Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

LEUWEUNG SAREBU LELEMBUT (Part 8) - Bagian Akhir


“Semua berawal, malapetaka itu tidak serta merta datang, ada yang menghendaki hingga ada yang mengabdi, bukan kepada pencipta tapi kepada MEREKA”

Kepala Karta tiba-tiba tertunduk, sambil mulutnya terus bergerak mengucapkan sesuatu, tubuhnya tiba-tiba bersujud dengan kepalanya menyentuh tanah.

“Mati kau Jalu!!!” teriak Karta sangat kencang, sambil merangkak dengan cepat ke arah Budi.

“Akan banyak darah!” bisik hati Gama, langsung memejamkan matanya.

“Arrrrgggghhhh!!!” teriak Budi sambil berlari ke arah Karta, mengepal pisaunya sangat kuat.

“Brruggggg!!!”

Hantankan kepalan tangan Karta menghujam tepat ke arah dada Budi, dan pukulan tangan kiri Budi mengenai wajah Karta ketika melompat ke arahnya, hingga mereka berdua terpental ke sebuah tembok rumah yang menahan tubuhnya masing-masing.

“Tidak sekuat waktu sore” bisik hati Budi, yang sudah berdiri.

Dengan mengeluarkan suara nafas yang berat, Karta langsung merangkak dan berlalri jauh lebih cepat ke arah Budi, kini jari tanganya itu mengeluarkan kuku yang panjang.

“Budi awas! Menghindar!” teriak Gama bersamaan membuka matanya, memastikan tubuh Karta sudah dikuasai Mimin dan sosok hitam penuh bulu.

Hampir saja Budi telat untuk menghindar, cakaran kuku Karta yang sudah dekat dengan Budi langsung mengores tembok dinding cukup dalam, kemudian Budi menangkap tangan Karta menekannya sangat kuat, hingga urat-urat tangannya itu melemas.

Tubuh Karta yang kaku dan tidak bisa berdiri tegap itu bisa langsung Budi angkat, tak tinggal diam tangan kiri karta mencoba menghujamkan kuku panjangnya arah bola mata Budi, namun dengan mudah Budi menghindar.

“Arrrrrghhhhhh!!!”

Pisau tajam yang berada di tangan kiri Budi dihujamkan dengan cepat ke wajah Karta hingga melewati bola mata Karta yang menyala merah, berdampingan dengan luka bekas cakaran meong hideung.

“Begini Karta akan aku ajari kau bertarung sebagai pria!” bisik Budi sangat dingin di dekat telinga Karta, dari bola mata sebelah kiri itu sudah keluar darah merah yang kental.

“A...aku tidak akan mati Jalu, percuma” jawab Karta terbata-bata membuka mulutnya secara perlahan.

Membuat Budi semakin menekan cengkraman pada tangan Karta yang semakin lemas, seluruh urat-urat di tangannya itu hampir tidak berfungsi.

“Arrrghhhhh!!!” teriak Karta mengeluarkan lendir hitam jauh lebih banyak, ketika beberapa sayatan pisau tajam itu mendarat di bagian perutnya.

“Budi sekarang!!!” teriak Gama, ketika melihat dari atas lantai dua Mimin berjalan untuk melihat pertarungan suaminya itu.

Tanpa melihat ke arah Gama dan mendengar perintanya, satu kali tusukan tajam mendarat tepat di perut Karta sangat dalam, hingga darah memuncar.

“Harga sebanding dengan apa yang sudah kau lakukan pada leuweung sasar, juga Rara anak kandungmu!” ucap Budi mendekatkan mulutnya pada lubang telinga Karta.

Tiba-tiba Budi melemparkan tubuh Karta ke ujung tangga, dekat dengan bekas guci yang sudah pecah berantakan yang sebelumnya hampir menimpa kepala Budi. Mimin yang menyaksikan suaminya sudah terluka parah dibagian perut, dan bola mata sebelah kirinya mengeluarkan banyak darah, dibuat tidak percaya apa yang sudah Budi lakukan.

Namun Mimin malah tersenyum jauh lebih menakutkan dengan belatung di bagian wajahnya semakin banyak, terus perlahan ia makan satu-persatu.

Budi terus berjalan ke arah tubuh Karta yang sudah tidak berdaya itu.

“Hanya tinggal hitungan menit tubuhnya akan mati kehabisan darah” ucap Gama terus memegang erat gelang gengge, dengan meong hideung yang terus menatap ke arah Mimin.

Seketika Gama dibuat kaget ketika Mimin dengan kesaktiannya, mengangkat tiga guci yang berada di sebelahnya hingga melayang.

“Budi awas menghindar!!!” teriak Gama.

“Bruggggg!!!”
“Brugggg!!! Brugggg!!!”

Tiga guci besar itu mendarat tepat di kepala Budi dan bagian samping tubuhnya, namun sama sekali tidak membubarkan pandangan Budi pada tubuh Karta, guci itu pecah berantakan di samping tubuh Budi yang masih berdiri semakin tegap, hanya menepiskan bekas pecahan guci yang mengenai pundaknya, dan menggerakan kepalanya agar pecahan guci itu lepas dari rambut gondrongnya, kemudian menatap ke arah Mimin dengan tatapan tajam dan dingin.

“A...ampun Jalu” ucap Karta sangat pelan menggerakan mulutnya, dengan sisa satu matanya masih berwarna merah itu.

Dengan perlahan Budi malah menyimpan pisau yang berlumuran darah itu kebalik punggungnya, membuat Gama dibuat heran serta cemas, apa yang akan Budi lakukan selanjutnya.

“Ini belum sebanding!” ucap Budi sambil mengambil satu pecahan guci yang tajam bekas menimpa tubuhnya itu.

“Aaaaaaaaaaaaa!!!!!” teriak Karta sangat kencang, manakala ujung tajam dari pecahan guci itu menusuk tepat di bagian luka perutnya yang terus mengeluarkan darah, membuat darah memancar jauh lebih banyak dan pecahan guci tajam itu hampir menembus seluruh bagian perut Karta.

Namun tiba-tiba tangan Mimin bergerak, membuat mata Karta yang hampir terpejam tiba-tiba melotot sekuat tenaga, tubuhnya yang sudah hampir tidak bernyawa itu malah dengan cepat berdiri, bukan untuk menyerang ke arah Budi melainkan berjalan perlahan menaiki anak tangga dengan pecahan guci tajam masih menempel di perutnya, hingga tetesan darahnya itu mengikuti langkahnya.

“Budi tunggu! Diam di situ!!!” teriak Gama, sambil berlari ke arah Budi yang hampir saja bergerak mengikuti Karta.

“Tunggu diam!” bentak Gama, membuat wajah Budi yang sudah banjir keringat itu hanya menganggukan kepalanya, sambil melihat ke arah Gama.

Gama tidak ingin Budi berhadapan dengan Mimin, itu akan membuat ia dengan mudah dihabisi Mimin yang sudah melihat suaminya tersiksa, bahkan hampir mati ditangan Budi.

Langkah Karta semakin perlahan sudah mulai kehabisan tenaga, karena darah yang terus keluar dari perutnya apalagi pecahan guci itu masih menempel di bagian perutnya, sudah Gama dan Budi lihat mendekat ke arah Mimin.

Membuat Mimin dengan perlahan mencabut pecahan guci di tubuh Karta dengan perlahan.

“Aaaaaaa!!!!” teriak Karta semakin kencang, bersamaan dengan keluarnya darah semakin banyak.

“Gam sekarang ayo” bisik Budi yang sudah tidak sabar ingin menghabisi sepasang suami istri itu.

“Tunggu!” jawab Gama.

Ketika pecahan bekas guci itu Mimin jatuhkan ke lantai keramik tiba-tiba.

“Aaaaaaaaaaa!!!!!!” teriakan suara Karta berkali lipat keluar dari mulutnya.

“Ti..tidak berguna!” ucap Mimin sambil tersenyum, menusukan kuku panjangnya ke bekas tusukan di perut Karta, bahkan sampai menembus seluruh tubuhnya, membuat bola mata Karta yang tersisa sebelah itu melotot sekuat tenaga.

“Perjanjian itu kekal Karta! Sudah seharusnya ini terjadi! Mati!” bisik Mimin di dekat telinga Karta membuat mata Karta yang awalnya merah menyala seketika berubah normal, dan mulutnya semakin terbuka lebar.

“Ha-ha-ha!!!”

Sambil tertawa kencang, seketika Mimin melemparkan tubuh Karta ke arah Gama dan Budi.

“Brugggg!!!!”

Tubuh Karta yang mengenaskan tepat berada didepan Gama dan Budi, yang tidak menyangka bahwa Karta akan dihabisi istrinya sendiri.

“Kejar Budi jangan sampai Mimin melarikan diri!” ucap Gama dengan tegas didengar jelas oleh Budi.

“Tidak akan lepas dari kejaranku Gam!” jawab Budi langsung berlari menaiki anak tangga yang sudah banyak terdapat sisa darah bekas tubuh Karta.

Mimin hanya berbalik badan kemudian berjalan perlahan sambil tersenyum lebar dengan payudaranya yang menjulang panjang serta rambutnya berantakan itu, tidak sedikitpun ada rasa ketakutan dari Mimin karena sudah menyiapkan segalanya di kamar itu untuk menghabisi Gama dan Budi juga meong hideung.

“Sing kudu inget Gam eweuh nu lewih kuat tibatan kakuatan pecipta, kabeh tipu daya setan sasunguuhna lemah, teu sabaraha jeng sangala kahadean nu keur ku Gama lakonan ieu, bereskeun sacaan panon poe isuk…”

(Harus ingat Gam tidak ada yang lebih kuat dari pada kekuatan pencipta, semua tipu daya setan sesungguh lemah, tidak seberapa dengan segala kebaikan yang Gama lalukan, bereskan sebelum pagi) ucapan Ki Langsamana tiba-tiba Gama dengar sambil terus melangkah kakinya menyusul Budi.

"Sumuhun Buyut, insallah Gama paham"
(Baik buyut, insyallah Gama paham) jawab Gama dalam hatinya, dalam tubuhnya sudah bergejolak sesuatu yang harus segera ia lakukan.

***

“Disana!” ucap Budi sudah melihat Mimin mengunci satu pintu kamar, kemudian berjalan ke arah salah satu kamar yang menyala, membuat Budi bergerak dengan cepat.

Mimin sudah duduk di depan cermin, setelah memasukan kunci itu ke dalam laci cermin, tanganya terus saja menyisir rambut panjangnya berkali-kali, walaupun tidak jarang beberapa belatung ia makan terus menerus.

“Setelah ini kembali kepangkuan Ibu ya Ra…” ucap Mimin perlahan, mebayangkan dalam cermin itu terdapat bayangan sosok anaknya, anak dari Bapak yang sudah ia habisi dan jasadnya yang sudah terkapar itu.

Bayangan hitam tubuh Budi dengan rambut gondrongnya yang semakin mendekat terus Mimin abaikan, terus melihat ke arah cermin sambil tersenyum tidak akan lama lagi ia bisa menguasai seribu lelembut yang kini terpenjara di leweung sasar.

“Sebentar lagi kalian akan mempunyai tuan baru, setelah aku bawa mayat-mayat ini” ucap Mimin sambil mengeluarkan lendir hitam dari mulutnya.

Bersamaan dengan langkah Budi yang sudah semakin dekat, terdengar jelas oleh Mimin.
“Ma..masuklah Jalu!” ucap Mimin.

Membuat Budi sangat kaget, apalagi Mimin sudah bertelanjang dada, dengan perwujudan jauh mengerikan, seluruh tubuhnya hancur, apalagi ketika melihat ke bagian wajahnya itu semakin banyak belatung, dan selendang yang Mimin kenakan sudah tersimpan diatas cermin.

“Anak satu-satunya keturunan pemegang juru kunci leuweung sasar akan mati ditanganku, berserta tempat itu akan abadi bersamaku, aku kira dua manusia dari jawa saja yang akan mengganggu keinginanku, ternyata kau juga!” ucap Mimin sambil merasakan angin kencang datang jauh lebih kuat menerpa jendela yang terbuka lebar itu.

“Mereka bagian dari kita, mereka teman-teman kita!” ucap Budi dengan sangat dingin, ucapan itu membuat Mimin hanya tersenyum, menutupi dirinya yang kaget.

Budi sudah melihat Gama semakin berjalan mendekat ke arahnya, walaupun padangan Gama terus melihat ke salah satu pintu yang sebelumnya Mimin kunci.

“Arrrrghhh sudah saatnya Jalu” juluran lidah Mimin tiba-tiba keluar sangat panjang, akibat belatung yang terus ia makan setelah melakukan ritual persetubuhan itu.

Baru saja langkah Budi semakin mendekat sambil mengeluarkan pisau penuh darah dari tubuh Karta, tiba-tiba Mimin menggerakan tanganya, hingga mendaratlah pukulan jauh lebih kencang ke Budi.

“Brugggg!!!”

Pukulan itu langsung membuat Budi mengeluarkan darah di mulutnya, bahkan Budi sangat kaget pukulan sekencang itu bisa mendarat di perutnya tanpa ada wujud, hanya gerakan tangan Mimin.

“Mati kau Jalu!!!” ucap Mimin dengan matanya sudah menjadi hitam, menggerakan tangannya pada sebuah benda hitam di samping cermin, membukanya secara perlahan.

“Brugggg!!!”

Pukulan yang kedua kali membuat Budi langsung terpental menghatam tembok, membuat tubuh Budi langsung kehilangan tenaga, akibat serangan yang dilakukan Mimin, bahkan tanpa menyentuh tubuh Budi sekalipun.

“Sreeetttt!!!”

Budi sangat kaget, ketika Mimin mengeluarkan pedang hitam yang panjang dan sangat tajam, setelah kain hitam yang membelitnya itu terjatuh di atas lantai, membuat Budi memaksakan tubuhnya untuk perlahan mundur.

“Arrrggghhh!!!” teriak Mimin sambil mengarahkan tepat ditengah-tengah kepala Budi, namun dengan cepat Budi menghindar, hingga ujung pedang itu membelah keramik dengan sangat mudah.

“Kemari Jalu menghindar pun percuma, Gama dan binatang biadab itu tidak akan bisa menolongmu lagi!” ucap Mimin dari wajahnya semakin banyak mengeluarkan belatung.

“Budi!” ucap Gama langsung menyeret tubuh Budi yang terus mundur.

“Pergi Gam cepat lari! Pedang itu berbahaya! Pergi!” ucap Budi sudah sangat panik, baru pertama kali melihat pedang tajam dan sangat mudah sekali dikendalikan ditangan Mimin bak pendekar yang sudah terlatih sangat lama.

“Bagus… pedang ini akan menghujam leher kalian berdua” teriak Mimin semakin mendekat.

Seketika Budi melemparkan pisaunya menggunakan sisa tenaga, hingga ujung pisau itu mengenai tepat bagian dada Mimin.

“Ha-ha-ha aku bukanlah Mimin dan Karta yang kalian ketahui” tiba-tiba suara serak dan basah itu terdengar jelas, menggantikan suara Mimin.

Budi menganggukan kepalanya perlahan kepada Gama, membuat Gama mempunyai sedikit waktu untuk memjamkan matanya dan membaca amalan, dan seketika melihat wujud Kliwon berubah menjadi besar berjaga di halaman belakang rumah, sehingga tidak mungkin membuat Mimin menghindar.

“Cepat Gam!” teriak Budi yang sudah tidak bisa bangkit, hanya memundurkan tubuhnya melewati kedua kaki Gama.

“Manusa-manusa biadab aku kirim kau ke neraka!!!” ucap suara Mimin yang sudah semakin basah dan serak.

Gama mendengar suara pedang panjang itu kembali diangkatnya sejajar dengan kepalanya, sementara meong hideung sudah berada di dekat kaki Gama, menggerakan kepala menanti sebuah perintah.

“Gama!!!! Cepat!!!!” teriak Budi sangat kencang.

“Kring… kringg… kringgg…”

Sambil membuka mata, sepersekian detik pedang itu akan menghujam tepat di kepala Gama, namun kalah cepat dengan hentakan tiga kali kaki kanan Gama ke lantai.

Meong hideung langsung menerkam tubuh Mimin, tubuhnya yang kecil dan pincang tiba-tiba menggetarkan seluruh isi rumah, jendela yang awalnya bergerak satu persatu lepas dari tempatnya, termasuk Mimin yang langsung terdorong masuk ke kamar.

“Arrrgghhhhh!!!” teriak Mimin sangat kencang.

“Aaaaaa!!!”

Satu kali sabetan kuku panjang meong hideung mendarat tepat di bagian leher Mimin, hingga kepalanya hampir putus.

“Burggggg!!!”

Satu hentakan kuku kuku panjang meong hideung sekali lagi Membuat lantai keramik itu terpecah menerima kepala Mimin yang menembus hingga bagian tembok lantai, membuat kepalanya langsung tercetak dan belatung berceceran begitu saja.

Seketika angin yang sedari tadi behembus kencang tiba-tiba berubah menjadi sunyi, setelah seluruh isi ruangan lantai dua rumah sangat berantakan.
Membuat Gama tercengang bahkan tubuhnya yang berdiri tegak sedikit goyah ketika mendengar hentakan kaki itu, begitu juga dengan Budi yang melihat ke arah Gama sambil menggelengkan kepalanya.

“Sekarang Gam!” ucap Budi yang terus mengeluarkan darah di mulutnya, kini berada tepat di depan kamar yang Mimin gunakan sebagai tempat ritual,

Budi juga seperti mengetahui percakapan Gama dan Mang Idim sebelumnya, yang sudah Ki Duduy titipkan untuk mengingatkan Gama.

Gama hanya mengangukan kepalanya, ingat kembali pada pesan Ki Duduy yang dititipkannya kepada Mang Idim.

Meong hideung seketika kembali ke wujud asalnya, berdiri di dekat kepala Mimin yang sudah masuk ke lantai kramik dan tembok, dengan darah hitam yang mengelilingi bagian kepalanya itu.

Langkah Gama sudah berhadapan dengan kepala Mimin, tubuhnya perlahan berjongkok.

“Tidak akan ada lagi penerus wewe gombel dan leuweung sasar tidak akan ada lagi yang menjamahnya” bisik hati Gama, langsung mengeluarkan selendang hitam dan mengusapkannya pada wajah Mimin dengan sekuat mungkin.

“Eta banda nu mantak nyieun mamala, lepaskeun Gama…”

(Itu benda yang membuat marabaya, lepaskan Gama…) terdengar bisikan suara Ki Langsamana didekat telinga Gama, membuat ia langsung melepaskannya.

Membuat meong hideung dan Gama seketika mundur, manakala dari kepala Mimin keluar asap putih kental.

“Sebentar…” ucap Gama perlahan, ketika melihat seketika tubuh Mimin terus mengeluarkan asap putih, membuat Budi kembali mengelengkan kepalanya.

Asap putih itu semakin pekat hampir menutupi tubuh Mimin, bersamaan dengan meong hideung yang malah berlari ke arah Budi, dan berhenti di salah satu pintu kamar yang masih tertutup.

Seketika tubuh Mimin berubah menjadi belatung yang sangat banyak dan mengeluarkan bau busuk menyengat.

“Gam! Gama!!!” teriak Budi yang perlahan memaksakan tubuhnya untuk berdiri, mendekat ke arah meong hideung.

“Mimin!” bentak Gama langsung berlari ke arah Budi.

“Biar aku dobrak! Minggir Gam!” ucap Budi semakin cemas, manakala bau menyengat pada belatung di kamar itu sudah menyebar.

“Brug!!!” tubuh kekar Budi di tabrakannya ke arah pintu, bahkan sampai tubuhnya terjatuh menggunakan sisa tenaganya.

Gama yang masih berdiri dibuat tercengang, begitu juga Budi melihat ke arah tubuh perempuan yang sudah terbaring dengan sangat pucat, wajahnya penuh dengan belatung yang sedang menggerogoti seluruh tubuhnya.

“Mimin, wajahnya sama dengan yang ada di kamar, ketika masuk ke dalam lantai Bud” ucap Gama perlahan, melihat hancurnya wajah Mimin.

“Mimin sudah lama mati, mayat seperti itu sudah sekitar dua atau tiga hari Gam” jawab Budi dengan perlahan menerima bantuan dari Gama untuk berdiri.

Kepala Budi dan Gama seketika mengangguk, melihat banyaknya bulu hitam di sekitar tubuh Mimin, yang mereka berdua ketahui dari sosok hitam penghuni leuweung sasar.

“Balasan yang setimpal!” ucap Budi tiba-tiba mengajak Gama segera keluar, setelah meong hideung berjalan terpincang-pincang keluar kamar.

Gama dan Budi langsung terdiam, ketika melihat dari jendela yang sudah terlepas itu tepat mengarahkan pandangannya ke arah barat dimana leuweung sasar berada, dan meong hideung sudah berada didekat kaki gama. Tiba-tiba satu kali sambaran kilat tepat mendarat diatas leuweung sasar.

“Benar itu di leuweung sasar Gam, mereka sudah kembali semuanya dan leuweung itu tidak akan ada yang membukanya kembali” ucap Budi sambil terus berada dalam dekapan tangan Gama karena kondisinya semakin melemah.

***

“Cepat! Keluar Gama Budi cepat!!!” teriak suara Mang Idim bersama Indra yang susah payah sedang menyeret mayat Karta yang sangat mengenaskan, tangan mereka masing-masing mengenakan sarung tangan.

“Cepat keluar! Indra bantu bawa Budi” ucap Mang Idim.

“Mang…” jawab Gama.

“Mayat Karta harus masuk ke kamar itu Gam” jawab Mang Idim.

“Biar Gama bantu…” ucap Gama.

“Jangan Gam, jangan meninggalkan jejak apapun di rumah ini” ucap Mang Idim dengan susah payah menyeret Mayat Karta, dan menyimpannya di dekat mayat Mimin.

“Biarkan nanti para warga atau siapapun yang menemukan mereka, menyusun penjelasannya sendiri kenapa dua mayat suami istri ini berakhir mengenaskan” ucap Mang Idim.

“Belum mengenaskan itu Bah, harusnya lebih parah lagi” sahut Budi, berada di dekapan Indra, sambil membenarkan posisi pisau andalannya itu yang sudah puas menghabisi Karta.

“Ke rumah Mak Endah, Ki Duduy menunggu kita, Rara belum sadarkan diri dan kalian akan tahu sesuatu” ucap Mang Idim.

“Maksudnya Mang” tanya Gama semakin penasaran, setelah melirik untuk yang terakhir kali ke arah anak perempuan Mak Endah itu.

“Ki Duduy menyebutnya akar sasar Gam, nanti kalian tahu sendiri… cepat keluar dari rumah ini sebentar lagi pagi akan segera tiba, beruntung semuanya selesai di rumah ini…” ucap Mang Idim.

Ketika Gama berjalan perlahan bersama Mang Idim melewati seluruh isi rumah, yang sudah hancur berantakan akibat meong hideung, di ikuti Budi yang dibantu Indra untuk berjalan, mereka sudah menginjakan kaki di halaman belakang.

Gama dan Budi langsung saling memandang, ketika melihat Kliwon kembali bergerak cepat, berpindah dari satu pohon ke pohon lainnya.

“Bantuan dari Danan dan Cahyo benar-benar sangat berguna” bisik hati Gama, kemudian Budi menganggukan kepalanya ke arah Gama, masih merasa bersalah dari kejadian barusan hampir saja Gama mati.

***

Kediaman Mak Endah

Embun-embun baru saja perlahan turun dari setiap tanaman-tanaman yang berada di depan rumah Mak Endah, begitu juga dengan suara ayam berkokok sudah terdengar di beberapa bagian rumah warga lainnya, pertanda pagi sudah tiba dan hangatnya sinar mentari hadir dari arah timur.

Jaka dan Dadang terlihat kaget ketika Budi turun dari kendaraan roda dua yang dikemudikan Indra.

“Ndra temui Dewi bilang aku baik-baik saja hari ini siang atau sore aku akan pulang” ucap Gama tiba-tiba.

“Ba..baik Pak, Indra akan segera ke rumah Pak Gama” jawab Indra kemudian bersalaman untuk segera pergi.

Jaka dan Dadang langsung memastikan keadaan sekitar halaman, bahkan langsung menyembunyikan motor Gama.

“Langsung saja masuk Pak Gama, Pak Budi” ucap Jaka, terlihat wajahnya yang sangat lelah dan terlihat mempunyai banyak pikiran.

“Kenapa Jaka tidur di luar” ucap Budi semakin penasaran akan hal yang terjadi didalam rumah Mak Endah itu.

“Jaka juga seperti melewati hari-hari yang berat tidak biasanya” jawab Gama, namun ucapan itu hanya membuat Mang Idim tersenyum.

Ketika pintu depan kembali ditutup rapat oleh Mang Idim, Gama dan Budi langsung berjalan masuk ke dalam, untuk menuju ruangan tengah rumah yang hampir rubuh ini.

“Gam lihat!” ucap Budi sangat kaget.

Gama langsung mengerutkan dahinya, keluarlah Ki Duduy dari dalam kamar Rara sambil tersenyum ke arah Gama dan Budi, bahwa cucu-cucunya itu bisa kembali dengan selamat walau dalam keadaan berantakan.

“Heeeemmm… heeemm… hem…”

Mak Endah baru saja membuka matanya, kedua tangannya diikat erat di balik kursi yang ia dudukinya itu, dengan bagian mulutnya sudah tertutup sebuah kain.

“Assalamualaikum Kek” ucap Gama langsung mencium tangan Ki Duduy begitu juga dengan Budi.

“Walaikumsalam, bagaimana bala bantuan dan segalanya sudah terbukti Gam… sudah jangan terlihat kaget seperti itu, sama halnya dengan pohon besar yang ada di leuweung sasar mempunyai akar-akar besar juga, wewe gombel yang sudah kalian berdua habisi juga mempunyai akar sasar tersendiri…” ucap Ki Duduy kemudian menyuruh Budi dan Gama duduk di kursi lainnya tidak jauh dari Mak Endah, saat Mang Idim langsung memangku tubuh Rara yang masih pucat kemudian dibaringkannya di tengah rumah.

“Dadang dan Jaka sudah kembali berjaga di luar Kek, dan mencari cara untuk nanti kita keluar dari rumah ini dengan aman, tanpa di ketahui oleh satupun warga kampung ini” ucap Mang Idim perlahan.

“Kek Gama belum paham kenapa Mak Endah adalah akar sasar, apakah Mak Endah yang menyesatkan Mimin anaknya dan Karta menantunya itu” tanya Gama perlahan, tidak melebihi kencangnya suara Ki Duduy.

“Hampir tepat, kemenyan hitam yang suatu malam diberikan kepada kamu Gam, tersisa di saku bajunya Mak Endah, ketika kamu berada di dalam leuweung sasar, Mak Endah kerasukan sosok karena sudah membakar kemenyan itu entah apa yang dipikirkan perempuan itu, hingga cara ini yang paling tepat, memaksa manusia berkata jujur…” jawab Ki Duduy.

Gama, Budi dan Ki Duduy yang terus berada didekat tubuh Rara hanya menganggukan kepala mereka masing-masing.

“Bud harusnya tidak mudah bukan membuang mayat nenek tua ini di pagi hari” tanya Ki Duduy sambil tersenyum, memberikan tekanan berupa ketakutan pada Mak Endah.

“Sekarang aku habisi Nenek tua ini Kek!” ucap Budi langsung berdiri dan mengeluarkan pisau andalannya yang masih berbekas darah.

“Darah anak dan menantunya bersarang di pisau ini, kini giliran nenek tua ini!” bentak Budi mengarahkan pisaunya ke leher Mak Endah, membuat Mak Endah menggelengkan kepalanya, sambil meneteskan air matanya, manakala mendengar Mimin dan Karta sudah mati.

“Tunggu kalau dia tidak mau bicara, akan Kakek persilahkan Bud” jawab Ki Duduy dengan perlahan melepaskan ikatan di mulutnya dan mengeluarkan sebuah kain yang tersumbat di mulutnya.

“Le..lendir hitam!” sahut Gama sangat kaget, dari mulut Mak Endah keluar lendir hitam.

“Kakek bukan orang gila yang tanpa alasan mengikat nenek tua ini, bisa-bisa dialah yang membunuh Rara cucunya sendiri” jawab Ki Duduy.

“akalian pembunuh sudah membunuh anak saya!!!” teriak Mak Endah sangat kencang, melampiaskan rasa kesalnya, anak perempuannya itu sudah terbaring tanpa nyawa di salah satu kamar di rumahnya.

Ki Duduy memberikan pertanda agar Budi langsung menutup mulutnya.

“Dengar biadab! Mimin dan Karta yang menumbalkan anaknya apa bukan pembunuh! dan kau ikut campur tangan membuat leuweung sasar terbuka, dengarkan namaku Jalu Kertarajasa keturunan terakhir yang mengemban tugas untuk menjaga tempat yang sudah anakmu manfaatkan, nyawa dan darahmu halal di tanganku!” ucap Budi di dekat telinga Mak Endah, sambil menggoreskan pisau tajam itu di leher Mak Endah, hingga mengeluarkan sedikit darah.

Ucapan dan tindakan yang Budi ambil membuat Mak Endah langsung terdiam, dan mulutnya terus terbuka menahan rasa perih dari lehernya yang sudah tergores.

“ Jaka Anaknya Mak Endah sudah mengijinkan nenek tua ini mati! Setelah tahu ikut campur tangan” ucap Ki Duduy perlahan.

“Gama paham Kek, seharusnya Mak bicara baik-baik sekarang.. tidak ada salahnya merubah keadaan buruk dengan penyesalan dan kelakuan baik, tidak ada yang terlambat Mak, percuma mayat Mimin dan Karta tidak akan hidup kembali, biarkan mereka menebus apa yang sudah mereka lakukan… bicaralah perlahan dan ceritakan apa yang terjadi sebelumnya, hingga anak malang tidak berdosa itu harus menjadi tumbal, kecuali pagi ini Mak ingin menyusul anak dan menantu Mak itu di tangan Budi” ucap Gama dekat sekali dengan wajah Mak Endah.

“Pelan-pelan bicara saja, apa yang dikatakan cucu saya tidak ada salahnya!” ucap tegas Ki Duduy, membuat Budi langsung melepaskan dekapan pada mulut Mak Endah.

“Ba...baik percuma bicara, saya tetap akan mati!” jawab Mak Endah perlahan.

***

Cahaya mentari pagi perlahan masuk menerobos lubang-lubang di rumah yang hampir saja roboh itu, beberapa kali tubuh Rara terlihat bergetar namun sudah Mang Idim tangani, hanya air mata yang terus melewati pipi Mak Endah yang memiliki kulit tua keriput, Gama, Budi, Ki Duduy masih menunggu Mak Endah untuk bicara dengan pandangan kosongnya itu.

“Terkadang Mak dengan usia kita yang sudah tua, beberapa kesempatan dalam hidup ini bisa saja tidak akan terulang, silahkan bicara jika tahu dalam hidup itu akan bejumpa dengan kematian, anggaplah Mak sedang meminta maaf pada cucu Mak yang tidak berdosa itu” ucap Ki Duduy membuat hati Mak Endah tergoyahkan, yang sedari tadi hanya memikirkan nasib kedepannya.

“Ba..baik… maafkan saya maafkan…”
“Tolonggg selamatkan saya…”

“Kalian orang-orang baik, tolong saya…”

“Heh bicara dan bercerita atau mati!!!” bentak Budi yang sudah tidak bisa sabar mengarahkan pisaunya tepat pada leher Mak Endah.

“Baik!!! Semua berawal dari Engkos, Bapak Mimin dan Jaka mati!!! Dan Mayatnya tidak pernah kembali sejak belasan tahun!!! Itu yang harus kalian dengar pertama kali!!!” ucap Mak Endah penuh dengan emosi dan langsung menangis sangat kencang.

Hanya tangan Ki Duduy yang bergerak mempersilahkan Mak Endah bicara, walaupun hal itu sangat kaget ketika Gama ketahui.

“Semua berawal dari Engkos pergi ke leuweung sasar, mencari kemudahan hidup namun malam itu ketika ia pergi, tidak pernah kembali… sudah belasan tahun saya tahan ketika Mimin bertanya Bapaknya itu kemana hingga ia menikah dengan Karta… akhirnya malam itu saya ceritakan tentang leuweung sasar, dari situ semuanya berawal! Anak-anak saya berhak tahu Bapaknya mati didalam sana…” ucap Mak Endah penuh dengan emosi.

“Lalu Mimin mengikuti jejak bodoh Bapaknya itu!” ucap Budi dengan kesal ketika mendengar nama leuweung sasar, yang baru saja susah payah bersama Gama ia tutup kembali, bahkan membutuhkan bantuan Danan dan Cahyo.

“Iyah benar bodohnya Karta mengulang jejak Engkos bapak mertuanya, bedanya ia berhasil, bahkan mengajak Mimin juga, hingga perlu tumbal darah daging, untuk semakin memperkaya dirinya… sejak itu saya sudah bertengkar dengan Mimin ketika kembali ingin membawa Rara, namun ia malah menyalahkan saya, hingga mengancam dan memberi pilihan untuk ikut hidup dengannya, bodohnya saya mau!” ucap Mak Endah menjelaskan air matanya sudah membasahi baju yang dikenakannya.

“Cepat bunuh saya!!! Cepat!!!” teriak Mak Endah, langsung ditutup mulutnya itu oleh Budi.

“Pantas dan benar Kek akar sasar tidak akan serta merta ada jika tidak ada tanah yang subur, kesalahan fatal…” sahut Gama sudah memahami semua yang dikatakan Mak Endah.

Budi kemudian kembali melepaskan tangannya dari mulut Mak Endah.

“Benar kesalahan yang mungkin tidak akan pernah berjumpa dengan pengampunan siapapun, malam itu Karta dan Mimin membawa sosok hitam ke rumah ini setelah di datangi Bah Sugik, sebelum pergi beberapa tahun kebelakang… hingga sekarang mereka akhirnya mati! Dan saya tidak akan lama menyusul tanpa kalian bunuh! Sisa kemenyan hitam itu sudah saya makan tanpa kalian semua ketahui! Sebagai penebusan dosa pada Mimin! Dan kesalahan saya!” ucap Mak Endah, sambil mulutnya terbuka dan lendir hitam terus keluar dari mulutnya.

“Bodoh!!!” bentak Budi.

“Budi mundur, Gama mundur!” ucap Ki Duduy.

“Kakek sudah tahu semuanya, bahkan ketika malam itu Mak Endah memakan kemenyan hitam, makanya selama Kakek menjaga Rara kemenyan itu tidak akan berguna sebelum Mimin dan Karta mati… dan ini alasan kedua kenapa Mak Endah kakek ikat…” lanjut Ki Duduy.

Kepala Mak Endah tiba-tiba bergerak dengan cepat, matanya langsung melihat ke arah Rara, tubuhnya bergetar hebat bak terkena sengatan listrik, kemudian mengeluarkan lendir hitam.

“Kek sosok dari leweung sasar itu masih tersisa di tubuh Mak Endah” ucap Gama tiba-tiba.

“Sengaja setelah meminum air yang kakek berikan malam itu, sosok itu terkunci dan akan menghabisi nenek tua itu” jawab Ki Duduy.

Bersamaan tubuh Rara yang ikut bergetar, membuat Bah Idim sudah mengetahui untuk berbuat apa pada tubuh Rara.

“Akar sasar itu, akan menukar segalanya lihat saja Gam” ucap Ki Duduy, langsung memberikan pertanda agar Budi menutup mulut Mak Endah yang akan berteriak kencang.

Tiba-tiba mata Mak Endah melotot sangat kuat, dan langsung terpejam bersamaan dengan mata Rara yang terbuka, dan Budi langsung melepaskan tangannya dari mulut Mak Endah, hingga keluarlah lendir hitam sangat banyak, seketika tubuh tua Mak Endah di usianya yang semakin senja itu menghembuskan nafas terakhirnya.

“Budi panggil Jaka suruh masuk…” ucap Ki Duduy setelah mengusap wajah Mak Endah hingga matanya yang melotot itu seketika tertutup.

“Mang gimana Rara…” tanya Gama yang semakin panik, karena pandangan mata Rara masih kosong.

“Tidak apa-apa, yang sulit hanya membuka mata dan pemantik sadar di bawah alam sadarnya saja Gam, cepat lakukan sesuatu” ucap Ki Duduy.

Membuat Gama langsung perlahan memangku tubuh Rara sama halnya ketika membawa Rara keluar dari leuweung sasar, mata Gama seketika terpejam dan langsung membaca sebuah amalan, merasakan di bagian punggung Rara sudah sangat panas.

Hanya suara tangis Jaka yang terdengar beberapa saat kemudian hilang, ketika mendapati Mak Endah meninggal dengan cara seperti itu, beruntungnya Ki Duduy sudah memberi tahu Jaka kemungkinan terburuk yang akan menimpanya.

“Lebih baik seperti itu Kek, jika Rara sadar Mak Endah harus mati sekalipun tidak apa-apa, tidak ada pilihan lain, apalagi perbuatan salahnya harus ditebus, biarkan selanjutnya Rara hidup dengan Jaka setelah sadar” ucapan itu terlontar di suatu malam saat Jaka berbicara serius dengan Ki Duduy.

Seketika mata Gama terbuka, dengan keringat yang kembali membanjiri tubuhnya itu, bersama pandangan mata Rara mulai sadar.

“Ma..mang Jaka…” ucap Rara pertama kalinya, dengan tubuh yang mulai bergerak dari pangkuan Gama.

“Pak… Pak Gama…” ucap Rara pelan sekali.

“Pejamkan mata kamu Ra, ini Bapak… agar kondisi kamu pulih terlebih dahulu ya…” ucap Gama, membuat Rara hanya menganggukan kepalanya, memahami ucapan dari sang guru yang biasa ia dengar suaranya di sekolah itu, bersamaan dengan Mang Idim memberikan air ramuan dari dedaunan yang langsung Rara minum seperti orang kehausan.

Tubuh Rara sudah kembali Gama baringkan di dekat Mang Idim, dengan isak tangis Jaka perlahan membawa tubuh Mak Endah yang sudah dilepaskan ikatan pada tanganya itu.

“Benar kek ini kemungkinan terburuknya, Jaka ikhlas melihat Mak meninggal dan Rara kembali sadar, tapi bagaimana menutupi ini semua pada warga kampung” ucap Jaka, dibantu Budi mengangkat tubuh Mak Endah.

“Bilang saja Rara kamu temukan kemarin malam di leuweung sasar, ketika sampai di rumah kondisi Mak Endah sudah seperti itu, buatlah narasi dan giring kepercayaan Rara bahwa ini ada kaitanya dengan Mimin dan Karta, warga hanya ingin melihat kembali kamu jualan normal dan Rara ada yang menjaganya, paham” ucap Ki Duduy, membuat Jaka menganggukan kepalanya.

Rara sudah dibawa oleh Mang Idim masuk ke kamarnya, sementara mayat Mak Endah sudah tertutup kain sarung terbentang di halaman tengah rumahnya, sudah terkena sorotan sinar matahari yang semakin meninggi hari ini.

“Kek apa ini sudah selesai” tanya Gama dengan tubuhnya yang mulai melemah, setelah menyadarkan Rara barusan.

“Seharusnya sudah, tapi kakek merasa kita perlu membalas kebaikan Danan dan Cahyo…” ucap Ki Duduy seperti memikirkan sesuatu.

“Mereka sedang perjalanan ke arah timur Kek, terakhir yang Gama dengar saat berjumpa dengan Danan di bukit cupu itu” jawab Gama perlahan.

“Entahlah perasaan kakek tidak tenang, karena kita belum membalas semua kebaikan mereka, tanpa Kliwon, Danan dan Cahyo dan saudara-saudaranya itu, masalah leuweung sasar dan kematian Mak Endah tidak akan mudah kita selesaikan, pertanda sudah kakek rasakan Gam..“ ucap Ki Duduy sambil menepuk pundak Gama perlahan.

“Pertanda itu cepat atau lambat akan tiba pada kamu juga, jika sudah waktunya” lanjut Ki Duduy.

Ucapan terakhir Ki Duduy di depan mayat Mak Endah membuat tubuh Gama perlahan melemah, berbeda dengan Budi yang kembali pulih setelah meminum ramuan yang diberikan Mang Idim.

“Bud, titipkan pesan pada Jaka, temui Pak Hadi dan jelaskan semuanya, juga tegaskan pada Jaka, jangan menyebutkan namaku dan kamu kepada siapapun!” ucap Gama dengan tegas.

“Ba..baik aku paham Gam, sudah jangan kamu lawan pejamkan matamu itu” jawab Budi sambil menganggukan kepalanya.

***

Bala Bantuan Balas Budi

Tubuh Gama sudah terbaring lemas di rumahnya, sudah berkali-kali pijatan tangan Mang Idim dan segala jenis ramuannya itu masuk ke dalam tubuh Gama, namun sampai sore tiba belum ada sama sekali perubahan.

Bersamaan dengan gemparnya kabar dari rumah Mimin berada, ditemukannya dua mayat yang diyakini para warga adalah korban pesugihan apalagi bersamaan dengan kabar Mak Endah meninggal, membuat kabar itu saling berkaitan menjadi kabar paling buruk.

“Kek gimana ini sudah hampir 5 jam lebih Gama belum sadarkan diri” ucap Dewi dengan sangat cemas.

“Tidak apa-apa Wi, belum saja, wajar perjalanan menyelesaikan masalah sampai Rara sadar tidaklah mudah” jawab Ki Duduy, sudah memastikan gelang gengge itu berada di dalam saku Gama, karena meong hideung sudah berjalan terpincang-pincang dan seketika diam di dekat kepala Gama, menyandarkan tubuhnya.

“Sudah aku titipkan pesan kepada Jaka, agar setiap hari mengambil ramuan ke toko Dewi, sebelum Rara benar-benar pulih dan kembali hidup normal, sampai mayat Mak Endah ke liang lahat ia masih kelihatan bingung Kek” sahut Mang Idim.

“Maaf, Rara sudah kehilangan Nenek, Ibu dan Bapaknya sejak mereka bersekutu, mereka sudah mati sebelum waktunya…” sahut Budi tiba-tiba.

“Sampai berminggu-minggu kedepan kita cari aman jangan membuat curiga, semoga tidak meninggalkan jejak apapun” jawab Ki Duduy menjelaskan.

Mang Idim, Budi dan Dewi hanya mengangguk saja, sambil terus menunggu Gama kembali sadar, walaupun Ki Duduy sedang menerka-nerka firasat yang terus terlintas di kepalanya itu, karena masih berkaitan dengan nama Danan dan Cahyo.

“Jangan kamu lawan Gam, siapa tahu pertanda itu akan tiba lebih cepat” bisik Ki Duduy di dekat telinga Gama.

Gama yang masih terpejam tiba-tiba mencium bau dari botol wewangian yang sebelumnya sudah ia berikan kepada Danan, yang sudah banyak menolongnya sampai leuweung sasar benar-benar tertutup, dari wewe gombel yang sudah dihabisi meong hideung sampai penerus dan para dalang utamanya mati dengan cara mengenaskan.

“Danan…” ucap Gama dalam gelap pandangan matanya Gama, ia mendengar jelas suara Danan dan Cahyo seperti sedang berada dalam sebuah pertarungan, satu sosok yang Gama lihat dalam tubuhnya itu dikelilingi api yang membara, membuat Gama benar-benar kebingungan.

“Nan apa ini!” bisik Gama melihat semakin jelas beberapa orang yang benar-benar dalam keadaan tersudutkan termasuk Cahyo dengan kekuatan Wanasuranya itu sudah Gama lihat perlahan semakin jelas.

“lalampahan kaula Gam, henteu ninggali ruang jeng waktu sebuah panghambat, parjalanan kaula napakeun tilas jang ngabantuan sagala rupi masalah nu aya, maranehna ayena giliran menta tulung, mangkat ka ujung timur ka eta leuweung aya nu lewih badag jeung kuat tibatan masalah nu enggus Gama beresan…”

(Perjalanan saya Gam, tidak melihat ruang dan waktu sebagai halangan, perjalanan saya menginjakan kaki membantu segala rupa masalah yang ada, orang-orang itu sekarang giliran minta tolong, pergi ke ujung timur menuju itu hutan ada yang lebih kuat dari masalah yang sudah kamu bereskan) ucapan Ki Langsamana terdengar perlahan oleh Gama, dengan jubah putih dan sorban menempel di kepalanya sudah Gama lihat, membuat Gama hanya menganggukan kepalanya.

“Ba..baik buyut, Gama paham bagaimanapun caranya pasti ada jalan untuk membantu mereka” ucap Gama semakin tidak sabar untuk menemui Danan dan Cahyo, yang sedang terlibat masalah jauh lebih besar itu.

***

“Kek…” ucap Gama, tiba-tiba membuka matanya dengan sekujur tubuhnya penuh dengan keringat.

“Alhamdulillah Gam, cepat minum ini” ucap Ki Duduy, bersamaan dengan Budi dan Mang Idim berjalan mendekat.

Gama langsung meminum semua air ramuan yang dibuat Mang Idim, bahkan ia kaget ketika melihat keluar sudah sangat gelap, bahkan Dewi tertidur di sebelahnya.

“Maaf ada tamu yang mau berjumpa dengan Bapak” ucap Mang Tahrim tiba-tiba.

“Suruh masuk Mang…” jawab Gama singkat.

Kemudian Gama menceritakan apa yang ia lihat dan rasakan dalam mimpinya, membuat Ki Duduy hanya menganggukan kepala, apalagi ketika Gama menyebutkan nama Ki Langsamana, Mang Idim dan Budi langsung tertunduk.

“Danan butuh bantuan Kek…” ucap Gama.

“Itu mungkin orang itu yang akan membawa kamu dan Budi berjumpa dengan Danan juga Cahyo…” jawab Ki Duduy sambil tersenyum.

“Maaf Kek, beri tahu Dewi nanti saja Kek, aku harus temui tamu itu” ucap Gama perlahan bangun dengan keadaan tubuhnya yang kembali normal diikuti oleh Budi.

“Asalamualikum Gama, Budi waktunya kita pergi, perkenalkan saya Jagad yang akan membawa kalian berjumpa dengan Danan dan Cahyo mereka terdesak”

“Waalaikumsalam… baik saya sudah dapat pertanda itu, bagaimana caranya” jawab Gama, walaupun sesekali Jagad melihat ke arah Budi dengan perawakannya yang aneh, apalagi rambut gondrongnya itu.

“Tapi Gam” bisik Budi, masih cemas akan kondisi Gama.

“Bukannya kamu ingin terlibat pertarungan besar Bud, ini salah satu cara kita berterimakasih, sudah ikut saja cepat” jawab Gama.

Gama dan Budi langsung pamit tergesa-gesa pada Ki Duduy dan Mang Idim.

“Tolong dan balas budi dengan cara adab kita Gam…” ucap Ki Duduy menghantarkan kepergian Gama dan Budi, setelah mengingatkan untuk membawa gelang gengge itu.

Baru saja Budi dan Gama melewati gerbang rumah, membuat Mang Tahrim kebingungan apalagi hari sudah gelap.

“Bagaimana Jagad kita sampai cepat ke hutan itu…” ucap Gama, dan Budi masih terlihat kebingungan.

“Jagad segoro demit jarak di alam sini dan di alam sana berbeda Gam…” jawab Jagad tiba-tiba muncul kabut putih cukup pekat, membuat Gama dan Budi berjalan mengikuti langkah jagad.

Seketika Gama dan Budi langsung kaget, ketika melihat Danan semakin terpojok, bahkan Gama melihat Paklek.

“Gam bantu Danan cepat!!!” ucap Budi panik, sambil melihat meong hideung sudah berada di dekat kaki Gama.

Gama seketika mengeluarkan gelang genggenya.

“Kring… kringgg… kringggg…”

Dengan cepat menghentakan kaki kanan pada tanah, membuat meong hideung berubah wujudnya langsung menerkam salah satu orang yang hampir menembuskan sebuah keris ke wajah Danan.

“Tidak berbeda jauh dari mimpi yang sudah aku lihat Bud, bahkan ada Ki Langsamana, ini pertarungan besar, bantu juga mereka” ucap Gama, langsung dijawab sebuah anggukan kepala Budi.

Bahkan Danan masih tidak percaya ketika melihat ke arah meong hideung lalu melihat ke arahku dan Budi.

“Maaf Danan, kami terlambat” ucap Gama sambil menjulurkan tangan agar membuat Danan terbangun.

Danan masih terlihat kebingungan namun setelah melihat ke arah Jagad keluar dari dalam kabut dengan terengah-engah, membuat Danan memahami sesuatu.

“Mas Jagad yang menjemput kami” ucap Gama.

Sambil Budi berjalan mendekat ke arahku dan Danan, Danan langsung memperkenal Prabu Sudrokolo makhluk yang kembali dari api neraka, membuat Gama mendapatkan jawaban yang kedua kalinya dari alam mimpi ia melihat kobaran api, sangat berkaitan.

Kobaran api itu terus berada di tubuh Mpu Jandrik membuat meong hideung menjauh dan hal itu dirasakan oleh Gama, ketika seseorang itu sama sekali tidak gentar pada meong hideung.

Berbeda dengan Budi yang terus mengawasi sekitar, bahkan insting bertarungnya sudah hadir melihat keadaan yang seperti ini, ia harus melindungi Gama dari Mpu Jandrik yang terlihat akan menyerang Gama.

“Akan aku habisi siapapun yang menyentuh kamu Gam” ucap Budi.

“Brrugggg!!!” pukulan Budi layangkan pada Mpu Jandrik dengan keras.

“Jangan sentuh Gama!” ucap Budi sudah sangat sigap, dan Budi langsung menyelamatkan Cahyo yang terjatuh didepannya.

“Mamang Gondrong! Kalau nolongin yang niat! Jangan dilempar begitu saja” teriak Cahyo.

“Berisik!” ucap Budi, walaupun dalam dirinya Budi tidak menyangka akan berjumpa lagi dengan cahyo dan terlibat pertarungan yang ia sudah nantikan, sebagai Balas Budi.”

Budi langsung mendapatkan perintah dari Gama untuk mengurus makhluk berkaki empat, tanpa ada penolakan dalam dirinya itu, dan Cahyo yang baru saja dipulihkan oleh Paklek langsung bergerak.

“Kalau begitu biar aku yang menemani Mamang Gondrong” ucap Cahyo.

Gama langsung mengikuti langkah Danan menuju Prabu Sudrakala yang akan berniat menghabisi salah satu bagian dari Danan, yang Danan panggil dengan nama Nyai Jambrong.

“Wanasura!! Kerahkan semua kekuatanmu!” teriak Cahyo, membuat Budi sangat terpesona dengan makhluk yang berada di tubuh Cahyo itu.

Bersamaan dengan tiba-tiba muncul Kliwon dari arah pepohonan dan melompat menyentuh tangan Budi, ia langsung merasakan sesuatu gejolak dalam tubuhnya.

Seseorang sudah berucap pada Cahyo agar tidak menahan dirinya dan akan ada yang memulihkan setiap luka, ucapan itu cukup membuat Budi senang karena pertarungan sesungguhnya akan terjadi.

Mpu Jandrik langsung menyeram Budi dan Cahyo tapi mereka berdua sama sekali tidak gentar atau hanya sekedar mundur beberapa langkah pun tidak Budi dan Cahyo lakukan.

Seketika Budi dibuat kaget manakala melihat kekuatan kaki Cahyo menendang Mpu Jandrik sangat kencang hingga terpental, membuat Budi langsung menangkap tangan Mpu Jandrik dan menariknya hingga terputus.

“Arrrgghhhh!!!”

“Manusia sialan!!!”
Teriakan kesakitan Mpu Jandrik langsung terdengar kencang.

“Heh! Jangan sadis-sadis” teriak Cahyo.

Budi masih berusaha memisahkan kepala Mpu Jandrik dari tubuhnya sekuat tenaga.

“Berisik! Kalau tidak suka pergi saja bertarung sama monyet!” ucap Budi langsung menghindar dari keris Mpu Jandrik dan menusukkan kukunya di bahu bekas lengan yang terputus itu.

“Arrrghhhh!!!” Mpu Jandrik benar-benar meraung kesakitan.

Tiba-tiba Budi melihat sebuah pukulan menghantam Mpu Jandrik membuatnya langsung tersungkur ke tanah.

“Kuat sekali Cahyo!” bisik Budi dalam hatinya.

“Nggak mau, monyet alas wetan serem-serem” jawab Cahyo pada umpatan Budi itu.

Bahkan Budi langsung melihat ke arah Kliwon dan membenarkan ucapan Cahyo. “Benar Juga” ucap Budi.

Paklek langsung ikut bergabung dengan pertarungan karena melihat Mpu Jandrik mulai terdesak, dengan menahan keris Mpu Jandrik.

“Aku putuskan satu lagi lengannya” bisik Budi langsung meraih tangan Mpu Jandrik, di ikuti Cahyo yang menangkap bagian kepalanya itu.

“Tolong Prabu! Tolong!” teriak Mpu Jandrik.
Namun teriakan itu tiba-tiba berhenti ketika Cahyo meremas kepala Mpu Jandrik dan memecahkan isi kepalanya.

“Kraaaakkkkk!!!”

Bersamaan dengan bola mata makhluk itu keluar dari tempatnya dan darah mengalir.

“Kau bilang aku sadis” ucap Budi merasa bahwa Cahyo jauh lebih sadis atas apa yang dilakukannya itu didepan mata Budi.

Getaran dan raungan meong hideung mengemparkan seluruh hutan, membuat Gama sama sekali tidak cemas, tetap yakin untuk mengalahkan Prabu Sudrokolo.

“Seharusnya ada cara, makhluk dari neraka itu jauh menyeramkan!” bisik hati Gama.

Lalu Danan tiba-tiba membaca sesuatu yang Gama tak mengerti, itu adalah sebuah mantra. Gama terus memperhatikan keadaan sekitar apa yang dikatakan Prabu Sudrokolo dengan Nyai Jambrong dan Nyai Sendang Rangu yang menurunkan hujan semakin deras.

Karena membuat keadaan semakin terdesak, Gama tahu betul untuk melakukan sesuatu.

“Kringggg… kringgg… kringggg…”

Gama langsung mengentakan kaki, lalu bersimpuh untuk membacakan amalan dan doa kepada Ki Langsamana, dan seketika Gama dapat merasakan kehadiran sang buyut.

“Sekarang Danan!” ucap Gama perlahan, sudah memahami sesuatu menuntun Danan agar bergerak.

Hanya terdengar teriakan Prabu Sudrokolo yang tidak percaya bahwa akan termakan oleh kekuatannya itu, aku sangat yakin Danan bisa merasakan suara meong hidueng didekatnya.

Danan dengan lincah menaiki tubuh Prabu Sundrokolo dan menancapkan keris rogosukmo ke tubuhnya berkali-kali dan menggigit telinganya hingga putus.

Seketika Gama langsung cemas, manakala tubuh Danan ditangkap oleh Prabu Sudrokolo dan dibantingkannya, Gama langsung tenang kembali melihat Danan yang sudah membacakan mantra pada kerisnya, membuat perubahan itu disaksikan terkagum-kagum di mata Gama.

“Danan, Wanasura dan Kliwon akan menahan tangannya”

Gama sudah mendengar suara Cahyo mendekat, serta suara Nyi Sendang Rangu yang akan mencoba mengalihkan pikirannya, membuat Danan langsung mengincar bagian jantung Prabu Sundrokolo.

“Cepat Danan” bisik hati Gama mulai cemas.

“Aku tidak akan mati, setelah kalian mampu bergerak akan kulumat kalian semua” ucap Prabu Sudrokolo.

“Anjing yang sudah terpojok hanya bisa menggonggong!” jawab Danan menancapkan keris ke bagian dahi Prabu Sudrokolo.

Bahkan Gama langsung kaget ketika keris itu membuat tubuh Prabu Sudrokolo menjadi dua bagian.

“Seharusnya belum usai” bisik hati Gama mulai tidak yakin, karena kekuatan Prabu Sudrokolo sangat kuat.

Danan keadaannya semakin bahaya ajian yang baru Gama ketahui bernama Ajian Segoro Demit bisa tidak terkendali membuat semua orang sangat khawatir.

Palek langsung mengobati Danan, sementara Cahyo sudah berada didekat Danan, kecemasan terlukis di wajah Danan agar Cahyo lebih hati-hati.

“Sudah ku bilang aku tidak bisa mati lagi!” teriak Prabu Sudrokolo yang mulai memulihkan dirinya.

“Benar-benar keadaanya semakin bahaya” ucap Gama menunggung keadaan yang tepat ketika ia akan mengeluarkan keuatan meong hideungnya.

Cahyo dengan cepat melibas setan-setan hitam setelah kemunculan Nyai Kunti, serta Mas Linus yang akan mengunci mereka masuk ke sebuah lubang.

“Tidak! Tidak mungkin aku kalah dari setan rendahan sepertimu!” teriak Prabu Sudrokolo menatap Nyai Kunti kesal.

Nyai Kunti seketika berhadapan dengan Gama, membuat Gama langsung terdiam, bahkan membuat Budi akan berlari ke arah Gama namun ditahan oleh Cahyo.

“Jadi ini keturunan ulama pengembara itu” ucap Nyai Kunti, membuat Gama hanya menelan lundahnya saja.

“Katakan padanya, terima kasih…” lanjut Nyai Kunti perlahan menghilang begitu saja.

“Sekarang!!!” ucap Gama dala hati memberikan perintah pada meong hideung.

Membuat meong hideung langsung menerjang tubuh Prabu Sudrokolo hingga kembali ke lubang, api besar kembali membara saat tubuhnya jatuh ke dalam, kemudian meong hideung dengan langkahnya yang menggetarkan isi hutan pergi ke arah paling gelap.

***

Gama dan Budi sudah berada di sebuah rumah gubuk tempat Danan memulihkan kondisinya.

“Danan, aku kembali dulu ya!” ucap Gama menongolkan wajahnya.

Danan langsung terlihat berusaha berdiri dan berjalan keluar.

“Terima kasih sudah merepotkan kalian” ucap Danan.

“Tidak apa-apa Nan, toh kalian juga sudah membantu kami pada masalah leuweung sasar” jawab Gama.

Terlihat Mas Jagad yang sudah mulai pulih membaca ajiannya, sekumpulan kabut pekat sudah muncul didekatnya.

“Kita pergi sekarang…” ucap Mas Jagad.

Gama dan Budi langsung mendekat ke arah kabut itu, terlihat Cahyo melambaikan tangan ke mereka berdua.

“Mamang Gondorong! Kalau ke klaten jangan lupa mampir!” teriak Cahyo.

“Sekali lagi kau memanggilku Mamang Gondrong kulumat kepalamu!” balas Budi dengan geram, walaupun panggilan itu akan selamanya menjadi kenangan untuk Budi, bahwa ada manusia bernama Panjul yang berani memberinya julukan itu.

“Kita tau caraya sekarang Bud, kapan saja bisa berjumpa dengan Danan dan Cahyo” ucap Gama tiba-tiba.

“Bagaimana caranya Gam” jawab Budi penasaran.

“Caranya saling mendoakan dan saling menolong, kita tidak tahu bagaimana pencipta dengan segala kehendaknya bisa mempertemukan kita dengan mereka, dan sekarang kita dipisahkan juga…” ucap Gama.

“Adab dan balas budi harus tetap kita junjung, pelajaran berharga bisa mengenal mereka… Danan Jaya Sambara dan Panjul…”

-TAMAT-

Langit kuning keemasan dengan keindahannya itu sedang turun perlahan, pergeseran sore menuju malam tidak akan lama terjadi, Gama masih menunggu seseorang datang didepan toko bagunan Dewi yang sudah tertutup setengahnya itu.

“Gam sudah kamu bawa salin baju coklat kamu, takut ketinggalan didalam” ucap Dewi dari dalam toko.

“Sudah Wi, biasanya Budi sudah datang bawa ramuan itu ya, masa mau nyuruh Jaka nunggu lama disini tidak enak aku” jawab Gama, masih melihat ke arah jalan.

“Sebentar lagi mungkin… mudah-mudahan dengan ramuan itu Rara cepat bisa kembali ke sekolah Gam” ucap Dewi perlahan.

Sejak kabar kematian Mak Endah, Mimin dan Karta, Rara hanya hidup berdua dengan Jaka yang kembali berjualan gorengan, namun pengobatan ramuan yang dibuat oleh Mang Idim dan Ki Dudu ini bisa menjaga Rara dan tidak terulang pada masalah yang sama.

“Nah akhirnya Budi datang” ucap Gama dari kejauhan sudah melihat Budi melesat kencang, namun tidak membawa plastik hitam.

“Maaf Gam, sudah aku antarkan ke rumah Jaka, sambil memantau keadaan kampung” ucap Budi sambil turun dari kendaraan roda duanya itu.

“Lalu Bud, Rara gimana aku hanya bisa malam hari menjenguk Rara” tanya Gama semakin cemas.

“Membaik, dan kemarin sore warga kampung wetan tilasjajah kembali gempar…” jawab Budi perlahan.

Para warga kampung melihat penampakan sosok hitam mirip dengan wajah Karni berjalan ke arah ujung leuweung sasar, dan mereka yakini sekarang, bahwa Karni adalah dalang utama pengkhianat.

“Hidup memang selalu punya cara kerjanya masing-masing, kapan kita berkunjung ke makam Abah dan Mak kamu” ucap Gama perlahan.

“Sama Gam, ternyata rasanya sama… sebentar lagi malam tiba dan indahnya sore ternyata hanya seketika, biarkan aku pelihara rasa sakit itu pada kematian Abah dan Mak, agar aku bisa menjaga leuweung sasar selama aku masih bernyawa” jawab Budi sambil meneteskan air matanya.

Gama hanya menepuk pundak orang yang selalu menjaganya, bahkan Gama percaya Budi tidak akan berkhianat pada ucapannya sendiri.

Ketika malam semakin larut dan Dewi sang istri sudah beristirahat lelap, Gama sudah berada didalam ruangan kerjanya itu, duduk diatas sejadah, sambil terus mengirimkan doa kepada pencipta, meminta agar perjumpaannya dengan Danan dan Cahyo bukanlah yang terakhir kalinya.

Tiap hembusan nafasnya itu terucap nama sang buyut, mata Gama semakin terpejam hatinya terus berucap nama Ki Langsamana, hingga Gama terbawa pada sebuah bukit tempat dimana ia bejumpa dengan Danan.

Seketika samar-samar Danan terlihat oleh Gama seperti sama-sama kebingungan kenapa kembali ke tempat ini, namun Gama menyadari Ki Langsamana sudah berada didekatnya dan hal itu dilihat juga oleh Danan.

“Danan kamu sudah menjadi murid dan bagian dari keluargaku” ucap Gama dalam hatinya, melihat ke arah Danan sambil tersenyum.

Kemudian Gama melangkah bersama Ki Langsamana, merasakan bahwa pelajaran dan perjalanan akan terus beriringan menjadikan kehidupan lebih mempunyai arti dan makna, termasuk perjumpaannya dengan Danan Jaya Sambara dan Panjul dua orang bukan hanya pendekar dalam kelakukan, namun dalam hati nurani dan pikiran.

-SELESAI-

Terimakasih saya ucapakan kepada teman-teman yang membaca cerita ini dari part awal sampai akhir, seperti biasa jadikan cerita ini hiburan atau selebihnya pelajaran, karena cerita sudah selesai maka cerita baru akan segera hadir.
close