Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

LEUWEUNG SAREBU LELEMBUT (Part 6) - Ritual Penghabisan

"Diatas tanah ini manusia menjadi budak. Tumbal darah, daging dan nyawa sudah sepantasnya diberikan untuk Sang Tuan"


Ritual Penghabisan

“Warisan itu terus turun, namun ketika semesta berkerja selalu mempunyai cara tersendiri untuk mengagalkan hal paling keji, agar tidak terulang kembali”

Cahaya kuning keemasan sudah menembus lubang-lubang jendela rumah dan gorden mewah nan mahal yang masih terbuka lebar, pandangan suami istri itu hanya melihat ke arah barat (kulon) dari tempat mereka berdiri, wangi bunga dan asap yang berasal dari kemenyan hitam itu sudah tercium, mengisi seluruh ruangan lantai dua rumah yang luas itu, bukan untuk menikmati indahnya petang yang akan segera berganti dengan malam, melainkan untuk hal gila yang akan segera mereka berdua perbuat.

“Min apa kita mundur dan sudahi semua ini” ucap Karta, terlihat dari raut wajah ketakutannya, setelah belum lama beberapa hari kebelakang menerima kabar meninggalnya Bah Sugik, dan sejak malam itu beberapa sosok dari leuweung sasar menagih sesajen, sudah tiba di kamar kosong itu jauh lebih cepat dari biasanya.

“Mana bukti ucapan kamu Karta! yang akan menghabisi siapapun jika ada yang mengganggu tujuan kita! Setelah Bah Sugik mati, kamu berubah menjadi penakut! Dasar pecundang!” jawab Mimin dengan kesal, menatap ke arah wajah suaminya yang sudah bermandikan keringat.

“Min! dengarkan dulu aku bicara!” jawab Karta dengan suara yang sama kencangnya.

“Dengarkan apalagi Karta! Awalnya aku tidak setuju ketika darah dagingku sendiri yang kita tumbalkan, tapi ambisi dan penjelasan sesat kamu membawaku berjumpa dengan Bah Sugik, semua sudah terlanjur! Minggir! Semua ini perlu diselesaikan!” bisik Mimin dekat dengan telinga Karta.

Karta hanya terdiam, manakala waktu yang dinantikan Mimin sebagai ritual penghabisan itu akan segera tiba, bersamaan dengan matahari yang akan segera tengelam dari barat.

“Aku tidak rela Min!” bentak Karta sangat kencang.

Membuat Mimin dengan tubuh yang semampai indah itu langsung berbalik badan.

“Apa aku rela ketika kamu dengan tega memberikan Rara pada seribu lelembut di leuweung sasar, nanti juga terbiasa Karta! dari pada kita berdua mati sia-sia menyusul Bah Sugik! Kita harus segera merebut Rara kembali ke pelukan kita!” jawab Mimin sambil tersenyum, tiba-tiba memainkan rambut panjang yang terurai indah dengan bergaya-gaya, mempertontonkan sebuah godaan namun bukan untuk Karta.

Mimin langsung berbalik badan setelah melepaskan seluruh pakaian yang menempel di tubuhnya, hanya menyisakan kain tipis hitam seperti selendang, berjalan masuk penuh rasa percaya diri sambil tersenyum lebar ke dalam ruangan yang biasa digunakan untuk menyimpan berbagai sesajen.

“Harus selesai semua ini, sekalipun mundur tetap akan mati, tidak ada pilihan!” bisik hati Mimin dengan pasrah.

“Arrgghhh!!!” bentak kesal Karta melihat dari belakang rambut panjang istrinya terurai jauh lebih indah dari biasanya, namun ia sudah mengetahui selanjutnya istri tercintanya itu akan berbuat sebuah ritual penghabisan, dan itu hal paling buruk untuk bersetubuh dengan sosok dari leuweung sasar, melaksanakan semua petunjuk yang sebelumnya Bah Sugik pernah katakan jika ia mati terlebih dahulu.

“Ceklek… ceklek…”

Suara pintu terkunci sudah Karta dengar dengan jelas, bersamaan dengan cahaya kuning itu semakin turun mengundang malam untuk segera tiba, membuat Karta hanya bisa membakar kesekian kali rokoknya, kepalanya tertunduk tidak jarang hanya menjambak-jambak rambutnya sendiri, meluapkan rasa kesalnya.

“Brug!!! Brug!!! Brug!!!”

Suara hentakan kaki berwujud besar sudah tiba, bersamaan dengan kemenyan hitam yang asapnya sudah memenuhi isi kamar yang baru saja Mimin masuki, beberapa asap kemenyan itu sudah Karta lihat keluar dari celah pintu bagian bawah.

“Terlanjur sudah! dan mulai malam ini sudah bukan istriku lagi!” bisik Karta, terpaksa menerima kenyataan pahit, setelah ritual pertanda Bah Sugik mati ia lihat berdua dengan Mimin.

Hanya suara benda-benda jatuh berserakan, dan suara tikar begeser yang Karta dengar jelas dari balik pintu kamar itu.

“Aaaaaa!!!” teriakan suara Mimin yang melengking kencang sudah terdengar sampai keluar kamar, membuat Karta hanya membantingkan seluruh benda yang berada didekatnya.

“Ja..jadi wewe gombel itu!” ucap Karta terbata-bata, sambil menggelengkan kepalanya.

Suara teriakan-teriakan yang keluar dari mulut Mimin terus menerus Karta dengar, bahkan wadah-wadah pecah di dalam kamar itu juga kembali ia dengar, tidak percaya bahwa perjalanannya mencapai sebuah kemudahan dalam hidup sampai di titik ini.

“Sialan! Akan aku habisi dan kirim orang-orang itu ke liang lahat!” bisik hati Karta, merasa bahwa kematian Bah Sugik dan ritual keji yang dilakukan Mimin istrinya itu perlu balasan yang setimpal.

Seketika Karta memandang heran ke arah kamar, mendengar suara aneh bukan lagi teriakan Mimin namun seperti suara kaki yang digesekan ke lantai berkali-kali dengan sangat kencang, terus ia dengar dengan sangat jeli seperti sebuah benda menyayat tubuh.

“Aaaaa!!!”

Suara Mimin berteriak sangat kencang, namun seketika suara teriakan itu lenyap dengan sendiri.

“Mimin!!!” ucap Karta langsung berdiri, namun ia tidak tahu untuk berbuat apa dan tidak mungkin membuka pintu itu.

Langit malam perlahan sudah menghitam pekat sebagaimana mestinya, sudah hampir setengah jam Karta menunggu suara kunci pintu berbunyi, wajah Karta sudah banjir keringat terus memandang ke arah leuweung sasar, kini suara teriakan Mimin sudah berganti dengan tertawa yang kencang, walaupun Karta merasa bahwa itu bukan suara dari Mimin sepenuhnya.

“Ceklek… ceklek…”

Suara pintu yang dinanti Karta akhirnya terbuka, baru saja ia akan bergerak dari tempatnya berdiri, namun malah mematung dengan nafasnya langsung ngos-ngosan, malah sebuah gairah dalam diri Karta yang tiba-tiba bangkit, manakala melihat istrinya sudah berdiri di dekat pintu kamar, menjawab kecemasan pada teriakan terakhir yang ia dengar, namun tidak terjadi hal buruk apapun.

“Mi..min!” ucap Karta bersamaan dengan air liur keluar dari mulutnya begitu saja, terperanga melihat kecantikan Mimin jauh berkali lipat, dengan wajah yang sudah merah dan mata bekas menangis, serta rambut yang berantakan.

“Sudah selesai Karta, jangan sesekali membuka pintu itu kecuali aku..” ucap Mimin perlahan.

“Kesaktian dari kemenyan hitam peninggalan wewe gombel dan Bah Sugik sudah menyatu dengan tubuhku, ritual penghabisan tadi dan akan terus berlangsung! Kini aku sudah sah menjadi bagian dari sosok-sosok hitam dari leuweung sasar!” lanjut Mimin tersenyum sangat manis, sambil menyisir rambutnya oleh celah jari-jarinya itu.

Ucapan Mimin hanya membuat Karta mengangukan kepalanya bak budak yang sangat patuh pada tuannya, rasa kecewa dan kecemasan sudah berganti dengan bahagia dalam diri Karta sekarang.

Karta langsung mengikuti Mimin masuk ke dalam kamar yang biasa mereka gunakan untuk beristirahat, mengabaikan rasa penasaran pada kamar yang sudah Mimin gunakan untuk bersetubuh dengan sosok hitam itu.

Mimin langsung duduk didepan cermin setelah membuka satu jendela yang bisa melihatnya ke arah halaman belakang dengan sangat jelas, padangan kedua bola matanya itu terus saja mengelilingi setiap sudut halaman belakang seperti akan ada yang datang, namun berhasil ia abaikan, karena sudah tidak ada lagi kecemasan dan ketakutan dalam diri Mimin sekarang.

“Akhirnya, kita akan abadi Karta!” ucap Mimin melihat suaminya dari cermin sudah terbaring diatas kasur, memandangnya penuh birahi apalagi Mimin masih mengenakan kain tipis yang sama seperti sebelumnya.

Tanpa Karta sadari ketika Mimin tersenyum ke arah cermin, kulit wajahnya yang terlihat mulus bak kulit bengkuang itu, kenyataan sudah hancur sebelah, penuh dengan belatung yang menempel di kulitnya dan terus mengeluarkan darah kental, gigi putih yang indah itu sudah menjadi hitam dan bahkan setiap air liur Mimin sudah berwarna hitam, payudaranya sudah menjulang panjang sama halnya dengan wewe gombel, terlebih kuku panjang yang kini menempel di jarinya itu sama persis.

“Min aku tidak pernah melihat kamu secantik ini, ayo kesini…” ucap Karta pandangannya sudah dibutakan dan kesadarannya sudah hilang, bahwa di depannya itu bukan lagi utuh Mimin istrinya.

“Tunggu Karta aku sedang menikmati sesuatu dalam tubuhku ini, apa kamu siap untuk membalaskan dendam” jawab Mimin perlahan.

“Si..siap apapun perintahmu Min” ucap Karta dengan sangat yakin.

Sisir terus bergerak merapikan rambut panjang Mimin sambil tersenyum lebar dan memikirkan kapan waktunya untuk kembali mengambil Rara, terlebih kesaktian dalam tubuhnya sudah luar biasa, menebus amanah dari Bah Sugik untuk meneruskan apa yang sudah dimulai, sudah berkali-kali sisir itu berusaha merapikan rambut namun tetap saja rambut itu tidak bisa rapi sama sekali.

“Akan aku balaskan kematian Bah Sugik dan Rara harus mati di dalam leuweung sasar, selanjutnya aku akan abadi” bisik Mimin sambil kembali tersenyum, kini bisa berbuat apapun dengan sesuatu yang ada didalam dirinya itu, walaupun ia sudah tahu kapan harus melakukan ritual itu lagi.

Tubuh Karta yang sudah tidak sabar untuk menikmati kecantikan istrinya sudah berjalan mendekat ke arah Mimin yang masih duduk di depan cermin, tanganya bergerak perlahan ke arah perut Mimin, tangan satunya lagi memegang tangan Mimin yang sudah mempunyai kuku panjang hal itu tidak di sadari Karta, dan sudah mencium bau yang sangat wangi, tanpa Karta sadari juga, bahwa itu adalah bau dari kemenyan hitam yang ada di tubuh istrinya, apalagi angin terus berhembus dari arah jendela yang masih terbuka.

Tiba-tiba kepala Mimin bergerak beberapa kali, seperti merasakan ada seseorang yang akan datang, matanya yang sayu nan cantik tiba-tiba melotot dan mengarah keluar jendela, membuat Karta mengikuti pandangan itu.

“Datang Karta, lihat lelaki itu yang pernah Bah Sugik katakan anak lelaki satu-satunya pewaris dari juru kunci leuweung sasar, tangannya juga salah satu yang sudah menghabisi wewe gombel dan Bah Sugik! Selendang yang kita cari dan harus kembali ke tangan kita ada diantara mereka!” ucap Mimin dengan suara yang sudah berubah jauh lebih serak, seolah tahu semuanya yang sudah terjadi.

“Ma..mana Min, aku tidak melihatnya…” jawab Karta heran mendengar ucapan istrinya yang sudah berubah pesat, kedua bola mata terus memperhatikan dengan jeli.

“Lihat itu di balik pepohonan, sebentar lagi orang itu akan mencoba menghabisi aku dan kamu, kita buat lelaki gondrong itu mati terlebih dahulu, masih banyak nyawa yang harus mati ditanganku agar tidak ada lagi manusia-manusia brengsek itu!” ucap Mimin sambil tanganya bergerak perlahan, jari telunjuk yang sudah mempunyai kuku panjang itu menunjuk ke arah salah satu pohon, dengan segala kesaktian yang baru ia didapatkan, sudah mengetahui bahwa nasib lelaki gondrong itu akan mati malam ini juga, dan akan dijadikannya persembahan untuk seribu lelembut di leuweung sasar.

Beberapa detik sebelum bibir Mimin berhenti bicara, benar saja lelaki gondrong dengan perawakan jauh lebih kekar dari Karta sedang berjalan mengendap-endap, pindah dari satu pohon ke pohon lainnya, agar bisa melewati satu gerbang besi sebagai pintu masuk ke halaman belakang Mimin.

Tiba-tiba dengan sangat kasar Mimin menjambak rambut Karta dengan pelan, namun yang Karta rasakan sangatlah kencang, tenaga Mimin jauh berkali lipat.

“Mi..min kenapa ini! Ada apa lepaskan!!!”

“Arggghhhhh!!!”

Dengan sekuat tenaga telapak tangan Mimin langsung mengusap wajah Karta, sambil menarik lehernya hingga dekat di telinga Mimin.

“Habisi lelaki gondrong itu, bawa mayatnya ke hadapanku, cepat!” bisik suara Mimin.

Karta yang awalnya melawan sekuat tenaga itu, tiba-tiba menganggukan kepalanya dengan mata yang seketika sudah berubah menjadi merah.

“Ba..baik tuanku!” ucap Karta mengeluarkan suara sangat serak, ketika mulutnya terbuka lendir hitam perlahan menetes mengenai baju tipis Mimin.

Mimin langsung melepaskan jambakan pada rambut dan tarikan tangannya pada leher Karta, hingga Karta berjalan dengan pelan sambil meneteskan air liur hitam, bahkan jalannya sedikit membungkuk.

“Ha-ha-ha!!!”

Hanya suara tertawa Mimin yang melengking kencang mengemparkan rumah yang sangat luas dan besar itu, suara tertawanya seolah memberikan tenaga lebih untuk Karta berhadapan dengan lelaki gondrong.

“Kamu sendiri Jalu Kertarasaja yang menjemput waktu kematianmu!” ucap Mimin sambil berdiri, kembali melihat wajahnya yang penuh dengan belatung, beberapa belatung ia masukan kedalam mulutnya dengan lahap dan berjalan untuk memastikan suaminya bisa membawa mayat lelaki gondrong ke hadapannya.

Karta sudah berdiri di depan jendela dapur dengan gorden yang masih terbuka lebar, nafasnya sudah terdengar ngos-ngosan, pandangan kedua bola matanya yang sudah merah menatap tajam ke arah salah satu gerbang besi.

“Tunggu saja orang itu masuk!” terdengar jelas ucapan Mimin yang baru saja duduk di kursi meja makan, sambil menyilangkan kakinya yang indah.

Karta hanya menganggukan kepalanya, tidak ada pilihan untuk membantah perintah Mimin, dan tiba-tiba merobek baju yang ia kenakan, barulah terlihat kini bagian tubuhnya sudah berwarna hitam, seperti bekas di goreskan kemenyan hitam.

Tanpa mengeluarkan suara sedikitpun Budi baru saja dengan mudah membuka gerbang yang terkunci rapat, hingga gembok besi itu terjatuh begitu saja hanya mengenakan kawat besi di tangannya, kedua matanya sudah berkeliling memastikan keadaan tanpa ia ketahui bahwa kedatangannya malam ini sudah ada yang menantinya dari balik jendela dapur.

“Seharusnya tidak sulit aku habisi kedua orang tua Rara!” bisik hati Budi, sambil membenarkan rambut gondrongnya.

Keringat sudah mengalir di wajah Budi, mengiringi langkah perlahannya berjalan di halaman belakang rumah yang luas itu.

Tiba-tiba Budi merasa ada yang memperhatikannya dari segala penjuru arah, namun ia sama sekali tidak melihat wujud apapun, kecuali pohon-pohon dan tanaman yang sudah lama tidak terurus, setelah Dadang pergi dari rumah Mimin, bahkan rumput-rumput hijau yang ia injak sudah berdiri tidak rata.

“Disana pintu dapurnya…” ucap Budi terus berjalan mengendap-endap.

Baru saja langkahnya akan sampai, tiba-tiba Budi baru menyadari sudah ada dua mata merah yang ia lihat, membuat langkahnya terhenti untuk menatap tajam ke arah itu.

“Sosok dari leuweung sasar…” ucap Budi perlahan, tidak menyangka masih tersisa di rumah Mimin, bahkan dirinya mulai yakin apa yang dikatakan Karni sebelum mati bukanlah sekedar omong kosong. Mimin yang selanjutnya akan meneruskan wewe gombel.

“Seharusnya ucapan Mang Idim dan Ki Duduy belum terjadi, sebelum aku habisi mereka berdua” bisik hati Budi melanjutkan langkahnya, dengan tangan kanannya sudah berada di bagian belakang punggung, untuk memegang pisau yang selalu ia bawa kemanapun pergi.

Baru saja langkah Budi sampai dan menginjakan kaki di lantai keramik dapur, tiba-tiba pintu terbuka dengan sendirinya, tanpa terkena hembusan angin sedikitpun.

“Kreketttt”

Membuat Budi semakin merasakan kejanggalan lainnya dari rumah Mimin, ia langsung melihat ke arah belakang karena merasakan juga ada beberapa langkah yang semakin mendekat.

“Manusia biadab!!!”

“Brug!!!”

Pukulan sangat kuat tiba-tiba mendarat di belakang punggung Budi, membuat tubuhnya itu terdorong cukup jauh dan hampir saja terjatuh.

“Karta, itu pasti dia! Sudah kerasukan sosok yang sama dengan Karni” ucap Budi sambil menahan rasa sakit pada bekas pukulan yang ia tidak menyangka sekuat barusan.

Kedua mata Karta semakin menyala merah, apalagi Mimin sudah melihat dengan jelas suaminya itu dari balik kaca jendela, membuat senyum lebar yang menyeramkan keluar dari mulut Mimin.

“Ak..akan aku habisi kau!” teriak Karta sambil berlari ke arah Budi dengan hanya bermodalkan tangan kosong, dan tubuhnya sudah hitam.

Membuat Budi yang sudah tidak asing dengan sebuah “Perkelahian” sudah mengetahui apa yang akan ia perbuat.

Ketika jarak Karta dirasa cukup, tiba-tiba Budi melompat dan mengarahkan punggung kaki kanannya itu tepat ke arah Karta dengan sekuat tenaga.

“Arrrrghhhh!!!”

Suara teriakan keluar dari mulut Karta yang sudah meneteskan lendir hitam, namun malah punggung kaki Budi yang terpental dan tidak membuat Karta goyah sedikitpun.

“Kuat sekali!” ucap Budi yang baru saja berdiri setelah tubuhnya itu menyentuh rumput hijau halaman belakang yang kini sudah tertahan oleh salah satu pohon, bahkan Karta tidak langsung menyerang menunggu Budi untuk.

“A..akan mati kau ditanganku! Leuweung sasar akan aku miliki sepenuhnya!” teriak Karta, langsung melayangkan pukulan tepat satu jajar dengan wajah Budi.

“Bruggg!!!”

Pukulan tangan kosong karta malah mendarat di batang pohon, membuat pohon itu bergetar sangat kuat, beruntungnya Budi dapat menghindar jauh lebih cepat dari pukulan Karta.

Dengan cepat Budi sudah memegang pisau andalannya itu, baru saja akan di sayatkan ke tubuh Karta, namun kali ini Budi kalah cepat dengan pukulan Karta yang sudah mendarat di bagian perutnya jauh lebih kuat.

“Arggghhhh!!!” teriak Budi, dengan sangat cepat langsung menyatakan pisau itu ke bagian dada Karta, namun Karta sama sekali tidak bergerak bersamaan dengan senyum Mimin yang semakin lebar, bahwa lelaki gondrong itu bukanlah lawan yang sepadan dengannya dan akan mudah membuat Budi berjumpa dengan ajalnya malam ini juga.

“Sreeeetttt!!!”

Hingga tusukan tepat di bagian perut Karta sudah Budi lakukan sekuat tenaganya, namun sama sekali tidak membuat tubuh Karta mengeluarkan darah.

“Lebih dalam lagi! Ayo!” ucap Karta dengan suara seraknya, bersamaan dengan lendir hitam yang terus keluar dari mulutnya.

Budi dibuat tidak percaya dengan sosok yang sudah merasuki Karta, hingga sebuah tendangan kencang penuh tenaga kini mendarat tepat di bagian dada Budi, membuat tubuhnya yang kekar itu terlempar mengenai tembok halaman belakang rumah, mengeluarkan suara yang cukup kencang.

“Akan aku habisi seluruh keluarga kamu Jalu!” ucap Karta, yang kini sudah mendekat ke arah tubuh Budi.

“Brugggg!!!”

“Bruggg!!! Bruggg!!!”

Budi bak benda mati yang terus menerus Karta tendang dan pukul hingga berkali-kali tubuhnya itu terdampar diatas tanah, bahkan kini rambut gondrong Budi sudah diseret paksa oleh Karta, membuat mulut Budi sudah mengeluarkan banyak darah dan pandangan matanya sudah buram, tenaganya seketika habis, namun pisau yang malam ini tidak berguna itu masih dipegang erat oleh Budi.

“Ayo ikut! Akan aku matikan kau sekarang!” teriak Karta sambil menyeret Budi bak hewan yang sudah mati.

“Salah sahiji cara nu bener dina partarungan nyaeta nyerang Jalu, hiji wanci ieu omongan Abah bakalan kapake, nyerang nepi maneh bener-bener eleh, eleh nu sabenerna nyaeta ketika maneh geus lengit nyawa”

(Cara bertahan yang baik dalam perkelahian adalah menyerang Jalu, suatu saat ucapan Abah ini akan berguna, menyeranglah sampai kamu benar-benar kalah, kekalahan sebenarnya adalah ketika kamu sudah tidak bernyawa) hanya ucapan Bah Amar yang kini Budi ingat, sambil rambut gondrongnya terus diseret Karta.

“Arrrrgggg!!!” teriak Budi sangat kencang, sudah mampu melepaskan rambutnya dari seretan Karta, membuat Karta sangat kaget.

Tiba-tiba Budi memukul wajah Karta dengan sangat kuat menggunakan sisa tenaganya, lalu dengan cepat kedua tangan Budi sudah berada di kepala Karta dan langsung mengerakannya sekuat tenaga, hingga kepala Karta langsung menggantung seperti urat-urat di lehernya itu tidak berdaya lagi, bersamaan matanya terpejam, bahkan membuat Mimin yang melihatnya dari kejauhan langsung berdiri, namun ketika Mimin berjalan ke depan akan menuju Karta yang baru saja terjatuh, tiba-tiba Mimin melemparkan senyum ke arah Budi.

“Kesaktian wewe gombel itu sudah berada di tubuh Ibunya Rara” bisik hati Budi melihat Mimin dengan wajah yang hancur itu.

“Karta! Sekarang!” teriak Mimin sangat kencang.

Membuat Karta membuka matanya dengan cepat, tiba-tiba memukul perut Budi yang sudah mendarat tiga bahkan lebih pukulan kencang, hingga tubuhnya terpental cukup jauh menuju tembok di dekat gerbang yang pintunya terbuka.

“Bruggg!!!” suara hantaman tubuh Budi sudah terdengar kencang, berkali-kali mendapatkan siksaan dari sosok yang merasuki tubuh Karta, hingga Budi hanya bisa menahan pukulan itu.

“A...akan aku habisi mengunakan pisaumu ini Jalu!” ucap Karta dekat dengan telinga Budi, dengan mudah mengambil pisau dari tangan Budi.

***

Digjaya Adiguna Gama

Hembusan angin menemani setiap gerak awan gelap yang baru saja turun di dekat bukit cupu, membawa malam yang sudah tiba tepat waktu, terpaan angin itu masih menyelimuti rasa tidak percaya seorang Gama, yang baru saja perlahan melihat Danan tersenyum kemudian menganggukan kepalanya kemudian melanjutkan perjalanannya untuk menyelesaikan masalah lain, sama halnya dengan Gama.

Gama masih berdiri mematung dengan memegang sebuah kantung kain kecil berisikan pasir, yang mempunyai masa lalu yang sangat berharga untuk Budi.

“Harusnya Budi tahu akan hal ini dulu, isi dalam kantung ini…” ucap Gama sambil menghembuskan nafasnya cukup panjang, sambil kembali membaca sebuah alamat dari pesan yang dikirim Mang Idim.

“Ke arah sana, tidak salah lagi” bisik hati Gama, semakin penasaran apa yang akan Mimin dan Karta lakukan, setelah Bah Sugik mati dengan cara mengenaskan, sama halnya dengan wewe gombel ketika berhasil dilenyapkan.

Kendaraan roda dua itu sudah perlahan meninggalkan bukit cupu, kantung berisikan kain sudah berada di dalam saku celana Gama, bersama gelang gengge yang selalu Gama bawa sebelum masalah semuanya inu selesai.

“Monyet putih…” ucap Gama manakala melihat ke arah spion, monyet itu hanya menganggukan kepalanya ke arah Gama, seolah memberinya restu untuk pergi kembali dari bukit cupu yang sudah memberikan sebuah tempat perjumpaan dengan Danan, bahkan kliwon diluar dugaan Gama memberikan pasir itu.

Roda dua kendaraan yang Gama kendarai sudah melesat kencang menuju alamat dimana rumah kedua orang tua Rara berada, tidak ada rasa takut yang Gama rasakan hanya kecemasan yang silih berganti pada apa yang akan Budi lakukan dan kondisi kesadaraan Rara yang harus segera pulih  itu.

Tidak membutuhkan waktu lama Gama sudah melewati beberapa jalan dan patokan alamat yang diberikan Mang Idim, sebuah rumah besar di pinggir jalan sudah Gama lihat namun tidak ada satupun pertanda kedatangan Budi.

“Pasti Budi menyembunyikan motornya…” ucap Gama, setelah melihat dua pohon besar yang saling berdampingan, segera menyimpan motor itu dibelakangnya.

Beberapa menit Gama hanya perhatikan luasnya rumah Mimin dan Karta, apalagi memiliki dua lantai yang sama luasnya.

“Tidak mungkin Budi masuk lewat depan, itu bukan kebiasaannya…” bisik Gama yang sudah tahu kebiasaan sahabatnya itu.

Setelah memperhatikan sekitar, karena malam belum lama tiba yang artinya masih ada beberapa kendaraan lalu lalang, membuat Gama harus memastikan Seaman mungkin.

Jantung Gama sudah berdetak lebih kencang dari biasanya, langkahnya langsung menyelinap di antara tembok samping yang menjulang tinggi itu dengan penuh kewaspadaan.

“Dreettt… dreeetttt…”

Tiba-tiba terasa getar handphone di dalam saku celana Gama, membuat ia langsung berjongkok di balik pohon, memandang lurus ke salah satu kamar di lantai dua yang hanya mempunyai jendela paling kecil, di antara jendela lainnya.

“Mang Idim…” ucap Gama langsung menerima panggilan masuk.

“Asalamualaikum Gama, dimana sekarang” malah suara Ki Duduy yang masuk ke dalam telinga Gama.

“Walaikumsalam Kek, ini baru sampai Kek disamping rumah Mimin, sayangnya Gama belum bisa memastikan keberadaan Budi Kek…” jawab Gama sangat pelan, sambil matanya terus berkeliling memastikan tempatnya berdiam cukup aman.

“Temukan Budi segera! jangan sampai berhadapan dengan Mimin malam ini sebelum leuweung sasar tertutup bisa mati sia-sia Budi..” ucap Ki Duduy dengan tegas, tidak biasanya suara kakeknya Gama itu menggambarkan kecemasan yang luar biasa.

“Kesaktian Mimin akan bertambah, tanpa kamu dan Budi mencarinya, Mimin sendiri yang akan menemui kamu, kabar di kampung wetan tilasjajah geger menemukan mayat Karni siang tadi, dan dua mayat yang sudah Budi habisi di kampung Mak Endah sudah dipastikan warga dari kampung wetan tilasjajah juga, salah langkah sedikit bisa jadi kalian berdua yang di cari warga kampung Gam” lanjut Ki Duduy menjelaskan dengan penuh kecemasan.

“Ba..baik kek, Gama paham, akan segera Gama bawa Budi pulang, Gama juga sudah mengetahui caranya menutup leuweung sasar” ucap Gama semakin cemas, apalagi ia masih ingat bagaimana ucapan Karni yang Budi sampaikan, bahwa Mimin akan meneruskan menjadi wewe gombel itu.

“Kakek tunggu di rumah Mak Endah malam ini juga, para warga belum mengetahui Rara sudah ada di rumah, sedang sibuk mencari siapa yang sudah menghabisi dan menghilangkan dua nyawa, hati-hati keadaanya masih belum terkendali jangan membuat kecurigaan apapun!” jawab Ki Duduy langsung mematikan panggilan, apalagi secara bersamaan Gama merasa ada yang memperhatikannya dari segala penjuru tempat ia berjongkok.

Baru saja Gama mencoba untuk berdiri dengan perlahan, tiba terdengar suara kencang yang menghantam tembok berkali-kali.

“Brug!!!”

“Brug!!! Brug!!!”

Seketika gelang gengge yang berada di dalam saku celana Gama mengeluarkan panas, dari arah depan Gama sudah melihat keberadaan meong hideung, dari kedua matanya yang sudah menyala kuning.

“Budi! jangan sampai ucapan Ki Duduy terbukti!” ucap Gama kini saling bertatapan dengan dua mata yang menyala merah dari salah satu jendela kamar, yang sebelumnya sudah Gama lihat.

“Sosok dari leuweung sasar! Harus segera ditutup!” bisik hati Gama berjalan semakin cepat, menuju asal suara tubuh yang terpental ke tanah, diberikan petunjuk oleh meong hideung.

Ketika Gama melihat sebuah gerbang besi terbuka, ia sudah melihat bayangan tubuh seseorang yang memegang pisau, dan seseorang lainnya terkapar tanpa melakukan perlawanan.

“Itu tubuh Budi!” ucap Gama yang sudah sangat hafal apalagi bayangan rambut gondrongnya sudah bersentuhan dengan tanah, Gama lalu memejamkan matanya, tanganya bergerak cepat ke arah gelang gengge, membuat meong hideung yang sudah melirik sekali ke arah Gama langsung berlari.

“Kring… kringg… kringgg…”

Suara tiga kali hentakan kaki kanan Gama sudah menyentuh tanah dengan sangat kuat, membuat meong hideung itu sudah berubah wujudnya, getaran ditanah sudah terasa oleh Gama.

“Selamatkan Budi…” perintah Gama dengan perlahan, kemudian membuka matanya mengikuti meong hideung yang sudah melewati tembok tinggi.

“A...apa itu!!!” teriak Mimin sangat kaget melihat seluruh pepohonan dan beberapa tanaman ikut bergetar, manakala perawakan dari meong hideung yang langsung menerkam tubuh Karta yang sudah berjongkok mendekatkan pisau ke arah leher Budi.

“Arrrrggggg!!!!”

Tubuh Karta langsung mendapatkan satu sayatan dari panjangnya cakaran meong hideung bak pedang panjang yang mendarat di bagian wajah hingga tubuh Karta terpental jauh ke arah Mimin yang masih tidak percaya dengan apa yang dilihatnya saat ini.

“Cukup jangan sekarang!!!” perintah Gama pada meong hideung yang langsung mengejar Mimin yang sedang menarik tubuh Karta, hingga masuk ke dalam dapur.

“Budi, Bud! Sadar!!!”

“Bagun!!! Ayo kita pergi Bud!!!” ucap Gama sudah panik melihat tubuh Budi yang hampir hancur lebur, bahkan sudah tidak mempunyai tenaga sedikitpun.

“A...aku harus menghabisi mereka berdua” jawab Budi perlahan, memaksakan mulutnya terbuka, bersamaan dengan meong hideung yang sudah berubah wujudnya kembali dan berlari terpincang-pincang ke arah Gama.

Tanpa Gama menjawab langsung memaksa tubuh Budi untuk bangun dan membawanya dengan susah payah keluar dari halaman belakang rumah Mimin.

“Akan aku cari kalian berdua, akan mati ditanganku!!!” teriakan suara Mimin terdengar jelas oleh Gama dan Budi.

“Aku yang akan menghabisi mereka berdua!” ucap Budi langsung menyandarkan tubuhnya pada Gama.

“Selama leuweung sasar masih terbuka, Mimin dan Karta akan jauh lebih kuat Bud, aku tau caranya, ada pasir di dalam katung yang ada di saku celanaku saat ini, pasir yang sama dibawa Kliwon dan monyet putih diberikannya kepadaku saat berjumpa dengan Danan di bukit cupu, hal itu bisa membuat Rara juga sadar, keadaan semakin berbahaya jangan gegabah lagi dalam bertindak” bisik Gama perlahan, membuat Budi memaksakan matanya terbuka melihat ke arah wajah Gama yang sedang membopongnya berjalan.

“M...maaf Gam…” ucap Budi sambil menganggukan kepalanya, hampir saja ajal benar-benar menghampirinya malam ini dan Gama tiba tepat waktu.

“Gam bawa Budi cepat kembali, keadaan Rara semakin parah” hanya pesan yang kembali Gama baca dari Mang Idim, ketika baru saja mendudukan Budi di atas motor yang kini sudah memeluk tubuh Gama dengan sangat lemas.

Namun hal itu disaksikan oleh kesaktian Mimin yang malah tersenyum lebar, sudah mengetahui sebuah cara agar melenyapkan Budi dan Gama termasuk meong hideung Ki Langsamana yang tiba-tiba bisa Mimin ketahui namanya.

Laju roda dua kendaraan yang di kemudi Gama sudah melesat cepat untuk sampai ke rumah Mak Endah, selain Gama harus membawa Budi yang sudah memejamkan matanya sedari tadi, ia juga harus lebih berhati-hati ketika nanti sampai di kampung Mak Endah, apa lagi sudah harus memastikan keadaan Rara yang belum kunjung sadar.

“Bud sudah jangan bicara dulu, setidaknya ketika nanti masuk kampung tidak membuat warga curiga, keadaan sedang genting setelah Ki Duduy bilang dua mayat ditemukan di kampung Mak Endah” ucap Gama, langsung dijawab oleh agukan kepala Budi yang terus saja menempel di punggung Gama menyadari bahwa itu adalah ulahnya beberapa malam kebelakang menghabisi anak buah Karni, dan sekarang waktu malam belum terlalu larut.

Tidak berselang lama Gama sudah tiba di kampung Mak Endah, benar saja apa yang dikatakan Ki Duduy sebelumnya langsung terbukti, beberapa warga sudah terlihat berjalan menyusuri kampung.

“Sejak Rara hilang keadaan kampung jadi seperti ini”

“Benar mana saya belum pernah dengar Si Karta dan Si Mimin datang ke rumah Mak Endah”

“Ah orang tua aneh, lihat saja semenjak Karta jadi kaya raya mereka makin aneh mungkin benar juga kabar mereka melakukan pesugihan itu”

Dengan perlahan Gama menggerakan tangannya ke belakang agar Budi segera sadar, setidaknya tubuhnya bisa terlihat normal.

“Sadar dulu sebentar saja, cepat Bud” bisik Gama. Ketika melewati dua orang warga kampung, Gama dan Budi hanya melemparkan senyum kepada mereka.

“Pak Guru, aku pernah lihat ke rumah Mak Endah, gurunya Rara”

“Eh tapi orang gondrong di belakangnya itu baju sama celananya kotor”

“Heh! Malah aku nggak lihat barusan…”

Ketika mereka berdua kembali melihat ke arah kendaraan roda dua Gama dan Budi, seketika mereka berdua langsung terdiam, karena tidak mendapati dan melihatnya lagi.

“Bud paksakan jalan kaki saja, cepat! Agar bisa menghindari warga kampung, aku takut mereka curiga dan malam ini jadi kacau di kampung ini!” ucap Gama sambil kembali merangkul pundak Budi untuk berjalan, setelah memastikan kendaraanya itu terparkir aman.

Rumah gubuk yang hampir saja roboh sudah Gama lihat dengan jelas, bahkan kini mereka berdua tiba tidak dari arah depan, melainkan arah belakang rumah.

“Mang Jaka sudah membaik, syukurlah…” ucap Gama, terus memapah jalan Budi yang masih lemas.

“Pak Gama…” teriak Jaka sangat kencang, manakala melihat Gama dan Budi berjalan semakin mendekat.

Gama hanya memberikan isyarat agar Jaka tidak berisik, langsung membantu memapah tubuh Budi.

“Ki Duduy masih ada didalam Mang” tanya Gama yang sudah bermandikan keringat.

“M...masih ada Pak, dari tadi menunggu Pak Gama datang… keadaan Rara semakin aneh sejak maghrib tadi” jawab Jaka masih heran melihat keadaan Budi dengan sekujur tubuhnya yang sangat kotor dan mengenaskan.

“Gam! Tidurkan saja disini” ucap Mang Idim langsung menerima tubuh Budi.

“Buat keadaanya cepat pulih Mang, ada hal yang harus Gama dan Budi selesaikan cepat malam ini juga” jawab Gama sambil membuang nafasnya cukup panjang, kemudian memberikan salam kepada Ki Duduy yang hanya menggelengkan kepalanya melihat keadaan Budi.

“Baik Gam, amang tahu betul caranya agar Budi cepat pulih” jawab Mang Idim sudah tergesa-gesa mengeluarkan banyak dedaunan dari dalam saku celananya itu.

“Jaka akan susul Dadang keliling kampung dan memastikan tidak ada yang mengetahui Rara sudah kembali, memastikan juga Pak Gama dan Pak Budi aman di rumah ini” sahut Jaka langsung berjalan tergesa-gesa keluar dari rumah.

“M...maafkan Emak nak, hingga kalian semua dalam keadaan bahaya” ucap Mak Endah tiba-tiba keluar dari sebuah kamar.

“Sudah Mak tidak apa-apa, berikan Gama waktu untuk melihat keadaan Rara sambil menunggu Budi sadar, kita tidak punya banyak waktu untuk sekedar siapa yang paling merasa bersalah disini” jawab Ki Duduy sambil menarik tangan Gama.

Mak Endah hanya menganggukan kepalanya saja, diikuti tetesan air mata yang melewati pipi dengan kulit yang sudah menua itu.

“Ini keterlaluan Kek, benar-benar Gama tidak menyangka kondisinya jadi seperti ini” ucap Gama perlahan, melihat keadaan Rara yang sangat mengenaskan dengan wajah pucatnya, dari setiap nafas yang keluar dari mulutnya itu diikuti juga lendir hitam.

“Pegang tubuhnya Gam, panas di tubuhnya sejak kemarin kamu bawa dari dalam leuweung sasar terus saja panas, dan kamu tau itu artinya apa” jawab Ki Duduy perlahan.

Tangan Gama langsung perlahan memegang tubuh Rara yang terbaring lemas, merasakan sesuatu yang ia sudah pahami.

“Leuweung sasar harus segera Gama tutup dengan ini Kek, Danan dan Kliwon juga monyet putih datang membawa ini” ucap Gama sudah tidak tega melihat keadaan Rara, bahkan berkali-kali lendir hitam itu ia lap dari mulutnya Rara.

“Aaaaa!!!”

“Brugggg!!!”

Tiba-tiba terdengar suara teriakan Budi dan tubuhnya seperti menahan rasa sakit.

“A...aman!” ucap suara Mang Idim yang langsung terdengar oleh Gama dan Ki Duduy.

“Ini Kek di dalam itu ada pasir yang sama, seperti puluhan tahun yang lalu ketika Bah Amar menutup leuweung sasar” ucap Gama sambil memberikan kantung kecil itu.

“Sudah pegang saja, lakukan hal samaa agar Rara kembali sadar, selendang hitam yang kamu ambil dari wewe gombel sudah kakek simpan dan akan berguna di waktu yang tepat setelah leuweung sasar tertutup” jawab Ki Duduy.

Mulut Rara tiba-tiba terbuka dengan lebar, matanya melotot sekuat tenaga ke arah Gama, dengan cepat kedua tangan Ki Duduy mengusapnya perlahan.

“Masih belum utuh sepenuhnya keadaan Rara ini..” ucap Ki Duduy, membuat Rara kembali terpejam.

“Tepat di pergantian hari malam ini, berlawanan dengan matahari tengelam ketika sore, taburkan kembali pasir terakhir yang sengaja Bah Amar simpan puluhan tahun lamanya itu Gam, selama leuweung terbuka kekuatan Mimin akan berkali lipat, dia penerus selanjutnya Wewe Gombel yang sudah disiapkan Sugik sebelum mati…” lanjut Ki Duduy.

Gama yang memahami hal itu, tiba-tiba sudah melihat meong hideung berjalan terpincang-pincang masuk ke dalam kamar Rara, menembus kain yang dijadikan pintu, kemudian anehnya kepala Rara hanya menggeleng dengan sekuat tenaga, beruntungnya Ki Duduy langsung menahannya.

“Lihat saja mereka tidak rela tempatnya akan ditutup, ingat Gam tepat sebelum malam ini berganti hari, hati-hati Karni harum matinya demi leuweung sasar, bukan sebagai mayat penghianat yang diketahui para warga… bahkan warga kampung bisa saja menghabisi kamu dan Budi, mereka dalam keadaan siaga tidak ingin ada penyusup yang masuk ke kampung wetan tilasjajah, apalagi tujuannya leuweung sasar… jika malam ini kamu gagal taruhannya bukan hanya Rara tapi seribu lelembut akan mengincar kita semua sebagai tumbal, karena sudah mengacaukan tempat yang mereka anggap rumah abadinya dan selamanya leuweung sasar akan terbuka…”

“Baik Kek Gama paham dan sudah waktunya juga, semua harus berakhir” jawab Gama pelan, tidak berani melebihi suara kakeknya itu.

“Setelah itu bawa Budi untuk kembali berjumpa dengan Mimin dan Karta, dendam dalam dirinya tentang tanah kelahirannya itu tidak akan selesai, dan akan terus membara jika tidak selesai dengan caranya sendiri” ucap Ki Duduy dengan tegas, membuat bulu pundak Gama berdiri mendengar ucapan itu, apalagi meong hideung sudah berada dalam pangkuan Gama yang kini sedang bersila di samping tubuh Rara dan dihadapan Ki Duduy.

“Kek maaf Budi sudah pulih…” ucap Mang Idim, bahkan tidak berani masuk ke dalam kamar Rara, mengetahui Gama sedang berbicara serius dengan Kakeknya itu.

“Pergi sekarang dan pulanglah… istri dan keluarga kamu menunggu Gam, termasuk anak perempuan yang nasibnya jauh lebih malang dari siapapun itu, Rara menunggu untuk kembali hidup normal nan susah,  Jaka ingin kembali berjualan gorengan dan Mak Endah” tiba-tiba Ki Duduy menghentikan ucapannya.

“Mak Endah kenapa Kek” tanya Gama semakin penasaran.

“Waktu sendiri yang akan memberitahu semuanya termasuk Mak Endah, cepat pergi dan hati-hati!” ucap Ki Duduy kemudian berdiri perlahan setelah mengelus kepala meong hideung dan menepuk pundak Gama.

***

Waktu terus berputar semakin cepat malam ini, Budi sudah terlihat meminum dua gelas ramuan dedaunan yang di siapkan Bah Idim, sementara Ki Duduy hanya duduk bersila di dalam kamar Rara, beberapa kali Gama melihat ke arah Mak Endah namun belum memahami perkataan Ki Duduy yang terakhir, perihal nenek tua yang sekarang di wajahnya sudah menggambarkan kecemasan.

“Apa yang sedang dipikirkan Mak Endah, semoga bukan yang tidak-tidak” bisik hati Gama, melihat keadaan Budi sudah semakin membaik.

“Gam ayo…” ucap Budi sambil menundukan kepalanya.

“Hanya dua jam yang tersisa sebelum kalian benar-benar menutup leuweung sasar, keadaan di kampung wetan tilasjajah tidak bisa amang prediksi, semua kemungkinan bisa terjadi ingat itu Gam” bisik Mang Idim, seperti ucapanya kali ini tidak ingin didengar Mak Endah.

Gama dan Budi hanya menganggukan kepala, kemudian berpamitan kepada Mang Idim dan Mak Endah hanya terlihat meneteskan air matanya.

“Itu Karta dan Dadang sudah datang membawa motor Gam, cepat pergi” ucap Mang Idim.

Gama langsung melangkah untuk pamit kepada Ki Duduy, bersamaan Ki Duduy baru saja keluar dari kamar Rara.

“Budi…” ucap Ki Duduy perlahan.

“Baik Kek…” jawab Budi tidak berani sedikitpun melihat ke arah wajah Ki Duduy.

“Aturannya jangan banyak nyawa melayang di kampung wetan tilasjajah, mereka warga kampung tidak bersalah apapun setelah Karni mati, aturan itu tidak berlaku ketika kamu berhadapan dengan Mimin dan Karta, paham Bud…” bisik Ki Duduy perlahan, sama halnya dengan Mang Idim, tidak ingin ucapannya itu terdengar Mak Endah, membuat Gama semakin penasaran.

“Titip Budi Gam, hati-hati dan tutup leuweung itu sekarang!” lanjut Ki Duduy.

Setelah pesan berupa aturan yang sudah Budi dengar langsung membuat Gama cukup tenang, dengan dikawal Jaka dan Dadang tidak sulit untuk Gama dan Budi keluar dari kampung dan melewati beberapa warga kampung, setelah dijelaskan oleh Jaka bahwa itu adalah guru sekolah Rara termasuk saudara jauhnya.

“Gam…” ucap Budi sambil terus melesat kencang mengendarai roda dua.

“Tenang sudah aku bawa kantung berisikan pasir itu, termasuk gelang gengge yakin saja meong hideung sudah menunggu kita disana, ingat saja aturan dari Ki Duduy barusan” ucap Gama, sambil terus menghindar dari rambut gondrong Budi berterbangan terbawa angin.

“Aku tidak bisa janji maaf Gam, Karni saja aku habisi apalagi warga kampung yang berani menghalangi” ucap Budi perlahan.

Beberapa kali Gama hanya melihat ke arah jam tua yang menempel di tangannya itu, memastikan ia dan Budi akan sampai tepat waktu, sementara beberapa pesan dari Dewi, Umi Esih hanya ia baca, karena isinya hampir sama agar Gama cepat membereskan masalah Rara dan pulang dengan keadaan selamat.

Tidak perlu lama, kencangnya roda dua yang di kendarai Budi kini sudah melintasi jembatan, dan langsung disambut burung-burung hitam yang tiba-tiba terlihat di atas leuweung sasar, ditambah dua kali suara teriakan perempuan terdengar jelas, juga angin kencang sudah Gama dan Budi lihat dari kejauhan.

“Semakin harus lebih berhati-hati Bud, pertanda itu akan sampai juga ke para warga kampung, mereka akan mendengar suara teriakan barusan” ucap Gama.

“Aku berharap suara perempuan tadi adalah Mimin, dan Karta juga ada malam ini di dalam leuweung Gam” jawab Budi sudah tidak sabar membalaskan apa yang sudah Karta lakukan kepada dirinya.

“Tapi ada bagusnya juga aku tidak berganti pakaian, untuk mengelabui warga kampung” lanjut Budi tiba-tiba di pikirannya terlintas suatu cara yang menurutnya itu paling baik.

Kendaraan roda dua itu baru saja Budi simpan di tempat yang menurutnya sangat aman, bisa di jangkau jika terjadi kemungkinan paling buruk terjadi malam ini, mereka berdua sudah berjalan mengendap melalui samping kampung wetan tilasjajah, beberapa warga yang berjaga di bagian depan kampung sudah dengan mudah Gama dan Budi kelabui, karena lebih memilih berjalan diantara gelapnya malam ini.

“Cepat Bud sudah…” ucap Gama ketika melihat Budi malah berhenti.

“Aku janji Gam, setelah semuanya selesai aku akan berani untuk datang ke kuburan Abah dan Mak” jawab Budi tiba-tiba, memandang lurus ke sebuah jalan yang akan membawanya ke tempat dimana jasad Bah Amar dan Ni Warsih di kebumikan, puluhan tahun lalu.

Gama hanya menepuk pundak Budi, bisa memahami perasaan paling dalam dan menyakitkan.

“Akan aku antar, setelah semuanya selesai…” jawab Gama, kembali mengikuti langkah Budi menuju ujung kampung.

Beberapa warna api menyala berasal dari obor yang dipegang para warga kampung wetan tilasjajah sudah Gama dan Budi lihat, namun untuk kesekian kalinya mereka dengan mudah lolos begitu saja, tinggal mereka harus menaiki sebuah jalan berupa tanah merah untuk sampai ke ujung kampung, dan seketika langkahnya menjadi tergesa-gesa karena waktu terus berputar.

“Heh siapa kalian!”

“Mau kemana! Kalian bukan warga kampung!”

Suara dari salah satu orang warga yang sudah menunggunya di depan berjumlah dua orang, membawa masing-masing obor.

“Tahan Budi jangan dulu” bisik Gama pelan.

“Jawab cepat! Sebelum kami berteriak dan warga lainnya datang!”

“Apa kalian penyusup!”

Gama dan Budi langsung berjalan pelan untuk mendekat, apalagi tidak ingin waktunya terbuang sia-sia.

“Tunggu bisa saya jelaskan Pak” jawab Gama.

Namun Budi sudah terlihat menatap tajam bak hewan buas yang akan menerkam mangsanya.

“Brug!!!”

Pukulan dari tangan Budi langsung mendarat tepat di bagian perut lelaki itu, hingga mulutnya hanya bisa mengeluarkan suara menahan rasa sakit, membuat lelaki satunya lagi hanya bisa terperanga.

“Tunggu Pak maafkan teman saya ini, tunggu jangan berteriak!” ucap Gama semakin panik.

“Penyu…” belum selesai teriakan lelaki itu, mulutnya sudah berhasil Budi tutup.

“Kalian berdua akan sadar ketika matahari satu jajar dengan wajah kalian berdua” bisik Budi, membuat lelaki itu semakin panik.

“Budi jangan, Bud!” ucap Gama.

“Brugggg!!!”

Ucapan Gama kalah cepat, ketika Budi sudah mendaratkan pukulan di kedua pundak lelaki itu hingga mereka berdua seketika terjatuh dan badannya langsung menyentuh tanah.

“Tenang Gam mereka tidak akan mati, cuma tidur bukan di tempatnya saja” ucap Budi dengan dinginnya.

Gama hanya mengelengkan kepalanya saja, padahal ada cara yang lain agar dua orang itu tidak tidur malam ini hanya beralaskan tanah.

“Cepat! Waktunya tidak banyak!” ucap Gama sudah berjalan tergesa-gesa, apalagi tinggal tersisa satu jam menuju pergantian hari.

Pintu masuk menuju leuweung sasar sudah Gama lihat, namun ia merasakan sebuah keanehan yang tidak seperti biasanya, setelah beberapa malam terakhir membawa Rara keluar dari tempat yang sudah ada didepan matanya saat ini.

“Itu meong hideung Gam” ucap Budi terus berjalan jauh lebih cepat.

“Seharusnya tidak seperti ini” bisik hati Gama, merasakan kehampaan dari angin malam yang menyambut dirinya di dalam leuweung sasar, bahkan burung-burung hitam tidak berhenti berterbangan dan tidak ada pertanda dari makhluk yang ada didalamnya.

“Ada yang aneh Gam” ucap Budi tiba-tiba terus saja mengikuti langkah meong hideung yang berjalan terpincang-pincang.

“Mereka tidak ada satupun di dalam Bud, aneh!” jawab Gama, sudah memasuki lebih dalam leuweung sasar, bahkan sudah melewati sebuah tempat ritual yang menyisakan beberapa kemenyan hitam berserakan di dalam sebuah lubang bak itu.

“Sudah cepat menuju batu itu saja terlebih dahulu Bud, waktunya setengah jam lagi” lanjut Gama berusaha mengabaikan kejanggalan itu, walaupun dalam pikirannya terus menerka-nerka apa yang sebenarnya terjadi.

“Aku yakin ini ada ikut campur tangan Mimin” bisik Budi terus berjalan semakin dalam menuju tempat dimana Wewe Gombel dihabisi meong hideung beberapa malam ke belakang, didekat dua batu besar.

Gama dan Budi seketika terdiam, merasakan semakin dingin angin malam ini, pandangan mata mereka berdua memperhatikan seluruh isi leuweung sasar yang semakin gelap pekat, sementara Gama sudah melihat ke arah jamnya, tepat sekali waktu yang dinanti itu tiba.

“Sana maju Bud, dan bawa ini taburkan” ucap Gama merasa beberapa menit lagi pergantian hari akan terjadi.

“Tidak mungkin semudah ini Gam, apa ini jebakan” jawab Budi perlahan mulai merasakan kecemasan.

“Jangan khawatir, sudah lakukan saja cepat maju tinggal dua menit lagi, ketika aku menganggukan kepala, taburkan! Sama halnya ketika puluhan tahun lalu Bah Amar yang melakukan ini, sekarang giliran kamu Bud!” ucap Gama, langsung menepuk pundak Budi bak perintah yang tidak bisa Budi tolak.

Dua batu besar itu di depannya sudah ada Budi yang sedang menundukan kepala, isi kepalanya hanya ingatan tentang Abahnya dulu melakukan hal yang sama, yang tidak akan lama lagi Budi lakukan.

“Budi sekarang!” teriak Gama, langsung dijawab anggukan kepala Budi yang perlahan membuka isi dalam katung kecil yang sedang ia pegang.

Bersamaan dengan gerakan tangan Budi menaburkan pasir itu, tiba-tiba angin menerpa pohon-pohon datang sangat cepat, namun tidak membuat Budi goyah terus saja ia taburkan pasir itu sebanyak tiga kali.

Namun ketika Gama memejamkan matanya dengan meong hideung yang berada tepat di kakinya itu, ia merasakan banyak sekali sosok-sosok yang berdatangan dari arah timur.

“Mereka datang!” bisik hati Gama.

“Seribu lelembut! Aku tahu sesuatu! Dari arah rumah Mimin” lanjut bisik hati Gama.

“Duruk eta tempat ritualna, hasepna bakal ngadatangkeun kebeh lelembut nu geus kaluar di leuweung sasar Gama, ayena keneh!”

(Bakar itu tempat ritualnya, asapnya bakal mendatangkan semua lelembut yang sudah keluar dari leuwung sasar Gama, sekarang!) bisikan suara Ki Langsamana sudah Gama dengar dengan jelas, menyakinkan apa yang sedang Gama pikirkan.

Budi sudah terperanga melihat di depannya itu sosok-sosok hitam yang penuh dengan bulu panjang, serta mata merah menyala sudah berada tepat di hadapannya dengan jumlah yang jauh lebih banyak, membuat ia mundur beberapa langkah.

“Budi cepat! Pergi! Aku tahu sesuatu!” teriak Gama, tiba-tiba satu kali sambaran petir tepat berada diatas kedua batu besar itu, dengan gemuruh angin yang jauh lebih kencang.

“Pergi! Cepat pergi!” ucap Gama menarik tangan Budi sangat kuat, karena dari arah batasan pasir itu sarebu lelembut terus berdatangan dari arah timur.

“Gam! Ada apa ini! Dari mana mereka!” tanya Budi dengan tergesa-gesa mengikuti langkah Gama.

“Mereka tidak akan mengejar kita dan tidak akan melewati batas pasir itu, tapi ada hal penting lagi! Tempat kemenyan hitam!”

Langkah Gama berganti dengan gerakan seribu langkah yang ia ambil, apalagi angin sudah semakin kencang berdatangan menguncangkan seluruh isi leuweung sasar, hingga mereka berdua kembali ke tempat ritual yang terdapat sisa kemenyan hitam.

“Mereka yang mengisi kesaktian Mimin dan Karta ketika ingin menghabisi kamu Bud, sosok di leuweung sasar diundang Mimin datang ke rumahnya… namun pasir itu membawa semua lelembut kembali, termasuk semua anak buah wewe gombel yang berada di rumah Mimin!  Jika kemenyan hitam itu terbakar, asapnya akan membawa semua sosok hitam yang tersisa di rumah Mimin, dan tinggal kamu habisi Mimin dan Karta!” ucap Gama menjelaskan sambil mengatur nafasnya yang ngos-ngosan.

Budi langsung menundukan kepalanya, menarik nafasnya cukup dalam memandang tajam ke arah sisa kemenyan hitam.

“Pantas saja aku sengaja sisakan pasir ini barusan Gam, ternyata untuk ini” ucap Budi kembali mengeluarkan kantung kecil dari saku celananya.

“Aaaaaa!!!”

Teriakan suara-suara yang tidak jelas sudah semakin terdengar kencang dari arah dua batu barusan, perlahan mereka semua tertahan.
Diluar dugaan Gama, tiba-tiba Budi melemparkan pasir itu ke arah kemenyan hitam dan seketika pasir itu berubah menjadi api ketika bersentuhan dengan kemenyan hitam, api yang benar-benar berkobar semakin besar.

“Bud!” ucap Gama sangat kaget.

Budi bahkan langsung melemparkan semua pasir dan wadah kantung itu ke arah kemenyan hitam, hingga kobaran api semakin besar dan mengeluarkan asap putih yang cukup banyak.

“Ha-ha-ha lihat kalian! Lihat ini siapa!”

Tiba-tiba terdengar teriakan seorang perempuan dari balik kobaran api dan asap itu.

“Anak ini akan mati!!!!!”

“Termasuk kalian berdua!!!!”

Gama dan Budi langsung melihat jelas seorang anak kecil yang mereka berdua sangat kenali, sudah berada dalam dekapan perempuan berwajah hancur penuh belatung, tanpa menganakan sehelai baju yang menutupi tubuhnya yang mengerikan itu dengan payudara yang megelantung panjang.

“Penerus wewe gombel!” ucap Gama.

“Mimin! Akan aku habisi Gam!” ucap Budi, tiba-tiba menerobos kobaran api dan asap putih dari kemenyan hitam yang semakin pekat.

BERSAMBUNG

*****
Selanjutnya

*****
Sebelumnya
close