Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

LEUWEUNG SAREBU LELEMBUT (Part 5) - Tumpas Dalang

"Diatas tanah ini manusia menjadi budak. Tumbal darah, daging dan nyawa sudah sepantasnya diberikan untuk Sang Tuan"


Tumpas Dalang

“Mereka yang menghendaki mati dengan cara keji, perjanjian dengan tuannya tidak abadi, leuweung sasar menjadi saksi, darah dan nyawa menjadi bukti”
Angin ribut sudah berkali-kali menabrak pepohonan tinggi menjulang, kokohnya pepohonan dengan daun yang hijau sudah tak kuasa menahan hantaman yang teramat kencang, suara berisiknya sudah tidak bisa dihindari siapapun yang mendengarnya di malam yang semakin gelap gulita.

Leuweung sasar bukan hanya sedang menjadi tempat untuk mereka yang mencari kemudahan semata, melainkan kini ada yang ingin menghendaki kembalinya leuweung sasar seperti puluhan tahun kebelakang, tidak terjamamah manusia dan kembali pada hakikatnya sebagai alam.

“Pasti sedang ada sesuatu didalam sana, lihat saja seperti badai angin…”
“Badai angin topan itu… lihat saja tidak akan lama pohon-pohon pasti tumbang”
“Apa mungkin juga kutukan kampung ini benar-benar segera tiba…”
“Harusnya sesepuh kampung hadir malam ini, tapi anehnya sudah beberapa hari tidak terlihat”

“Maksudmu Bah Karni?”
Beberapa warga kampung wetan tilasjajah yang memaksakan keluar dari rumah mereka sudah berkumpul disuatu tempat yang bisa melihat ke arah kulon (Barat), tepat dimana pohon-pohon itu semakin bergoyang akibat terkena angin kencang.

Para warga tetap saja menyebut nama Bah Karni berkali-kali, biasanya mampu menjelaskan apa yang sedang terjadi di lueweung yang haram bagi warga untuk di injak ataupun mereka datangi, apalagi akhir-akhir ini beberapa sukma anak-anak banyak yang hilang, dan di tuduhlah leuweung sasar sebagai tempat dimana mereka berada.

“Sudah ayo masuk lagi ke dalam rumah semoga saja Bah Karni sedang berada di ujung kampung, berdoa saja semoga kutukan dari leuweung sasar tidak sampai kampung”

“Iyah benar jangan sampai selanjutnya anak-anak kita yang mati disana, kita percayakan saja sama Bah Karni”

Laki-laki tua yang sudah mendapatkan kepercayaan di pundaknya sejak belasan tahun dari para warga kampung itu bukan lagi berada di ujung kampung, namun sedang berada didalam leuweung sasar.

Bukan untuk mencegah kutukan agar tidak sampai ke kampung wetan tilasjajah, namun justru ia adalah penyebab kutukan dan malapetaka akan tiba jauh lebih cepat, dan kepercayaan itu sudah berbentuk pengkhianatan.

Karni sudah sangat ketakutan menatap tidak percaya kepada Gama dan Budi, terlebih ia sudah melihat Gama mengerakan gelang gengge yang berada digengaman tanganya, sehingga mengeluarkan bunyi.

“Kringgg… kringggg… kringgggg…”

Karni tidak percaya keturunan Ki Langsamana yang ia pernah dengar ceritanya dari Bah Amar, seorang bapak dari lelaki gondrong yang sedang menatapnya buas malam ini di dalam leuweung sasar langsung membuahkan bukti, lelaki itu adalah Budi dengan segala keinginannya untuk segera menghabisi Karni.

Pijakan kakinya diatas tanah leuweung sasar sudah terasa bergetar, pohon-pohon semakin bergerak dan angin semakin berisik, dengan kedua matanya melihat jelas dari gelap pekatnya diantara belakang tubuh Gama dan Budi keluarlah Meong Hideung sangat besar.

“Ti..tidak usah takut Karni, selama ada saya!”
Terdengar bisikan itu dari Wewe Gombel yang sedang berada di belakang tubuhnya, sudah mengelus rambut Rara dengan perlahan, sementara perwujudan yang mirip dengan Mimin dan Karta sudah berjalan perlahan mengikuti jelmaan Bah Sugik dengan keadaan tubuh yang sangat hancur, setelah tangan mereka ditarik paksa agar semakin masuk ke dalam leuweung sasar.

“Sekarang!” teriak Gama dalam hatinya, matanya sudah terpejam dan hatinya sudah mengucapkan amalan yang diberikan Ki Langsamana.

“Arrrgggghhhhh!!!”
Baru saja meong hideung menerkam Wewe Gombel, langsung beradu dengan cakar panjang mereka berdua, namun bagi meong hideung itu tidak ada apa-apanya sehingga dengan cepat membuat Wewe Gombel hanya menyaksikan terperangan, kuku hitamnya yang panjang itu berjatuhan.

“Aku tidak akan mati! Tumbal di leuweung ini keabadian!” teriak Wewe Gombel dengan sangat kencang, menutupi kondisi terdesaknya.

“Aku habisi Karni sekarang Gam!” bisik Budi didekat telinga Gama, melihat kesempatan kecil terbuka untuknya berhadapan dengan orang yang sudah ia kenal sejak kecil itu.

Gama hanya menganggukan kepalanya, apalagi bayangan matanya kini sudah melihat seribu lelembut dari berbagai wajah yang hancur dan perawakan manusia-manusia tersesat.

“Tidak akan secepat itu, sekarang Karni!” bentak Wewe Gombel sambil menarik tubuh Karni agar menghindari dari Budi yang sudah berlari ke arahnya, sambil ia semakin mundur tiba-tiba mengeluarkan asap yang cukup banyak ketika meong hideung akan menerkam untuk kedua kali, walaupun angin semakin kencang dan berisik tidak membuat asap itu hilang dengan cepat.

“Ah! Sialan!” teriak Budi sangat kencang.

Meong hideung terus masuk ke dalam leuweung sasar menembus asap tebal yang dikeluarkan Wewe Gombel untuk mengejarnya, masih terasa getaran tanah dan pepohonan yang terus bergerak ketika dilalui meong hideung.

“Bisa menghindar, baru kali ini… aku tahu sesuatu…” bisik hati Gama ketika perlahan matanya terpejam dan melihat asap tebal.

“Gam bau ini, seharusnya aku tahu dari apa asalnya” ucap Budi sambil melihat Kliwon yang masih berdiam diatas pohon.

“Srekk… srekkk… srekkkk…”

Tiba-tiba Kliwon dengan sangat cepat sudah berada didepan Budi dan Gama memandang ke arah mereka berdua, memberikan isyarat yang langsung dipahami oleh Gama.

“Ini dari kemenyan hitam Bud, seharusnya ini sumber kekuatan mereka tapi belum bisa aku pastikan..” ucap Gama merasakan getaran tanah sudah kembali normal, pertanda meong hideung tidak menemukan kemana Karni dan Wewe Gombel itu pergi.

“Ayo cepat Bud.., aku tahu sesuatu! Selama meong hideung berubah dan aku perintah, wewe gombel dan karni akan terus menghindar, mereka pasti sudah tahu hal ini dari Bah Sugik ketika bertarung dan aku melihatnya bersama Danan” lanjut Gama, setelah mengingat semuanya ketika bersama Danan.

“Baik ayo! aku juga paham Gam… ada waktu yang tepat untuk aku kirim Karni bersama ajalnya, itu Kliwon juga sudah bergerak, berguna sekali apa yang dititipkan oleh Cahyo” jawab Budi.

“Tunggu jangan tembus seperti meong hideung barusan, bisa tidur berminggu-minggu kita menghirup asap itu Bud, lewat sana sedikit, ikuti saja kliwon!” ucap Gama sudah merasakan bahwa asap itu hadir bukan tanpa sebab dan pasti ingin menghentikan langkahnya.

Langkah Gama dan Budi sudah tergesa-gesa mengikuti Kliwon, terus saja gelang gengge yang berada di gengaman tangan Gama semakin panas, sudah beberapa kali ingin dia pejamkan mata untuk melihat apa yang akan terjadi didepan tempat ia berjalan, apalagi pepohonan jauh lebih besar dan tanah yang sepertinya tidak banyak di injak manusia sudah terhampar jelas dari gelap malam.

“Ini sudah berbeda sekali Gam, tidak seperti puluhan tahun lalu ketika Abah mengajak aku pertama kali masuk lebih dalam di leuweung ini” ucap Budi, menambah keinginan Gama untuk memastikan.

“Ada apa ini Gam, lihat Kliwon malah berhenti” tanya Budi heran.

“Tunggu dulu sebentar Bud, agar tidak celaka dan jangan sampai salah langkah…” jawab Gama, tidak menyangka Kliwon bahkan bisa mengetahui keinginannya, pasti memang temannya Cahyo ini sangat luar biasa.

Budi hanya menganggukan kepalanya mengikuti ucapan Gama, namun malah kini bayangan leuweung sasar puluhan tahun kebelakang kembali terputar jelas dalam ingatannya, setiap kali bau tanah dan dedaunan itu ia hirup, ingatan sosok-sosok hitam penuh bulu ketika ia masih anak-anak kini tergambar jelas, sambil kepalanya terus berputar memastikan sekitar, bersamaan dengan Gama yang kini sudah memejamkan matanya kembali.

“Seharusnya aman, tapi ada yang aneh dengan sosok hitam itu…” ucap Budi, ketika melihat sosok-sosok hitam seperti menuruti sebuah perintah, bukan datang menghadang mereka berdua bersama kliwon, melainkan pergi ke arah lebih dalam leuweung sasar.
Semakin terpejamnya mata Gama tiba-tiba sebuah sorban mengusap matanya dengan perlahan.

“Gambaran eta jelas naon nu samemehna geus kajadian di ieu patempatan Gam, tinggali leuwih jelas lain saukur ku mata tapi pake hate, eta sukma nu teu bisa balik geus jadi tumbal samemehna”

(Gamabran itu jelas apa yang sebelumnya terjadi di tempat ini Gam, lihat lebih jelas jangan hanya menggunakan mata tapi pake hati, itu sukma yang tidak bisa kembali sudah menjadi tumbal sebelumnya) suara yang terdengar seperti Ki Langsamana masuk kedalam telinga Gama.

“Baik Ki, Gama paham” bisik hati, ketika dalam gelapnya mata melihat jelas sebuah kobakan (lubang yang cukup besar) berisikan air jernih yang dikelilingi bebatuan yang cukup banyak.

Perlahan dalam gelap itu munculah anak-anak yang berjalan dengan cara berbaris, jalannya sangat pelan dengan tatapan kosong dan wajah yang pucat.

“Sini cepat!”

Terdengar suara yang sebelumnya pernah Gama dengar ketika bersama Danan dan Nyi Sendang Rangu, ketika berbarengan juga bersama Meong Hideung.

“Itu Sugik!” bisik hati Gama perlahan.

Beberapa anak-anak yang lebih dari hitungan jari Gama itu, satu persatu kepalanya terkena guyuran air yang dilakukan Sugik, kemudian di eluskan seperti lumpur hitam.

Terus saja Gama memperhatikan dengan jeli segala gambaran yang pernah terjadi itu, membuat ia semakin penasaran apa yang selanjutnya akan terjadi.

Anak-anak itu hanya menuruti perintah Sugik, berjalan ke sebuah tempat galian yang kini banyak sekali kayu-kayu yang sudah lama dibakar, sehingga Gama semakin jelas melihatnya.

“Aku jaga kamu Gam, untuk sekeliling aku pastikan aman bersama Kliwon, teruskan saja” bisik suara Budi yang terdengar, kemudian beberapa kali terdengar ia bergerak dengan cepat, namun tidak membuat mata Gama membuka matanya.

“Sudah waktunya kalian menghadap tuan kalian!”

Kemenyan yang langsung ditariknya dari kobaran api yang semakin menyala, tiba-tiba di goreskan oleh tangan Sugik ke arah wajah anak itu satu persatu, mereka hanya berdiam tidak bergerak sedikitpun atau berteriak padahal kemenyan dan panas itu bisa membuat tubuh mereka melepuh.

“Untuk itu ternyata, kemenyan hitam itu sama dengan apa yang sudah Budi dapatkan dari Karni dan yang Mak Endah berikan kepadaku” bisik hati Gama, semakin jelas melihat apa yang selanjutnya akan terjadi.

Setelah kemenyan hitam sampai pada anak terakhir, tibalah seorang perempuan dengan rambut yang sangat panjang, hanya mengenakan selendang hitam untuk menutupi sebagian tubuhnya, bahkan Gama seperti mengenali anak terakhir itu.

“Su...sudah waktunya, silahkan” ucap Sugik dengan perlahan, manakala kini tiba juga lelaki tua lainnya yang baru saja mendekat sudah bersebelahan dengan Sugik, Gama langsung mengenali dua lelaki tua itu.

“Karni! Pantas!” bisik hati Gama, semakin berdiri tidak nyaman disuguhkan pemandangan seperti akan terjadi sebuah ritual.

“Kobaran apinya sudah cukup, bara-bara didalamnya sudah siap” ucap Karni tiba-tiba setelah memastikan tangannya sendiri tanpa mengenakan alas memegang salah satu bara api itu.

Perempuan yang tiba-tiba melepaskan selendang hitam yang menutupi sebagian tubuhnya itu, kini menggantung payudara yang menjulang panjang menempel di tubuhnya, membuat Gama sontak kaget, apalagi ketika perempuan itu berjalan bukan pada anak yang didekatnya melainkan pada anak di paling ujung, membuat Gama semakin mengenali anak itu, sementara Sugik dan Karni hanya menganggukan kepalanya berkali-kali, akan pilihan tuannya itu.

“Rara itu!” ucap Gama.

Sialnya perempuan yang kini sudah berubah wujud menjadi Wewe Gombel melihat keberadaan Gama dan tersenyum menakutkan.

“Tidak akan bisa menghentikan apa yang sudah terjadi disini Gama”

“Bukan aku yang meminta, para manusia yang memberikannya dengan suka rela sebagai imbalan yang setimpal”

Tiba-tiba dengan cepat Wewe Gombel itu memangku tubuh Rara, berjalan ke arah kobaran api dengan bara-baranya yang semakin terlihat sudah sangat panas sekali.

“Rara! Lepaskan!” teriak Gama sangat kencang, menyaksikan tubuh Rara yang terbakar perlahan, sementara Wewe Gombel itu tertawa dengan sangat kencang diikuti senyum lebar Sugik dan Karni, disusul asap tebal yang tiba-tiba hadir.

“Gam! Gama sadar Gam, ada apa!” ucap Budi sambil memegang kedua pundak Gama.

Gama membuka matanya perlahan, keringat di tubuhnya sudah mengalir membasahi pakaian yang digunakannya malam ini, sementara angin kencang tiba-tiba hadir kembali di dalam leuweung sasar.

“Bahaya Bud! Ayo jalan kedalam aku tahu sesuatu, gambaran barusan jelas sekali” ucap Gama sambil mengatur nafasnya yang sudah ngos-ngosan, bahkan langsung memastikan gelang gengge berada di dalam saku celananya itu.

“Maksudnya Gam, aku tidak paham gambaran apa” tanya Budi langsung mengikuti langkah Gama dan Kliwon yang kini sudah bergerak cepat menaiki pohon-pohon, memberikan petunjuk jalan.

“Mereka jauh lebih gila, ini bukan hanya tentang tumbal saja Bud, banyak sukma anak-anak yang dibawa, manusia yang sengaja menyesatkan dirinya didalam leuweung ini..” jawab Gama sudah mengetahui sesuatu.

“Semoga saja di dalam sana semuanya kita ketahui, termasuk tempat dimana Rara berada” lanjut Gama.

“Harusnya Karni bertanggung jawab! lihat saja cara mereka mati akan jauh lebih mengerikan dari kelakuan mereka!” jawab Budi dengan gejolak kesabarannya yang sudah berada di ujung dan tidak bisa tertahan lagi.

Gama hanya menepuk pundak Budi berkali-kali, selalu percaya apa yang keluar dari mulutnya akan terjadi, apalagi menyangkut tanah dimana ia dilahirkan.
“Srek… srekk… srekkk…”

Suara Kliwon tiba-tiba berhenti cukup jauh dari Gama dan Budi yang masih berjalan, Kliwon memandang ke arah satu tempat di atas pohon besar itu, padangannya bahkan bisa langsung dirasakan oleh Gama.

“Itu Kliwon berhenti didepan Bud!” ucap Gama, semakin berjalan dengan cepat sambil terus membayangkan gambaran sebelumnya yang sudah ia lihat.

“Aku mencium bau yang aneh, ini sudah semakin larut angin bergerak ke arah kita, tidak banyak waktunya Gam” jawab Budi seolah kembali merasakan bau leuweung sasar puluhan tahun kebelakang.

Dari kejauhan Gama sudah melihat mata kuning menyala, kepala meong hideung melirik Gama, seperti ingin menunjukan sesuatu setelah wewe gombel berhasil lepas dari kejarannya barusan.

“Ternyata apa yang kau lihat kenyataan bud..” bisik Gama.

Budi hanya menggelengkan kepalanya, manakala melihat tempat yang sama, sebelumnya sudah Gama lihat.

“Sialan Karni itu!” ucap Budi langsung berlari.

Karni cukup berdiam diri sejenak, sambil membawa karung yang berisikan kemenyan hitam.., tidak menyangka bahwa Gama dan Budi bisa sampai di tempat paling rahasia didalam leuweung sasar.

“Tahan Bud! Berhenti!” teriak Gama.

Baru saja ucapan Gama selesai, tiba-tiba tubuh Budi yang sedang berlari kencang mengejar Karni seperti ada yang mendorong tubuhnya cukup kuat secara berlawanan, hingga tubuhnya terpental.

“Brugggg!!!”

Badan budi tertahan satu pohon di dekat kobakan air dan tempat kemenyan yang sebelumnya sudah dibawa Karni, seketika asap kental yang sama keluar, manakala kemenyan itu Karni taburkan dengan tergesa-gesa.

“Seribu lelembut yang Ki Duduy maksud adalah ini” ucap Gama, sambil membangunkan tubuh Budi, perlahan memahami apa yang sudah lama terjadi ditempat ritual itu.

“Baru pertama aku merasakan kesaktian seperti itu Gam” jawab Budi perlahan sambil menggerakan kepalanya, hingga rambut gondrongnya itu kembali ke belakang.

Anehnya Budi hanya melihat ke arah air didalam kobakan, sementara Gama tidak percaya bahwa tempat ini benar adanya, apalagi beberapa sukma anak-anak sudah ia lihat termasuk Rara.

“Air, berarti di depan dua batu yang sudah pernah Abah tutup Gam, kamu ingat beberapa tahun kebelakang…” ucap Budi tiba-tiba.

“Sungai di depan sana, aku tahu sesuatu!” jawab Gama, dirinya tiba-tiba bergejolak merasakan hal aneh dalam tubuhnya, apalagi sedari tadi kiriman doa terus ia berikan kepada Ki Langsamana.

“Arrrrggghhh!!! Cepat Gam! Aku sudah tidak sabar!” ucap Budi dengan sangat kesal, apalagi Kliwon sudah kembali bergerak ke arah pohon-pohon yang lain untuk membuka jalan, dan meong hideung mengikuti langkah Gama.

“Aku tahu cara memancing wewe gombel itu agar tidak lari seperti tadi, kita hadapi tanpa mengeluarkan meong hideung” bisik Gama, sudah memahami kenapa Karni membawa seluruh kemenyan hitam di tempat barusan.

Terlihat sedikit keraguan dari raut wajah Budi ketika mendengar ucapan Gama, namun ia sadar lelaki yang kini berjalan didepannya itu tidak mungkin membuat perhitungan yang salah.

***

Dengan langkah yang tergesa-gesa sambil memanggul karung berisikan kemenyang hitam, Karni baru saja tiba di antara dua batu paling besar yang ada di dalam leuweung sasar, besebelahan tidak jauh dengan sungai yang cukup deras.

“Cepat juga mereka berdua bisa sampai ke tempat ini” ucap Karni sambil mengatur nafasnya yang sudah ngos-ngosan, dengan cepat ia membuka baju yang sudah penuh dengan keringat.

“Sudah saatnya! Jangan sampai aku mati seperti Sugik!” bisik hati Karni, langsung mengambil beberapa kemenyan hitam, sebagian sudah menjadi serbuk dan ditaburkan ke seluruh tubuhnya itu, hingga menjadi hitam.

Karni sudah mengerti akan apa yang harus ia lakukan, sambil menanti seseorang yang akan segera datang, hingga suara langkah yang digesekan ke tanah sudah Karni dengar semakin mendekat, membuat ia langsung menundukan kepalanya.

Langkah perempuan itu membuat dua payudara yang mengelantung panjang ikut bergerak, rambut panjangnya mampuh menutupi seluruh bagian punggung, dan hanya mengenakan selendang, yang kini sudah berada tepat dihadapan Karni.

Senyum lebar dari wajah hancur dari perempuan itu sudah terlontar, ia sangat senang melihat Karni melakukan tugasnya dengan baik, bahkan tubuhnya sudah sangat hitam.

“Ja..jangan biarkan mereka melewati tempat ini”

Karni hanya menundukan kepalanya perlahan, tiba-tiba tangan perempuan yang sudah tidak mempunyai kuku panjang sebelah itu akibat terkena terkaman meong hideung langsung mengelus pundak Karni.

“Arrrghhhh!”

Tubuh Karni bergetar hebat, ia merasakan sesuatu yang berbeda masuk kedalam tubuhnya itu.

“Habisi mereka berdua termasuk dua binatang itu Karni, agar kamu tetap hidup dan tempat ini abadi” bisik perempuan itu di dekat telinga Karni, namun langsung kaget manakala melihat dua lelaki dengan langkah yang tergesa-gesa sudah ia lihat dengan jelas.

“Me..mereka datang, menjemput kematiannya sendiri di tanah leuweung sasar ini, aku yang akan membuat mereka tidak bisa kembali” ucap perempuan itu, kemudian meninggalkan Karni dan tiba-tiba menuntun seorang anak yang Gama dan Budi cari, memasuki lebih dalam leuweung sasar.

Langkah Budi semakin tergesa-gesa, melihat perwujudan yang sudah Gama katakan.. bahwa kesaktian mereka dikehendaki seribu lelembut yang ada didalam leuweung ini, semua dikendalikan oleh wewe gombel itu.

“Ingat ucapanku Bud, mereka ingin kita kalah, menyerah bahkan mati, jika terdesak jangan melawan! Kesempatan kita sepersekian detik!” ucap Gama dengan tegas.

“Baik Gam akan aku ikuti ucapanmu” jawab Budi semakin dekat dengan dua batu yang puluhan tahun kebelakang di tempat itulah Bah Amar menutup leuweung sasar agar tidak ada manusia kembali datang ke tempat ini, namun sekarang malah salah satu orang kepercayaan Bah Amar yang berkhianat.

Dengan tubuh yang sudah terbalur kemenyan hitam, Karni sudah menunggu Gama dan Budi semakin mendekat, apalagi kini matanya sudah merah menyala, lelaki tua itu seperti terlahir kembali menjadi sangat muda, urat-urat di tubuhnya sangat kuat dan tubuhnya sesekali bergetar begitu saja, menerima dengan baik apa yang sudah diberikan wewe gombel barusan.

Karni tiba-tiba menunjuk tepat ke arah wajah Gama, kemudian dengan perlahan bergantian ke arah Budi, kepalanya sudah tidak bisa diam terus bergerak, bahkan keberadaan Kliwon yang baru saja turun dari pohon dan meong hideung yang berada di dekat kaki Gama bisa Karni ketahui dengan mudah, sambil Karni melemparkan senyuman anehnya itu.

“Apa yang sudah diberikan wewe gombel itu pada Karni sampai bisa lebih kuat seperti itu, menghindar dulu saja Bud” bisik Gama perlahan.

“Lebih baik kalian kembali atau mati di tempat ini, sama dengan Amar puluhan tahun lalu setelah dari tempat ini mati juga!” teriak kencang Karni.

Karni kembali menunjuk ke arah wajah Gama, tiba-tiba berlari jauh lebih kencang dengan tubuh yang sudah sangat hitam.

“Karni tidak akan menyentuhmu Gam tenang saja” ucap Budi, membuat Gama sedikit mundur dari tempatnya berdiri.

“Anak itu akan mati!!!” teriak Karni dengan suara yang menggetarkan isi leuweung sasar.

Namun ketika sudah semakin mendekat, dengan cepat Budi memegang pisau ditangan kanannya, berlari ke arah Karni.

“Arrrrggghhhh!!!”

Pisau itu tepat menancap di bagian perut Karni, membuat Budi semakin menekan lebih dalam sekuat tenaganya, membuat mata Karni semakin melotot dengan nafasnya hampir saja hilang, ketika kulit perutnya itu robek.

“Rasakan sakitnya Karni!” bisik Budi di dekat telinga Karni, menekan dua kali lebih dalam.

Gama melihat kini Budi yang terlihat heran, ketika bukan darah merah yang keluar mengikuti tajamnya pisau Budi, melainkan darah hitam yang kental menyatu dengan kemenyan hitam yang membalur seluruh tubuh Karni.

“Ha...hanya ini! Aku tidak akan mati Jalu!” ucap Karni terbata-bata, sambil tersenyum ke arah Budi.

“Brugggg!!!”

Satu kali hantaman dari kepalan tangan Karni mendarat tepat di bagian wajah Budi, yang langsung terseret mundur hingga tubuhnya tertahan oleh pohon besar dan langsung mengeluarkan darah di mulutnya.

“Gama! Awas!!!” teriak Budi, ketika Gama heran melihat Kliwon kembali meloncat ke pohon dan bergerak cepat ke arah dalam leuweung sasar.

“Meong bajingan!!!” teriak Karni, sudah berhasil mendaratkan kedua tangannya di leher Gama, dengan mata yang semakin menyala merah dan darah hitam terus keluar dari bagian perutnya.

Gama berusaha sekuat tenaga melepaskan cekikan tangan Karni yang jauh lebih kuat, bahkan nafasnya sudah semakin sesak, namun ia masih menyisakan tenaga untuk pergerakan yang sudah ia rencanakan.

Ketika kaki Karni akan menendang ke arah meong hideung tiba-tiba.

“Brugggg!!!”

Pukulan kencang mendarat tepat di pundak Karni yang dilakukan Budi sekuat tenaga, namun tidak membuat tubuhnya goyah sedikitpun.

“Tidak sulit untuk membuat kamu mati Gama! Tunggu aku membunuh si Jalu dulu!” ucap Karni semakin mengeluarkan suara yang berat, seperti bukan dirinya dan memukul perut Gama hingga tubuhnya terjatuh.

Karni melepaskan cekikan pada leher Gama dan sekarang sudah berhadapan dengan Budi.

“Tidak ada pilihan kalian harus mati satu persatu!” teriak Karni berlari kencang ke arah Budi, bahkan beberapa tusukan pisau Budi mengarah ke bagian perut untuk yang kedua kalinya sama sekali tidak berpengaruh apapun.

“Brugggg!!!”

“Arrgggghhhh!!!”

Rambut gondrong Budi sudah Karni pengang sangat kuat hingga pukulan pada bagian dada dan perut tidak bisa Budi hindari, walaupun ia tahan sekuat tenaga, sampai seluruh tubuhnya itu langsung bersentuhan dengan tanah.

“Ma..mati!!!”

Gama hanya melihat dan tidak bisa bergerak ketika melihat kaki kanan Karni akan segera menginjak kepala Budi.

“Ini yang kamu lalukan pada dua orang anak buahku Jalu! Saatnya sekarang kamu merasakannya!!!” ucap Karni melihat Budi sudah tidak berdaya.
Namun tiba-tiba kepala Karni tertunduk, manakala sosok Wewe Gombel yang sudah berubah wujudnya menjadi sangat besar perlahan mendekat.

“Bi..biar aku saja yang membunuh mereka berdua!”

Sementara Gama memaksakan tubuhnya untuk segera berdiri, menggunakan sisa tenaga yang ia miliki.

“Aku paham! Ini saatnya!” bisik hati Gama, langsung memejamkan matanya perlahan memegang gelang gengge dalam saku celananya.

“Matikau keturunan Ambar ditanganku!” teriak wewe gombel dengan kencang menatap tubuh Budi yang akan segera ia tusuk mengenakan kuku panjang di tangan sebelahnya.

“Kring… kringg… kringgg”

Suara gelang gengge berbunyi itu disadari oleh Karni dan Wewe Gombel yang langsung melihat ke arah Gama.

“Habisi sekarang… jangan tersisa…” bisik hati Gama, sambil sekuat tenaga menghentakan kaki kanannya tiga kali ke tanah leuweung sasar.

“Lamun enggeus eta taneuh dihentakeun moal aya nubisa lepas di si meong hideung”

(Kalau itu tanah sudah dihentakan tidak akan ada yang bisa lepas dari meong hideung) terdengar oleh Gama bisikan suara Ki Langsamana.

Manakala Wewe Gombel itu melihat Gama yang semakin terpejam, tiba-tiba meong hideung berlari terpincang-pincang kearah karni dan Wewe Gombel dan seketika tubuhnya menjadi besar, hingga tanah ikut bergetar.

“Sreeetttt!!! Sreettttt!!! Sreeettt!!!"

Membuat bagian dada Karni mendapatkan cakaran jauh lebih dalam dari pada pisau Budi sebelumnya dari meong hideung, begitu juga cakaran panjang bak pedang mendarat di bagian samping tubuh wewe gombel yang kini langsung mundur beberapa langkah, bahkan ketika ia akan berlari ke arah dalam leuweung sasar, malah mendapati Kliwon.

Dalam penglihatan mata Gama yang semakin terpejam, Kliwon sudah berubah tubuhnya menjadi sangat besar, dari alam lain itu Kliwon menghadang wewe gombel agar tidak bisa masuk lebih dalam lagi ke leuweung sasar.

“Manusia biadab! Aku tidak akan mati!!!” teriak Wewe Gombel dihadang oleh meong hideung dan kliwon.

“Arrrgggghhh!!!”

Satu kali cakaran buas meong hideung sudah mendarat di bagian kepala wewe gombel hingga bagian kepalanya hampir terputus, kini terjangan kuat meong hideung sudah berada diatas tubuh wewe gombel yang sudah tidak bisa bergerak sama sekali.

“Sekarang!” bisik Gama memberikan perintah pada meong hideung, bersamaan dengan angin-angin yang semakin kencang hadir.

Seketika kaki meong hideung mendarat di wajah wewe gombel hingga kepalanya masuk sangat dalam ke tanah, hanya tersisa tubuh telanjangnya saja dengan selendang hitam yang menempel di tubuhnya, dan hal itu disaksikan jelas oleh kedua mata Karni yang sudah menahan tubuhnya di dekat pohon.

“Bud bangun habisi Karni cepat! Aku cari Rara! Cepat!” teriak Gama yang sudah mendapati Karni melemah dan seluruh kesaktian yang diberikan wewe gombel itu luntur dengan sendirinya.

“Selendang ini yang sudah membawa Rara” bisik hati Gama langsung mengambilnya.

Budi berusaha bangun dengan tenaga sisanya, rasa sakit pukulan Karni sebelumnya masih membekas, dua orang yang hampir kehabisan tenaga itu akan segera menyelesaikan urusannya antara hidup dan mati.

“Pergi cari Rara akan aku habisi Karni!” teriak Budi berjalan perlahan ke arah Karni yang terlihat ketakutan ketika Budi sudah memegang pisau penuh dengan darah hitam.

Terlihat Karni memaksakan tubuhnya itu berlari dengan luka di bagian perut yang terus ia tutup mengenakan tangannya, dan luka dibagian dada yang kini baru saja terlihat mengeluarkan darah merah.

“Akan aku kejar kemanapun kau lari Karni!” teriak Budi sangat kencang.

Budi mengikuti langkah Karni yang terus mengeluarkan darah, namun tiba-tiba Kliwon kembali untuk mengikuti Budi bergerak dari satu pohon ke pohon lainnya, dan hal itu sangat dipahami oleh Gama, bahwa memang Kliwon yang dititipkan Cahyo benar-benar bisa diandalkan, hingga Gama mengetahui sesuatu yang harus segera ia selesaikan semuanya, sebelum pagi tiba.

Meong hideung yang masih berwujud besar itu tiba-tiba bergerak tanpa perintah Gama, kembali terasa getaran di atas tanah leuweung sasar, membuat Gama cukup heran.

“Mungkin ada sesuatu yang tidak kalah penting” bisik hati Gama, terlintas dipikirannya Danan dan Cahyo yang sedang mengurusi masalahnya.
Dengan berbekal selendang hitam ditanganya, Gama sudah berjalan memasuki lebih dalam leuweung sasar, pikiranya tentu saja cemas pada keadaan Budi yang sedang mengejar Karni dan meong hideung yang bergerak begitu saja.

“Harusnya Budi tidak akan mati dan aku yakin meong hideung ada hal penting” ucap Gama sambil mengatur sisa tenaganya, karena masih merasakan sakit dibagian perutnya itu.

Leuweung dengan segalanya isinya pepohonan besar, ranting-ranting hingga dedaunan yang Gama injak bukanlah hal yang baru baginya, sudah beberapa kali ia pindah dari satu hutan (leuweung) ke hutan lainnya, namun kali ini berbeda ia belum menemukan Rara.

Hanya berbekal padangan matanya yang terus melihat semakin gelapnya leuweung sasar, Gama tidak henti-hentinya mengirimkan doa untuk Ki Langsamana dan paham betul apa yang sedang ia lakukan adalah pertangung jawaban atas apa yang sudah turun kepadanya.

“Kaula minta pitulung buyut…” (saya minta pertolongan buyut) bisik hati Gama, sambil memejamkan matanya.

“Siga suluh nu diduruk ngaluarkeun seune, eta hasep bakalan kaciri Gam, rasakeun pake hate” (Seperti kayu yang dibakar mengeluarkan api, itu asap bakal terlihat Gam, rasakan pakai hati) bisik suara Ki Langsamana, bahkan Gama melihat sebuah selendang yang terbakar mengeluarkan api dan asap.

Gama langsung memahami sesuatu dari pesan penuh makna yang dikatakan Ki Langsamana, dan langsung membuka matanya, dengan keringat yang sudah membanjiri seluruh tubuhnya itu.

Sambil menganggukan kepalanya, penglihatan Gama sudah berkeliling melihat keadaan leuweung sasar yang semakin gelap, langsung mendapati satu pohon sangat besar diantara pepohonan lainnya yang mengeluarkan asap putih cukup banyak.

“Disana!” ucap Gama langsung berjalan tergesa-gesa, menuju asap itu berasal.

Semakin jelas satu pohon itu dari pandangan Gama, namun kini Gama melihat banyak sekali sosok-sosok penunggu leuweung sasar yang mengelilingi langkahnya, namun padangan mata-mata merah itu hanya tertuju pada selendang hitam di tangan Gama, mereka tidak bergerak sama sekali.

“Apa ini yang dimaksud seribu lelembut Kek” bisik hati Gama ingat pada perkataan Ki Duduy.

Ketika langkahnya sudah sampai, Gama langsung berjalan ke arah belakang pohon besar, bahkan ia langsung terdiam.

“Alhamdulillah Rara…” ucap Gama merasa lega.

Rara dengan tanganya memegang kedua lututnya itu hanya memandang ke arah Gama dengan wajah pucat, kedua bola matanya menatap kosong Gama, bahkan baju yang ia kenakan sudah sangat lusuh dan kotor.

“Ini Bapak ayo kita pulang, Mang Jaka dan Mak Endah nunggu Rara di rumah” ucap Gama terus mendekat ke arah tubuh Gama.

Rara hanya menggelengkan kepalanya secara perlahan, sambil melihat ke arah selendang yang Gama pengang.

“Ayo sini…” ucap Gama sudah dekat sekali dengan Rara.

Baru saja mulut Rara dengan bibir yang sangat pucatnya itu akan berbicara, tiba-tiba matanya terpejam dan tubuhnya yang sedang duduk itu terjatuh ke belakang hingga mengenai pohon yang mengeluarkan akar-akar kecil.

“Rara!” bentak Gama sangat panik, langsung memangku tubuh Rara.

“Kita pulang!” ucap Gama dengan sisa tenaga berjalan melewati para sosok hitam yang semakin mendekat.

Tubuh Rara anak yang malang nasibnya itu sudah berada di pangkuan Gama, sudah bisa dipastikan bahwa Rara masih bernyawa, namun keadaannya benar-benar lemas.

Setiap langkah Gama yang menginjak tanah leuweung sasar dan terus saja di ikuti para lelembut, hingga melewati sosok wewe gombel yang kepalanya masih tertancap di tanah.

“Tenang Ra, Bapak akan bawa kamu sampai rumah” ucap Gama semakin berjalan cepat, sudah tidak memperdulikan sosok-sosok hitam penuh bulu yang terus mengikutinya.

“Jangan sampai mereka mengikuti selendang ini!” bisik hati Gama cemas, namun ia sudah tahu apa yang selanjutnya akan diperbuat.

Langkah Gama terus menyusuri dalamnya leuweung sasar, ia sudah tidak tahu tepat pukul berapa saat ini, namun pekatnya gelap malam ini dan angin yang tubuhnya itu rasakan memberi pertanda bahwa malam akan segera berakhir.

“Budi seharusnya masih hidup…” ucap Gama melawan rasa cemasnya, bahkan merasa tidak akan cukup tenaganya untuk membawa Rara sampai ke rumah Mak Endah, dengan kondisi tubuhnya yang terus melemah, apalagi pertanda keadaan Rara belum bisa segera Gama sadarkan dengan cepat.

Setiap langkah kaki Gama yang sudah berada di ujung dalam leuweung sasar terus diikuti sosok-sosok hitam, namun sudah tidak pernah lagi kepala Gama melihat ke belakang apalagi kini padangan matanya sudah beberapa kali gelap dan keringat terus mengalir di tubuhnya.

“Tahan Rara, Bapak akan bawa kamu keluar dari tempat ini” ucap Gama terus memangku tubuh Rara, hanya detak jantung Rara saja yang terus Gama pastikan.

Burung-burung hitam sudah kembali Gama dengar suaranya dari atas pepohonan yang tinggi, memberikan pertanda sosok-sosok hitam hanya berhenti manakala kaki Gama melangkah keluar dari leuweung sasar.

“Sedikit lagi…” ucap Gama berusaha menghabiskan sisa tenaganya, apalagi angin dini hari menerpanya dengan sangat dingin.

Dalam langkah Gama disisa tenaganya, baru disadari ketika melihat ke arah tanah, banyak sekali bekas tetesan darah yang mengarahkan pada persimpangan jalan, bahkan ia langsung menghentikan langkah kakinya.

“Jangan sampai jalan itu menuju rumah Karni” ucap Gama.

“Gam!”

“Gama!!!”

Suara teriakan dari seseorang yang Gama kenal tiba-tiba terdengar sangat jelas semakin mendekat, ketika kepalanya mengarahkan pada suara itu, terlihat Mang Idim berjalan tergesa-gesa.

“Mang!” ucap Gama di akhir sisa tenaganya itu.

“Sini biar Amang yang bawa Rara pulang, Ki Duduy di rumah Mak Endah, keadaan Jaka dan Dadang juga semakin kritis, ini minum cepat!!!” jawab Mang Idim sudah sangat cemas melihat keadaan Gama. Dengan cepat satu botol berisikan air minum Gama habiskan, sampai tidak tersisa sedikitpun.

“Amang di antar Indra, dia sudah menunggu di ujung kampung, Budi mana Gam” tanya Mang Idim, sambil melihat ke arah yang sama dengan Gama.. pada tanah yang sudah terdapat tetesan darah di persimpangan jalan setelah melewati tanah bekas rumah Budi jaman dulu.

“Apa itu Kliwon, sedang apa” bisik hati Gama sepintas melihat Kliwon sedang berkeliling di sekitaran tanah bekas rumah Budi.

“Ke arah sana rumah Karni” ucap Mang Idim sudah memangku Rara yang masih belum sadarkan diri.

“Amang duluan bawa selendang ini, aku pastikan apa Budi masih hidup atau sudah mati” jawab Gama semakin cemas, manakala sebuah tenaga baru ia dapatkan setelah meminum air yang dititipkan Ki Duduy.

“Bawa saja oleh kamu Gam, bawa juga Budi dalam keadaan apapun Ki Duduy menunggu di rumah Mak Endah, sebelum matahari terbit dari arah timur kalian harus sudah disana, untuk menyadarkan Rara dan keluarganya, hanya itu pesan dari kakek kamu Gam” ucap Mang Idim lalu berjalan meninggalkan Gama.

Gama hanya menundukan kepalanya, melihat tubuh Rara yang dipangku oleh Mang Idim semakin menjauh.

“Seharusnya masih hidup! Aku percaya Budi masih hidup, tidak mungkin mati sebelum tanah kelahirannya ini kembali seperti sedia kala” ucap Gama semakin cemas, mengikuti tetesan darah yang ia yakini keluar dari perut dan dada Karni, yang sebelumnya sudah Budi habisi bahkan cakaran meong hideung sudah mendarat pada Karni.

***

Di sebuah rumah dengan lampu-lampu kuning menyala terlihat terus bergerak terkena hembusan angin malam yang tidak akan lama berganti dengan pagi, terdengar sebuah langkah-langkah manusia sangat berisik, beberapa benda di dalam rumah itu terdengar sudah berjatuhan.

Hanya tetesan darah yang memenuhi isi ruangan depan rumah, tetesan itu mengarahkan seorang lelaki tua yang terus dipaksa mundur ke arah pintu dapur.

“Am...ampun Jalu, Amang bisa jelaskan semua ini”

“Tolong ampuni Amang Jalu, semua ini terpaksa Amang lakukan, kamu harus mengerti semuanya”

Budi sudah tidak berbicara lagi untuk menjawab ucapan Karni yang tubuhnya masih hitam penuh dengan kemenyan, pisau tajam andalannya itu tidak lepas dari tangannya sedari tadi ketika mengejar Karni dari dalam leuweung sasar sampai rumahnya Karni,

Budi bisa saja menghabisi Karni namun ia ingin tempat yang benar-benar aman, agar akhir dari hidup Karni benar-benar sempurna di mata Budi mati dengan caranya.

“Kreket!”

Suara pintu dapur baru saja Karni buka dengan perlahan untuk menghindari Budi yang semakin dekat,  tanganya terus menutupi luka di perutnya, sementara bekas cakaran meong hideung terus mengeluarkan darah.

“Sudah banyak sukma-sukma dari orang yang tidak bersalah didalam leweung sasar, bahkan tumbal-tumbal nyawa, mereka harus aku balaskan!” bisik hati Budi bak binatang buas, ampunan tidak berlaku dalam hati nuraninya, rasa sakit harus dibalas setimpal dengan rasa sakit, begitu juga nyawa.

“Arrggghhhhh!!!”

Teriak Karni sangat kencang ketika kepalan tangan Budi sudah berhasil mendaratkan pukulan kencang di wajahnya, membalas apa yang Karni lakukan ketika tubuhnya dirasuki Wewe Gombel di dalam leweung sasar.

Tubuh Karni terpental cukup jauh, tanganya hanya bergerak memaksa tubuhnya itu menjauh dari terkaman Budi yang sudah sangat buas.

“Jalu ampun!” teriak Karni jauh lebih kencang.

Manakala tangan kiri Budi kini berada di leher Karni menguncinya dengan sangat kuat, bahkan membuat tubuh Karni yang masih terbalur kemenyan hitam itu hanya berusaha bergerak melawan, walaupun tidak mungkin ia lepas dari kuncian tangan Budi.

“An..anak itu pasti sudah mati Jalu, dan sosok wewe gombel sudah menemukan penerusnya!” ucap Karni terbata-bata sambil berusaha berbicara jelas.

“Akan aku perlakukan sama seperti ini, siapapun yang berani berbuat didalam leuweung sasar!” bisik Budi dengan dingin, dekat telinga Karni.

“I...ibu dari anak itu akan menjadi wewe gombel selanjutnya Jalu, dan leuweung sasar akan jadi tempat abadi!” jawab Karni di ujung nafasnya, karena semakin ditekan bagian lehernya itu oleh tenaga sisa Budi.

“Arrgggghhh!!!”

Teriak Karni semakin kencang, bersamaan dengan pisau Budi  mengarah tepat di tangannya yang berusaha menutupi luka dibagian perut Karni.

“Ini belum seberapa, ganjaran ringan untuk penghianat yang bersekutu dengan Sugik dan wewe gombel” ucap Budi sambil mendengar suara nafas Karni yang tidak tenang sambil menahan sakit.

“Am-ampunnnn!!!”

“Arrrgghhhhhhhh!!!”

Pisau itu sudah kembali menusuk perut Karni, tepat meneruskan sisa tusukan ketika berada didalam leuweung sasar, namun kali ini darah memancar bukan hitam lagi melainkan merah, membuat Budi langsung menganggukan kepalanya yang sudah bercucuran keringat sambil memastikan Karni sudah tidak bernyawa di tangannya.

Bahkan tubuh Budi yang berada di belakang Karni yang sudah tidak bernyawa itu, langsung didorongkan ke depan agar pisau itu semakin dalam bersarang di perut Karni.

“Bruggg!!!”

Seketika tubuh Budi berguling kesamping pandangan matanya tepat ke arah langit malam ini yang gelap, bersebelahan dengan tubuh Karni tengkurap perlahan darah itu semakin keluar banyak dari samping perut, dengan kepala yang sudah menyentuh tanah.

“Seharusnya sudah aku habisi malam itu Karni, firasatku benar ketika berjumpa di pasar, pengkhianat itu dari orang yang paling dekat ketika aku kecil…” ucap Budi sambil mengatur nafasnya perlahan memejamkan mata untuk mengumpulkan tenaga sisa, dan masih berdiam terlentang di sebelah jasad Karni.
Gama baru saja melihat sebuah rumah dengan pintu depannya sudah terbuka terus bergerak terkena hembusan angin, tetesan darah yang Gama lihat tepat mengarah ke satu-satunya rumah yang tak memiliki tetangga.

“Seharusnya itu benar rumah Karni” ucap Gama semakin tegang, karena tidak terdengar satupun orang di dalam, ketika sudah melihat isi dalam rumah yang sangat berantakan, dengan benda-bendanya yang berserakan di lantai.

“Bud… Budi…” ucap Gama berjalan mengendap-endap, karena belum mengetahui pasti darah yang banyak di atas lantai keramik itu berasal dari tubuh Budi atau Karni.

Langkah Gama langsung terhenti, ketika melihat ke arah salah satu kamar yang ranjangnya sudah penuh dengan darah dan kemenyan hitam.

“Karni sebelumnya tertidur disitu” bisik hati Gama.

Dengan cepat Gama berjalan ke arah dapur, karena hembusan angin kencang berasal dari sana, terus saja ia waspada karena sampai saat ini hanya tetesan darah yang ia lihat, tanpa adanya pertanda lain dari keberadaan Budi ataupun Karni.

Ketika melewati pintu dapur, pandangan kedua bola mata Gama dibuat terkejut manakala melihat satu orang dalam keadaan terlentang dan satunya lagi tengkurap, dengan darah yang jauh lebih banyak.

“Budi!!!” teriak Gama langsung berlari, kearah Budi dengan rambut gondrongnya itu sudah menyentuh tanah.

Kepala Budi langsung menengok ke arah suara Gama, sambil membuka matanya secara perlahan, membuat Gama menghentikan langkahnya sambil tangannya tetap membawa selendang hitam.

“Aku baik-baik saja Gam, Rara mana” tanya Budi sambil berusaha bangun.

“Sudah dibawa Mang Idim dan Indra ke rumah Mak Endah Bud, ini selendang yang aku bawa dari tubuh wewe gombel…” jawab Gama yang kini merasa tenang, walaupun ketika Budi dengan susah payah menyeret tubuh Karni yang sudah tidak bernyawa itu, Gama hanya menggelengkan kepalanya saja.

“Bagus kalau begitu, sebentar aku bereskan dulu mayat Karni, ini hal penting terakhir kalinya aku mengurusnya harus sampai selesai” jawab Budi terus menyeret mayat karni hingga masuk ke dalam dapur.

Membuat Gama hanya terdiam, melihat goresan darah yang tercetak di tanah belakang rumah Karni dan kini Budi berusaha membersihkannya, agar tidak meninggalkan jejak.

“Bud…” ucap Gama semakin heran.

“Biarkan Karni mati dikenang sebagai pahlawan di kampung wetan tilasjajah ini, setidaknya warga kampung pagi nanti akan menemukan mayatnya yang mengenaskan ini Gam… mau bagaimanapun para warga tahu kalau Karni bagian dari keluargaku, orang kepercayaan Bah Amar dan Ni Warsih, hingga nanti leuweung tertutup kembali dan kampung menjadi aman, nama Karni di kenang… tapi bagiku sama saja, hingga tadi mati ditanganku sendiri… itu yang aku mau, menjaga nama baik keluargaku Gam” jawab Budi menjelaskan sambil mengatur beberapa benda, agar nanti para warga menyangka bahwa Karni dihabisi sosok dari leuweung sasar, juga berusaha meninggalkan jejaknya bersama Gama.

“Dan tahu apa yang aku dengar dari Karni Gam sebelum ia mati” lanjut Budi perlahan.

“Apa Bud, pasti hal penting” jawab Gama sudah tidak ingin melihat mayat Karni yang semakin mengenaskan, setelah semua posisi mayatnya di atur oleh Budi.

“Wewe gombel akan diteruskan oleh Ibunya Rara dan akan sulit bagi kita menutup leuweung sasar seperti sebelumnya, apalagi aku belum tahu caranya seperti apa” jawab Budi, sudah berjalan mengelilingi rumah Karni, walaupun Budi ingat ketika berpisah dengan Kliwon yang bergerak ke arah tanah rumahnya dulu.

Membuat Gama tidak cukup terkejut karena memang keadaan terakhir wewe gombel sebelum dihabisi meong hideung sangatlah licik.

“Urusan cara menutup nanti kita bicarakan dengan Ki Duduy, yang terpenting Rara, Mak Endah, Jaka dan Dadang sadar dulu sebelum pagi Bud” jawab Gama berusaha kembali membuat diri Budi tenang.

“Baik, urusan keluarga Rara termasuk Bapak dan Ibunya yang sudah sama-sama kita lihat di dalam leuweung sasar jadi urusan aku saja, aku tahu caranya agar semuanya benar-benar selesai” jawab Budi sambil tersenyum, dengan keadaan tubuh yang sudah berantakan itu.

Gama hanya menganggukan kepalanya saja, sudah mengerti dengan ucapan Budi, mungkin nasib hidup ibu dan bapaknya Rara akan sama dengan Karni atau bahkan akan lebih mengerikan ditangan seorang Budi, orang yang paling bertanggung jawab di tanah kelahirannya, dan segala rasa sakit di hatinya setelah leuweung sasar terbuka, orang-orang yang menghendakinya itu harus selesai dengan caranya.

“Selesaikan Bud, aku akan berikan izin tanpa aturan apapun, setelah Rara dan keluarganya sadar dengan selendang ini, kita akan memikirkan cara selanjutnya" ucap Gama perlahan, sambil terus berjalan ke arah dimana motor sebelumnya terparkir, harus segera menuju rumah Mak Endah.

“Terima kasih Gam, aku tahu caranya, cara yang paling baik” ucap Budi dengan sangat dingin, cara yang paling baik menurutnya adalah cara yang paling mengerikan yang sudah ada di dalam isi kepalanya, agar ibu dan bapaknya Rara mendapatkan balasan setimpal, atas apa yang sudah mereka berdua lakukan.

Laju kendaraan roda dua yang di kendarai Gama, baru saja melewati jembatan besar yang memberikan penglihatan kepada mereka berdua, bahwa tempat itu baru saja selesai, tapi belum berakhir.

“Jangan sampai terulang, terbuka kembali tempat itu Gam” ucap Budi yang sudah menyandarkan tubuhnya itu di punggung Gama, karena keadaanya semakin lemas.

“Aku janji akan menutupnya Bud, sama seperti Abah kamu dulu, satu persatu kita selesaikan dulu” ucap Gama berusaha kembali menyakinkan Budi.

Kendaraan roda dua itu sudah beberapa kali berpapasan dengan mobil pengantar sayuran menuju pasar kecamatan, yang artinya tidak akan lama pagi akan benar-benar tiba, sementara kini di pikiran Gama hanya tentang bagaimana keluarga Mak Endah termasuk Rara bisa sadar dengan cara yang cepat.

Tidak perlu waktu dengan kondisi Gama yang semakin normal, mereka berdua sudah memasuki kampung dimana rumah Mak Endah berada.

“Gam itu Ki Duduy…” ucap Budi.

“Bantu aku yah Bud” jawab Gama perlahan.

Senyum keluar dari mulut lelaki tua yang sedang merokok dengan tidak tenang itu, mendapati cucunya yang sudah sangat berantakan akhirnya tiba di rumah Mak Endah, sebelum pagi tiba.

“Assalamualaikum Kek”

“Waalaikumsalam, cepat urus dulu mereka didalam rumah, kasihan Idim sudah mati-matian menjaga mereka dari sisa serangan sosok di leuweung sasar, gunakan selendang itu Gam sebelum pagi tiba, cepat…”

Dengan cepat Gama sudah melihat Mak Endah yang paling parah kondisinya, matanya tiba-tiba melotot ketika Gama baru saja mendekat ke arahnya, dengan mulut yang terbuka lebar.

“Usapkan Gam…” bisik Budi.

Membuat Gama langsung mengusapkan selendang hitam ke arah wajah Mak Endah, membuat Mak Endah langsung berteriak kencang.

“Sisa-sisa dari wewe gombel…” ucap Ki Duduy sambil berdiri menyaksikan bagaimana cucunya itu bertindak cepat.

“Berikan selendang itu pada Idim saja, biar dia sadarkan Rara, Jaka sama Dadang” lanjut Ki Duduy perlahan.

Malah ketika selendang hitam itu diterima Mang Idim, Mak Endah yang baru saja membuka matanya terlihat kaget melihat ke arah selendang itu, seperti mengetahui sesuatu.

“Tenang kondisi Mak belum pulih sepenuhnya Mak” ucap Budi perlahan.

Gama melihat meong hideung sudah berada di ujung depan rumah, dibalik tempat Ki Duduy berdiri, melihat keadaannya tidak seperti biasanya.

“Habis bertarung, pasti sudah membantu Danan” ucap Gama perlahan.

“Gam, sini ikut kakek…” bisik Ki Duduy, membiarkan Budi dan Mang Idim menyadarkan Rara dan Gama langsung berjalan kedepan.

“Kakek tahu dari Danan mungkin dia akan bisa memberikan saran bagaimana leuweung sasar kembali tertutup, hubungi dia, jangan sampai Budi cepat menghabisi Ibu dan Bapaknya Rara sebelum itu tertutup, ingat bukit cupu disitulah kalian berjumpa sebelum matahari sore tenggelam..” ucap Ki Duduy sangat serius, karena merasa bahwa dendam dan keinginan Budi belum terlaksanakan semuanya.

“Kakek akan jaga Budi dulu agar tidak bergerak ke rumah Mimin” lanjut Ki Duduy, kemudian menepuk pundak Gama.

“Baik Kek, semuanya harus selesai cepat” bisik hati Gama, sudah mengetahui maksud bala bantuan yang sudah jauh-jauh hari selalu Ki Duduy katakan itu, apalagi meong hideung sudah kembali bersama Gama dan meyakinkan Gama bahwa ia sudah melalui pertarungan bersama Danan.

***

Kabar Rara sudah membaik sampai di handphone Gama yang di kirim oleh Mang Idim, dan Budi yang masih berjaga di rumah Mak Endah, sementara Gama sudah memberikan kabar rahasia kepada Pak Hadi agar tidak langsung menyebarkannya sebelum kondisi Rara benar-benar pulih.

“Aku harus pergi sebentar Wi, sebentar lagi sore…” ucap Gama perlahan, sambil mengenakan jaket.

“Apa belum selesai semuanya Gam” tanya Dewi semakin cemas.

“Satu dan dua hal lagi, aku harus berjumpa dengan Mas Danan, sudah berjanji sore ini di bukit cupu, kemudian melihat keadaan Rara” jawab Gama menjelaskan.

Dewi hanya menganggukan kepalanya saja, apalagi kabar Rara sudah ditemukan sudah cukup membuat dirinya ikut tenang, bahwa suaminya kembali dengan selamat.

“Semoga Budi bisa ditahan oleh Ki Duduy” bisik hati Gama sudah berada diatas motor untuk segera menuju bukit cupu.

“Gam cepat, Budi sudah tidak sabar” hanya pesan itu yang Gama baca dari Mang Idim membuat Gama langsung menarik gas motor.

Untungnya perjalanan menuju bukit cupu tidak terlalu memakan waktu yang lama, setelah melewati beberapa kemacetan kota, Gama sudah berhenti, lalu melangkah kakinya ke sebuah tempat dimana Gama bisa melihat jelas Leuweung sasar dari tempat ini, bersamaan dengan cahaya kuning keemasan itu perlahan turun.

“Harusnya Danan cepat sampai ini sudah waktunya” ucap Gama menunggu, sambil melihat ke arah leuweung sasar.

“Sudah lama” terdengar suara yang sudah tidak asing di telinga Gama.

“Eh nggak juga, emang dasarnya aja betah disini” jawab Gama.

Gama dan Danan langsung memandang sebuah tempat yang sama di bawah cahaya kuning keemasan yang terus perlahan turun, akan segera berganti dengan malam.

“Itu leuweung sasar” tanya Danan tiba-tiba.

“Benar Nan itu yang ingin kubicarakan sama kamu” jawab Gama, langsung ingin mengutarakan tujuannya, apalagi tidak mempunyai waktu banyak.

Danan terlihat cukup kebingungan dengan ucapan Gama, tidak seperti keyakinan Gama yang merasa bawa Danan bisa memberinya sebuah solusi, sesuai ucapan Ki Duduy tentang bala bantuan itu.

“Apa mungkin kamu mengetahui sesuatu yang mungkin bisa menyegel hutan itu lagi Nan” tanya Gama.

Danan tidak langsung menjawab keinginan Gama itu, ia memilih menceritakan tentang pengalamannya ketika penunggu alas wetan mengamuk, saat itu Danan bilang pusaka Mas Linus lah yang mengorbankan dirinya untuk menyegel disana selama bertahun-tahun, membuat Gama hanya mendengarnya dengan serius.

“Berarti pusaka ya, mungkin aku juga harus mencari pusaka serupa untuk bisa menyegel leuweung sasar…” ucap Gama menarik kesimpulan apa yang Danan katakan.

Namun raut wajah Danan seolah tidak setuju untuk hal yang akan Gama lakukan, karena itu tidaklah mudah, sementara leuweung sasar sudah harus segera tertutup, dan mereka berdua hanya bisa mengucapkan doa yang sama, menatap ke arah leuweung sasar dengan langit sore yang hampir segera berakhir, untuk menyambut malam tiba.

Danan berusaha mengembalikan benda yang sebelumnya Gama berikan yaitu botol wewangian, namun Gama tolak dengan cara halus karena Gama mendengar bahwa Danan akan berurusan dengan hal berbahaya di ujung timur sana.

“Kamu yakin, ini peninggalan berharga dari Ki Langsamana” tanya Danan.

“Peninggalan paling berharga dari leluhurku adalah ilmu dan akhlak yang diturunkan melalui keluargaku, dan bila benda itu bisa menyelamatkan nyawa seseorang di tanganmu, berarti benda itu berada ditangan yang tepat” ucap Gama.

Danan langsung paham apa yang diucapkan Gama, bahkan ia merasa bahwa pertemuannya dengan Gama sangatlah berharga dan bisa saling membantu.

Namun tiba-tiba Gama dan Danan menyadari ada suara langkah kecil yang mendekat ke arah mereka berdua, membuat mereka mencari dari mana asal suara itu.

“Kliwon…” ucap Gama yang sudah mengenali langsung kera itu.

Namun Danan jelas lebih tahu cara menyambut kedatangan Kliwon, ia seperti ingin diperhatikan akan kedatangannya itu.

“Monyet putih juga” bisik hati Gama, yang sudah tahu bahwa itu adalah penunggu bukit ini.

Kliwon langsung memberikan sebuah kantong kain di hadapan Gama dan Danan, dengan cepat Danan langsung membukanya.

“Pasir…” ucap Dana perlahan.

“Hanya pasir, apa maksudnya Kliwon” lanjut Danan.

Kliwon seperti menjelaskan langsung namun sulit untuk Gama dan Danan mengerti, mungkin kecuali Cahyo yang bakal langsung paham.

“Malam itu aku lihat kliwon ke tanah bekas rumah Budi” bisik hati Gama singat kejadian sebelum Budi menghabisi Karni.

“Benar! Pasir ini… pasir ini adalah pasir yang sama seperti yang pernah digunakan menyegel leuweung sasar” ucap Gama sembari tersenyum, mengingat apa yang pernah diceritakan Budi tentang perjuangan Bah Amar bapaknya itu.

“Yang benar” tanya Danan masih heran.

“Iya Nan! Nggak salah lagi! Kliwon terima kasih dan temanmu itu…” jawab Gama.

Gama langsung melihat monyet putih pergi dengan cepat, seolah menunjukan keberadaan Gama dan Danan.

“Titip ucapan terimakasih Gama untuk temanmu itu ya..” ucap Danan kepada Kliwon.

Baru saja Gama dan dan Danan berpisah ketika gelap malam baru saja tiba, dan sudah mengucapkan rasa terimakasih sudah menemuinya kepada Danan, begitu juga Danan mengucapkan hal yang sama atas botol wewangian itu yang dipercayakan Gama berada ditangannya.

Ketika Gama hampir sampai ke tempat motornya terparkir sambil membawa kantong kecil berisikan pasir, tiba-tiba terdapat pesan masuk dari Mang Idim.

“Gam susul Budi ke rumah Mimin, bahaya! Budi sudah tidak terkendali… ini alamatnya, Rara kembali tidak sadar, semua karena Mimin dan Karta” pesan itu segera Gama baca.

“Bahaya! Budi bakalan lebih kejam!” ucap Gama, apalagi ketika ia melihat ke arah barat (kulon) tempat dimana leuweung sasar itu berada, kembali melihat burung-burung hitam kembali berterbangan, seolah memberi pertanda agar leuweung itu segera di tutupnya.

“Eta budak moal sadar, nyawana aya di lengeun indung kandungna sorangan Gam, jasadna geus kaluar di leuweung sasar, tapi acan lepas di kahayang indung jeng bapakna, indungna eta panerus wewe gombel, ereunkeun ayena oge…”
(Itu anak tidak akan sadar, nyawanya berada di tangan ibu kandungnya sendiri Gam, jasadnya sudah keluar dari leuweung sasar, tapi belum bisa lepas dari keinginan Ibu dan Bapaknya, apalagi Ibunya ada sosok penerus wewe gombel, segera hentikan…)

BERSAMBUNG

*****
Selanjutnya

*****
Sebelumnya
close