandang yang berbeda.

Akhirnya setelah sholat Magrib, aku langsung duduk bersila, memejamkan mata, mohon petunjuk Yang Maha Kuasa demi bisa menemukan apa yang aku cari.

Dalam posisi semedi, sejenak suasana masih sunyi. Namun tiba-tiba telingaku mendengar suara yang sejak tadi aku tunggu-tunggu, bunyi gamelan...

Neng.. Nong.. Neng.. Gung..

Perlahan kubuka mata, astaga! Aku tersentak tak percaya dengan apa yang kini kusaksikan!

Aku seperti berada di tempat lain. Aku bagai ada di tengah-tengah ramainya sebuah pesta pertunjukan. Suasananya begitu meriah. Setiap orang nampak bahagia sambil tertawa. Mereka bagai tenggelam dalam kegembiraannya masing-masing hingga tak memperdulikan kehadiranku.

Di atas panggung, nampak ada sejumlah lelaki yang sedang menari mengelilingi seorang wanita diiringi para penabuh gamelan dan gendhang.

Suara musiknya mengalun merdu hingga membuatku terhanyut dalam iramanya. Kini aku seperti ikut merasakan kegembiraan yang sama dengan mereka.

Mataku terus tertuju pada sang penari. Dia begitu mempesona. Belum pernah aku melihat wanita secantik dia.

Luar biasa...

Gerakannya yang lemah gemulai sungguh membangkitkan hasrat. Tatapan matanya seolah membiusku. Hingga tanpa sadar, diriku tergerak untuk naik ke atas panggung demi menghampirinya.

Orang-orang yang ikut menari satu persatu menyingkir seolah memberikan jalan. Sang penari perlahan mendekatiku sambil terus melenggak-lenggok hingga akhirnya kami saling berhadapan.

Tubuhnya begitu harum. Kulitnya putih bersih, serasi dengan pakaian dan segala perhiasan yang dikenakannya. Bak seorang bidadari yang turun dari khayangan.

Hal itu membuatku lupa diri. Aku jatuh cinta pada pandangan pertama. Dia terus sunggingkan senyum yang membuatku seolah terbang ke awang-awang.

Bagai dituntun, aku ikut menari bersamanya. Padahal seumur hidup aku belum pernah menari. Tapi aku tak perduli. Hatiku bahagia. Aku ingin selalu ada di dekatnya.

Jarak kami kini begitu dekat. Bisa kurasakan hembusan napasnya hangat menerpa wajahku. Lalu dia mengalungkan selendangnya ke leherku, aku pun menyambutnya dengan tangan terbuka.

Penonton riuh bertepuk tangan. Suasana pun kian meriah. Tabuhan musik kian keras. Sang penari bergerak makin berani. Aku makin mabuk kepayang. Diriku benar-benar hilang kendali.

Tubuh kami saling bersentuhan. Bibirnya yang merah mendekat ke telingaku lalu berbisik manja, "Teruslah menari bersamaku, aku milikmu selamanya."

Tariannya makin menggila seiring alunan musik yang kian cepat. Aku pun tak mau kalah. Sebisa mungkin aku mengimbangi setiap gerakannya.

Lalu tiba-tiba...

"BERHENTI!"

Sebuah teriakan lantang menggema! Aku bagai tersadar. Suasana mendadak berubah. Panggungnya hilang. Semua orang pun ikut menghilang menyisakan beberapa orang lelaki yang terkapar di tanah.

Tapi tidak dengan penari itu...

Dia masih ada di hadapanku. Namun kini sosoknya berubah menyeramkan! Wajahnya penuh dengan luka yang membusuk. Matanya kosong melompong dengan darah hitam yang kental mengalir keluar dari rongganya! Nyi Arum Dalu!

Tapi hidungku malah mencium aroma bunga melati yang amat kukenali. Lalu mendadak muncul Mayang Kemuning yang tiba-tiba saja sudah berdiri di sampingku dan langsung berteriak lantang!

"Heh perempuan setan! Mau coba-coba main gila ya?!" Pekik Mayang sambil menunjuk-nunjuk ke arah Nyi Arum Dalu.

"Mayang?" Ucapku seolah tak percaya.

"Mundur Yud! Biar kuberi pelajaran penari sundel yang satu ini!" Sahut Mayang Kemuning dengan wajah penuh emosi sambil mendorong tubuhku lalu menyingsingkan kain kuningnya.

"Jangan Mayang! Bahaya!" Ucapku padanya.

Tapi terlambat. Mayang Kemuning sekonyong-konyong melayangkan sebuah tamparan keras ke arah wajah Nyi Arum Dalu!

PLAK!

Nyi Arum Dalu langsung terpental jauh! Namun dia cepat bangkit dan langsung menyeringai memperlihatkan barisan giginya yang busuk dan menghitam.

Tapi Mayang Kemuning sepertinya tak takut. Dia malah merangsek maju lalu kembali menampar wajah Nyi Arum Dalu berkali-kali dengan lebih keras!

PLAK! PLAK!

"Ayo! Mana tarian mesummu tadi hah? Aku mau lihat! Kuhabisi kamu sekarang juga!" Hardik Mayang Kemuning.

Tapi Nyi Arum Dalu tak mampu melawan. Aku yang tadinya khawatir dengan keselamatan Mayang Kemuning, kini malah cuma jadi penonton saja.

Mayang Kemuning benar-benar membuat Nyi Arum Dalu tak berkutik. Sosoknya yang menyeramkan kini jadi bulan-bulanan amukan Mayang Kemuning yang terus menghajarnya sambil ngomel-ngomel bak seorang istri yang sedang melabrak pelakor!

Hingga akhirnya satu tamparan dahsyat dari Mayang Kemuning langsung membuat Nyi Arum Dalu meraung keras lalu berubah jadi asap hitam yang mengepul kemudian menghilang tanpa bekas! Sukar dipercaya!

Suasana mendadak sunyi. Sekelilingku telah kembali pada tampilan aslinya. Hutan yang lebat dan dingin. Mayang Kemuning nampak sunggingkan senyum sinis sambil menepuk-nepuk kedua telapak tangannya.

Aku cuma bisa diam terpaku. Lalu Mayang Kemuning menoleh ke arahku sambil melotot! Waduh!

"Kamu ya! Kamu itu bener-bener keterlaluan! Nggak bisa ditinggal meleng sedikit saja, tau-tau sudah asyik menari sama perempuan sundel tadi!" Makinya sambil bertolak pinggang dengan wajah penuh amarah.

"Eh? Nggak gitu! Sebenarnya aku juga mau musnahkan dia!" Jawabku coba membela diri.

"Halah! Musnahkan apanya? Lah wong tadi kamu malah asyik joget gitu? Selendangnya saja masih ada di lehermu!" Sahut Mayang sambil menunjuk-nunjuk.

Astaga! Aku baru sadar kalau selendang Nyi Arum Dalu masih melingkar di leherku! Segera saja kucampakkan selendang itu ke tanah lalu dengan anehnya langsung lenyap tanpa bekas.

"Maaf Mayang, aku tak tau kenapa aku bisa terhipnotis seperti itu. Aku benar-benar tak sadar. Maafkan aku." Ucapku sembari pasang wajah menyesal berharap dapat meredam emosi Mayang Kemuning.

"Maaf! maaf! Kalau tadi aku tak cepat datang, mungkin kamu dan perempuan tadi sudah kawin!" Hardik Mayang lagi.

Aku tak mampu menjawabnya. Mungkin Mayang ada benarnya. Aku benar-benar lupa diri tadi. Kini aku cuma bisa pasrah. Terserah Mayang mau apa.

Lalu tiba-tiba terdengar suara orang yang mengerang. Rupanya salah satu dari lelaki yang terkapar tadi kini nampak mulai siuman.

"Saya ada dimana?" Tanya lelaki itu kemudian.

Aku bergegas menghampirinya. Tapi seperti apa yang terjadi dengan Bayu, dia langsung ketakutan. Untung saja dia tak melihat sosok Mayang Kemuning yang masih melotot tak jauh darinya.

"Tenang pak. Jangan takut. Saya ingin menolong bapak. Bapak ada di dalam hutan. Tapi saya akan bawa bapak pulang."

Dia pun mengangguk meski terlihat masih linglung. Aku langsung membantunya untuk duduk. Bersamaan dengan itu, para lelaki yang lain juga nampak mulai siuman.

"Mayang, sudah dulu ya berantemnya? Aku mau menolong mereka dulu." Pintaku pada Mayang yang kini berdiri sambil bersedekap tangan dengan wajah cemberut.

"Ya sudah! Tapi urusan kita belum selesai! Awas kamu! Aku bejek-bejek kamu nanti!" Ucapnya geregetan lalu menghilang.

Hufffth.. Lega rasanya.

Demi melihatku seperti berbicara sendiri, para lelaki tadi jadi kebingungan. Aku pun berusaha menenangkan mereka lalu coba bertanya.

"Apa kalian semua warga desa Randu Kembar?"

Beberapa dari mereka mengangguk, sebagian lagi menggeleng. Rupanya bukan hanya warga desa Randu Kembar saja yang di teror Nyi Arum Dalu.

Lalu mereka semua kubawa menuju kemahku untuk sejenak memulihkan diri. Bukan apa-apa, kondisi mereka sungguh mengenaskan. Saat kutanya apa yang selama ini mereka makan, mereka menjawab tak tau.

Selama ini mereka merasa ada dalam sebuah pesta dengan begitu banyak makanan dan minuman yang tersedia, entah apa.

Bahkan mereka merasa kalau mereka baru sebentar saja ada dalam pesta itu. Padahal kenyataannya mereka telah menghilang cukup lama. Sungguh di luar nalar.

***

Esok harinya, pagi-pagi sekali, kami pergi meninggalkan hutan menuju desa Randu Kembar. Meskipun masih lemah, namun kondisi mereka nampak lebih baik.

Ketika akhirnya kami sampai di tepi hutan, seorang warga yang melihat kami langsung berteriak-teriak memanggil warga yang lainnya.

Warga desa pun berdatangan. Mereka yang merasa kehilangan keluarga langsung memekik histeris memanggil-manggil.

"Ya Allaaaaah! Mas Bejoooo!" Jerit wanita yang kemarin begitu melihat suaminya yang selama ini hilang ada di antara lelaki yang datang bersamaku.

Begitu pula dengan yang lain. Hingga tempat ini tiba-tiba saja jadi ajang melepas rindu. Mereka saling berpelukan sambil menangis.

Namun ternyata ada beberapa warga yang tak dapat menemukan anggota keluarganya yang hilang di antara orang-orang yang aku bawa.

Aku pun meminta mereka untuk tabah, karena aku yakin kalau keluarga mereka yang hilang itu telah tewas jadi korban Nyi Arum Dalu di dalam hutan sana.

Sebagai ungkapan rasa syukur, pak Marsudi menggelar acara syukuran yang dihadiri oleh seluruh warga desa. Mereka semua bahagia. Teror menakutkan yang membelenggu mereka selama puluhan tahun akhirnya musnah.

Tak henti-hentinya mereka mengucapkan terima kasih padaku. Padahal bukan aku yang telah melenyapkan Nyi Arum Dalu. Tapi apa yang harus kukatakan pada mereka? Aku tak mungkin bilang kalau Mayang Kemuning yang melakukannya. Terlalu rumit untuk dijelaskan.

Selama acara syukuran, Dara tak henti-hentinya terus menatapku dengan wajah penuh harap. Seolah ada rasa yang tersimpan di balik mata dan senyumannya. Tapi kucoba mengabaikannya. Aku tak mau cari masalah.

Semoga saja dia tak benar-benar jatuh cinta padaku. Kuharap kalau itu hanya sekedar kekaguman sesaat. Sudah terlalu banyak gadis yang kukecewakan demi mempertahankan pilihanku pada Mayang Kemuning. Aku tak mau Dara jadi salah satunya.

Acara syukuran pun selesai. Tiba waktunya bagiku untuk ucapkan selamat tinggal pada desa ini.

Pak Marsudi dan istrinya nampak berat melepasku pergi. Apalagi Dara. Gadis itu terlihat sedih. Aku pun menghibur mereka dengan berjanji suatu saat aku akan datang berkunjung lagi.

"Selamat jalan anakku. Hati-hati di jalan. Jangan lupa, kamu sekarang punya keluarga di sini. Kamu bisa datang kapan pun kamu mau. Kami akan dengan senang hati menyambutmu." Ucap Pak Marsudi lalu memelukku erat-erat.

Begitu pula dengan istri pak Marsudi. Dia pun memelukku tanpa bisa berkata-kata. Nampak air mata haru meleleh di pipinya.

Namun tidak dengan Dara. Dia langsung berlari masuk ke dalam rumah. Sepertinya dia tak mampu menguasai perasaannya.

Sampai sekarang aku masih bingung. Bagaimana bisa dia jatuh cinta padaku hanya dalam waktu yang singkat? Namun aku sadar. Dalamnya hati tak ada yang bisa mengukur. Cinta bisa datang kapan saja. Tak ada yang mampu mencegahnya.

Lambaian tangan setiap orang mengiringi langkahku yang kian menjauh. Namun tiba-tiba Dara menyeruak dari kerumunan sambil mengacung-acungkan bungkusan berisi lima slop rokok pemberian pak Marsudi yang rupanya tertinggal.

"Maaas! Rokoknya ketinggalan!" Pekiknya di sana. Aku pun berbalik hendak mengambilnya. Sayang juga kan? Lumayan buat stok beberapa bulan.

Tapi baru beberapa langkah, tiba-tiba muncul Mayang Kemuning yang berdiri tak jauh dariku sambil bersedekap tangan.

"Bagooooos! Rokok teroooos!" Ucap Mayang Kemuning dengan bibir monyong menyindir.

Langkahku langsung terhenti. Kini aku cuma bisa cengar-cengir sambil garuk-garuk kepala. Namun Dara malah datang berlari menghampiriku. Bagusnya, dia tak mampu melihat kehadiran Mayang Kemuning.

"Mas, ini rokoknya." Ucap Dara sembari menyodorkan bungkusan tadi.

"Eh, nggak usah deh Ra. Lebih baik kamu bagi-bagikan saja pada warga desa. Anggap saja itu kenang-kenangan dari saya." Sahutku lalu cepat-cepat berbalik pergi begitu melihat Mayang Kemuning mengacung-acungkan kepalan tangannya.

"Iya! Iya! Nggak jadi kok!" Ucapku sambil melangkah terburu-buru meninggalkan Dara yang cuma bisa melongo.

------- SELESAI ------

Terima kasih telah menyimak cerita ini. Nantikan lanjutan kisah perjalanan hidup Yudha pada episode-episode berikutnya!
close