Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

LEUWEUNG SAREBU LELEMBUT (Part 4) - Kerangkeng Sukma

"Diatas tanah ini manusia menjadi budak. Tumbal darah, daging dan nyawa sudah sepantasnya diberikan untuk Sang Tuan"


Kerangkeng Sukma

“Kerangkeng sukma bukan hanya mengikat anak-anak agar tidak bisa kembali, tapi perlahan membunuh tumbal nyawa yang sudah dipersembahkan untuk sang tuan”
Sinar purnama dengan cahaya nan indah perlahan akan tertutup oleh awan hitam, memberikan pertanda dari malam bergerak dengan cepat, satu kaca dan jendela yang paling besar terletak di lantai dua rumah Karta dan Mimin yang gordennya masih terbuka lebar, membuat udara dingin sudah mereka berdua rasakan sedari tadi, namun tidak membuat pandangan suami istri itu lepas ke arah barat (kulon).

“Aku yakin Bah Sugik akan datang lagi, kalau memang leuweung sedang dalam bahaya Karta!” ucap Mimin tiba-tiba sambil berdiri, berjalan perlahan menuju salah satu kamar yang sengaja sudah bertahun-tahun di kosongkannya itu.., tempat ia menyimpan segala jenis sesajen untuk sosok kiriman Bah Sugik dari leuweung sasar.

“Sudah jangan kamu buka tutup terus Min, ini kita sedang tunggu kan!” jawab Karta tanpa melihat ke arah istrinya, kedua tangannya sudah terdapat perban putih yang masih terlihat jelas menahan darah agar tidak menetes.

Mereka berdua kembali duduk bersebelahan, hanya asap putih dari rokok yang terus menerus Karta hisap, menutupi rasa cemas dalam dirinya.

“Apa Dadang, Jaka dan Mak Endah akan mati malam ini juga dan kiriman itu sudah sampai” ucap Karta tiba-tiba.

“Seharusnya iya, dan seharusnya apa yang kita inginkan cepat terwujud” jawab Mimin sambil tersenyum yang sudah tidak mempunyai hati nurani, manakala terlintas wajah Rara anaknya dalam tatapannya kali ini ke arah leuweung sasar.

“Seharusnya aku saja yang menghabisi mereka itu, tidak perlu susah payah Bah Sugik untuk membuang waktu, hingga ritual kita di leuweung sasar jadi terganggu! sialan!” tegas Karta dengan sangat kesal, tidak ingin apa yang sudah di lakukannya itu hancur sia-sia.

Tiba-tiba Karta dan Mimin saling bertatapan mata, kedua hidungnya sudah mencium bau kemenyan dan bunga-bunga padahal belum ada pertanda kedatangan Bah Sugik, tanpa mereka berdua sadari lelaki tua dengan pakaian serba hitam sudah berdiri di belakang mereka, sambil tersenyum menakutkan.

“Brug! Brugg! Bruggg!”

Tiga kali suara kencang terdengar dari kamar yang sebelumnya Mimin buka, membuat Karta dan Mimin ingin segera membalikan badan.

“Seharusnya kalian berdua tahu siapa saja orang-orang yang sudah mengacau di dalam leuweung sasar! Tidak usah berbalik badan kalian!”

Suara Bah Sugik yang serak sudah masuk ke dalam telinga Mimin dan Karta, membuat mereka berdua hanya menggelengkan kepalanya, apalagi sekarang terdengar semakin jelas dari arah kamar yang penuh sesajen terdengar suara rakus yang sedang memakan sesajen.

“Sa...saya tidak tahu orang-orang itu Bah, tapi kalau perlu dan Abah perintah akan saya bereskan semuanya...” ucap Karta sambil terbata-bata, merasakan bulu pundaknya sudah berdiri sedari tadi dengan kedatangan Bah Sugik.

Bah Sugik hanya tersenyum mendengar ucapan Karta, apalagi Karta tidak tahu orang-orang itu bisa masuk ke dalam leuweung dengan segala kemampuannya.

“Ini akibat Wewe Gombel yang aku perintah membawa Rara! Semua berawal dari situ! Dan masalahnya bukan hanya itu, ada lagi!” bentak Bah Sugik dekat dengan telinga Mimin dan Karta.

Kedua tangan Bah Sugik perlahan mengusap ujung kepala Mimin dan Karta, yang masih belum bisa duduk dengan tenang, tidak ingin selanjutnya hal semakin buruk terjadi malam ini.

“Sudah banyak anak-anak yang tidak bisa kembali, kerangkeng sukma bukan hanya mengikat, tapi membunuh tumbal nyawa yang ada disana, kalau kejadian di leuweung sasar semakin buruk kalian berdua tidak akan hidup!” bisik Bah Sugik.

“Am...ampun Bah!”
“Ampun!!!”
“Besok, Ibu kamu Mak Endah akan mati bersama kakak kamu Jaka termasuk Dadang, itu harga setimpal atas kacaunya perjanjian kita! Dan kamu akan menjadi penerus wewe gombel selanjutnya, bersama jasad Rara yang akan segera mati!” bisik Bah Sugik di dekat telinga Mimin, didengar jelas oleh Karta.

“Bah tidak ada perjanjian itu sebelumnya, Mimin istri saya masih hidup!” ucap Karta tiba-tiba memaksakan untuk berani bicara, tidak ingin istrinya mati. Membuat Mimin langsung melihat ke arah wajah Karta, tidak percaya kalimat itu akan keluar dari mulut suaminya itu.

Tiba-tiba bukan jawaban yang keluar dari mulut Bah Sugik, leher Karta yang berada tepat di dekat tangan sebelah Bah Sugik langsung di cekik dengan perlahan, namun lain yang di rasakan Karta, tenaga dari lelaki tua benar-benar kuat hingga membuat nafasnya tertahan, hanya tubuhnya saja yang terus bergetar.

“Bah maafkan kelancangan suami saya Bah maafkan” ucap Mimin yang hanya bisa melihat Karta hampir kehabisan nafasnya, wajahnya seketika sudah memucat.

““Am...ampun Bah!!!”
“Kalau besok malam kalian tidak bisa berjumpa lagi dengan saya, akan ada pertarungan seribu lelembut di leuweung sasar dengan keturunan juru kunci dulu, dan jangan harap kalian bisa hidup atau mati dengan cara baik-baik, camkan itu! Apalagi anak kalian tidak akan bisa kembali, bisa jadi tumbal yang sia-sia!” ucap Bah Sugik dengan tegas, sambil melepaskan cekikan pada leher Karta. Bersamaan dengan suasana kamar dan ruangan tempat Mimin dan Karta berdiam itu kembali berubah menjadi sunyi seperti sebelumnya, apalagi setelah terdengar suara benda-benda seperti ditendang sangat kencang dan berserakan di dalam kamar.

“Si...sialan!!!” bentak Karta sambil mengatur nafasnya yang ngos-ngosan hampir saja mati di tangan Bah Sugik malam ini.

Mimin langsung berlari ke arah kamar, setelah mendapati Bah Sugik pergi begitu saja dengan segala kesaktian yang ia miliki.

“Krekettt...”

Ketika pintu kamar terbuka, Mimin langsung dibuat diam mematung tidak percaya bahwa sesajen yang sebelumnya tertata dengan segala yang ia berikan, kini sudah berserakan, bahkan wadah-wadah yang terbuat dari rotan dan keramik itu hancur, seperti bekas di injak oleh sosok yang besar.

“Ba...bahaya, pertanda buruk!” ucap Mimin, masih ingat dengan ucapan Bah Sugik yang terakhir, bahwa nasib mereka hanya akan ditentukan besok malam, membuat ketakutan kini berganti hadir dalam dirinya, terlebih ia sangat pecaya pada ucapan Bah Sugik.

“Kalau hal buruk terjadi, siapapun orang yang mengacaukan tujuan kita akan aku cari sampai liang lahatnya sekalipun Min, aku janji! semoga besok malam semuanya kembali aman dan tujuan kita tercapai semuanya!” ucap Karta tiba-tiba sudah berada di belakang tubuh Mimin, menyaksikan sama-sama persembahannya malam ini hancur berantakan.

“Akan mati!” bisik Mimin dalam hatinya, mempunyai rencana lain yang terlintas dalam pikirannya dan hadir rasa penasaran siapa keturunan juru kunci dulu yang Bah Sugik barusan sebutkan.

***

Jalu Kertarajasa (Budi)

Waktu sudah bergerak semakin cepat, perintah Ki Duduy sudah didengar jelas oleh kedua telinga Gama dan Budi, apalagi kliwon masih bertatapan dengan meong hideung tidak jauh dari pintu dapur rumah Ki Duduy berada, sementara Gama dengan tiba-tiba memejamkan matanya dengan perlahan, tangannya bergerak ke dalam saku celana yang terdapat gelang gengge dan botol wewangian.

“Eta nu diharepeun soca anjeun lain sambarang sato, saura jeng meong hideung teu kudu sieun atawa kalilieur pitulung geus nepi Gam, bareng jeung letikna lalampahan buyut jaman baheula, eta kabeh nu geus pernah jadi lalakon tapak tilas, sing jadi tanaga leuwih...”

(Itu yang didepan mata kamu bukan sembarang binatang, sama dengan meong hideung tidak usah takut atau takut... bantuan sudah datang Gam, bersamaan dengan kecilnya langkah buyut jama dulu, itu semua sudah pernah menjadi lelakon tapak tilas, harus jadi tenaga lebih...)

Sebuah sorban Ki Langsamana yang sebelumnya Gama dengarkan ceritanya dari Abah yang didengar langsung oleh Danan dan Paklek Bimo, tiba-tiba kembali disampaikan begitu saja di pundaknya Gama.

“Selesaikan satu persatu, apa yang sudah terbuka harus kembali tertutup rapat, tidak ada aturan apapun untuk kali ini” ucap Ki Duduy sambil berjalan ke arah Budi, menepuk pundaknya berkali-kali.

“Ba...baik Kek, Budi paham” jawab Budi pelan, sambil menundukan kepalanya, langsung merasakan gejolak dalam tubuhnya, seolah perkataan Ki Duduy pemantik api membara dalam diri Budi.

Kliwon dan Meong Hideung terus saja melihat ke arah Gama dan Budi, apalagi Ki Duduy hanya kembali menganggukan kepalanya saja.

“Apa Ki Duduy juga sudah mengetahui tentang Cahyo dan Kliwon ini” bisik hati Budi, berbarengan dengan mata Gama baru saja perlahan terbuka.

“Semoga ada yang bisa kamu dapatkan lebih Gam dari masalah ini, seribu lelembut dan wewe gombel sudah menanti, cepat selesaikan, bawa Rara kembali ke keluarganya dan bereskan semuanya jangan ada yang tersisa” ucap Ki Duduy.

“Srek... srekk... serekk...”

Tiba-tiba Kliwon langsung bergerak meloncat ke arah pohon-pohon dengan sangat cepat, setiap gerakannya mengarah ke barat (kulon) membuat Gama dan Budi semakin membenarkan pertanda yang dibawa kliwon.

“Ayo...” ucap Gama, setelah melihat Ki Duduy berjalan ke arah pintu dapur.

“Kamu harus berjumpa dan bicara dengan Cahyo, aku yakin dia punya kelebihan yang luar biasa Gam, walaupun menyebut aku dengan sebutan Mamang Gondrong” jawab Budi.

Membuat Gama langsung berhenti tepat di dekat motornya yang terparkir bersebelahan dengan motor yang dikenakan Budi.

“Mamang Gondrong Bud...” tanya Gama menahan dirinya untuk tertawa, walaupun ia tidak menduga ada orang seberani Cahyo yang memberinya julukan sangat lucu pada Budi, terlebih rambutnya itulah yang selama ini Gama juga merasa gatal ingin memotongnya.

“Ah sudahlah! kamu jangan jadi menyebalkan dan sama dengan Cahyo!” ucap Budi sedikit kesal.

“Setidaknya Cahyo berkata jujur akan apa yang dia lihat, dan itu menurutku bukan masalah juga Bud, sebuah julukan baru...” jawab Gama merasa selalu ada hal lain setelah pertemuannya dengan Danan, apalagi baru saja mendengar tingkah lucu Cahyo.

“Sudahlah tidak perlu dibahas lagi!” ucap Budi dengan sangat dingin.

Gama dan Budi tiba-tiba melihat sorotan cahaya kuning motor semakin mendekat dengan laju yang cukup kencang.

“Indra itu Bud, sama Mang Idim” ucap Gama, sambil melihat ke arah jam tua yang menempel di tangannya itu.

“Sudah larut malam ada apa, jangan sampai keadaan di rumah Mak Endah semakin buruk ini Gam” tanya Budi, padahal sudah berjumpa sebelumnya dengan Mang Idim.
...
Setelah Indra bersalaman dengan Budi dan Gama, Indra langsung di suruh kembali pulang untuk berjaga di rumah, dan memantau keadaan rumah Mak Endah sesuai dengan perintah Mang Idim yang terlihat tergesa-gesa, tidak ingin berdampak seperti masalah-masalah sebelumnya.

“Berikan kabar yah Ndra” hanya itu yang terucap dari mulut Gama, melepas Indra yang langsung kembali pergi.

“Mak Endah, Jaka dan Dadang malam ini tidak bisa kita tinggalkan begitu saja, Bah Sugik tidak akan tinggal diam!” ucap Mang Idim.
“Aku pergi mengikuti pertanda kliwon, sudah bisa aku pahami maksud kliwon Mang... Budi ikut saja Mang Idim, kabar akan aku kirim melalui pesan secepatnya” jawab Gama.

Budi dan Mang Idim hanya bisa menganggukan kepalanya, memahami bahwa Gama dengan segala peninggalan Ki Langsamana yang sudah berada di dalam dirinya semakin kuat dan tajam.

“Hanya sekedar memastikan saja Gam, kita tidak bisa bergerak masing-masing, kesaktian Bah Sugik akan lebih gila dan Wewe Gombel berserta seribu lelembut sudah pasti menanti di dalam leuweung sasar, Ki Duduy yang memastikan hal ini... tetap nyawa keluarga Rara dan Rara harus selamat, dan Amang yakin kita tidak akan sendirian membereskan masalah ini” ucap Mang Idim menjelaskan dengan perlahan.

“Baik Mang paham...” ucap Gama langsung menaiki motornya, warna merah lampu rem motor itu semakin melaju kencang meninggalkan rumah Ki Duduy.

Baru saja Budi menaiki motor, malah pintu depan rumah Ki Duduy perlahan terbuka.

“Dim...” teriak Ki Duduy, sambil melambaikan tanganya.

“Tunggu dulu Bud” ucap Mang Idim langsung berjalan ke arah Ki Duduy.

Budi hanya menundukan kepala sambil membenarkan rambut gondrongnya yang sudah berantakan, hanya melihat sedikit bagaimana Ki Duduy berbicara sangat serius dan Mang Idim hanya menganggukan kepalanya.

“Apa lagi ini, seharusnya itu obrolan sangat penting” bisik hati Budi.

Setelah tangan Ki Duduy menepuk pundak Mang Idim berkali-kali, Mang Idim langsung berjalan tergesa-gesa, sambil memegang dua kemenyang hitam yang sebelumnya aku dan Gama letakan diatas meja makan di dapur.

“Ayo jalan Bud kita tidak banyak waktu, sambil menunggu kabar dari Gama” ucap Mang Idim.

Roda dua yang di kendarai Budi melesat kencang melewati bukit, meninggalkan rumah Ki Duduy dengan gelap malam yang semakin pekat, malah bayangan masa kecil dan bagaimana ia dengan riang gembira selalu mengembala kambing didekat pintu masuk leuweung sasar, namun tiba-tiba bayangan itu malah berganti dengan kejadian Bah Amar meninggal di rumah gubuknya, membuat nafas Budi semakin berat hingga terdengar jelas oleh Mang Idim.

“Tenangkan diri kamu Jalu, ada waktu yang sudah menunggu dimana semua luapan yang bergejolak dalam diri kamu bisa kamu ledakan! Tahan! Buatlah tenang!” bisik Mang Idim dengan tegas di dekat telinga Budi.

Budi hanya menganggukan kepala, apalagi jika sudah bapak angkatnya itu menyebut nama aslinya, berarti memang bukan sekedar ucapan biasa.

***

Hari baru saja berganti beberapa puluh menit yang lalu, tujuan Budi dan Mang Idim ke rumah Mak Endah baru saja memasuki kampung yang sunyi, hanya suara angin yang menerpa pepohonan nan besar terdengar jelas.

“Ki Duduy bilang nyawa Mak Endah, Jaka dan Dadang tiga orang yang berada didalam rumah itu ditentukan malam ini dan besok termasuk Rara” ucap Mang Idim, manakala sebuah rumah gubuk yang hampir saja roboh itu sudah terlihat semakin jelas dan cahaya motor sudah menyorotnya dengan jelas.

Perasaan Budi semakin bersalah dengan keadaan yang semakin kacau dari tanah kelahirannya itu, membuat banyak orang dirugikan dan tetap saja beberapa nama sudah berada dalam pikirannya untuk segera ia habisi.

“Aaaaaa!!!”
“Am...ampun!!!”
Tiba-tiba malah terdengar teriakan seorang lelaki dan perempuan tua di dalam rumah itu, bahkan Budi sudah mengenal suara itu berasal dari mulut Mak Endah.

“Bahaya Bud ayo!” ucap Mang Idim langsung berlari ke arah rumah.
Budi malah berdiam ketika melihat dua orang lelaki berjalan dengan perlahan, dari arah samping rumah Mak Endah.

“Ayo Bud!” teriak Mang Idim.

“Duluan saja Mang aku bereskan itu dulu, Amang bereskan didalam” tunjuk Budi mengenakan kepalanya.

Mang Idim hanya mengangguk dan memahami alasan teriakan kesakitan Mak Endah yang semakin menjadi.

Anehnya, dua orang lelaki ketika mendapati Budi turun dari motornya malah berjalan tergesa-gesa.

“Sialan mereka yang menaburkannya hingga sosok dari leuweung sasar tiba di rumah itu” bisik hati Budi, langsung berjalan dengan cepat ke arah dua orang itu, bahkan ketika melewati belakang rumah Mak Endah, Budi sudah mendapati sosok hitam dari leuweung sasar berdiri di bagian dapur dengan pintu yang terbuka lebar.

Langkah dua orang itu semakin tergesa-gesa bak di kejar hewan buas dengan rambut gondrongnya terus melihatnya tajam ke arah mereka, hingga tidak bisa menahan diri mereka untuk semakin berjalan cepat.

“Salah orang kalian berdua, sampai manapun akan aku ikuti!” ucap Budi sambil sedikit mengangkat sedikit baju di bagian belakangnya, yang terdapat sebuah pisau andalannya itu.

Setelah melewati beberapa kebun singkong milik warga, dua orang itu semakin terbirit-birit berlari diikuti juga oleh langkah Budi tiga kali lebih cepat, mereka terus berlari ke arah kulon (barat) dengan masing-masing di pinggangnya itu terlilit sebuah golok.

Dirasa kesabaran Budi sudah habis dan baru saja melewati seluruh rumah warga, serta keadaan yang semakin mendukung, membuat Budi sudah berada di belakang tubuh mereka berdua.

“Am...ampun! Ampun!” ucap salah satu lelaki sambil mengatur nafasnya yang ngos-ngosan.

“Sudah jangan, itu Si Jalu aku yakin” lanjut lelaki yang sudah mulai ketakutan, menahan temannya itu agar menjauhkan tangannya dari sangkar golok, bahkan Budi merasa aneh orang itu menyebutkan nama aslinya.

Sebaliknya Budi malah tersenyum ke arah mereka berdua bak hewan buas menemukan mangsa, karena sudah tahu mereka pasti berasal dari leuweung sasar.

“Mundur atau mati!!!” ucap lelaki dengan mengenakan jaket hitam, mengeluarkan goloknya di arahkan tepat ke wajah Budi, membuat temanya itu mundur beberapa langkah.

Anehnya malah Budi menyingkirkan tangan di balik punggungnya, mengurungkan niatnya mengeluarkan pisau andalannya itu.

“Cepat selesaikan, atau kalian tidak akan pernah sampai ke leuweung sasar hidup-hidup!” ucap Budi dengan sangat dingin, bahkan suara Budi yang baru didengar langsung oleh mereka berdua membuatnya terlihat kaget.

“Anjing! Mati kau Jalu!” bentak lelaki berjaket hitam berlari ke arah Budi dengan golok yang akan segera melayang.

“Arrrghhh!!!”

Tiga kali sabetan golok tajam itu bisa Budi hindari dengan sangat mudah, bahkan hanya bergerak beberapa langkah ke kanan dan ke kiri saja, tanpa melawan.

“Brugggg!!!”

Satu kali hantaman tangan Budi mendarat tepat di bagian perut lelaki itu dengan mudah, hingga gerakan liarnya tiba-tiba berhenti mematung, seketika golok yang berada di tangannya terjatuh begitu saja, wajahnya berubah menahan sakit yang baru ia rasakan selama hidup, satu pukulan itu seperti menghancurkan seluruh organ dalam tubuhnya, hingga keluarlah darah dari mulutnya dengan perlahan.

“Uhuk... uhukk... uhukkk”

Seketika tubuhnya langsung terjatuh kebelakang, sambil keluar darah semakin banyak melalui mulutnya itu.

“Siapa yang menyuruh kalian menaburkan kemenyan hitam!” ucap Budi sangat dingin sudah menundukan kepalanya, melihat jelas lelaki berjaket hitam terus mengeluarkan darah semakin banyak.

Baru saja lelaki itu akan menggerakkan mulutnya, tiba-tiba matanya terpejam, namun Budi mendengar suara golok yang baru saja keluar dari sangkar dan langkah yang semakin mendekat dibelakang tubuhnya itu, seseorang akan menikamnya dari belakang ke arah punggung Budi.

“Arrrrghhhh!!!”

Lelaki satunya itu kalah cepat dengan gerakan kaki Budi yang malah mendarat tepat di bagian dadanya, hingga membuatnya terpental cukup jauh, lelaki yang sebelumnya meminta ampunan kepada Budi.

“Siapa yang menyuruh menaburkan kemenyan hitam!” pertanyaan yang sama Budi lontarkan kepada lelaki yang sedang berusaha bangun, tubuhnya itu terus dipaksa mundur sudah merasakan sesak di bagian dadanya.

“Ma...Maaf! Maafkan saya hanya dibayar seseorang!” ucap lelaki itu semakin ketakutan, memaksakan bicara di hadapan binatang buas yang akan segera menerkam dirinya, apalagi ia masih melihat jelas temannya itu sudah terkapar dengan darah yang keluar semakin banyak.

“Siapa! Katakan!” bisik Budi pelan semakin dingin, rasa ampun sudah tidak ada lagi dalam dirinya untuk orang itu, hingga kedua tangan Budi sekarang sudah berada di kepala lelaki itu.

“Jalu lelaki tidak berguna! Setelah Abah Amar mati dan Ibu kamu mati! Seharusnya kamu yang bertanggung jawab untuk leuweung sasar bukan pergi! Manusia tidak guna! Akan ada yang membalas kelakuan kamu Jalu! Ayo habisi aku!” ucap lelaki itu dengan lantang wajahnya sudah dekat dengan Budi.

Bahkan Budi merasa aneh, lelaki yang jauh lebih muda usianya itu bisa mengetahui hal paling menyakitkan untuk dirinya, ucapannya barusan membuat gejolak dalam diri Budi meledak malam ini.

“Jawab siapa!” bentak Budi sangat keras mulutnya dekat sekali dengan wajah lelaki itu, sambil melepaskan kepala lelaki itu, hingga kepalan tangan Budi sudah berada di depan wajahmya.

“Bruggggg!!!”

Hantaman kepalan tangan Budi tidak mengenai wajah lelaki itu, namun mengenai tanah hingga kepala lelaki itu ikut terangkat, saking kuatnya pukulan Budi.

Dengan cepat kedua tangan Budi akan memutarkan kepala lelaki itu dengan nafas yang sudah ngos-ngosan.

“Am...ampun! Kar..”
Baru saja mulut lelaki itu akan menjawab, kalah cepat dengan satu gerakan tangan Budi dikepalanya, membuat urat kepalanya mengesamping dan matanya terpejam tanpa adanya lagi suara nafas yang terdengar.

Baru saja Budi berdiri, dari kejauhan ia melihat jelas sosok hitam berbulu lebat dengan mata yang merah menyala memandang ke arahnya dengan tajam, sosok itu bisa Budi pastikan dari leuweung sasar.

“Karni begini caranya balas budi kepada Abah dan Mak, salah orang kau Karni!” bisik hati Budi berbuah kenyataan ia merasa menyesal tidak menghabisi Karni malam itu juga, dan sekarang Budi sudah melihat dari saku lelaki yang sudah tidak bernyawa itu terdapat kemenyan hitam.

“Akan aku habisi kalian!” ucap Budi ke arah sosok hitam itu lalu berbalik badan, meninggalkan dua orang terkapar, dan sudah mengetahui siapa orang-orang dibalik semua kekacauan yang terjadi, termasuk hilangnya Rara.

***

Digjaya Adiguna Gama

Angin pagi yang berhembus kencang dari arah timur (wetan) menuju barat (kulon) sudah menerpa tubuh Gama yang sedang mengendarai motor, berkejaran dengan waktu sebelum matahari terbit, harus segera sampai ke rumahnya.

“Pertarungan tadi benar-benar pengalaman berharga dengan Danan, benang merah masalah ini semakin jelas...” bisik hati Gama mengingat bagaimana meong hideung bisa terkendali ketika berjumpa dengan Nyi Sendang Rangu, bahkan Gama dan Danan hanya menyaksikan kejadian luar biasa itu, pertemuannya dengan Danan seolah takdir yang sudah disiapkan oleh maha pencipta.

Tubuhnya yang sudah penuh keringat tercetak jelas pada jaket yang dikenakannya, laju kendaraan roda dua itu melesat dengan kencang, Gama sudah berbekal nama Bah Sugik yang mempunyai kesaktian luar biasa, bahkan ia sudah mengetahui tempat pelarian Bah Sugik ketika bertarung dengan Nyi Sendang Rangu, yang dapat berubah wujudnya sesuai dengan hati manusia ketika berhadapan dengannya.

“Harusnya kakek tahu akan hal itu, tentang sukma-sukma di leuweung sasar harus aku tanyakan secepatnya...” ucap Gama, mengingat bagaimana keris yang di keluarkan Bah Sugik menusuk-nusuk tubuh Nyi Sendang Rangu, walaupun berbalik Bah Sugik yang malah bertingkah licik dan keluarlah pengakuan asal Bah Sugik dari leuweung sasar, berkaitan dengan tempat Rara kini berada.

Gama sudah berkali-kali memegang gelang gengge dalam saku celananya, di luar dugaan segala peninggalan buyutnya itu membawa Gama semakin dalam melalui perjalan sisi lain kehidupan, gerbang rumah sudah terlihat oleh Gama, bahkan lebih cepat datangnya Gama dari pada matahari terbit, tiba-tiba terasa handphonenya bergetar.

“Assalamualaikum Mang” ucap Gama melihat nomor Mang Idim yang masuk, berusaha mengatur suaranya terdengar normal, walaupun setelah meong hideung dengan beringas menghabisi sosok-sosok itu, terasa dampak yang biasa Gama rasakan ke tubuhnya melemah.

“Maaf Gam, Ini aku Budi... gimana sudah kamu pastikan, kapan kita bergerak kata Ki Duduy waktu kita tidak lama” ucap Budi, terdengar juga oleh Gama suara Mang Idim dan Mak Endah.

“Sudah aku pastikan, bahkan pertarungan besar terjadi barusan sebelum waktunya tiba aku dengan Danan dan beberapa temannya, sama Desa temannya sedang diganggu hal berbahaya dan kamu harus tahu Bud semua ulah Bah Sugik, banyak yang harus aku ceritakan...” jawab Gama perlahan, terus mengatur dirinya agar terdengar tidak lemas.

“Tapi kamu baik-baik saja bukan Gam!” bentak Budi tiba-tiba terdengar sangat cemas.

“Baik Bud tentunya, Danan banyak memberikan aku pelajaran, pertarungan itu seperti biasa meong hideung dengan segala tingkahnya yang kamu ketahui juga” jawab Gama berusaha menenangkan Budi.

“Danan semakin penasaran aku... tega sekali kamu melewati pertarungan besar itu tanpa aku, tolong berikan aku jatah Sugik, dia harus mati di tanganku bersama wewe gombel itu Gam” jawab Budi sedikit kesal, jiwa buas dalam dirinya sudah Gama ketahui selalu bergejolak, manakala mendengarkan sebuah pertarungan.

“Akan ada yang lebih besar dan kita memang memerlukan kamu untuk kembali ke leuweung sasar, musuh jauh lebih kuat sudah menanti dan ini yang menjadi jawaban utuh kenapa kita membutuhkan bantuan untuk menghabisi seribu lelembut” jawab Gama sudah berada di ujung tenaganya.

“Baik! asal aku bisa menutup kembali leuweung dan menghabisi semuanya juga menemukan Rara kita akan masuk, termasuk dua anjingnya Karni sudah aku habisi nanti aku cerita, jaga diri kamu baik-baik Gam, sampailah ke rumah terlebih dahulu” ucap Budi, terdengar juga suara Mang Idim memanggil namanya berkali-kali.

Setelah telpon terputus Gama masih sekuat tenaga mengendarai kendaraan roda duanya, apalagi bagunan rumah dan gerbang yang di jaga Mang Tahrim sudah ia lihat.

Roda dua itu tepat berhenti di depan gerbang, Mang Tahrim yang sudah melihat Gama sangat kaget melihat keadaanya yang sudah terlihat lemas, namun Gama merasa tenang dalam samar-samar penglihatannya itu sudah ada Ki Duduy yang sedang berdiri lalu berjalan tergesa-gesa.

“Ibu Dewi dan Ki Duduy sudah menunggu berjam-jam Pak” ucap Mang Tahrim.

“Kapan Ki Duduy datang Mang” tanya Gama dengan suara yang semakin lemas.

“Diantar Indra anaknya Bah Idim, sudah cukup lama datang” jawab Mang Tahrim.

Hanya suara Mang Tahrim yang terakhir Gama dengar, dan sentuhan tangan Ki Duduy di tubuhnya, matanya sudah terpejam dengan keringat dingin yang membasahi seluruh tubuhnya itu.

“Tahan Gam, jangan di lawan... biarkan saja tubuh kamu itu melemah, ini kakek, kakek tahu sudah banyak hal kamu lalui, cepat minum” suara Ki Duduy masuk ke dalam telinga Gama, ketika tubuhnya diangkat oleh Mang Tahrim masuk ke dalam rumah.

“Kek apa Gama akan cepat sadar”
“Sudah tenang Dewi, Gama akan baik-baik saja biarkan dia istirahat terlebih dahulu, semoga sebelum pagi tiba Gama sudah bangun”

“Kek apa aku bereskan sekarang semuanya yang sudah membuat Gama seperti ini!”
“Jangan, tunggu dulu Bud.., kendalikan diri kamu”

Hanya samar-samar suara Dewi, Ki Duduy dan Budi yang kini perlahan masuk kedalam telinga Gama, dalam tidurnya Gama melihat jelas bayangan Rara dalam pelukan seorang wanita berambut panjang berantakan, payudaranya menjulang panjang dengan wajah yang jauh terlihat hancur dekat sekali dengan pandangannya.

“Ra...Rara sudah nyaman bersamaku...”

Wajah Rara yang sudah pucat dengan urat yang semakin jelas terlihat di seluruh wajahnya itu di lihat oleh Gama.

“Mereka sudah mempersembahkannya! Kerangkeng ini tidak akan bisa lepas Gama”
Berkali-kali tangan wewe gombel yang memiliki cakar panjang nan hitam itu mengelus rambut Rara, namun seketika jari telunjuk yang mempunyai kuku paling pajang seperti pedang malah kini berada tepat di dekat leher Rara.

“Ja...jangan lepaskan Rara!” teriak Gama sangat kencang, namun kalah cepat dengan darah di leher Rara yang sudah memancar.

“Maranehna ngarasa nu paling mulya jeng sampurna ngalewihan gusti nu maha nyiptakeun alam jeng sajabana, sarebu lelembut geus ngadagoan, waktosna geus sumping Gama...”

(mereka merasa yang paling mulia dan sempurna melebihi gusti yang maha menciptakan alam dengan isinya, seribu lelembut sudah menanti, waktunya sudah tiba Gama)

Ucapan suara Ki Langsamana terdengar oleh Gama, membuat dirinya memahami sesuatu dengan kenyataan yang sudah terjadi.

“Minum cepat ini Gama!” ucap Ki Duduy sangat panik, dibantu oleh Budi yang sudah mengangkat punggung Gama.

Nafas Gama sudah ngos-ngosan sambil minum satu gelas berisikan air putih, bahkan Budi langsung berada dibalik punggung Gama, dan Gama langsung memegang gelang gengge dan botol wewangian di dalam saku celananya.

“Kek aku harus ke sekolah memastikan keadaan disana terkendali” ucap Gama semakin panik tidak ingin kasus hilangnya Rara semakin liar dan belum menemukan titik terang, apalagi rekan gurunya akan memberikannya banyak pertanyaan kepada Gama, selain meminta tolong untuk kasus Rara itu.

“Itu di luar ada Pak Hadi Gam, aku sudah bicara dengannya sama Ki Duduy menjelaskan sedikit yang bisa diterima akal rekan mengajar kamu itu” bisik Budi.

Ketika Gama melihat ke arah luar benar saja Dewi baru saja kembali setelah mengantarkan minum untuk Pak Hadi, yang sudah mengenakan seragam coklat mengajarnya dan Gama baru melihat ke arah luar sinar matahari pagi baru saja muncul yang artinya ia sudah beberapa jam tertidur lelap.

“Sudah tenang dulu jangan memaksakan untuk bangun Gam” ucap Dewi dengan wajah cemasnya, mendapati keadaan suaminya yang sudah berulang kali ia lihat manakala mendapatkan masalah seperti ini, namun tetap saja hati seorang istri tidak tega melihat suaminya seperti itu.

“Bisa kok Wi ini sudah membaik, ada hal penting yang harus aku katakan pada Pak Hadi, agar di sekolah tidak menjadi kekacauan semakin liar” jawab Gama, beruntungnya air minum yang diberikan Ki Duduy bereaksi lebih cepat memulihkan keadaan cucunya itu.

Padangan cemas mata Pak Hadi menelanjangi keadaan Gama, namun tetap saja senyuman yang diberikan Gama membuatnya sedikit lega, dalam dirinya semakin meyakini bahwa rekan mengajarnya itu tidak bisa di jelaskan dalam satu kata, setelah melihat tanggung jawabnya pada Rara.

“Kakek Duduy dan Budi sudah menjelaskan semuanya Gam, aku bisa memahami ucapan kakek kamu itu, aku pikir itu hanya sekedar cerita yang sudah berlalu puluhan tahun dan tidak pernah terjadi, ternyata menimpa anak didik kita” ucap Pak Hadi tiba-tiba ketika Gama baru saja duduk berhadapan dengannya.

“Urusan kepercayaan bukan hak-ku untuk memaksa Pak Hadi, Apa bisa Pak Hadi membantuku sesuatu” jawab Gama dengan serius.

“Katakan Gam” jawab Pak Hadi.

“Buat alasan yang paling masuk akal di sekolah hari ini, tentang ini hanya Pak Hadi dan aku saja yang tahu perihal kasus Rara, pastikan juga pihak-pihak yang ingin ikut membereskan kasus Rara tenang dan jangan gegabah apapun, secepatnya Rara akan kembali ke rumah Mak Endah dan Jaka” ucap Gama perlahan, karena dalam dirinya tentu harus mempertimbangkan semuanya.

“Ba...baik Gam, akan aku urus izin kamu di sekolah leluasalah membereskan kasus ini ya,, ini sudah waktunya aku berangkat dulu, apapun kabar yang terjadi di sekolah akan aku berikan kabar” jawab Pak Hadi, tiba-tiba malah mencium tangan Gama, karena merasakan hal lain yang ada dalam diri Gama pagi ini, tanpa disadari Gama, itulah aura Ki Langsamana.

Suara motor Pak Hadi semakin menjauh setelah gerbang dibuka oleh Mang Tahrim, Ki Duduy dan Budi sudah berjalan mendekat ke arah Gama.

“Kek aku sudah berjumpa banyak hal yang dibawa Danan termasuk Nyi Sendang Rangu dengan segala kesaktiannya” ucap Gama tiba-tiba.

“Danan, Abah dan Paklek nya sama seperti kita, setiap tempat dimana mereka berasal tidak sembarangan Gam, riwayat karuhun (leluhur) mempunyai caranya masing-masing tinggal kita sebagai manusia yang bisa menerima atau tidak, mengamalkannya atau malah menjadi malapetaka, dan satu orang lagi sama dengan Danan” ucap Ki Duduy.

“Cahyo kek” sahut Budi tiba-tiba.

Ki Duduy hanya menganggukan kepalanya, sambil membakar rokoknya perlahan.

“Sebelum matahari terbenam dari arah kulon (barat) di kampung wetan tilasjajah, seperti yang sudah menjadi pertanda sejak dari jaman Bah Amar, segeralah kalian tiba disana, pintu dan seribu lelembut sudah menanti termasuk wewe gombel itu...” ucap Ki Duduy.

Gama langsung teringat janjinya dengan Danan, untuk benar-benar menghabisi Bah Sugik, sama persis dengan perintah Ki Duduy pagi ini, membuat Budi langsung menundukan kepalanya, akhirnya waktu yang dinantikan itu telah tiba.

“Tapi untuk kali ini Gama dan Budi, jangan sampai gejolak dendam pada meninggalnya Bah Amar dan Ni Warsih malah menjadi bumerang untuknya, pastikan Budi terkendali di tanah kelahirannya dan tanpa aturan apapun, tutup kembali sampai ke akar-akarnya leuweung sasar, bawa Rara pulang lepaskan dari kerangkeng sukma itu, bantuan dari kemarin sudah tiba dan sekarang sudah waktunya...” lanjut Ki Duduy.

“Mak Endah, Jaka dan Dadang Kek” tanya Gama ingin semuanya selamat.

“Idim berjaga disana” jawab Ki Duduy.

Terlihat jelas oleh Gama Ki Duduy seperti akan mengucapkan sesuatu dari mulutnya, namun hanya anggukan kepala saja.

“Satu persatu dulu saja, siapkan diri kalian masing-masing, kendalikan Budi Gam ingat” ucap Ki Duduy harus kembali bersama kecemasannya tidak ingin Gama dan Budi pulang hanya membawa nama.

***

Sedari siang sampai sore tiba Gama hanya menghabiskan waktunya bersila diatas sejadah, beberapa pesan masuk dari Pak Hadi, Mang Idim bahkan belum dibalasnya sama sekali, ia lebih memilih untuk menenangkan dirinya, setelah melewati banyak hal baru yang berkaitan dengan napak tilas Ki Langsamana, dan berpikir... bahwa akan banyak sesuatu yang segera ia ketahui.

“Gam itu Budi sudah menuggu didepan bareng Ki Duduy”

Terdengar suara Dewi membuyarkan konsentrasi Gama, segera tasbihnya itu dilepaskan dari tangannya dan melipat sajadah dengan cepat, apalagi Dewi sudah menyiapkan pakaiannya untuk segera berangkat.

“Doakan aku dan semuanya selesai dengan cepat Wi” ucap Gama sambil mendaratkan kecupan di dahi istrinya itu.

Air mata yang berlinang di kedua bola mata Dewi tidak bisa menutupi kecemasannya, namun wanita itu sudah mengerti akan segala resiko yang harus suaminya terima, dan hanya bisa menganggukan kepalanya saja.

“Pu...pulanglah kalau sudah selesai Gam, pulang dengan selamat” ucap Dewi terbata-bata, segera mengenakan jaket pada tubuh Gama.

Dirasa gelang gengge dan botol wewangian itu sudah berada di dalam saku celananya, Gama segera melangkahkan kaki untuk berjumpa kembali dengan Ki Duduy dan Budi.

“Pergi sekarang, sebelum matahari tenggelam” ucap Ki Duduy setelah menerima salam Gama, dan hanya tepukan cukup keras pada pundaknya itu.

Ki Duduy dan Dewi hanya melepaskan begitu saja kepergian Budi dan Gama, apalagi mereka berdua sudah paham apa yang akan diperbuat dua orang itu.

“Rara harus cepat kembali” ucap Dewi perlahan, manakala melihat motor yang dikenakan Budi dan Gama perlahan meninggalkan rumah.

“Bud kendalikan diri kamu, aku tidak ingin semua ini kacau karena emosi dalam dirimu, itu adalah senjata paling berbahaya, ingat itu” ucap Gama sambil mengendarai motornya ke arah barat.

Hanya anggukan kepala Budi yang Gama lihat dari arah spion motornya, namun tetap saja se-percaya apapun Gama pada Budi, kali ini menyangkut tanah kelahirannya dan masa lalu yang begitu menyakitkan, sesuatu diluar kendali bisa saja terjadi kapan saja.

Langit kuning keemasan itu sudah perlahan turun mengiringi laju kendaraan roda dua, tidak perlu waktu lama, mereka berdua sudah melihat jembatan besar dan leweung sasar.

“Cepat Gam, waktunya tidak banyak!” ucap Budi tiba-tiba setelah melihat tajam ke arah leuweung itu yang terkena cahaya langit sore.

Membuat Gama menarik gas motornya berkali-kali lebih kencang, agar segera memasuki kampung wetan tilasjajah.

“Apa Danan akan datang juga” bisik hati Gama, namun entah apa yang ada dalam hatinya, pertemuannya itu membuatnya menambah keyakinan untuk bertarung menghabisi Bah Sugik setelah kejadian semalam.
...
Budi dan Gama sudah berjalan menyusuri jalan samping kampung, tidak ingin ada warga yang mengetahui kedatangan mereka, apalagi suasana mencekam sore ini sudah terasa bersama hembusan angin dari arah leuweung sasar.

“Disini seharusnya malam itu aku habisi Karni Gam” ucap Budi tiba-tiba sangat kesal, setelah dua orang suruhannya itu berakhir dengan nasib mengenaskan di tangannya.

“Tenang satu persatu Bud, setelah ini kita bereskan juga Karni kalau memang tuduhan itu berbuah bukti dan kenyataan, tapi kita juga tidak bisa gegabah salah sasaran bisa berbahaya” ucap Gama terus melangkah, melewati bekas rumah Budi.

Budi hanya menganggukan kepalanya saja, manakala mendengarkan kebijaksanaan seorang Gama dan ia harus menerima ucapan Gama.

Cahaya kuning keemasan yang semakin pekat itu sudah perlahan semakin turun, tiba-tiba dari arah reremputan yang menjulang tinggi itu meong hideung sudah menanti Gama dan Budi.

“Ja...jadi ini Gam, tidak bisa dihindari, meong hideung sudah hadir” ucap Budi perlahan.

“Ini yang kamu maukan, mari kita selesaikan saja, sebentar lagi sore akan berakhir, cepat!” jawab Gama.

Ucapannya itu mampu mengeluarkan senyum Budi yang teramat mahal itu, karena baginya hal ini harus segera selesai dengan cara yang ia anggap benar, pertarungan dan kematian.

Pintu masuk leweung sasar sudah Gama dan Budi lihat, di ikuti langkah terpincang-pincang meong hideung, namun ada hal yang membuat Budi kembali heran, burung-burung hitam yang selalu memberinya pertanda atau sambutan kembali berterbangan diatas leuweung sasar, bersamaan dengan kedua mata Budi melihat sesuatu.

“Gam itu Kliwon!” ucap Budi tiba-tiba.

Seekor kera berekor panjang sudah berdiri melihat ke arah Gama dan Budi yang semakin mempercepat langkahnya, karena langit sore hanya hitungan menit akan berganti dengan gelapnya malam.

“Ikuti saja Bud” jawab Gama, langsung mempercepat langkahnya.

“Srek... srekk... serekk...”

Kliwon langsung bergerak dengan cepat diantara pepohonan, membawanya masuk ke dalam leweung sasar, tepat pada waktu yang sudah Ki Duduy katakan sebelumnya.

Nafas Budi sudah terdengar berat, keringat sudah mengalir di wajahnya, dengan rambut gondrongnya yang terurai bersamaan dengan langkahnya yang semakin cepat.

“Ingat kendalikan diri kamu Bud..” ucap Gama mengingatkan.

Semakin masuk ke dalam leuweung sasar, malah Gama kini di buat kaget, ketika Kliwon turun dari pohon-pohon dan berdiri tidak jauh dari tempat seseorang yang sedang berdiri.

Seseorang itu langsung melihat kliwon dengan herannya, bahkan kaget ketika melihat ke belakang dengan kedatangan Gama dan Budi.

“Gama? kok bisa?” ucap Danan masih heran kliwon bisa bersama Gama, padahal Gama sudah mengetahui dari cerita Budi bahwa Cahyo yang menitipkannya untuk membantu di dalam leuweung sasar ini.

“Sepertinya temanku ini juga bertemu dengan teman kamu” jawab Gama.

Namun Gama cukup kaget ketika Budi menatap Danan cukup tajam, seperti ingin menguliti seluruh kulit tubuhnya, aura buas Budi diyakini Gama bisa dirasakan oleh Danan.

“Bud kendalikan dirimu!” bisik hati Gama.

“Apa urusanmu di leuweung sasar!” ucap Budi tiba-tiba sangat tegas.

“Yang sopan Budi, kita membutuhkan bantuan mereka untuk masalah Rara dan yang ada didalam leuweung ini” tegas Gama.

Budi langsung menundukan kepalanya, apalagi Gama sudah berbicara dengan tegas dan sudah mengingatkan Budi berkali-kali.

“Saya Danan, saya hanya seperlunya saja di hutan ini. Ada sukma anak-anak desa yang tertahan di desa mati di dalam. Setelah menyelamatkan mereka, kami akan segera pergi,” ucap Danan menjelaskan dengan tenang, walaupun Budi masih belum menerimanya, karena masa lalu tempat ini cukup menyisakan bekas luka yang mendalam dalam hidupnya.

“Sepertinya yang satu ini lebih pintar bicara daripada teman monyet itu,” ucap Budi tiba-tiba, membuat Gama cukup kaget sejak kapan ia bisa berbicara seperti itu.

“Maaf Danan, namanya Budi. Hutan ini adalah tempat kelahirannya, dia tidak mau ada yang celaka lagi bila ada yang memasuki hutan ini” ucap Gama segera menenangkan pertemuan Budi dan Danan yang harus sedikit ada ketegangan yang Budi lakukan, namun sepertinya Danan cukup paham walaupun mungkin baru berjumpa dengan orang seperti Budi.

Malam sudah tiba dengan gelapnya, bergantian dengan matahari yang baru saja tengelam, Kliwon sudah kembali berjalan menjadi pemandu di dalam leuweung sasar, walaupun Budi cukup hapal betul leuweung ini, namun puluhan tahun semuanya sudah berubah dan tidak ingin langkahnya salah dan berakibat fatal.

Beberapa kali Gama pastikan keberadaan meong hideung yang malah mengikuti dirinya dari jauh, namun Gama sudah paham hal itu dilakukan untuk berjaga-jaga.

“Khi..khi..khi…khrrrrraaa….”

Tiba-tiba suara teriakan wanita cukup kencang terdengar oleh Gama, Budi dan Danan, membuat Kliwon mengambil jalan samping.

“Itu makhluk yang kuceritakan” ucap Budi tiba-tiba, membuat Gama ingat dengan sosok yang sama ketika ia temukan di rumah Mak Endah.

“Wewe Gombel?” Tanya Gama.

“Benar Gam itu perwujudannya lebih besar…” jawab Budi.

“Tapi aku belum pernah melihat Wewe Gombel sebesar dan sebuas itu” sahut Danan tiba-tiba sambil memperhatikan sekitar, bahkan Gama menyadari ada beberapa hal yang sama dengan Danan tentang kewaspadaan.

Keadaan kembali mencekam dan Gama terus waspada, begitu juga dengan Budi yang Gama lihat sudah bisa mengendalikan dirinya.

“Gama...” ucap Danan tiba-tiba sudah sangat waspada.

Gelang gengge dalam saku celananya tiba-tiba mengeluarkan panas, menjadi pertanda bahaya, begitu juga dengan meong hideung yang Gama lihat dari jauh di belakangnya sudah memancarkan sinar kuning dari matanya.

“Ada sesuatu disana!” ucap Budi.

Gama dan Danan secara bersamaan melihat mata merah menyala muncul dalam kegelapan diantara pohon-pohon besar itu.

“Genderewo atau wewe gombel aku yakin” bisik hati Gama.

“Lari! Kita temukan yang lain dulu!” ucap Danan tiba-tiba.

Membuat Gama dan Budi langsung mengikuti perintahnya, karena memang tidak bisa bertindak gegabah apalagi makhluk itu pasti sudah lama menempati leuweung sasar dan mengetahui seluk beluknya, setelah Budi tinggalkan bertahun-tahun lamanya.

Ranting-ranting dan pohon yang bergetar sudah dirasakan Gama, Budi dan Danan, pertanda makhluk itu benar-benar mengejarnya, begitu juga dengan meong hdieung mengikuti terus cukup jauh dari belakang.

Cara membuka jalan yang diambil kliwon tidak cukup menghindari kejaran makhluk besar itu.

Membuat Gama merasa tidak ada pilihan untuk melawannya segera, apalagi Budi matanya sudah sangat tajam dengan tatapan buasnya.

Namun tiba-tiba Gama merasa heran malah mendapati seseorang yang sedang berdiri di tengah leuweung dan melihat sebuah sarung lusuh berada di tubuhnya itu.

“Apa itu Cahyo yang Budi pernah ceritakan” bisik hati Gama.

“Panjul!” teriak Danan.
Membuat Gama dan Budi saling bertatapan mata, terlebih Budi merasa heran dengan nama itu.

“Mungkin nama aslinya Gam, aku tidak tahu tapi itu benar orangnya, itu Cahyo” bisik Budi pelan kepada Gama.

“Danan, Kliwon, Mamang Gondrong!” teriak Cahyo langsung memanggil Budi dengan nama sebutannya itu, membuat Gama benar-benar percaya pada cerita Budi, ada orang yang berani memanggilnya Mamang Gondrong, begitu juga Danan yang sama dengan Gama seperti menahan tawanya, setiap mendengar julukan baru Budi.

Danan langsung meminta bantuan kepada Cahyo, walaupun Cahyo malah sebaliknya meminta bantuan, apalagi tiba-tiba Gama sudah merasakan akan kehadiran wewe gombel yang sudah semakin mendekat ke arah mereka semua.

“Wewe Gombel itu benar Gam datang” ucap Budi.

“Itu Wewe Gombel yang tadi” ucap Danan.

“Oh jadi sudah tahu, bagus deh nggak usah aku kenalin” jawab Cahyo dengan tingkah konyolnya yang baru pertama kali Gama lihat, namun Gama ingat dengan ucapan Ki Duduy mereka bukanlah orang sembarangan bahkan Gama sudah merasakan ada kekuatan besar bersama Cahyo itu.

Dengan cepat mereka semua dalam keadaan terkepung oleh makhluk besar Wewe Gombel dan Genderewo, tempat yang tidak ingin mereka semua hendaki sebagai arena pertarungan itu di paksa oleh keadaan dan waktu.. harus segera menghadapinya, tanpa adanya pilihan, terlebih Budi terlihat sudah dibatas ambang kesabarannya dan hal ini yang dinantikannya.

“Mamang Gondrong! Kita lanjutkan pertarungan kemarin!” teriak Cahyo, bahkan Danan sama dengan Gama merasa heran melihat keakraban Budi dengan Cahyo.

Budi terlebih dahulu melihat ke arah Gama seolah memintanya izin, dengan cepat Gama menganggukan kepalanya, bak membiarkan gejolak dalam tubuh Budi akan segera meledak sejadi-jadinya.

“Danan itu!” teriak Gama membenarkan perasaanya sedari tadi bermunculan orang bersama Genderuwo dan Gama yakini bagian dari anak buah Sugik.

“Wanasuraaaa!!!” teriak Cahyo tiba-tiba.

“Apa itu!” ucap Gama perlahan menyaksikan sosok dalam tubuh Cahyo berubah seketika dengan segala kekuatan yang mengalir di kedua tangan dan kakinya, membuat Gama terperanga, bahkan diluar dugaan Gama yang sudah pernah melihat Cahyo berkali-kali dalam beberapa kesempatan, baru kali ia dibuat kagum.

“Sama dengan meong hideung” bisik hati Gama, ketika melihat Cahyo melompat dan langsung menghantam tubuh wewe gombel itu.

Gerakan Budi yang sudah Gama hafal langsung menangkap kepala Wewe Gombel yang terjatuh, dengan buas Budi membantingnya ke tanah, dan menusukan tangannya di bola mata wewe gombel.

“Arrrrghhhh! Manusia brengsek!!!”

Gama langsung mengeluarkan gelang gengge dalam saku celananya itu, hanya menyisakan botol wewangiannya saja, bersamaan dengan Danan yang sudah menarik keris di dalam tubuhnya dan seperti membacakan sesuatu.

“Bahaya akan mendekat orang-orang itu!!!” ucap Gama, sudah memegang erat gelang gengge, namun dengan cepat Budi menghabisi tubuh orang-orang yang akan menyerang Gama, dengan buasnya Budi bak binatang yang sedang memakan mangsanya, tidak ada satupun yang ia sisakan, hanya suara tulang-tulang patah dan teriakan kesakitan yang terdengar kencang.

“Gila! Dia masih manusia!” teriak Danan memperingati Budi, manakala benar-benar melindungi Gama.

“Tidak lagi” ucap Budi dengan dingin, sambil melepaskan sebuah pukulan sangat kuat tepat di wajah salah satu orang itu, hingga kepalanya terpental ke tanah berkali-kali.

“Lah Mamang Gondrong ini wewe gombelnya gimana!” protes Cahyo, menyaksikan Budi yang sangat buas dan brutal seolah rasa sakit hatinya yang membekas dilampiaskan malam ini.

Wewe gombel itu sudah kembali berdiri dengan amarah yang semakin menjadi.

“Anak perempuan itu harus ditumbalkan, dan akan aku habisi kalian!”

Gama yang mendengar dengan jelas suara itu semakin yakin bahwa anak yang di maksudnya adalah Rara yang harus segera diselamatkan, membuat Gama langsung melangkah dengan cepat.

“Danan kita berpisah disini! Anak yang aku cari pasti ada di sarang makhluk itu” teriak Gama.

“Jangan nekad! Makhluk itu terlalu berbahaya” jawab Danan.

Tiba-tiba Cahyo langsung memanggil kliwon dan terlihat jelas kini oleh Gama bagaimana Cahyo memerintah, membuat Gama tidak habis pikir.

“Cahyo sedekat itu, pasti bukan perjalanan yang mudah bisa memerintah kliwon” bisik hati Gama, dan hal itu juga dilihat Budi dengan jelas.

“Kliwon bantu mereka! Jangan sampai mereka mati!” teriak Cahyo.

Gama merasa bala bantuan sudah habis-habisan diberikan Danan dan Cahyo, bahkan untuk Kliwon yang diperintahkan Cahyo membuatnya mengerti sesuatu, dan harus juga memberikan bantuan yang setimpal.

“Danan! Tangkap ini” teriak Gama sambil melemparkan botol wewangian yang membuat Danan dan Cahyo cukup heran dengan benda itu.

“Apa ini” jawab Danan semakin heran.

“Wewangian peninggalan Ki Langsamana, aku merasa itu akan membantumu” teriak Gama langsung berjalan cepat ke arah lari wewe gombel tanpa menjelaskan lebih kepada Danan.

“Gam apa Danan dan Cahyo akan paham terhadap benda itu” tanya Budi sambil mengatur nafasnya yang ngosa-ngosan, sambil mengikuti Kliwon yang membuka jalan untuk menuju dimana Rara berada.

“Aku percaya Bud, semua itu sebanding dengan kebaikan mereka kepada kita” jawab Gama mengatur tenaganya, dan bahkan dari depan meong hideung sudah menanti kliwon yang langsung meloncat ke arah pohon-pohon, seolah mereka paham.

“Aaaaaaa!!!!”

Tiba-tiba terdengar suara teriakan perempuan sangat kencang.

“Dari sana Gam, liat kliwon ke arah sana!” ucap Budi semakin tidak sabar untuk membawa Rara pulang.

Kliwon sudah berhenti disalah satu pohon besar, begitu juga dengan meong hideung, membuat Gama dan Budi langsung berlari cepat, apalagi Gama sedari tadi sudah memegang gelang genggenya.

Tiba-tiba Budi langsung berhenti dari langkahnya, tatapanya semakin tajam, tangannya bergerak ke arah belakang punggungnya untuk mengambil pisau andalannya itu.

Diantara gelap leuweung sasar, Budi malah melihat penampakan Karni sudah berdiri di balik sosok pernampakan mirip dengan Bah Sugik, jelmaan dari para seribu lelembut sudah terlihat oleh Gama.

“Bahaya!” ucap Gama, sudah merasakan meong hideung sudah berada di dekat kakinya.

“Akhirnya orang bodoh paling tidak berguna sampai ditempat ini, anak itu yang kamu cari Jalu! Akan mati bersanding dengan mayat kamu dan Gama!” teriak Karni sangat kencang.

“Gam cepat perintah aku, cepat!!!” ucap Budi namun tidak melihat ke arah Gama, menatap tajam ke arah Karni.

“Aku lindungi kamu dari seribu lelembut, habisi Karni jangan sampai mati!” ucap Gama perlahan.

“Tidak bisa aku jamin, maaf Gam!” jawab Budi sudah tidak terkendali.

“Abah dan Mak kamu mati di atas tanah ini, selanjutnya kamu Jalu!!!” teriak Karni.

Tiba-tiba Budi dan Gama melihat keluar seorang perempuan dan laki-laki di balik tubuh Karni.

“Orang tua Rara!” ucap Budi, sudah memegang pisau andalannya itu.

“Tolonggg!!!” teriak suara anak kecil bernama Rara itu sangat kencang, manakala Wewe Gombel itu menarik tubuhnya naik ke pangkuannya di saksikan ibu dan bapaknya sendiri.

“Sekarang Budi, habisi!!!”

“Kring... Kringg... Kringgg...”
Bersamaan dengan Gama membuyikan gelang gengge, membuat suara getaran diatas tanah leuweung langsung terasa, menggetarkan seluruh pepohonan, pertanda meong hideung sudah berubah wujudnya.

BERSAMBUNG

*****
Selanjutnya

*****
Sebelumnya
close