Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

LEUWEUNG SAREBU LELEMBUT (Part 7) - Akar Sasar

"Diatas tanah ini manusia menjadi budak. Tumbal darah, daging dan nyawa sudah sepantasnya diberikan untuk Sang Tuan"


Akar Sasar

“Semua berawal, malapetaka itu tidak serta merta datang, ada yang menghendaki hingga ada yang mengabdi, bukan kepada pencipta tapi kepada MEREKA”
...
Suara tawa melengking sosok perempuan berambut panjang menggema ke seluruh isi leuweung sasar, tepat belum lama hari baru saja berganti dan gelap malam semakin pekat, perempuan dengan wajah penuh dengan belatung itu hanya mengenakan selendang untuk menutupi seluruh bagian tubuhnya sama dengan yang pernah Gama ambil, dari tubuh Wewe Gombel.

Bersamaan dengan kobaran api yang semakin membara dan asap putih semakin pekat, dari sisa-sisa kemenyan hitam yang terus terbakar, setelah Budi lemparkan sisa pasir pemberian dari Kliwon, yang telah diambilnya langsung diatas tanah bekas rumah Budi pernah berdiri, ketika Bah Amar dan Ni Warsih masih hidup.

Baru saja Budi menerobos kobaran api agar berhadapan dengan sosok perempuan yang menampakan dirinya semakin menjijikan, Budi sudah menatap tajam ke arah sosok perempuan yang terus tersenyum, sambil mengeluarkan lendir hitam di mulutnya, pelukan erat semakin perempuan itu kencangkan pada anak kecil yang sudah Gama dan Budi kenali adalah Rara, bahkan wajah pucat Rara sama persis dengan yang pernah Budi lihat sebelumnya, urat-urat di wajahnya terlihat semakin jelas dengan pandangan mata yang kosong.

“Lepaskan Rara!!!” teriak Budi sambil mengeluarkan pisau dari balik punggungnya.

Sesekali pandangan Budi terhalangi asap pekat putih sementara api sudah membekas di baju kotor yang Budi kenakan dan mengenai rambut gondrongnya, namun tidak perdulikan sama sekali.

“Mayat-mayat sudah terbaring di rumah Endah nenek sialan itu Jalu! Kakek tua dan lelaki tidak berguna itu sudah mati!!!” bentak Mimin dengan perlahan matanya mulai memerah, sambil kepalanya terus bergerak menerima rasukan dari sosok yang menempel di tubuhnya itu.

Membuat Budi langsung terdiam tanpa bergerak sedikitpun setelah mendengar kalimat “Mati” masuk kedalam dua lubang telinganya, terlebih angin kencang yang kini datang menerpa untuk membesarkan kobaran api yang menyala, dan semakin banyak asap putih di sekitaran Mimin yang terus mendekap Rara dengan erat, memperjelas wajah hancur Mimin yang semakin parah, jauh berbeda ketika Budi melihatnya di halaman belakang rumah Mimin.

“P...Percuma semuanya sudah berakhir! Anak ini akan jadi persembahan terakhirku! Sia-sia semua yang sudah kamu perbuat!” lanjut Mimin semakin dirinya mundur menjauh dari Budi, terus mengelus rambut Rara.

“Budi diam!” teriak Gama sangat kencang setelah membuka matanya, menghentikan langkah Budi yang akan mengejar Mimin.

“Leuweung sasar akan terus terbuka!!!” teriak Mimin sambil membalikan badannya masuk lebih dalam pada pekatnya asap putih.

Budi masih melihat jelas darah hitam di wajah Mimin dan selendang yang menempel di tubuhnya itu, begitu dengan Gama yang masih menahan dirinya untuk bertindak karena sudah mendengar suara yang tidak asing di kedua telinga nya itu, dari atas pepohonan sesuatu bergerak dengan cepat.

“Srek… srekk.. srekkk”

Suara itu sontak membuat Gama dan Budi yang masih terpisahkan oleh kobaran api yang kini semakin padam itu melihat ke arah pohon yang sama, begitu juga dengan meong hideung  yang langsung tiba-tiba bergerak ke salah satu pohon besar.

“Kliwon…” ucap Gama perlahan, melihat kesalah satu pohon, Kliwon dengan ekor panjangnya sudah berdiri dan memandang ke arah Gama juga Budi secara bergantian.

Namun Kliwon sama sekali tidak memperdulikan Mimin yang sempat berbalik, Kliwon seperti membiarkan Mimin bergerak begitu saja, tidak seperti pertemuannya sebelumnya dengan wewe gombel yang dikejar Kliwon.

“Aku paham sesuatu Budi! Cepat kesini!” teriak Gama tiba-tiba.
Membuat Budi langsung berjalan cepat ke arah Gama, mengitari kobaran api.

“Maaf Gam maksudnya apa barusan aku tidak paham sama sekali dengan penampakan Mimin” ucap Budi yang kini sudah berhasil mengendalikan dirinya, berusaha mengatur nafasnya yang sudah ngos-ngosan.

Gama hanya menganggukan kepalanya berkali-kali yang sudah dibanjiri keringat itu, mengelapnya dengan perlahan, lalu menatap tajam ke arah asap putih yang kini hampir habis terkena hembusan angin.

“Tidak mungkin pasir peninggalan Bah Amar bapak kamu itu tidak berguna Bud, barusan hanya jelmaan Mimin dari sosok penghuni leuweung sasar yang bisa diundang melalui terbakarnya sisa kemenyan hitam itu..“ ucap Gama, bahkan suaranya itu mampu menarik perhatian Kliwon yang masih berada di salah satu pohon dan dibawahnya terdapat meong hideung.

“La...lalu Gam…” tanya Budi semakin penasaran, karena melihat gelagat Gama yang akan berbicara.

“Lalu, aku ingat ucapan Ki Duduy Bud… sesungguhnya tipu daya setan itu lemah, dan kita jangan terpengaruh, leuweung sasar sudah tertutup!” lanjut Gama perlahan sambil memejamkan matanya, tangannya perlahan bergerak ke arah saku celana untuk memegang gelang gengge, hal itu membuat Budi semakin penasaran.

Dalam gelapnya pandangan Gama saat ini, ia melihat berbagai macam sosok tergesa-gesa menuju arah dua batu besar yang sebelumnya sudah Budi taburkan pasir, namun penampakan wujud dari mereka jauh lebih mengerikan dengan sekujur tubuhnya dipenuhi bulu hitam.

“Tolong…”

“Tolong lepaskannnn!!!”

“Ikut.... kami tidak ingin berada disini, tolongggg..”

Teriakan-teriakan itu seketika dapat didengar oleh Budi, ketika Gama kembali membuka matanya.

Tubuh Budi yang kekar dengan rambut gondrongnya itu terus mencari asal suara-suara meminta tolong, bahkan silih bergantian dengan teriakan suara perempuan dari seluruh penjuru leuweung sasar.

“Mereka yang tersesat dan tidak akan pernah bisa kembali, akibat menduakan penciptanya Bud, tapi ini belum selesai masih ada yang tersisa! Percaya itu!” ucap Gama, membuat Budi langsung menundukan kepalanya di hadapan Gama, pasrah akan perintah Gama selanjutnya.

“Mereka akan tetap sama Gam, jika ada manusia biadab yang kembali memanfaatkannya, lebih baik tidak akan pernah terbuka lagi tempat ini dan biarkan jauh dari jamahan manusia” jawab Budi perlahan.

Tiba-tiba angin kencang datang dari dalam leuweung sasar, membuat Kliwon bergerak cepat ke arah menuju pintu masuk leuweung dengan cepat.

“Pergi cepat!” bentak Gama tiba-tiba.

Merasakan bahwa kedatangan seribu lelembut akan masuk ke dalam leuweung jauh lebih banyak dari arah timur.

Budi langsung mengikuti langkah Gama dan Meong Hideung, berserta Kliwon yang sudah meloncat dari satu pohon ke pohon lainnya.

“Tolong…”

“Tolong lepaskannnn!!!”

“Gam…” ucap Budi sambil terus berlari.

“Jangan pedulikan suara-suara itu, lihat ke atas!” jawab Gama sudah mengambil langkah seribu, agar cepat keluar dari leuweung sasar.

Burung-burung hitam sudah kembali berterbangan, namun kini jauh lebih banyak dari biasanya, serta kini mengeluarkan suara yang membuat bulu pundak Gama dan Budi yang sudah bermandikan keringat itu seketika berdiri.

Namun malah meong hideung berhenti ketika dilewati oleh Gama dan Budi, kepalanya bergerak dan secara bersamaan tubuhnya sudah menghadap ke arah dalam leuweung sasar, yang kini mengeluarkan angin jauh lebih kencang, membuat setiap pohon ikut bergerak dan suara dedaunan itu semakin berisik.

“Biarkan saja Bud, meong hideung tau caranya, cepat!!!” teriak Gama, sudah melihat pintu leuweung sasar didepan matanya.

“Aaaaaaa!!!”

Tiba-tiba ketika tepat kaki Gama dan Budi melewati batas leuweung sasar dengan ujung kampung wetan tilasjajah suara teriakan itu terdengar jauh berkali lipat lebih kencang dari sebelumnya, di ikuti meong hideung yang berlari terpincang-pincang.

“Mereka tidak akan bisa keluar lagi dari leuweung sasar, kecuali kita benar-benar menguncinya..” ucap Gama kembali memejamkan matanya, melihat semakin banyak sosok-sosok hitam penuh bulu itu masuk secara bersamaan.

“Pasir yang kamu taburkan didekat dua batu besar itu sedang berkerja Bud” lanjut Gama.

“Aku paham siapa yang harus aku habisi agar leuweung ini benar-benar rapat! Dua manusia yang masih memanfaatkan leuweung sasar harus berakhir ditanganku Gam, agar Rara cepat kembali sadar!” ucap Budi kini sudah tidak terkendali, manakala mengingat semua kekacauan yang sudah terjadi selama ini.

Namun tiba-tiba Kliwon yang sudah berjarak tidak terlalu jauh dari Gama dan Budi itu menggerakan kepalanya, seperti memberikan pesan kepada Gama.

“Sayang aku tidak paham maksud kliwon malam ini Bud, lihat itu”

“Benar kata Danan yang paham hanya Cahyo, tapi pesan apa itu Gam” jawab Budi semakin kebingungan apalagi kini meong hideung menatap tajam dengan kedua matanya yang semakin menyala itu.

“Bahaya Budi! Cepat ikuti langkah Kliwon!” bentak Gama, ketika dari kejauhan ia melihat banyak sekali api yang menyala berasal dari obor yang dipegang para warga kampung wetan tilasjajah sedang berjalan ke arahnya.

“Cepat Gam! Itu warga kampung! Bisa jadi mereka mengetahui kita dari dua orang yang tertidur di tanah, seharusnya aku buat mereka mati!” jawab Budi tergesa-gesa, mengikut Kliwon yang langsung bergerak, membuka sebuah jalan baru agar bisa keluar dari kampung dan lolos dari kejara warga.

“Itu mereka berdua! Kejar cepat kejar!”

“Pasti mereka keluar dari leuweung, cepat kejar!”

“Penyusup! Bisa jadi dua orang itu juga yang membunuh Bah Karni!”

“Cepat kejarrrrr!!!”
Suara dari teriakan warga kampung sudah terdengar di telinga Gama dan Budi, walaupun jaraknya masih terlampau jauh, namun kesaksian dua orang warga itu pasti memberitahu warga lainnya.

“Aku bisa saja berhenti disini Gam, bisa aku habisi semua!” ucap Budi terus menerobos berbagai pohon yang bahkan baru pertama kali ia injak di tanah kelahirannya ini.

“Jangan! Jangan Budi! Cepat lari!” jawab Gama sambil menarik tangan Budi, tidak ingin membuang waktu.

“Masih ada yang perlu kita selesaikan sebelum matahari terbit dari timur Bud! Itu yang kamu nantikan! Mereka sudah menunggu kita!” lanjut Gama terus mengikuti kliwon yang berpindah dari satu pohon ke pohon lainnya, begitu juga meong hideung yang berlari terpincang-pincang.

Jalan samping kampung lainnya sudah Gama dan Budi lalui, walaupun perlahan Budi mengerti jalan yang di pandu oleh Kliwon ini akan membawanya pada tempat dimana motor Gama berada.

“Hanya dua orang Bud, mereka berhenti mengejar kita, cepat tidak banyak waktu!” ucap Gama yang sudah ngos-ngosan mengatur nafasnya.

“Arah sana, aku sudah tahu jalan ini Gam” jawab Budi, sambil menunjuk ke arah samping depan.

Sementara Kliwon sudah bergerak terlebih dahulu bersama meong hideung untuk memastikan keadaan didepan.

Langkah Gama dan Budi semakin perlahan, masing-masing dalam dirinya memastikan bahwa mereka berdua tidak salah mengambil langkah, agar tidak berurusan dengan warga kampung wetan tilasjajah.

“Kita harus cepat ke rumah Mimin” bisik Gama.

Membuat Budi langsung menahan pundak Gama, sedikit memaksa untuk menunduk.

“Sebentar Gam, itu lihat ada tiga orang lagi yang harus kita lalui dan warga yang ada di ujung kampung pasti cepat kembali lagi” bisik Budi.

Tiga orang warga itu terus saja memutarkan tubuhnya, obor-obor di tangannya itu tidak pernah lepas lagi, apalagi satu orang sudah membawa senter lampu yang diarahkannya ke berbagai sudut.

“Ada penyusup! Dua orang! Masuk ke leuweung sasar!”

Tiba-tiba Gama dan Budi dibuat kaget, manakala orang yang baru saja datang itu ternyata salah satu yang sudah dibuat Budi tergeletak di atas tanah, bahkan pakaian kotornya itu masih dikenakan orang itu, sambil berkali-kali memegang bagian lehernya.

“Pasti mereka akan keluar lewat depan sini, yang lain sedang berkeliling sebentar lagi menyusul kesini, tidak mungkin mereka berenang melewati sungai bisa mati konyol!”

“Apa ciri-cirinya! dari tadi kita bertiga disini berjaga tidak ada tanda-tanda”

“Berambut gondrong badannya kekar, satunya lagi biasa saja! Ingat hati-hati jangan sampai mereka lolos, harus kita ketahui apa tujuan mereka”

Gama terus saja berpikir mencari cara apa yang harus segera mereka lakukan, sementara ucapan Ki Duduy yang pernah sampai di telinga Gama langsung berbuah bukti. Karni si penghianat itu benar-benar harum namanya setelah Budi habisi sampai tidak bernyawa.

“Maaf Gam aku tahu caranya… ini yang akan mempersingkat waktu, akan aku hadapi mereka berempat… kamu loloskan diri ketika mereka aku pancing mendekat, tunggu aku di tengah jembatan saja” ucap Budi sambil tersenyum ke arah Gama, perlahan tangannya bergerak ke balik punggung.

“Bud…” jawab Gama langsung menepis perlahan tangan Budi, tidak ingin ada nyawa lagi yang melayang sia-sia dalam masalah ini, walaupun sudah melihat dari mereka bertiga sudah terdapat golok yang menempel di bagian pingangnya.

“Aku janji Gam, mereka akan tetap hidup… ketika aku melangkah ke depan, kamu bergerak ke samping dengan cepat, lalu bawa motor itu, aku akan menyusul…” ucap Budi sudah menatap ke arah mereka berempat dengan tatapan tajamnya.

“Ingat pesan aku Bud” bisik Gama sudah bersiap.

Budi hanya menganggukan kepalanya, sementara Kliwon masih berdiam diri diatas pohon begitu juga dengan meong hideung yang berada di dekat kaki Gama.

“Itu bukan orangnya!” teriak salah satu warga mendapati Budi dengan rambut gondrongnya hampir menutupi seluruh bagian wajahnya.

“Be..benar itu orangnya yang sudah memukul saya!”

Mereka berempat diluar dugaan Gama yang baru saja akan mengambil langkah seribunya, tiba-tiba mengeluarkan golok namun sama sekali raut wajah Budi tidak memperlihatkan rasa takut.

“Heh! Apa tujuanmu ke kampung ini penyusup!” teriak salah satu warga sudah mengeluarkan goloknya dan diarahkan satu jajar dengan wajah Budi, sambil terus mendekat meninggalkan pos penjagaanya, langsung terkena umpan Budi.

“Jawab apa aku buat kamu mati! Atau kamu yang membunuh Bah karni hah!”

“Jika keadaan mendesak bantu Budi!” bisik Gama ke meong hideung sambil mengelus kepalanya.

Setelah kepala Budi mengangguk satu kali memberikan pertanda kepada Gama, Gama langsung berjalan cepat ke arah motornya terparkir, meyakini Budi akan mengikuti ucapannya karena sampai detik ini tanganya belum bergerak ke arah belakang punggungnya itu, sementara meong hideung dan Kliwon masih berdiam di tempatnya.

Dengan tergesa-gesa Gama sudah berada di atas jok kendaraan roda duanya itu, setelah kunci berhasil ia masukan dengan mudah kendaraan itu sudah menyala.

“Arrrghhhhhh!!!”

“Arrrrggghhhh!!! Siapa kamu ini!!!”

Membuat Gama yang mendengar teriakan jelas bukan dari suara Budi, melainkan suara warga kampung.

“Bud jangan sampai…” bisik hati Gama semakin cemas, tidak ingin apa yang dilakukan Budi di luar batas.

“Ampuuunnnn!!!”

“Tolongggg…”

Dengan melesat cepat, kendaraan roda dua Gama sudah berhenti tepat di tengah jembatan, beberapa kali ia sudah melihat jam tua yang menempel di tangannya itu, waktu terus bergerak cepat, dengan angin dini hari yang semakin terasa dingin.

“Bud cepat…” ucap Gama masih duduk diatas jok kendaraan roda duanya itu, berkali-kali ia melihat ke arah spion untuk memastikan keadaan Budi, namun belum memperlihatkan pertanda Budi datang.

“Burung-burung hitam itu tidak berhenti berterbangan..” ucap Gama sambil memandang lurus ke arah leuweung sasar, yang dipisahkan oleh sungai yang kini mengluarkan suara cukup berisik dari air yang mengalir deras itu.

“Kadang kala setan yang ada didalam diri manusia jauh lebih mengerikan!” lanjut Gama teringat pada tujuan akhirnya malam ini harus menuju rumah Mimin dan Karta, dan semakin memahami bahwa sosok dari leuweung sasar belum seluruhnya kembali.

Baru saja Gama kembali melihat ke arah spion, langsung terlihat Budi menganggukan kepalanya kemudian berjalan dengan cepat ke arah Gama, namun Gama melihat jelas Budi baru saja memasukan pisau yang berada ditangannya itu kebalik punggungnya.

“Bud jangan bilang…” ucap Gama semakin cemas.

“Ti..tidak Gam…” jawab Budi terbata-bata tidak bisa menyembunyikan apapun di hadapan Gama.

“Hanya satu orang saja biar mempersingkat waktu saja, yang tiga akan tidur berhari-hari saja, semua tergeletak di tempat mereka berjaga, semua rapi tanpa meninggalkan jejak” lanjut Budi.

“Keadaan leuweung sudah kita tutup, tapi masih ada dua manusia yang kemungkinan mendatangi tempat itu lagi, terlebih sosok hitam penuh bulu dan lelembut penerus wewe gombel berada di tubuh orang itu Bud, ayo cepat naik” ucap Gama.

“Apa boleh aku pastikan Kakek dan Bah Idim masih hidup Gam” jawab Budi tiba-tiba.

Membuat dahi Gama mengkerut mendengar perkataan Budi saat ini, apalagi kondisi bajunya masih tercetak bekas api dan keadaan rambut gondrong sudah semakin berantakan sekali.

“Naik dulu kita cari tempat aman, ke arah rumah Mimin mereka pasti sudah menanti kita di rumahnya Bud” jawab Gama.

Kendaraan roda dua itu langsung melesat ke arah timur, tepat dimana Gama merasakan sejak dari dalam leuweung sasar, seribu lelembut itu kembali.

“Gam di depan saja, aku tidak enak hati cepat telpon Bah Idim…” bisik Budi.

Seketika rem motor itu Gama injak dengan mendadak, kepala Gama memastikan tidak ada warga kampung wetan tilasjajah yang mengikutinya.

“Asalamualaikum Mang” ucap Gama setelah mengeluarkan handphonenya.

“Waalaikumsalam Gam! Alhamdulillah Budi mana, Ki Duduy sedari tadi nunggu” jawab Mang Idim.

Namun anehnya Gama mendengar jelas seperti suara seseorang yang sedang berontak dengan mulut yang tersumbat.

“Hallo Gam dengar tidak suara Amang” ucap Mang Idim berkali-kali memanggil nama Gama.

“Iyah Mang dengar, ini Gama kasih handphonenya ke Budi…” jawab Gama semakin jelas bahwa pendengarnya itu tidak salah.

“Mulut tersumbat, mungkin orang itu terikat juga” bisik hati Gama semakin cemas, pada apa yang sedang terjadi di rumah Mak Endah, sementara ia yakin Rara masih terbaring belum sadarkan diri.

Ketika handphone berada di samping telinga Budi, sama sekali ia tidak berbicara satu patah kata pun keluar dari mulutnya, kepalanya hanya mengangguk berkali-kali.

“M...mak Endah tidak salah lagi…” ucap Gama perlahan.

Kemudian Budi mengeluarkan senyumnya setelah anggukan kepala terakhirnya itu.

“Ayo Gam benar jangan sampai kita terlambat sebelum matahari pagi terbit semuanya harus selesai, hidup ataupun mati semuanya harus kita akhiri…” ucap Budi tiba-tiba langsung berpindah ke depan mengantikan Gama untuk mengemudi kendaraan roda dua itu.

“Bud siapa orang dalam sekapan itu yang mulutnya tersumbat” tanya Gama semakin penasaran.

“Maaf Gam aku juga dengar suara itu, tapi Ki Duduy hanya perintah aku selesaikan Mimin dan Karta saja terlebih dahulu, setelah itu kita di tunggu di rumah Mak Endah, akar masalah leuweung sasar semakin jelas Gam” jawab Budi semakin kencang menarik gas kendaraan roda dua.

“Bagus itu juga yang aku mau, cepat Bud! Jika pagi tiba maka kesaktian mimin akan berkali lipat, dari sisa sarebu lelembut yang masih ada disana, ritual penghabisan sudah pasti Mimin lakukan untuk menyambut kedatangan kita” ucap Gama menjelaskan apa yang sudah ia rasakan sejak dari dalam leuweung sasar.

“Mungkin setelah aku bawa kepala Mimin dan Karta terpisah dari tubuhnya ke hadapan Ibu dan mertua perempuan Karta, semuanya semakin jelas” jawab Budi, sudah memahami hal apa saja yang akan diperbuat untuk berhadapan dengan Mimin untuk yang kedua kalinya dalam satu malam.

***

Kediaman Mimin Kusumaputri

Seorang perempuan dengan hanya mengenakan kain tipis berupa selendang hitam, yang kini hanya menutupi sebagian tubuhnya sedang berjalan tergesa dari halaman belakang rumahnya nan luas, bersamaan dengan angin dini hari yang sudah berhembus membawa dinginnya itu sedari tadi.

“Mi..min ada apa ini sebenarnya” tanya Karta penasaran, sudah membekas sebuah luka yang cukup dalam dibagian dada dan wajahnya itu bekas cakaran meong hideung yang belum benar-benar kering.

Karta terus mengikuti langkah Mimin yang semakin cepat dengan hanya bertelanjang dada, seluruh tubuhnya sudah berwarna hitam membekas sisa kemenyan hitam, sudah ditanamkan Mimin sosok hitam dari leuweung sasar yang tersisa di tubuh Karta.

“Min jawab ada apa ini!” tanya Karta.

“Sudah diam! Tutup mulut kamu!” bentak Mimin tiba-tiba, menatap kesal ke arah Karta.

“B...baik tuanku” jawab Karta tanpa ia sadari perkataan itu keluar begitu saja dari mulutnya.

Hanya payudara yang menggantung panjang yang ikut bergerak manakala Mimin sedang menaiki satu persatu anak tangga agar sampai di lantai dua rumahnya, Karta tetap melihat kecantikan Mimin yang berkali lipat, walaupun ketika Mimin melintasi setiap cermin atau kaca yang berada di dalam rumahnya yang sudah gelap, wajah Mimin yang hancur penuh belatung dan rambutnya yang panjang menjulang berantakan adalah penampakan asli wujud Mimin dini hari ini.

“Sialan mereka sudah tidak lagi memenuhi halaman rumah ini!” ucap Mimin dengan kesal, ketika memperhatikan sekitar rumahnya dari lantai dua itu sosok seribu lelembut dari leuweung sasar yang sebelumnya berhasil ia undang, kini sudah hilang begitu saja.

“Kemana mereka Min, apa ini tanda bahaya untuk kita” ucap Karta tiba-tiba dengan sangat panik, terus saja memandang Mimin penuh dengan rasa nafsu birahi yang bergejolak dalam dirinya.

“Pagi tinggal beberapa jam lagi! Jangan sampai dini hari ini…” ucap Mimin namun tiba-tiba berhenti, manakala mendengar suara hentakan kaki besar tiba di kamar yang sudah ia kunci, sebuah tempat untuk melakukan ritual.

“Min itu datang…” ucap Karta sambil melihat ke arah pintu kamar.

“Dor! Dorr!! Dorrr!!!”

Pukulan dari tangan yang besar dari makhluk hitam penuh bulu sudah mendarat berkali-kali memberikan pertanda untuk Mimin.

“Jangan cemas Karta, waktunya sudah tiba berarti ini benar-benar dalam bahaya!

Akan aku panggil lagi sarebu lelembut dari leuweung sasar untuk menjaga dan menghabisi musuh-musuh kita, tunggu disini!” ucap Mimin sambil melemparkan senyum paling manis yang pernah Karta lihat, berjalan dengan cepat ke arah kamarnya untuk mengambil kunci yang Mimin simpan di laci lemari yang mempunyai cermin.

“Akan aku selesaikan semuanya! Nikmatilah persembahan terakhirku ini, sebagai penerus yang patuh! Akan aku ambil kembali Rara! Aku janji!” bisik hati Mimin sempat menoleh ke arah cermin, sambil mengambil beberapa belatung yang menempel di wajahnya, lalu mulutnya perlahan terbuka, mengunyahnya dengan perlahan.

“Tunggu Karta ritual kali ini tidak akan lama” ucap Mimin sudah memasukan kunci ke lubang pintu, sambil melemparkan senyum manis untuk yang kedua kalinya.

“Tapi Min!!!” teriak Karta.

“Ceklekk… ceklekkk…”

Manakala pintu itu terbuka, asap putih yang pekat tiba-tiba keluar bak sebuah sambutan untuk Mimin, yang baru saja melepaskan selendang yang sedari tadi menutupi tubuhnya.

“Min! Mimin!!!” teriak Karta semakin kencang.
Membuat Mimin sedikit menolehkan wajahnya yang tiba-tiba bisa Karta lihat sudah sangat pucat, dan berjalan aneh dengan cara sempoyongan masuk ke dalam kamar, untuk menyerahkan tubuhnya pada sosok hitam penuh bulu yang sudah menantinya itu.

“Seperti mayat! Apa Mimin sudah mati!” ucap Karta tiba-tiba, ketika mendengar suara pintu terkunci, wajah Mimin yang menoleh barusan tetap terbayang jelas dalam pikiran Karta.

perasaan gusar dan cemas sudah kembali Karta rasakan, sambil terus berdiri seluruh tubuhnya banjir keringat namun tidak mampu membuat bekas kemenyan hitam itu luntur dari tubuhnya.

“Ampuuunnn!!!”

“Aaaaaaa!!!”

“Sakitttttt!!!”

“Tolonggggg Kartaaa!!!”

Suara dari mulut Mimin sudah Karta dengan jelas, bersamaan angin kencang berkali-kali membuat beberapa jendela besar di lantai dua rumah itu ikut bergetar, bersamaan suara teriakan kencang dari balik pintu itu terus Karta dengar.

“Tidak biasanya Mimin berteriak meminta tolong!” bisik hati Karta semakin cemas, membuat ia bergerak mendekat ke arah pintu.

Langkahnya tiba-tiba berhenti ketika asap putih itu keluar kembali dari celah pintu bawah, membuat Karta menjadi panik namun tidak tahu dirinya harus berbuat apa, karena teriakan kesakitan itu semakin kencang keluar dari mulut Mimin.

Ketika kepala Karta didekatkannya pada pintu itu, tiba-tiba suara kesakitan itu malah berganti dengan teriakan tertawa yang melengkin kencang, bak sebuah pertanda yang sama sekali tidak Karta pahami.

“Budi, Gama kemudian dua orang yang pernah bertanya kepadaku dan Mimin, dua orang yang berasal dari tengah pulau ini akan aku cari sampai liang lahatnya!” bisik hati Karta yang sudah membara sebuah dendam, karena empat nama itu pernah Mimin katakan harus berakhir di tangannya, agar bisa kembali melakukan ritual di leuweung sasar dan Rara berada kembali di pangkuannya.

“Setelah matahari terbit!” lanjut Karta sambil menganggukan kepalanya, kemudian menyentuh bekas luka di bagian wajahnya yang belum kering itu.

“Kabeuh geus balik ka tempat asalna, sarebu lelembut di leuweung sasar bakal nurut jeung jadi budak maneh, syaratna…"

(Semua sudah pulang ke tempat asalnya, seribu lelembut di leuweung sasar bakal patuh dan menjadi budak kamu, syaratnya…)

Sosok hitam berbadan dua kali lebih besar dari tubuh Mimin sedang berada tepat di antara kedua celah paha Mimin yang terbuka lebar, suara berat menyeramkan sudah Mimin dengar dan lendir hitamnya itu sudah menetes mengenai tubuhnya.

“Na..naon syaratna hampura kabeh geus kagok baseh, kabeh kudu aya di pangkuan urang"

(A...apa syaratnya maaf semuanya sudah terlanjur basah, semua harus ada di pangkuan saya) ucap Mimin dengan tubuhnya yang sudah mati rasa, berada di dekapan tubuh berbulu hitam yang lebat.

Perlahan tubuh besar itu semakin menekan, mendekatkan kepalanya di dekat telinga Mimin sambil kuku panjangnya bak pedang itu mengelus perut Mimin dengan tajamnya.

“Lamun kabeh mayit jelema-jelema eta kumaneh bawa ka jero leuweung sasar, jeung budak nu asalna dina darah daging maneh, tebusan nu paling sabanding jang sarebu lelembut nu bakal ngahji jeng awak maneh”

(Jika semua mayat manusia-manusia itu kamu bawa ke dalam leuweung sasar, dan anak yang berasal dari darah daging kamu, tebusan yang paling sebanding dengan seribu lelembut yang bakal menyatu dengan tubuh kamu) bisik sosok hitam dekat dengan telinga Mimin, setiap lendir hitamnya itu sudah mengenai bagian pipinya.

Mimin sudah menganggukan kepalanya secara perlahan mengerti keinginan sang tuan besarnya itu, bersamaan Mimin sudah merasakan kuku panjang nan tajam dari sosok hitam yang kedua matanya itu terus menyala, menggoreskan diatas kulit perutnya yang sudah pucat.

“Aaaaaa!!!”

“Ampppunnnnn…”

Mulut Mimin terbuka sangat lebar, mengeluarkan lendir yang sama dan darah yang tidak lagi berwarna merah melainkan hitam mengalir begitu saja sangat banyak, bersamaan satu kali hentakan tubuh hitam berbulu lebat itu pada tubuh Mimin.

“Pake eta benda nu dina sarung hideung, sabetkeun ka kebeh beuheung manusa-manusa termasuk monyet jeng meong hideung”

(Pakai benda itu yang ada di sarung hitam, sayatkan ke semua leher manusia-manusia termasuk monyet dan meong hideung) lanjut sosok hitam itu kemudian semakin menekan kuku panjangnya pada perut Mimin.

“Aaaaaaaaaa!!!!”

“Min! Mimin buka min!!!” teriak Karta sambil mengambil kain selendang hitam yang tergeletak di dekat pintu, perasaannya sudah benar-benar sangat cemas pada keadaan Mimin.

“Dor! Dorr!! Dorrr!!!”

“Min buka!!!” teriak Karta jauh lebih kencang, tidak kuasa lagi menahan kepanikannya.

“Kreketttt…”

Setelah suara pintu terbuka, tiba-tiba tubuh telanjang Mimin sudah berada didepan Karta, dengan perlahan mengambil selendang tipisnya untuk kembali Mimin kenakan, tanpa berbicara satu patah katapun pada Karta.

Baru saja Mimin akan menarik pintunya agar kembali tertutup, Karta melihat tubuh seseorang dengan bagian kakinya yang sudah pucat, namun belum sempat ia pastikan karena kamar benar-benar gelap, pintu itu sudah kembali Mimin kunci dengan cepat.

“Kaki pucat!!!” bisik hati Karta, sambil melihat ke arah bagian Kaki Mimin.

“Persis kaki Mimin!!!” ucap Karta perlahan.

Manakala Mimin mendengar ucapan yang keluar dari mulutnya Karta, tiba-tiba Mimin menarik bagian kepala Karta dengan sangat kuat.

“Arrrrrghhhh!!! Ampunnn!!!”

“Sakit Mimin!!! Lepaskannnn!!!”

Sebuah usapan satu tangan Mimin yang mempunyai kuku panjang itu mengusap wajah Karta dengan kasar, membuat luka bekas cakaran meong hideung tiu kembali mengeluarkan banyak darah, sampai menyentuh lantai keramik.

“Dengarkan perintahku! Buka semua jendela yang ada di rumah ini cepat!!!” bentak Mimin tiba-tiba saja panik, sudah merasakan akan datang sesuatu yang mendekat dari arah halaman belakang rumahnya itu.

Tanpa ada penolakan dari Karta yang sekarang matanya sudah menyala merah itu, Mimin berjalan ke arah jendela kamarnya, tubuhnya tiba-tiba mundur perlahan menjauh dari jendela yang sudah bergerak terkena angin semakin kencang.

“Meong hideung!!!” ucap Mimin, kembali ingat pada sebuah benda yang sudah diberikannya pada ritual yang belum lama selesai itu, membuatnya kembali ke kamar yang belum ia kunci.

Suara jendela-jendela yang berada di rumah Mimin sudah terdengar sangat berisik terkena hembusan angin dini hari yang semakin kencang, apalagi Karta sudah berada di lantai satu rumah untuk membuka semua jendela.

Benda panjang yang tertutup kain hitam sudah berada di tangan Mimin yang sudah kembali ke kamarnya, perlahan dari kain hitam itu sudah mengeluarkan wangi bunga yang menyengat.

“Pedang! Akan aku habisi semuanya!” ucap Mimin, kemudian mengarahkan ujung pedang panjang itu ke arah meong hideung, yang berdiam di dekat gerbang yang sudah terbuka lebar, namun sama sekali tidak membuat meong hideung itu bergerak ketakutan malah kedua mata kuningnya itu semakin menyala.

“Termasuk binatang hitam sialan itu!!!!” teriak Mimin kemudian tertawa kencang, karena merasa orang-orang yang seharusnya ia cari dan habisi dengan cepat, malah datang kembali ke rumahnya untuk yang kedua kali, membuat ia semakin yakin bahwa akan kembali merebut seribu lelembut dan melakukan ritual sakral setelah membawa Rara kembali ke pangkuannya.

“Datang!!! Akhirnya!!!” lanjut Mimin sambil tersenyum lebar bersamaan belatung di wajahnya itu kembali ia ambil dan dimasukkannya ke dalam mulutnya yang sudah terbuka lebar.

***

Digjaya Adiguna Gama & Jalu Kertarajasa

Kendaraan roda dua yang sedari jauh sudah melesat kencang menerobos angin-angin dingin dini hari itu baru saja tiba, di depan sebuah rumah besar nan megah, namun Gama sudah merasakan sebuah keanehan yang ia lihat dan rasakan, ketika kedua bola matanya itu menatap ke arah halaman depan rumah yang pagarnya itu masih terkunci rapat.

“Bud sepertinya ada yang aneh! Sisa-sisa dari sosok seribu lelembut masih terasa sebelumnya memadati rumah itu” ucap Gama tiba-tiba sambil turun dari motor.

Belum sempat Budi menjawab, ketika pandangan mata Gama ke arah lantai dua rumah ia dibuat terkejut ketika melihat seluruh jendela rumah itu terbuka semuanya, terus perlahan bergerak terkena angin.

“Tidak mungkin hal itu tanpa alasan dilakukan Mimin, pasti ada tujuannya Gam” ucap Budi langsung melangkah menuju samping rumah yang bertembok tinggi menjulang, berjalan perlahan melewati satu pohon ke pohon lainnya.

“Licin! Salah satu cara untuk Mimin melarikan diri atau yang lainnya belum bisa aku pastikan Bud” jawab Gama berusaha mengatur dirinya untuk jauh lebih tenang.

"Srek… srekk… srekkk…"

“Kliwon Gam, itu diatas pohon” ucap Budi tiba-tiba.

“Apa yang Cahyo titipkan sangat berguna, didepan juga sudah ada meong hideung Bud, lihat…” jawab Gama, walaupun setelah itu kulit di dahinya mengkerut heran, melihat dua mata meong hideung yang sudah menyala kuning, menatap tajam ke arah salah satu jendela di lantai dua.

“Ayo Gam cepat, aku sudah tidak sabar” ucap Budi berjalan ke arah meong hideung, dan Kliwon yang ada diatas salah satu pohon.

“Mimin dan Karta pasti tidak akan tinggal diam menyambut kedatangan yang kedua kali ini” bisik hati Gama, sudah mendengar terlebih dahulu suara berisik dari arah rumah Mimin yang kini masih terhalang sebuah tembok, membuat bulu pundaknya seketika berdiri.

Beberapa langkah Gama dan Budi akan sampai ke sebuah gerbang besi yang masih terbuka lebar, sama seperti sore tadi ketika Gama membawa Budi dari siksaan Karta yang mengila.

Meong hideung langsung menempelkan kepalanya itu pada kaki Gama mengusap-usapakannya.

“Iya aku paham, tenang kita selesaikan sebelum pagi” bisik hati Gama mengelus kepala meong hideung.

“Seluruh jendela terbuka semuanya, begitu juga dengan pintu dapurnya Gam, aku yakin ada sebuah jebakan!” ucap Budi yang sudah bermandikan keringat itu.

Bayangan hitam seperti tubuh Karta sudah Gama dan Budi lihat melintas berkali-kali dengan sangat cepat di dalam rumah, yang sudah sengaja dibuat gelap itu.

“Harusnya bukan lawan sebanding Gam, akan aku pisahkan kepala dengan tubuhnya, ayo!” lanjut Budi sudah mulai melangkah terlebih dahulu, meninggalkan Gama yang masih terdiam mematung merasakan tubuhnya tiba-tiba berubah menjadi panas.

“Gama! Gam tunggu!” suara yang tidak asing itu tiba-tiba Gama dengar dari arah belakang, membuat ia langsung berbalik badan.

“Mang! Ada apa Mang! Sama siapa kesini…” tanya Gama menjadi panik, melihat Mang Idim sudah banjir keringat, apalagi kaos putih yang dikenakannya itu sudah terlihat kotor, walau ditutup jaket tipisnya.

“Indra yang antar, dia menuggu di samping jalan… bahaya Gam keadaan Rara semakin memburuk, bawa selendang ini…” jawab Mang Idim sambil mengeluarkan selendang hitam tipis yang Gama ambil dari tubuh wewe gombel.

“Ki Duduy yang titipkan itu Gam, cepat susul Budi dia sudah berbalik badan, Amang akan berjaga di balik pohon itu, tidak banyak waktu yang tersisa” lanjut Mang Idim.

“Mak Endah gimana Mang?” tanya Gama tiba-tiba.

Membuat Mang Idim sangat kaget dengan ucapan Gama kali ini.

“Selesaikan terlebih dahulu Mimin dan Karta, selendang itu yang akan membuat seluruh ilmu yang dimiliki luntur, ritual persetubuhannya tidak akan berguna, mungkin sudah mati! Ki Duduy bilang usapkan pada jasad Mimin!” jawab Mang Idim perlahan menjelaskan.

“Mimin maksudnya Mang yang sudah mati, apa Mak Endah” ucap Gama semakin penasaran.

Mang Idim hanya menggelengkan kepalanya, kemudian kepalanya bergerak memberikan tanda kepada Gama agar segera berbalik badan.

Seorang perempuan dengan rambut panjang berantakan, tubuhnya hanya ditutupi selendang dan wajahnya semakin hancur itu tersenyum ke arah Gama dan Mang Idim, kemudian tubuhnya perlahan mundur, perempuan itu sudah mengetahui tamu yang dinantikannya sudah tiba.

“Cepat sana susul Budi” ucap Mang Idim, kemudian berjalan ke arah satu pohon yang bisa melihat lurus ke arah dapur.

Budi sudah terlihat kebingungan berada tepat di depan pintu dapur, beberapa kali melihat ke arah Gama dan mengelengkan kepalanya saja berkali-kali.

“Ma...mati kalian!” teriak suara perempuan dari dalam isi rumah yang belum sama sekali Gama dan Budi masuki itu, membuat Gama langsung memasukan selendang hitam itu ke dalam saku celana bersama gelang gengge.

“Itu Gam! Ayo” ucap Budi nafasnya sudah ngos-ngosan kobaran dendam pada orang yang telah membuat leuweung sasar terbuka akan dibalaskannya sekarang.

“Hati-hati Bud, kita tidak pernah masuk ke dalam rumah ini, Karta dan Mimin bisa muncul dimana saja!” ucap Gama dengan tegas.

Langkah kaki mereka berdua perlahan masuk melewati pintu dapur yang terus bergerak terkena angin, diikuti meong hideung dibelakang kaki Gama.

“Bruggg!!!”

Tiba-tiba pintu dapur seperti ada yang menutupnya kencang, kemudian dengan jelas Budi dan Gama lihat gagangnya bergerak mengunci.

“Percuma pintu itu terkunci, semua jendela di rumah ini sudah terbuka, jangan sampai Mimin dan Karta bisa melarikan diri Bud” ucap Gama, sudah sangat waspada karena bisa saja mereka berdua di serang dari berbagai arah.

Tidak ada satu bendapun dan keadaan di dalam dapur yang membahayakan setelah Gama pastikan keadaanya.

“Ki Duduy bilang Gam, tidak bisa memastikan persekutuan Mimin dengan seribu lelembut di leweung sasar membuat ia sudah mati atau masih hidup” ucap Budi tiba-tiba ketika akan sampai ke ruangan tengah rumah yang sama gelapnya, hanya suara-suara jendela yang terkena angin terus terdengar semakin kencang.

“Sama dengan yang Bah Idim katakan Bud entah siapa yang sudah mati” ucap Gama perlahan, tidak ingin menyebutkan nama Mak Endah.

“Jika masih hidup akan aku buat mereka berdua mati, jika sudah mati akan aku bakar mayat mereka berdua, itu harga sebanding” jawab Budi dengan sangat dingin, tiba-tiba menghentikan langkahnya dengan cepat tangannya bergerak ke arah belakang punggungnya untuk mengambil pisau andalannya itu.

Ruangan tengah rumah yang terdapat banyak sekali barang-barang mewah dan lemari-besar sudah Gama dan Budi lihat, dengan satu tangga mewah yang mengarah menuju lantai dua sudah dekat dengan mereka berdua, serta di lantai dua terdapat guci-guci besar yang sudah berjajar.

“Pasti mereka di atas Bud, hati-hati” ucap Gama, melihat meong hideung terus mengerakan kepalanya memberi pertanda kepada Gama agar bergerak ke arah tangga.

“Budi awasss!!!” teriak Gama dengan sekuat tenaganya menendang punggung Budi.

“Braakkkkk!!!”

Guci besar yang mewah itu sudah hancur berkeping-keping menyisakan ujung dari guci yang terlihat sangat tajam di dekat kepala Budi.

“Bud cepat bangun!” ucap Gama sambil berjalan ke arah Budi, tidak mendapati satu wujudpun yang melemparkan guci itu dari lantai dua.

Baru saja Gama mengulurkan tangannya untuk membantu Budi bangun tiba-tiba terlihat kepala meong hideung terus bergerak, seperti mencari sesuatu dari ruangan gelap seisi rumah ini.

“Tumben meong hideung seperti itu Gam, tidak biasanya” ucap Budi semakin heran.

“Brugggg!!!”

Sebuah tendangan sangat kuat tiba-tiba mendarat menuju perut Gama, membuat tubuhnya terpental ke salah satu lemari besar  tempat berisikan barang-barang antik.

“Brugggg!!!”

Tiba-tiba satu benda ukiran pisau yang antik yang berada di dalam lemari itu akan jatuh satu jajar dengan bagian tengah kepala.

“Gam!!! Awas!!!” teriak Budi sambil berlari.

Sepersekian detik beruntungnya Gama langsung menggulingkan tubuhnya ke samping, andai kata telat ujung tumpul pisau itu akan menancap tepat di ujung kepala Gama.

Nafas Gama langsung ngos-ngosan keringat semakin membanjiri wajahnya, tidak percaya kejadian cepat barusan bisa aja membunuh dirinya dengan cepat.

“Ma..maaf Gam seharusnya barusan tidak menimpa kamu maaf” ucap Budi terbata-bata merasa bersalah.

“Sudah Bud tidak apa-apa, ini akibat perintah Mimin” jawab Gama perlahan, memastikan selendang hitam dan gelang gengge masih ada di dalam saku celananya, dan meong hideung langsung berlari ke arah Gama.

“Ha-ha-ha…”

“Ha-ha-ha… Ha-ha-ha…”

Budi yang masih berjongkok di hadapan tubuh Gama yang perlahan akan bangun, langsung melihat ke arah lantai dua, pada suara tertawa itu berasal.

“Tidak sulit ternyata untuk membuat kalian berdua mati di rumahku!!!” teriak Mimin sudah berdiri di dekat pagar lantai dua, melemparkan senyum paling menyeramkan ke arah Gama dan Budi.

“Penerus Wewe Gombel Bud, tidak usah takut seribu lelembut sudah berada di dalam leuweung sasar terkunci, itu hanya sisa-sisa kekuatan bersetubuh dengan sosok hitam saja” ucap Gama perlahan, sudah bisa merasakan sosok yang berada di dalam tubuh Mimin.

“Kartaaaa!!! Bawa mayat dua orang itu ke atas, sekarang!!!” teriak Mimin sambil mengeluarkan lendir hitam di mulutnya, setiap lendir yang menetes itu ke arah payudaranya yang menjulang, tubuhnya hanya ditutupi kain tipis berupa selendang yang hampir sama dengan yang ada di saku celana Gama.

Membuat Gama dan Budi terus melihat ke arah Mimin yang kini berbalik badan, namun Gama melihat Mimin membawa sesuatu dari kain hitam yang melilit benda itu.

“Sekarang Karta!!! Bawa bangkai binatang itu juga!!!” teriak Mimin jauh lebih kencang, tanpa melihat lagi ke arah lantai satu.

“Budi awas!!!” teriak Gama manakala mendengar suara pisau-pisau tajam melayang ke arah Budi dengan sangat kencang.

“Arrrrghhhh!!!”

Budi tidak menghindari empat pisau yang mengarah tepat ke wajah dan bagian dadanya, malah berdiam diri hingga pisau itu seperti menusuk bukan pada kulit dan daging, melainkan pada benda lunak, hingga setiap pisau itu terjatuh dengan perlahan mengenai lantai keramik.

“Karta keluar kamu!” teriak Budi sangat kencang, suaranya mengemparkan seluruh benda-benda yang berdiri di dalam rumah, matanya sudah sangat tajam bak hewan buas yang akan memangsa, terdengar hembusan nafasnya sudah berat.

“Brug… brugg… bruggg…”

Gama dan Budi melihat sebuah gerakan cepat bak kilat, pindah dari satu tempat ke tempat lainnya, dari gelapnya ruangan rumah dan suara jendela yang semakin kencang bergerak terkena hembusan angin jauh lebih kencang.

“Disini Jalu, akan ku hantarkan kematianmu!”

Suara serak dan berat tiba-tiba Budi dengar dari arah dapur, seseorang dengan tubuh yang bekas goresan kemenyan hitam sudah berdiri tegak, urat-urat di seluruh tubuhnya itu sudah kencang dan hampir lepas dari daging dan kulitnya, matanya sudah menyala merah, dengan luka bekas cakar meong hideung masih membekas di wajahnya.

“Karta!” ucap Budi sangat kaget, melihat perubahan Karta dengan mulutnya yang terus terbuka lebar, mengeluarkan lendir hitam.

“Maaf Gam, cepat perintah aku” ucap Budi tanpa melihat ke arah Gama lagi, dengan pandanganya yang semakin tajam.

“Tanpa aturan yang dikatakan Ki Duduy, sekarang Bud!” ucap Gama dengan tegas, kini sudah memegang gelang gengge..

BERSAMBUNG

*****
Selanjutnya
LEUWEUNG SAREBU LELEMBUT (Part 8) - Bagian Akhir

*****
Sebelumnya
close