Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

GENDHING ALAS KULON (Part 1)

Lanjutan kisah hidup seorang manusia dengan iblis yang bersemayam dalam dirinya.
...

Pada batang-batang dahan pepohonan, nampak bergelantungan begitu banyak potongan tubuh manusia!

Ada potongan lengan, kaki, dan bagian tubuh lain yang entah bagaimana tersampir begitu saja pada dahan-dahan pohon yang ada di sekeliling kedua orang yang tengah menari itu...


GENDHING ALAS KULON Part 1

"Aaaaah...."

Kuhirup udara segar yang terasa begitu sejuk sampai ke paru-paru. Sudah lama tak kurasakan suasana seperti ini. Tentram dan damai di antara hijaunya dedaunan.

Sore ini, aku sedang berada di tengah hutan di lereng sebuah gunung legendaris di pulau Jawa. Liburan panjang kali ini sengaja kugunakan untuk menjelajah alam yang memang sudah lama tidak kulakukan.

Aku pun sengaja menolak ajakan teman-temanku yang hendak pergi liburan ke Bali yang mana telah lama mereka rencanakan.

"Bali lho Yud! Ini ke Bali! Masa kamu nggak mau ikut?" Ucap Budi kala itu saat dia coba membujukku untuk ikut.

Tapi aku cuma menggeleng sambil tersenyum. "Nggak. Nggak apa-apa. Aku nggak ikutan deh, kalian aja."

"Ya Allah Yud, kenapa sih? Nggak punya duit? Gampang lah itu, Santai aja." Ucap Budi lagi tak mau menyerah.

Aku kembali menggeleng. Ini bukan masalah uang. Tapi aku memang tak terlalu suka dengan tempat-tempat yang cenderung ramai.

Aku lebih suka tempat seperti ini. Sunyi, sepi, hanya ada aku dan alam. Semua ini seolah mengingatkanku akan kebesaran Tuhan.

Betapa kecilnya diriku di tengah ciptaan-Nya yang luar biasa ini. Sekedar pengingat agar kita tidak menyombongkan diri.

Ditambah lagi sejak kecil diriku memang akrab bergaul dengan hutan dan pegunungan. Seolah semua itu ditakdirkan untuk jadi bagian dari hidupku. Barisan pepohonan beralaskan hijaunya daun dan rerumputan, serasa jadi rumah kedua.

Bagaimana tidak? Bagiku, hutan dan gunung adalah tempat terciptanya segala suka dan duka.

Hutan pernah menjadi tempatku menempa diri sejak kecil. Dan di hutan pula diriku menyaksikan nyawa bapakku direnggut. Bahkan di hutan pula takdir menuntunku untuk bertemu dengan Mayang Kemuning, calon istri gaibku.

***

Tempat ini begitu sunyi. Tapi memang ini lah yang aku cari. Aku sengaja menempuh rute yang tak lazim guna menghindari bersinggungan dengan para pendaki demi kenyamananku sendiri.

Kuhirup kopi dari bibir gelas. Rasanya begitu nikmat. Kuambil sebatang rokok kretek dari saku jaket yang langsung kubakar dan kuhisap asapnya dalam-dalam lalu kuhembuskan ke udara.

Sebentar kepalaku celingak-celinguk. Bukan apa-apa, Mayang Kemuning paling tak suka bila aku merokok. Dia bisa tiba-tiba saja muncul lalu ngomel-ngomel sambil berkata, "Mau cepet mati kamu?"

Tapi sepertinya aman. Mungkin calon istriku itu sedang sibuk di alamnya sana. Meski selama ini dia begitu posesif, namun dunianya bukan hanya tentang diriku saja.

Selepas magrib, hutan pun berangsur gelap dan dingin. Tapi tak masalah. Susunan api unggun sederhana telah siap untuk menemaniku melewati malam ini.

Malam ini juga aku berniat untuk bersemedi. Sejenak mengheningkan cipta di tengah suasana yang sangat mendukung. Apalagi hari ini tidak turun hujan.

Mudah-mudahan segalanya berjalan sesuai harapanku. Karena sejak tiba di sini, aku merasakan ada sesuatu yang lain dalam hutan ini. Mahluk halus? Tentu saja ada. Sejak tadi sudah kujumpai berbagai bentuk dan rupa dari mereka.

Tapi selama mereka tak mengganggu, aku pun tak berniat untuk mengusik. Ini rumah mereka, sedangkan aku hanya bertamu saja.

Tapi masalahnya bukan itu. Ada hawa lain yang begitu kelam seolah menyelimuti tempat ini.

Aku jadi sedikit menyesal kenapa memilih berkemah di sini. Tapi mau bagaimana lagi? Sudah terlanjur. Aku tak mungkin pindah lokasi malam-malam begini. Bismillah saja.

Setelah sholat Isya, aku pun bersiap-siap di dalam kemah. Atur posisi duduk bersila, memejamkan mata, lalu siap untuk masuk ke dalam sebuah frekuensi penyambung rasa dengan lingkungan sekitarku.

Tapi baru sebentar saja, telingaku tiba-tiba mendengar sesuatu. Seperti ada suara gamelan diiringi tabuhan kendhang yang mengalun timbul tenggelam di luar sana.

Neng.. Nong.. Neng.. Gung...

Kubuka mata lalu sejenak pasang telinga. Apakah ini nyata? Tapi siapa pula yang main gamelan di tengah hutan malam-malam begini?

Meskipun sayup, suara gamelan itu terdengar begitu merdu hingga mampu membuatku terhanyut lalu tanpa sadar melangkah keluar dari dalam kemah.

Di depan api unggun yang masih menyala, mataku menjelajah sekeliling demi mencari sumber suara itu. Entah mengapa seperti ada dorongan kuat hingga membuatku seolah tak sabar ingin segera menemukannya.

Kakiku bagai dituntun untuk melangkah mengikuti kemana arah suara itu berasal. Mudah saja, dengan mata ularku, segalanya nampak terang benderang bagai siang hari.

Diriku terus melangkah jauh meninggalkan kemah. Alunan suara itu kian keras, dan makin keras. Namun sepanjang langkah, aura kelam yang terasa sejak tadi seolah makin kuat dan kian mengikat.

Hingga akhirnya langkahku terhenti di satu tempat, dimana diriku langsung tersentak menyaksikan pemandangan aneh yang terpampang di hadapanku...

Di sana, tak jauh dari tempatku berdiri, kulihat ada seorang pemuda yang sedang menari bersama seorang wanita di tengah alunan musik tanpa wujud pengiringnya.

Keduanya menari begitu anggun. Gerakan mereka seirama. Melenggak-lenggok bak pasangan sejati yang telah menari bersama-sama dalam waktu yang lama.

Meski begitu, penampilan keduanya sungguh bertolak belakang. Si pemuda nampak mengenakan pakaian lusuh yang compang-camping. Tubuhnya begitu kumal. Rambutnya acak-acakan. Wajahnya nampak belepotan dengan tanah yang kering dan berkerak.

Sebaliknya, si wanita nampak mengenakan pakaian khas seorang penari lengkap dengan segala perhiasan berikut selendangnya. Namun wajahnya tak terlihat karena sejak tadi dia menari dengan posisi memunggungiku.

Dengan tampilan mereka yang seperti itu, aku yakin kalau mereka bukan manusia.

Lagi pula manusia mana yang menari di tengah hutan malam-malam begini? Apalagi aura kelam yang kurasakan sejak tadi kini seolah ada pada puncaknya.

Namun ternyata keanehan bukan hanya sampai di situ. Saat kuperhatikan sekeliling, baru kusadari kalau ternyata ada pemandangan lain yang mengerikan hingga membuat bulu kudukku seketika berdiri..

Di atas sana, pada batang-batang dahan pepohonan, nampak bergelantungan begitu banyak potongan tubuh manusia!

Ada potongan lengan, kaki, dan sejumlah bagian tubuh lain yang entah bagaimana tersampir begitu saja tersebar pada dahan-dahan pohon yang ada di sekeliling kedua orang yang tengah menari itu. Ya Allah...

Mendadak alunan gamelan terhenti. Pasangan itu pun sontak menghentikan tariannya. Sekonyong-konyong si pemuda terkulai lemas lalu ambruk ke tanah. Sedangkan si wanita perlahan-lahan menoleh ke arahku..

Astaga!

Wajah wanita itu ternyata amat menyeramkan! Wajahnya penuh luka yang membusuk dengan darah hitam kental yang meleleh keluar dari rongga matanya yang kosong melompong!

Aku pun segera melindungi diri dengan pagar pelindung raga serta ilmu pukulan pemusnah sekedar untuk berjaga-jaga.

Wanita itu menyeringai, memperlihatkan barisan giginya yang busuk dan menghitam. Aku tak mau gegabah. Mungkin saja dia merasa terganggu dengan kehadiranku. Tapi kalau dia tak macam-macam, aku pun tak ada niat untuk berurusan dengannya.

Tiba-tiba wanita itu menghilang. Hilang begitu saja tanpa bekas meninggalkan si pemuda yang masih terkulai lemas terkapar di tanah.

Sepeninggalan wanita tadi, aura kelam mendadak sirna. Hutan ini bagaikan kembali pada kodratnya, sunyi dan dingin.

Dari tempatku berdiri, sejenak kuperhatikan pemuda itu. Mengapa dia tak ikut menghilang? Siapa dia? Namun aku sadar, kini hanya ada satu jawaban..

Dia manusia.

Dengan hati-hati kuhampiri pemuda itu hingga aku berdiri persis di sampingnya. Dia masih diam tak bergerak.

Tubuhnya kotor dan layu tanpa tenaga. Langsung tercium aroma prengus keringat dari tubuh seseorang yang sekian lama tak kena air.

"Mas... Mas..."

Pelan-pelan kupanggil dirinya. Kelopak matanya terbuka setengah. Tapi dia langsung ketakutan. Lalu dia berusaha untuk bangkit namun tak bisa. Akhirnya dia cuma bisa beringsut mundur menjauh dariku.

"Jangan takut mas, saya bukan demit." Ucapku demi menenangkannya. Tapi sepertinya dia tak percaya. Dia terus saja mundur menjauh sambil menatapku penuh ketakutan.

Siapa dia? Apa yang terjadi dengannya? Aku pun melangkah maju. Tapi dia makin ketakutan. Bagaimana aku bisa meyakinkannya kalau aku ini manusia?

Lantas terpikirkan olehku sesuatu yang konyol. Tapi aku yakin ini akan berhasil. Kuambil sebatang rokok kretek dari saku jaketku dan langsung kubakar lalu menghisapnya sambil cengar-cengir.

Aku berharap dengan melihat ini, dia jadi yakin kalau aku ini manusia. Lagi pula mana ada demit yang modelnya ganteng macho sambil ngerokok begini?

Dan benar saja. Dia berhenti bergerak. Kini wajahnya terlihat ragu. Aku pun kembali mendekatinya.

"Mas.. Mas kenapa bisa ada di sini?" Tanyaku coba menyelidik. Jujur saja, aku penasaran. Beberapa saat yang lalu dia tengah menari, kemudian terkapar dan kini nampak ketakutan.

"To..tolong saya mas..." Ucapnya terbata-bata dengan suara yang lirih dan parau. Tenggorokannya tercekat. Dia seperti kehausan.

"Mari saya bantu. Sepertinya mas ini haus dan lapar. Ayo ikut saya ke kemah." Ucapku sembari mematikan rokok.

Tapi dia malah menggeleng lalu kembali berkata. "Tolong saya mas. Bawa saya keluar dari sini. Tolong bawa saya pulang."

“Tenang dulu mas. Mas pasti saya bantu. Memangnya mas ini mau pulang kemana?”

"Desa Randu Kembar mas. Bawa saya pulang ke desa Randu Kembar." Pintanya kini dengan wajah yang memelas.

Desa Randu Kembar? Aku tau desa itu. Letaknya memang tak jauh dari hutan ini. Kasihan sekali dia. Tapi aku yakin kalau dia bukan sekedar orang yang tersesat. Pasti ada sesuatu yang lebih dari itu.

"Iya mas. Nanti pasti saya antarkan mas pulang. Tapi sebelumnya lebih baik kita ke kemah saya dulu. Mas bisa makan dan minum di sana."

Namun dia kembali menggeleng sambil matanya jelalatan memandangi sekeliling dengan wajah yang gelisah. "Nggak mas. Sekarang saja. Saya takut dia datang lagi."

"Dia? Dia siapa? Wanita penari tadi?" Sahutku dengan dahi berkerut keheranan.

"Mas bisa lihat dia?" Jawabnya kini dengan wajah yang terheran-heran.

"Iya. Saya lihat dia. Tapi dia sudah pergi. Memangnya dia siapa?"

"Nggak mas. Saya nggak berani sebut namanya. Nanti dia datang lagi!" Ujarnya sambil kembali memandangi sekeliling dengan resah.

Aku pun iba. Dia benar-benar ketakutan. Entah apa yang terjadi dengannya. Tapi hatiku jadi terketuk untuk meluluskan permintaannya dan mengantarnya pulang saat ini juga.

"Baiklah mas. Sekarang juga saya antar mas pulang. Ayo." Sahutku sambil mengulurkan tangan untuk membantunya berdiri.

Aku memapahnya dengan hati-hati. Langkahnya tertatih-tatih. Kakinya yang tanpa alas nampak penuh dengan goresan luka yang membekas. Hal itu membuatku jadi berpikir, sudah berapa lama dia ada di hutan ini?

Sepanjang langkah, matanya tak henti terus jelalatan. Padahal aku tau hutan ini begitu gelap dalam pandangannya.

Tapi aku maklum. Meski aku belum tau apa yang telah menimpanya, namun demi melihatnya menari dengan sosok wanita yang menakutkan tadi, pemuda ini pasti telah mengalami suatu kejadian yang traumatis.

Selama perjalanan, kami lebih banyak diam. Ssbenarnya banyak hal yang ingin kutanyakan padanya. Namun melihat kondisinya yang seperti ini, sepertinya hal itu tak mungkin kulakukan.

***

Setelah beberapa lama berjalan, akhirnya kami tiba di tepi desa Randu Jajar yang berbatasan langsung dengan hutan. Suasananya nampak lengang. Mungkin karena sudah malam.

Wajah pemuda itu kini nampak sumringah. Sorot matanya memancarkan semangat yang menyala, lalu tiba-tiba dia melepaskan rangkulan kemudian bersujud mencium tanah.

"Alhamdulillah... Terima kasih ya Allah..." Ucapnya berkali-kali.

Aku tersenyum melihatnya. Dia nampak begitu bahagia. Kemudian dia kembali berdiri lalu menjabat tanganku erat-erat.

"Terima kasih mas... Terima kasih.."

Aku hanya bisa mengangguk. Lalu dia pun kembali minta dipapah dan diantar sampai ke rumahnya.

Tapi di tengah jalan, kami berpapasan dengan seorang warga yang langsung berhenti dengan wajah yang terkejut saat melihat kami.

"Lho? M-mas Bayu? Ini mas Bayu kan?" Ucap orang itu dengan nada seolah tak percaya.

Pemuda yang sedang kupapah ini balas mengangguk. Hal itu lantas membuat orang tadi tiba-tiba saja berteriak-teriak lantang bagai kesetanan!

"Mas Bayu pulaaaang! Mas Bayu sudah ketemuuuu! Mas Bayu sudah ketemuuuu!"

Teriakannya langsung memicu para warga yang lain untuk berdatangan. Sebentar saja, aku dan pemuda yang ternyata bernama Bayu ini sudah ada di tengah-tengah kerumunan orang yang berteriak bersahutan mengucapkan rasa syukur.

"Alhamdulillaaaah..."

Semuanya nampak senang sekaligus takjub memandangi kami. Lalu datang seorang lelaki setengah baya bersama seorang wanita yang langsung menubruk Bayu lalu memeluknya erat-erat.

"Ya Allah Gustiiiii! Terima kasih ya Allaaah! Anakku sudah ketemu!" Pekik sang wanita yang ternyata ibunya Bayu itu dengan air mata yang berlinang.

Aku terharu. Bayu kini telah berkumpul kembali bersama keluarganya. Dia pun hendak langsung dibawa pulang ke rumahnya. Sepertinya tugasku sudah selesai. Aku sengaja tak ikut karena merasa sudah tak punya urusan lagi.

Tapi rupanya Bayu menyadari gelagat kalau aku hendak pergi. Dia pun berkata pada lelaki setengah baya yang menggantikanku memapahnya. "Pak, ini orang yang sudah menyelamatkanku."

Mendengar hal itu, lelaki setengah baya itu bagai tersadar. Tapi aku maklum. Euforia kebahagiaan ini memang begitu mengharukan hingga membuat orang-orang sejenak lupa diri. Tapi bagiku tak masalah. Aku lakukan semuanya tanpa pamrih.

"Ya Allah mas! Maafkan saya yang bodoh ini sampai lupa mengucapkan terima kasih!" Ucap lelaki itu lalu menjabat tanganku erat-erat. Di susul oleh ibunya Bayu yang langsung memelukku sambil berkali-kali mengucapkan kata yang sama.

Aku cuma bisa tersenyum, tapi lantas jadi canggung ketika semua orang ikut berebut ingin menjabat tanganku.

"Ayo mas, mari ikut kami ke rumah." Pinta lelaki setengah baya tadi sambil merangkulku.

Sebenarnya aku ingin menolak. Teringat kemahku yang kutinggal tadi. Tapi sepertinya aku tak bisa berkelit. Belum apa-apa, lelaki itu mengajakku berjalan bersamanya sambil terus merangkul pundakku. Akhirnya dengan sangat terpaksa, aku mengikutinya.

Tak lama, kami pun tiba di depan sebuah rumah besar dengan halaman yang cukup luas. Lalu terlihat seorang gadis cantik berambut panjang yang keluar dari dalam rumah sambil berlari dan langsung memeluk Bayu.

"Ya Allaaaah! Mas Bayu! Ini beneran mas Bayu?!" Ucap gadis itu sambil menangis.

"Iya Ra, ini mas Bayu." Jawab Bayu pelan dalam dekapan gadis itu.

Bayu pun langsung dibawa masuk ke dalam kamar. Aku dipersilahkan duduk di ruang tamu. Si gadis cantik berambut panjang tadi langsung sibuk menyuguhkan minum dan berbagai macam makanan sambil sesekali curi pandang.

Orang-orang masih berkerumun di luar sana yang jumlahnya kian banyak. Aku merasa canggung. Semua mata kini memandangku sambil berbisik-bisik. Entah apa yang mereka bicarakan.

Tak lama, datang lelaki setengah baya tadi lalu duduk di hadapanku.

"Maaf mas, saya sampai lupa memperkenalkan diri. Saya Marsudi, bapaknya Bayu. Saya lurah di kampung ini. Mas ini namanya siapa?"

"Saya Yudha pak."

"Oh, mas Yudha. Bagaimana ceritanya sampai mas Yudha ini bisa menemukan anak saya?"

Aku pun menceritakan tentang semua yang telah kualami dari awal sampai akhir. Pak Marsudi nampak serius mendengarkan. Kadang dia manggut-manggut, kadang pula dia seperti terkejut. Hal itu membuatku tak kuasa menahan diri untuk bertanya.

"Sebenarnya Bayu kenapa pak? Kenapa dia bisa ada di hutan itu?"

Pak Marsudi sejenak menghela napas. Matanya menerawang, kemudian mulai bercerita.

"Jadi begini mas Yudha, anak saya itu sudah hilang hampir 8 bulan. Malam itu dia tiba-tiba saja lenyap saat pamit hendak ke warung. Selama ini kami sudah berusaha untuk mencarinya, tapi nggak ketemu."

"Ya Allah.. Hampir 8 bulan? Kasihan sekali dia." Sahutku sambil geleng-geleng kepala.

"Iya. Bahkan kami sudah minta bantuan beberapa orang paranormal. Sebab kami yakin kalau Bayu hilang digondol demit hutan itu. Tapi kami tetap tak berhasil menemukan dia. Bayu bagai hilang tanpa jejak. Kami sampai putus asa."

"Oh.. Jadi begitu. Syukurlah kalau Bayu akhirnya bisa pulang."

Pak Marsudi sesaat memperhatikanku mulai dari atas kepala sampai kaki. Wajahnya nampak serius. Lalu tiba-tiba dia menanyakan sesuatu yang tak terduga.

"Maaf mas Yudha, kalau boleh saya tanya, apa mas Yudha ini seorang paranormal? Atau orang sakti barangkali?"

Ditanya begitu aku langsung gelagapan. Namun cepat menutupinya dengan tawa yang sengaja kubuat-buat.

"Hahaha... Bukan pak! Saya ini cuma karyawan pabrik."

Tapi pak Marsudi sepertinya tak begitu saja percaya. Terlihat dari matanya yang masih penuh selidik.

"Masa iya? Mas Yudha jangan merendah begitu." Ucapnya kemudian.

"Beneran pak. Masa iya ada orang sakti tampangnya begini? Memangnya kenapa pak?"

"Maaf mas Yudha, asal mas Yudha tau, tidak sembarang orang bisa keluar masuk Alas Kulon. Hutan itu terkenal angker. Sebab katanya ada kekuatan hitam yang menguasai hutan itu."

"Kekuatan hitam? Kekuatan hitam apa?" Tanyaku penasaran. Sebenarnya aku sudah merasakannya sendiri. Namun aku ingin dengar ceritanya langsung dari mulut pak Marsudi.

Sejenak pak Marsudi diam. Raut wajahnya berubah. Namun akhirnya dia mulai menceritakan sebuah kisah panjang.

"Menurut cerita, hutan itu adalah tempat bersemayamnya arwah Nyi Arum Dalu. Seorang wanita yang pernah hidup di masa lampau. Dia dulunya warga sini sejak awal mula desa ini berdiri, kira-kira satu abad yang lalu."

"Semasa hidup, dia dikenal sebagai seorang penari. Wajahnya yang cantik dan tubuhnya yang molek membuatnya dipuja banyak orang. Namun konon katanya kecantikannya itu didapat dari sebuah ilmu hitam yang meminta korban nyawa."

"Penduduk desa marah saat ditemukan beberapa orang tewas dengan tubuh terpotong-potong di dalam Alas Kulon dan menuduh Nyi Arum Dalu sebagai pelakunya. Ada orang yang pernah melihat Nyi Arum Dalu melakukan ritual persembahan dengan memotong tubuh korbannya lalu mandi darahnya."

Sejenak aku tertegun. Nyi Arum Dalu? Jadi wanita menakutkan tadi bernama Nyi Arum Dalu? Apa jangan-jangan potongan tubuh manusia yang kulihat tergantung di pepohonan itu adalah perwujudan dari tumbal-tumbalnya? Sungguh mengerikan.

"Lalu apa yang terjadi dengan Nyi Arum Dalu?" Tanyaku lagi.

"Dia ditangkap lalu diarak beramai-ramai ke dalam Alas Kulon. Di sana dia disiksa dan dianiaya. Bahkan ada yang bilang kalau bola matanya sampai dicongkel. Akhirnya dia pun tewas. Tapi sebelum mati, dia sempat bersumpah akan menuntut balas."

"Setelah kejadian itu, beberapa waktu kemudian mulai terjadi hal-hal yang aneh. Sering terdengar suara gamelan dari dalam hutan sana. Lalu satu-persatu orang-orang yang dulu pernah menyiksa Nyi Arum Dalu akhirnya tewas di dalam hutan itu."

"Tapi ternyata teror Nyi Arum Dalu tak berhenti sampai di situ. Selama puluhan tahun, dia terus saja menghantui desa ini. Terbilang sudah banyak orang yang hilang dan tak pernah diketahui nasibnya hingga kini."

"Sejak dulu, sudah banyak paranormal yang mencoba untuk memusnahkan Nyi Arum Dalu. Tapi tak pernah ada yang sanggup. Bahkan beberapa di antaranya ada yang tewas saat coba melakukannya."

"Akhirnya sampai saat ini, tak ada lagi orang yang berani mendekati apalagi masuk ke dalam Alas Kulon. Makanya saya sempat heran, bagaimana bisa mas Yudha ini dengan entengnya keluar masuk hutan itu? Bahkan sampai bisa menemukan Bayu dan membawanya keluar dari sana."

Aku kembali tersenyum. Jelas aku tak mungkin bilang pada pak Marsudi tentang siapa diriku sebenarnya. Bisa-bisa penduduk sini makin geger. Aku tetap bertahan dengan pengakuanku kalau aku ini hanyalah orang biasa yang sedang beruntung saja. Tidak lebih.

BERSAMBUNG

*****
Selanjutnya
close