Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

LEUWEUNG SAREBU LELEMBUT (Part 3) - Bala Bantuan Kliwon

"Diatas tanah ini manusia menjadi budak. Tumbal darah, daging dan nyawa sudah sepantasnya diberikan untuk Sang Tuan"


“Tidak semua hal harus selesai malam ini, banyak nyawa yang harus kita selamatkan terlebih dahulu, Kliwon akan ikut bersamamu...”
Matahari sudah tepat berada di ujung tunggang gunung, sinar kuning keemasan itu menyorot pekat ke arah rumah nan megah, sinarnya yang hangat dan indah itu sedang disaksikan sepasang suami istri, bukan sebagai tontonan indah melainkan harapan sifat keji yang terdapat dalam diri mereka berdua melebihi iblis, beberapa kali senyum terlontar dari Mimin dan Karta, apalagi kini padanganya tepat ke arah sebelah barat dimana leuweung sasar itu berada.

“Sebentar lagi sinar itu hilang Min, ayo segera siap-siap malam segera tiba” ucap Karta, sambil berdiri dari duduknya, mematikan rokok yang sedari tadi ia hisap dengan gelisah.

“Apa mungkin akan datang sekarang juga, ini tidak biasanya Karta, apa akan ada pertanda buruk...” jawab Mimin sangat cemas, dengan pakaian yang indah yang menyelimuti tubuhnya itu, juga berbagai perhiasan mahal sudah menempel di kedua tangannya.

“Ah sudahlah Min, memang kamu ini yang selalu berpikiran buruk!” jawab Karta sedikit kesal, sudah berada di belakang pundak Mimin.

Tiba-tiba Mimin memutarkan tubuhnya, melihat Karta dengan tatapan marah.

“Rara anakku Karta! Camkan itu!” bisik Mimin perlahan, membuat Karta benar-benar kaget dengan tingkah istrinya yang tiba-tiba berubah.

“Mimin kita sudah sepakat! Ingat itu! Leuweung sasar sudah jadi tempat dia!” jawab Karta tegas, dengan cepat memegang kedua pipi Mimin.

Hanya anggukan kepala Mimin berkali-kali ia lakukan, namun Karta dibuat kebingungan saat melihat kedua bola mata Mimin yang kini mengeluarkan air matanya.

“Itu! datang Min!” ucap Karta tiba-tiba, ketika melihat ke arah halaman belakang rumah, beberapa pohon-pohon nan indah itu bergerak dengan sendirinya semakin jelas terlihat apalagi mereka berdua sedang berada di lantai dua rumah.

Tanpa ada angin kencang yang menerpa bersamaan gelap malam baru saja tiba, pertanda seseorang yang sedang mereka berdua tunggu baru saja tiba.

“Cepat bawa sesajen itu Karta!” bentak Mimin sambil tergesa-gesa berdiri.
...
Kejanggalan yang terjadi di halaman belakang itu tertangkap kedua mata Dadang, sudah lebih dari tiga kali Dadang mengucek matanya, menyaksikan keanehan di rumah ini setelah malam kemarin melihat sosok hitam penuh bulu saat Kang Jaka pulang.

Dadang masih terdiam mematung, melihat ke arah dua pohon yang terus bergetar, beberapa daun-daun yang biasa ia sapu pagi hari, kini daun-daun itu sudah secara serempak kembali turun dengan sendirinya, bersama gelap malam yang semakin pekat dan perubahan cepat pada suasana rumah, menjadi pengap dan menakutkan.

“Si...siapa itu...” bisik Dadang dengan bulu pundaknya yang sudah berdiri, bahkan lap yang berada di tangganya begitu saja terjatuh, tanpa ia sadari.

“Bahaya, ini bahaya!” ucap Dadang langsung berjalan tergesa-gesa, masuk ke dalam kamarnya yang berada di dekat dapur, setelah melihat jelas diantara dua pohon itu sudah berdiri laki-laki tua mengenakan pakaian serba hitam, hal mustahil di matanya itu kini benar-benar nyata.

“Cepat Karta! Cepat!”

“Iya ayo! kamu duluan, aku bawa ini susah!”

Suara Mimin dan Karta langsung didengar jelas oleh Dadang, bahkan membuat dirinya yang baru saja menutup pintu kamar langsung kembali terdiam dibalik pintu, menumbuhkan jiwa penasaran apa yang akan dibuat oleh dua majikannya itu.

“Apa ada kaitannya dengan Rara” ucap Dadang, dengan detak jantungnya yang sudah tidak tenang, penasaran juga pada sosok lelaki tua yang datang dengan cara aneh barusan.

Langkah kaki Mimin dan Karta baru saja terdengar melewati kamar Dadang, namun seketika hilang,

Dadang mendengar jelas seperti ada suara dengkul yang keras terkena keramik rumah, dan suara wadah tampah.

“Ber...bersujud Bapak dan Ibu” ucap Dadang terbata-bata, semakin heran dengan apa yang sebenarnya terjadi di balik pintu kamarnya itu.
...
“Ampun Bah, maaf Karta tidak mengetahui kenapa Abah berdiam disini, ayo masuk ke dalam Bah” ucap Karta sudah bersujud di sebelah wadah penuh dengan sesajen kembang-kembang dan darah, hal yang sama juga sudah Mimin lakukan.

Walaupun Mimin merasa aneh, lelaki tua yang selalu mengenakan pakaian hitam sejak pertemuan pertamanya di dalam leuweung sasar, sedang memegang sebuah handuk putih kecil yang biasa digunakan Dadang.

Kepala Karta Mimin dan Karta tetap berada didekat kaki Bah Sugik, dengan harap-harap cemas dalam diri mereka masing-masing, mata Bah Sugik terus berkeliling rumah, sesekali senyum lebar keluar dari mulutnya.

“Bangun kalian...” ucap Bah Sugik dengan suara khasnya yang serak dan kasar.

“Ba...baik Bah” jawab Karta dengan gemetar, melihat Bah Sugik sudah menatapnya tajam.

“Ada hal jauh lebih penting yang harus saya katakan” tegas Bah Sugik, sambil menabur bunga-bunga di dalam wadah itu tepat ke arah wajah Karta dan Mimin.
Membuat apa yang sedang Mimin cemaskan seolah terjadi, walaupun suami istri itu belum mengetahui pasti.

“Apa Bah yang sebenarnya terjadi, dari kemarin malam sejak adik saya Jaka tiba ke rumah ini, dan ketika Rara sudah bersama Abah di leuweung sasar rasanya saya tidak pernah tenang” ucap Mimin tiba-tiba, membuat Karta kaget dengan pengakuan istrinya itu.

Bah Sugik seperti tahu apa yang di cemaskan Mimin, dan memang malam inilah tujuan Bah Sugik untuk membicarakannya.

“Ada beberapa orang yang mencoba mengacaukan niatan kalian berdua, terlebih mereka bukan sembarang orang, seribu lelembut didalam leuweung sasar merasa terusik keberadaanya, namun pagar-pagar itu tidak akan mudah mereka lewati untuk sampai dimana tempat biasa kita berjumpa! Tapi ingat! jangan sampai semuanya berdampak pada resiko perjanjian kalian!” ucap Bah Sugik sudah mengetahui di dalam kamar yang tepat berada di samping ia berdiri, ada seseorang yang sedang mencoba menguping pembicaraannya itu.

“Bah katakan siapa, biar Karta bereskan dengan cepat” sahut Karta yang sudah merasakan kecemasan, karena baru pertama kali Bah Sugik menunjukan raut wajah yang sangat waspada.

“Tenang saja, satu persatu akan mati... yang pertama pemilik handuk ini, kedua lelaki yang tiba kemarin malam ke rumah ini, selain adik kamu Jaka...” jawab Bah Sugik sambil tersenyum.

Namun untuk Dadang yang mendengar ucapan itu semakin jelas, karena telinganya sudah menempel sedari tadi di kayu pintu, membuatnya langsung ketakutan apalagi ia baru sadar bahwa memang menjatuhkan handuk kecilnya sebelum masuk ke kamar.

“Ba...bahaya ini!” ucap Dadang terbata-bata.
Belum saja pikiran ketakutannya semakin menyelimuti dirinya, tiba-tiba Dadang mendengar suara hentakan sangat keras menghantam keramik.

“Lepaskan saja binatang yang mempunyai handuk itu, secepatnya akan terkena jerat kematian Min” bisik Bah Sugik dekat dengan telinga Mimin yang masih tertunduk, membuat Mimin langsung mengerti pada ucapan itu dan sudah mengetahui satu nama orang yang selama ini bekerja di rumahnya.

“Arrrrghhhhh!!!!” di susul teriakan kencang Karta.

“Tahan Karta, tahan!” bisik Mimin langsung menutup mulutnya Karta yang terbuka lebar, di lengan kirinya sudah keluar darah mengalir di ikuti senyuman Bah Sugik yang sudah berjalan ke arah pohon besar tempat dimana barusan ia datang.

“Ayo bangun Karta, biar nanti aku bereskan sesajen dan bunga itu, cepat ke kamar” ucap Mimin tergesa-gesa di ikuti langkah kaki Karta yang terus memegang tangannya yang terus mengeluarkan darah.

“Si...siapapun mereka Min aku berjanji! yang mengganggu tujuan kita akan aku habisi! Darah mereka harus berada tepat di tanganku!” jawab Karta dengan sangat kesal.

“Jangan gegabah! aku sudah memahami sesuatu Karta!” ucap Mimin.
...
Dadang yang masih menguping ucapan Mimin dan Karta semakin ketakutan, apalagi tidak bukan nama yang akan dihabisi Bah Sugik dan Karta adalah dirinya, membuat ia langsung berjalan ke arah meja di dekat ranjang kamarnya untuk mengambil kunci motor, untuk segera pergi dari rumah ini.

“Harus segera kasih tau Jaka! Mimin dan Karta sudah gila!” ucap Dadang dengan cepat keyakinan dirinya akan penyebab hilangnya Rara anak yang malang itu.

Baru saja kunci motor itu berada tepat di tangan Karta, dan akan mengenakan jaket kulit, tiba-tiba lemari besar yang berada tepat di depannya itu terbuka dengan sendirinya, membuat Dadang langsung terdiam.

“An...aneh!” ucap Dadang memandang ke arah dalam lemari, sudah tergantung banyak pakaian salin yang ia kenakan.

“To...tolong Mang... Aku disini...”
Membuat Dadang terus melihat ke arah dalam lemari yang baru saja terbuka lebar itu, namun ia tidak melihat wujud apapun selain suara yang semakin jelas, suara yang ia yakini persis seperti suara Rara.

“To...tolong...”
Suara itu semakin jelas terdengar, membuat Dadang perlahan mendekat ke arah dimana baju-baju tergantung berjajar, bersamaan bulu pundaknya sudah berdiri sedari tadi dan keringat mulai membasahi wajahnya.

“Mang!!! Disini!!!”

Tiba-tiba suara bentakan terdengar dari belakang tubuh Dadang, membuat ia langsung membalikan badannya dengan cepat, namun tidak mendapati wujud apapun, nafasnya sudah terdengar ngos-ngosan, keadaanya semakin ketakutan, ia sudah kembali mendengar suara gantungan baju yang terbuat dari kayu itu bergeser dengan perlahan.

“Kawula didieu! Modar sia!” (Saya disini! Mati kamu!)

“Arrrggghhh!!!” teriak Dadang sangat kencang, beruntungnya masih sedikit bisa menghidar dari sesautu yang tajam itu, lebih mirip seperti kuku yang sudah mendarat di punggungnya itu berhasil merobek kulitnya, seketika mengeluarkan darah, membuat baju yang menutupi pungungnya robek bersamaan darah semakin banyak keluar.

“Ra! Rara!” ucap Dadang semakin panik, diantara celah gantungan pakaian dalam lemari malah ia melihat wajah Rara yang sudah pucat, dengan urat-urat di wajahnya terlihat keluar, serta di mulutnya sudah keluar darah hitam.

Dengan sangat cepat Dadang mengambil jaket dan kunci motor, pandanganya sudah kabur melihat ke arah Rara, karena ia harus menyelamatkan dirinya terlebih dahulu, apalagi kini tubuh Rara sudah kembali dalam dekapan tangan besar hitam penuh bulu, salah satu sosok yang malam kemarin Dadang lihat.

“Jaka! Harus tahu ini!” ucap Dadang sudah melangkah tergesa-gesa, sambil memakai jaket untuk menutupi bajunya yang robek, namun rasa perih di punggungnya semakin ia rasakan.
Dadang berjalan cepat menuju pintu samping yang akan membawanya ke arah dimana motor tuanya terparkir di halaman depan, bahkan ia sudah tidak berpikir untuk meminta izin terlebih dahulu kepada Karta dan Mimin dengan kondisi seperti ini.

“Dadang...”

Baru saja Dadang berada diatas jok motornya, malah suara teriakan Mimin yang ia dengar, membuatnya langsung berbalik badan sambil menahan rasa perih di punggungnya, apalagi Mimin malah berjalan semakin mendekat seolah Mimin tahu apa yang sudah menimpa pembantu satu-satunya di rumahnya itu.

“Saya mau izin pulang ke kampung Bu, pagi balik lagi ada urusan penting” ucap Dadang berusaha tenang, walaupun keringat sudah mengucur membasahi wajah karena harus menahan rasa sakit, akibat darah yang terus keluar di punggungnya bekas cakaran sosok di kamarnya barusan.

Apalagi Dadang sudah melihat Karta berdiri di dekat pagar lantai dua, sedang memandangnya tajam penuh amarah, seperti akan memakannya hidup-hidup.

“Oh begitu, iya boleh Dang, sekalian tengok Mak Endah yah Dang... katanya lagi sakit, sama ini satu lagi, nanti jangan ketinggalan handuk kamu di dapur ya” ucap Mimin sambil tersenyum penuh arti, membuat Dadang semakin keringat dingin.

Dadang hanya memaksakan kepalanya mengangguk dan semakin mempunyai keyakinan bahwa Mimin dan Karta sudah mengetahui semuanya, bahkan termasuk tujuannya malam ini untuk menemui Jaka.

“Ba...baik Bu...” jawab Dadang terbata-bata, langsung menerima handuk yang Mimin berikan, kemudian kaki kanannya sudah menginjak pedal gigi motor agar segera meninggalkan rumah itu.

Raut kekecewaan terlihat dari wajah Karta, bahkan ia mematikan rokok dengan cara di injaknya dengan kesal, manakala membiarkan Dadang pergi begitu saja, menuruti rencana Mimin dan lebih percaya pada apa yang akan dilakukan Bah Sugik kepada Dadang.

“Jaka harus tahu semua ini setidaknya aku harus selamat sampai rumah Mak Endah” ucap Dadang terus melaju bersama kendaraan roda duanya dengan cepat, menahan rasa sakit di punggungnya yang semakin menjadi, ia merasakan seperti bukan luka biasa, karena semakin lama membuat tubuhnya lemas, namun ada pesan yang harus segera Jaka dengar, apalagi raut wajah pucat Rara yang mengenaskan itu terus tergambar dalam pikirannya.

Beberapa kali motor yang digunakan Dadang hampir menabrak pembatas jalan namun terus ia paksakan sekuat tenaga, karena masih ingat dengan ucapan Jaka malam kemarin yang menitipkannya pesan, malah kenyataan gila lain yang harus melibatkan dirinya sebagai saksi di rumah Mimin dan Karta.

“Arghhhhhh!!!” teriak Dadang sekuat tenaga karena perihnya berkali lipat..

***

Digjaya Adiguna Gama

Angin malam ini tidak seperti biasanya, jauh lebih kencang menerpa sebuah rumah yang hampir saja rubuh, pohon-pohon disekitar dan tanaman itu ikut bergerak memberikan pertanda marabahaya yang sedang menimpa keluarga pemilik rumah, beberapa warga kampung dan sesepuh masih berusaha mencari keberadaan Rara, namun belum menemukan petunjuk pasti, serempak dengan kabar banyaknya anak-anak seusia Rara bersamaan hilang dari beberapa kampung tetangga, yang kini kabarnya sudah sampai di telinga para warga.

“Dari arah barat...”
“Tidak biasanya angin malam ini kencang sekali, apa mungkin ini pertanda pada keadaan Rara...”
Hanya ucapan itu yang terlontar malam ini dari sesepuh kampung, sudah melakukan berbagai cara lain dalam pencarian itu, termasuk cara ritual yang mereka anggap pemberian dari orang tua mereka sebelumnya, namun selalu nihil tanpa hasil.

Terlebih rasa iba dari para warga kampung pada keluarga Mak Endah dan Jaka, ditambah tidak ingin selanjutnya anak merekalah yang menjadi sasaran, juga tidak lepas pertanyaan besar mereka menjadi satu, kemana Mimin dan Karta yang belum sama sekali datang, padahal anak yang hilang itu adalah darah daging mereka.

Suara pintu rumah Mak Endah terdengar baru saja di kunci oleh Gama, setelah memperhatikan keadaan di luar, dengan gelap malam semakin pekat dan suara angin yang semakin kencang.

“Jangan sampai ini pertanda dari Budi, dia harus selamat, terlalu cepat untuk dia mati” bisik hati Gama, pandangannya lurus melihat ke arah kulon (barat) dimana leuweung sasar berada, walaupun dalam hatinya tetap yakin Meong Hideung akan bersama Budi, sesuai yang di perintah Gama sebelumnya.

Dua tubuh perempuan tua dan lelaki lebih tua dari Gama baru saja Gama baringkan di dalam sebuah kamar, Gama meyakini kamar ini biasa ditempati Rara dengan banyaknya buku-buku pelajaran sekolah yang tersusun rapi di sebuah kamar yang seharusnya sudah tidak layak ditempati.

Kedua mata Mak Endah masih terlelap, tubuhnya sangat lemas setelah dirasuki oleh sosok dari leuweung sasar, namun Gama merasakan sesuatu yang aneh ketika memperhatikan ke arah matanya, serempak dengan gerakan mulut Mak Endah yang perlahan terbuka.

“Te...teman kamu akan mati malam ini juga di leuweung sasar...” ucap Mak Endah sangat pelan.

Gelang gengge dalam saku celana Gama segera ia keluarkan dengan cepat, karena yakin ada sosok lain yang masuk kembali ke tubuh Mak Endah.

“Arrggghhhh!!!” tiba-tiba kedua mata Mak Endah melotot sekuat tenaga, melihat ke arah Gama, namun kembali tertutup saat Gama menempelkan gelang gengge itu ke belakang kepala Mak Endah.

“Bahaya kalau tidak cepat sadar, aku harus pastikan keadaan Budi juga” ucap Gama sambil mengeluarkan satu botol kecil berisikan wewangian yang ia bawa sejak sore tadi.

Dengan cepat wewangian itu di usapkannya ke arah lubang hidung Mak Endah dan Jaka, membuat tubuh mereka langsung bergetar hebat, sambil Gama terus membacakan amalan dalam hatinya.

“Tenang Mak, jangan dulu berbicara atur nafas Mak agar tidak sesak” ucap Gama, sambil berusaha mengangkat kepala Mak Endah agar berada tepat diatas bantal.

“Pak Gam apa yang terjadi” ucap Jaka tiba-tiba baru saja tersadar, tangannya masih berada tepat di bagian Dada.

“Mu....mungkin ini Nak Gama bisa jadi petunjuk malam itu tersisa benda ini, sejak Rara pergi dari rumah” sahut Mak Endah, sambil tanganya bergerak menuju saku baju yang ia kenakan, seketika keluarlah satu benda yang langsung Gama terima.

“Pecahan kemenyan hitam...” bisik Gama dalam hatinya, terasa tangannya tiba-tiba panas.

Jaka bahkan terlihat kaget ketika baru pertama mendengar perkataan Mak Endah barusan, hanya melihat ke arah Gama yang sedang melihatnya tajam, dan merasakan panas yang luar biasa, sehingga dengan cepat ia masukan ke dalam saku celana bersama gelang gengge, membuat pecahan kemenyan hitam itu seketika meredam panasnya.

“Baik Mak, ini jalan ikhtiar saja, kalaupun iya dari benda ini ada petunjuk semoga mempermudah semuanya untuk menemukan keberadaan Rara” ucap Gama, sambil membantu Jaka yang segera ingin berdiri dari posisi tidur terlentangnya itu.

Baru saja Jaka akan membuka mulutnya untuk berbicara tiba-tiba ia dan Gama mendengar suara motor yang baru saja berhenti didepan rumah.

“Budi tidak mungkin sudah kembali!” ucap Gama.

“Kang... Kang...”
“Kang Jaka! Ini Dadang!”
Suara kencang itu namun tiba-tiba hilang begitu saja, malah berganti dengan suara orang yang terjatuh tepat dari arah pintu depan pintu.

“Suara Dadang itu! Pembantu di rumah orang tua kandungnya Rara” ucap Jaka memaksakan tubuhnya yang berangsur pulih untuk berjalan, namun anehnya Mak Endah hanya mengeluarkan air mata setelah mendengar nama Rara.

Manakala pintu rumah terbuka, lelaki dengan mengenakan jaket kulit itu sudah tergeletak dengan berusaha payah membuka jaketnya sambil menahan sakit.

“To...tolong Kang...” ucap Dadang meringis kesakitan, sudah berjuang setengah mati membawa kabar yang terjadi di rumah Mimin dan Karta.

Ketika Gama dan Jaka membantu untuk membuka jaketnya dan membangunkan tubuh Dadang, mereka berdua langsung terkejut dengan luka yang mendarat di punggung Dadang, darah masih keluar dari bekas luka itu.

“Mimin dan Karta gila Kang Jaka, mereka mungkin menumbalkan Rara pada sosok gaib, saya saksinya mendengar pembicaraan mereka barusan, dan saya akan dihabisi mereka berdua, tolong saya” ucap Dadang ketakutan dengan keringat yang terus mengalir di wajahnya.

Gama langsung mengobati luka dari punggung Dadang hal itu di saksikan jelas oleh Mak Endah membuat dirinya semakin bersalah, setelah barusan mendengarkan segala penjelasan Jaka yang terjadi di rumah Mimin.

“Mang nanti usapkan saja air ini ke punggung Dadang dan wajah Mak Endah, saya harus pinjam dulu motor Dadang, harus susul Budi terlebih dahulu saya pasti balik lagi, semuanya akan saya pastikan sebelum berangkat, termasuk tidak akan ada lagi sosok itu kembali dan semoga ini petunjuk untuk menemukan Rara” ucap Gama semakin cemas akan keadaan Budi malam ini, apalagi luka di tubuh Dadang sudah bisa Gama pastikan berasal dari sosok yang sama, sebelumnya sudah merasuki tubuh Mak Endah.

“Orang itu sakti! bisa datang dan pergi dengan aneh Pak, saya lihat dengan mata kepala saya, sesajen juga sudah sering Mimin dan Karta lakukan, mungkin itu untuk kehendak gila mereka, tega sekali!” jawab Dadang, langsung memberikan kunci motornya kepada Gama.
Jaka hanya mengangguk sambil mengikuti langkah Gama yang tergesa-gesa keluar rumah, padangan Gama cukup tenang tidak ada lagi sosok-sosok dari leuweung sasar, walaupun suasana rumah menjadi sangat mencekam malam ini.

“Dadang dan Mak mungkin akan sedikit sulit untuk pulih tidak seperti Mang Jaka, sisa air didalam suruh mereka minum juga yah Mang, saya pamit dulu tidak akan lama kembali lagi” ucap Gama langsung menaiki motor Dadang.

“Arrrggghhh!!! Sakit!!!!”
Teriakan suara Dadang sudah terdengar kembali, membuat Jaka segera memasuki rumahnya, namun tidak Gama perdulikan lagi, karena ia tahu itu reaksi dari air yang membersihkan lukanya, terlebih Gama malah sangat menghormati bagaimana perjuangan Dadang, bisa sampai ke rumah Jaka dengan membawa pesan yang teramat penting.
...
Di bawah langit malam yang pekat dan waktu terus bergerak, kini laju kendaraan roda dua yang Gama kendarai melesat ke arah barat dimana leuweung sasar berada, kekhawatirannya kepada Budi semakin besar, apalagi ia sangat paham apa saja bisa Budi lakukan di tanah kelahirannya.

“Dari siapa bantuan itu akan hadir, leuweung sasar pasti berbeda pada saat Bah Amar yang menjaganya” bisik hati Gama, kembali teringat perkataan Ki Duduy.

Segala petunjuk yang menjadi benang merah untuk Gama terus ia rangkai dalam pikirannya, benda kemenyan hitam yang ia yakini adalah udangan dari sosok leuweung sasar hadir ke rumah Rara perlahan bisa ia pastikan, apalagi benda itu sudah berada di dalam saku celananya saat ini.

“Tidak banyak waktu harus segera ditemukan Rara, sudah jelas semuanya” ucap Gama, tidak akan lama sampai karena sudah terlihat jembatan besar dan aliran sungai, membuatnya langsung menarik nafas cukup dalam, dan membuangnya secara perlahan tidak ingin hal buruk terjadi pada Budi.

Baru saja kendaraan roda dua melewati tugu nama yang sudah hampir tidak terbaca, bertuliskan Kampung Wetan Tilasjajah, membuat Gama semakin cepat menarik gas motornya.

“Ada yang aneh! Tidak biasanya!” ucap Gama perlahan, setelah menemukan tempat untuk menyembunyikan motor.

Angin yang berhembus dari ujung kampung tepatnya berada pintu masuk menuju leuweung sasar itu membawa seperti pertanda yang Gama rasakan, membuatnya langsung berjalan tergesa-gesa melalui samping kampung.

“Jangan sampai Budi” ucap Gama sudah dibasahi keringat dalam tubuhnya.

Bahkan Gama merasa aneh, ada beberapa warga yang berkumpul cukup banyak tidak seperti cerita Budi kepadanya, jika malam datang warga kampung tidak ada berani yang keluar dari rumah, namun malam ini malah sebaliknya.

“Anak saya hilang!”
“Anak saya...”

“Serempak banyak anak hilang!”

Hanya ucapan-ucapan panik dan ketakutan saja yang Gama dengar dari para warga, namun ia memperhitungkan dirinya yang tidak bisa langsung mendekat ke arah mereka.

“Apa sama dengan hilangnya Rara, ini semakin tidak bisa dibiarkan” ucap Gama langsung kembali berjalan, melalui samping kampung.

Sudah bertahun-tahun langkahnya kini kembali ke tempat dimana Budi berasal, perasaan semakin berkecamuk, dalam beban masalah, kali ini ia harus bergerak lebih cepat dari biasanya, karena tidak ingin kabar kehilangan Rara semakin menyebar luas.

“Yakin, orang tua Rara akan jadi bulan-bulanan Budi jika benar-benar merekalah dalang utamanya” bisik hati Gama, langkah kakinya sudah berada di ujung kampung wetan tilasjajah, dan sedang berjalan menanjak menuju tanah bekas rumah Budi dahulu kala berdiri.
...
Anehnya kini angin dari arah leuweung sasar berhembus semakin kencang, seolah menyambut kedatangan Gama, membuat Gama semakin kebingungan apalagi ia hanya berjalan seorang diri.

“Astafirulloh!” ucap Gama melihat seseorang dalam posisi tengkurap, bagian wajahnya sudah bersentuhan dengan tanah, tanpa bergerak sedikitpun.

“Gama! Gam, Gama!”
Teriakan dari seseorang yang Gama kenal terdengar jelas, membuat dirinya benar-benar kaget dan langsung membalikan badan.

“Mang Idim!” ucap Gama heran.

Mang Idim tidak langsung berbicara, tubuhnya sedikit tertunduk sambil mengatur nafasnya yang masih ngos-ngosan, membuat Gama langsung memperhatikan sekitar, sementara Mang Idim hanya menganggukan kepalanya melihat ke arah orang yang tengkurap itu.

“Jangan sampai itu Karni, kamu jangan dulu masuk ke dalam leuweung sasar Gam bahaya, untung Amang tidak terlambat, barusan Amang sudah dari rumah Jaka, semuanya sudah amang pastikan aman” ucap Mang Idim tergsa-gesa.

“Tapi Mang Budi masih di dalam dan belum kembali, ini bahaya!” jawab Gama, namun langsung terdiam, ketika Mang Idim dengan perlahan membalikan tubuh orang yang berada dekat di kakinya itu.

“Karni! Benar!” ucap Mang Idim ketika melihat wajah Karni masih terlelap, namun nafas yang keluar dari lubang hidungnya masih normal, pertanda masih hidup.

Namun Gama cukup kaget ketika melihat dari saku celana Karni mengeluarkan kemenyan hitam, kemenyan yang sama sebelumnya Mak Endah berikan kepada Gama, dan sekarang berada di dalam saku celananya.

“Dengar Gama ini pesan penting dari Ki Duduy, sudah abaikan dulu apa yang kamu lihat itu, Amang dan Kamu memahami sesuatu yang sama...” ucap Mang Idim semakin panik, sudah berdiri dari posisi jongkoknya, bahkan anehnya membenarkan posisi Karni seperti sebelumnya.

“Pesan apa Mang dari Ki Duduy” tanya Gama semakin penasaran.

“Didalam kampung banyak roh anak-anak yang belum kembali dari dalam leweung sasar, bantu mereka, jangan sampai masuk ke dalam leuweung sasar! Cukup darisana saja, itu lebih penting malam ini, bawa motor Amang pulang temui Ki Duduy di rumah Amang, biar motor Dadang amang yang bawa ke rumah Jaka, dan jangan dulu ganggu Budi di dalam leuweung biarkan saja, nanti Ki Duduy yang jelaskan...” ucap Mang Idim sangat tegas, sambil memberikan kunci motornya begitu juga dengan Gama.

“Pantas saja angin berhembus beda Mang sedari tadi, seperti ada orang lain yang mengacau di dalam sana” jawab Gama memandang lurus ke arah leuweung sasar.

“Cepat sekarang, agar anak-anak itu sadar dan biarkan Karni seperti ini saja! Cepat Gam, mungkin juga Budi sedang dibantu seseorang didalam sana, bantuan yang selama ini kita tunggu itu perkataan Ki Duduy” ucap Mang Idim kemudian berjalan tergesa-gesa kembali berjalan, untuk memastikan keadaan di dalam kampung.

Namun tidak membuat Gama terhenti langkahnya, malah ia semakin merasakan ada sesuatu keanehan dari arah leuweung, membuat kakinya kembali berjalan meninggalkan tubuh Karni yang tergeletak begitu saja, tangannya sudah memegang gelang gengge, apalagi kini sudah satu lurusan dengan pintu masuk leuweung sasar.

“Bantuan siapa, kenapa mereka sudah tiba di tempat ini” ucap Gama semakin penasaran.

Angin yang semakin kencang sudah menerpa Gama berkali-kali, tidak biasanya Gama yang biasanya tenang kini merasakan sesuatu yang aneh dari arah leuweung sasar.

“Ada seseorang tidak berwujud...” ucap Gama perlahan, setelah berada sangat dekat dengan pepohonan tinggi yang menjulang.

Kedua matanya masih memperhatikan sekitar, nafasnya sudah mulai tenang namun gengaman tangan pada gelang genggenya semakin erat, perlahan matanya terpejam dengan hatinya membaca sebuah amalan, karena baru merasakan sesuatu yang berbeda bukan hanya dari leuweung sasar namun hal lain yang ia rasakan.

“Roh anak-anak!” bisik hatinya kaget, apalagi sekarang malah ia mendapati seorang lelaki dengan tangannya memegang keris.

“Jadi kamu setan yang merampas sukma mereka” ucap Gama dengan lantang, apalagi perkataan Mang Idim terbukti langsung di hadapannya.

Merasa bahwa di depannya itu bukanlah sembarang orang, Gama tidak ingin mengambil resiko lebih jauh, apalagi ia harus memastikan keadaan Budi.

“Kring... kring... kring...”

Suara gelang gengge dalam gegaman Gama sudah terdengar dibunyikan, membuat lelaki dihadapannya itu terkesima, namun seperti mengetahui apa yang Gama lakukan, hingga kaki kanan Gama menghentakan ke tanah sebanyak tiga kali, untuk mengundang kedatangan meong hideung.

Tidak berselang lama, pepohonan ikut bergetar bersama angin yang semakin kencang, kedatangan meong hideung sudah dirasakan Gama dan juga lelaki yang kini berhadapan dengannya itu, seperti kaget dengan sosok meong hideung yang datang dengan perawakannya yang sangat besar.

***

Jalu Kertarajasa (Budi)

Suara daun-daun yang terkena hembusan angin menjelma sebagai saksi bisu menyaksikan pertemuan Budi dengan seseorang pemilik sarung lusuh, ketika Budi dan lelaki yang belum diketahui namanya itu sama-sama mendengar teriakan melengking kencang dari dalam leuweung sasar.

Budi sudah menyadari bahwa lelaki itu bukanlah sembarang orang, apalagi sarung lusuh yang sudah berkali-kali ia lihat selalu menempel di tubuhnya kini berada tepat di tangan Budi.

Tatapan buas Budi bak binatang yang akan menerkam mangsanya, berlawanan dengan lelaki itu yang masih berusaha tenang, walaupun kini mereka berdua secara bersamaan sedikit mundur dari tempatnya berdiri.

Daun-daun pohon yang awalnya bergerak terkena hembusan angin, kini semakin berisik mengeluarkan suara, seperti akan ada sesuatu yang datang.

“Itu yang aku tunggu!” ucap Budi dalam hatinya, semakin curiga bahwa lelaki di depannya itu adalah musuhnya yang mengundang makhluk yang akan segera tiba itu.

“Untuk apa tujuan kamu datang ke tempat ini!” ucap Budi dengan tegas.

“Kembalikan dulu sarungku! Nanti kamu paham! Sarung itu tidak akan berguna di tangan kamu!” jawab lelaki itu jauh lebih tegas, apalagi Budi merasakan sesuatu yang sama ketika ia berada dekat dengan Gama, ada yang melindungi lelaki itu yang Budi rasakan.

“Leuweung ini terlarang! Tidak ada alasan apapun untuk kamu masuk ke dalam hutan ini” ucap Budi berusaha jauh lebih tenang, walaupun tatapanya semakin tajam.

“Arrrghh! Jangan bikin tambah pusing! Nyawa teman temanku lebih penting dari aturan hutan ini! Aku harus cepat mengejar mereka!” jawab lelaki itu melihat tajam ke arah depan leuweung.

Belum sempat membalas ucapan orang itu, Budi menyadari kedatangan suatu sosok yang ia rasa sangat berbahaya.

“Awas!!!!” teriak Budi dengan kencang.

“Mundur!!!” teriak lelaki itu secara bersamaan.

Sebuah cakaran dari makhluk perempuan tanpa busana tiba-tiba muncul begitu saja, perawakannya jauh lebih menjijikan dengan hanya mengenakan selendang yang berusaha menutupi bagian payudaranya yang menjulang panjang.

“Ini, tangkap...” ucap Budi melemparkan sarung lusuhnya.

Membuat Budi sangat kaget melihat sosok yang kini berada tidak jauh dari tempatnya berdiri, malah sebaliknya lelaki itu tersenyum ketika menangkap lemparan Budi, karena Budi merasa bahwa lelaki yang sedari tadi berhadapan dengannya itu bukanlah musuhnya.

Sosok perempuan itu menatap tajam ke arah Budi dan lelaki yang bersebelahan dengan Budi, sambil memainkan rambutnya dengan wajah pucat yang menyeramkan, apalagi dalam mulutnya sudah keluar lendir hitam.

“A...akan aku habisi kalian berdua, beraninya mengganggu tempat ini!”

“Wewe gombel?” ucap Budi perlahan.

“Nggak salah lagi” Lelaki itu mengangguk mengiyakan ucapan Budi.

“Jangan sekarang” bisik hati Budi, yang kini teringat ucapan Gama bahwa kedatangannya hanya untuk memastikan.

Tanpa sadar tiba-tiba tendangan kencang mendarat di lengan Budi membuat tubuhnya langsung terjatuh.

Itu adalah perbuatan pria itu. Budi sempat bingung, namun ia tersadar ternyata serangan itu berbarengan dengan cakaran panjang yang hampir saja mengenai tubuh Budi.

“Saya Cahyo, harusnya tendangan saya nggak sesakit cakaran makhluk itu kan, Mamang Gondrong” ucap lelaki bernama Cahyo.

“Saya Budi, terimakasih, seharusnya kamu tidak memanggilku dengan sebutan itu Cahyo” jawab Budi dengan kesal.

“Ha-ha-ha, Mamang Gondrong lebih cocok! Sosok itu mengincar kamu Mamang Gondrong, salah-salah kau bisa mati! Minggir!” ucap Cahyo dengan terlihat dibagian tangannya berubah seperti sangat kuat dan hal itu disaksikan Budi langsung.

Bahkan ketika sosok perempuan bernama Wewe Gombel itu semakin mendekat, malah Cahyo menarik tubuh Budi untuk segera menjauh, padahal Budi masih penasaran pada khodam pelindung yang berada di tubuh Cahyo itu.

“Makhluk itu terlalu kuat untuk kita lawan berdua, sepertinya ada hal yang lebih penting yang harus kita urus, tahan dulu dirimu Mamang Gondrong” ucap Cahyo tergesa-gesa berjalan begitu saja di ikuti Budi yang masih heran dengan kemampuan Cahyo. Setidaknya apa yang ia lakukan bisa menyelamatkan dirinya dari perintah Gama.

“Akan mati kalian!!!!” teriak Wewe Gombel sangat kencang.
...
Budi dan Cahyo sudah hampir keluar dari leweung sasar, dengan rasa penasaran Budi yang mengdebu-debu pada sosok wewe gombel itu.

“Dari mana kamu berasal Cahyo?” tanya Budi tiba-tiba, merasakan bahwa orang inilah yang ia nantikan, yang bisa membantu permasalahannya saat ini.

“Panjang ceritanya Mamang Gondrong...” jawab Cahyo dengan sikap yang baru Budi pahami, sangatlah jauh berbeda antara langit dan bumi jika dibandingkan dengan Gama, namun Budi merasa ada sesuatu yang jauh lebih besar dan hebat dari dalam dirinya, apalagi kini sarung lusuh itu sudah dikenakannya kembali.

“Biarkan dulu saja, kita nanti kembali ke tempat ini dan akan sama-sama kita habisi sosok-sosok itu, tapi sangat berbahaya kalau Mamang Gondrong sendirian bertemu makhluk itu lagi” lanjut Cahyo tiba-tiba berhenti.

“Benar, aku tidak menyangka ada sosok itu di hutan ini, akan berbahaya...” Ucap Budi semakin penasaran.

“Kliwon!!!” teriak Cahyo tiba-tiba sambil pandangannya lurus ke atas, kemudian tubuhnya berputar agar suaranya terdengar ke seluruh isi leuweung.

Seketika pohon-pohon besar yang memiliki daun-daun yang lebat itu bergerak, seperti menyambut kedatangan satu makhluk, bahkan beberapa pohon seperti menerima pijakan binatang yang bergerak sangat cepat di atas, hal itu disaksikan oleh Budi dan semakin kebingungan.

“Srek... srekk... serekk...”

Semakin jelas di lihat oleh Cahyo dan Budi, bahkan untuk Budi tidak menyangka tiba-tiba seekor kera dengan ekor yang sangat panjang, sudah berdiri cukup dekat dengan Cahyo.

“Woy jangan ngeliatin aja sini bantu” ucap Cahyo pada kera yang bernama Kliwon.

“Cahyo dari mana sosok kera itu” tanya Budi semakin heran.

“Dia teman saya, Kliwon. Mungkin dia bisa membantu Mamang Gondrong di hutan ini. Walaupun sepertinya aku yakin Mamang Gondrong lebih tahu tentang seluk beluk hutan” jawab Cahyo, membuat keyakinan Budi bertambah bahwa Kliwon bukanlah sembarang binatang sama halnya meong hideung ketika bersama Gama, namun Budi masih penasaran pada sosok pelindung Cahyo, padahal belum lama bersama, namun yakin Cahyo mempunyai hal lain dibalik tingkahnya yang kadang membuat Budi heran.

“Ada waktunya tunggu saja Mamang Gondrong, tidak usah penasaran seperti itu, seperti mau memakan aku hidup-hidup, lagian daging aku pahit rasanya” jawab Cahyo mengetahui rasa penasaran Budi.

“Iya akan aku habisi siapapun yang mengacau di tanah kelahiranku!” ucap Budi mengeluarkan sifat aslinya, membuat Cahyo semakin salut dengan pembelaan Budi pada tanah kelahirannya, yang sedang dilanda masalah.

“Aku pasti bantu... Kliwon akan bersama kamu Mamang Gondrong, Sugik menunggu hari sialnya tiba tenang saja...” ucap Cahyo sambil berjalan, seperti memahami sesuatu yang terus Budi perhatikan.

***

Digjaya Adiguna Gama

Seorang lelaki tua baru saja merasa dirinya benar-benar tenang, manakala jejak langkah masa lalu Ki Langsamana membuahkan bukti didengar langsung oleh Gama, ketika baru saja menerima tamu-tamu yang dianggapnya adalah jawaban atas kecemasan, tamu-tamu hebat yang bisa menyelinap di antara hiruk pikuk kehidupan dengan ilmu-ilmu yang luar biasa dan tidak disangka firasat kakek tua itu berbuah kenyataan.

“Bagaimana Budi Kek apa kita tunggu saja, Budi harus tahu duduk perkara Bah Sugik dan hilangnya Rara, bahkan soal Abah, Paklek Bimo dan Danan yang sudah berbicara begitu penting kepada kita Kek” ucap Gama masih menanti Budi kembali.

“Nanti juga Budi mungkin punya kejutan dari leuweung sasar Gam tunggu saja” jawab Ki Duduy sambil minum kopi hangat.

Pintu dapur rumah Ki Duduy masih terbuka lebar, angin malam sudah benar-benar masuk, namun belum ada satupun pertanda kedatangan Budi ataupun Mang Idim.

“Kuncinya saling membantu, pendekar atau orang-orang hebat termasuk Danan mempunyai lelakon yang tidak mudah, semakin banyak ia membantu bukan semakin lelah tapi semakin berguna ilmunya Gam, itulah hukum hidup yang akan terus berlaku” ucap Ki Duduy tiba-tiba.

“Apa masih banyak Kek peninggalan benda-benda Ki Langsanama” tanya Gama semakin penasaran setelah mengetahui cerita sorban yang keluar dari mulut Abah dan pertemuannya dengan Danan yang tidak biasa, merasa bahwa dirinya tidak sendiri mempunyai kelebihan seperti ini, namun cobaannya memang tidaklah mudah.

“Waktu dan perjalanan harus ditebus hal yang sama Gama, kita belajar dari Danan, Danan semoga bisa memberikan kamu pelajaran dan begitu juga kamu kepada Danan... jejak puluhan tahun bukan hal mudah, sebuah benda hanya segelintir peninggalan Ki Langsamana kita lihat kedepannya seperti apa, bantulah mereka, agar mereka juga membantu kita menemukan Rara, waktu kita tidak banyak... agar kamu mengetahui seluruh kemampuan meong hideung seperti apa...” ucap Ki Duduy dengan tenang.

Gama hanya menganggukan kepalanya memahami semua ucapan kakeknya itu, apalagi ini bukan kali pertama ia menjalani perjalanan dalam bentuk masalah seperti ini, baru saja Gama akan kembali berbicara, tiba-tiba terdengar suara motor dari arah depan rumah Ki Duduy.

“Itu datang Gam, beri tahu saja Budi, kakek perlu istirahat duluan... lagian Budi tidak datang sendiri kali ini” ucap Ki Duduy sambil berdiri dari duduknya, ucapannya tentu membuat Gama bingung apalagi hanya terdengar langkah kaki Budi saja.

“Assalamualaikum...”
Suara Budi sudah Gama dengar jelas, namun ia belum memahami ucapan Ki Duduy yang terakhir, sebelum masuk ke dalam kamarnya itu.

“Walaikumsalam, masuk Budi”

“Bah Idim berpesan ada banyak hal yang harus segera aku ketahui, termasuk yang sudah aku dengar, Jaka, Mak Endah dan Dadang di jaga dan dirawat Bah Idim agar kita berdua bisa bergerak leluasa Gam..” jawab Budi.

Budi langsung bersalaman dengan Gama bahkan kepalanya seperti biasa langsung menunduk, rasa menghargainya dalam bentuk adab begitu tinggi ia berikan kepada Gama dan tidak pernah berubah sedikitpun.

“Maaf Gam, bukannya aku lancang... sepertinya habis banyak orang yang datang ke rumah ini, aku bisa melihat dari banyaknya langkah dan sisa-sisa kedatangan mereka” ucap Budi tiba-tiba tetap dengan kepalanya yang menunduk.

“Beberapa tamu penting, yang luar biasa Bud, bala bantuan sudah tiba, waktu menyelamatkan Rara tidak banyak lagi, tadi ada Mas Danan dan Abah yang berkunjung dengan Paklek Bimo yang sudah berkenalan denganku, semuanya ada kaitannya Bud” jawab Gama berusaha tenang, bahkan menutup pintu dengan perlahan setelah menepuk pundak Budi.

“Perkenalan, aku juga mengalami hal yang sama orang yang hampir sama dengan kamu Gam, bernama Cahyo di dalam leuweung sasar dengan kekuatannya yang luar biasa juga, apa ini ada kaitannya dengan Rara, dan leuweung sasar harus kembali seperti semula” jawab Budi, sambil mengeluarkan rokoknya.

Gama tetap saja mencari siapa yang bersama Budi kali ini, karena ia merasakan juga sesuatu yang berbeda sejak Budi pulang dari leuweung sasar.

“Cahyo, jangan bilang itu masih saudara Mas Danan, yang aku temukan di leuweung sasar juga Bud” jawab Gama.

“Tapi sebelum itu, tubuh Karni ada yang merubah posisinya, ketika aku keluar dari leuweung sasar, bahkan aku menemukan ini di saku jaketnya” ucap Budi langsung mengeluarkan kemenyan hitam.

Begitu juga dengan Gama, langsung mengeluarkan kemenyan hitam yang ia terima dari Mak Endah.

“Ini dari rumah Mak Endah, Mak Endah yang langsung memberikannya Bud” ucap Gama dengan perlahan menyimpan benda yang sama di atas meja.

“Sa..sama, Karni sialan harusnya sudah aku kirim dia bersama azal! Bisa jadi orang sialan itu awal mula masalah sebelum keluar nama Bah Sugik dan Wewe Gombel di dalam leuweung Gam!” jawab Budi sangat kesal.

“jangan gegabah kita tidak bergerak hanya berdua, sekarang Mas Danan akan membantu bersama Abah dan Paklek Bimo, begitu juga aku yakin Cahyo bagian dari mereka yang kamu sebutkan tadi Bud” ucap Gama berusaha menenangkan Budi, yang terlihat sudah melalui beberapa hal sulit setelah kembali ke tanah kelahirannya itu.

Membuat Budi langsung terdiam, hisapan rokoknya sudah tidak tenang, padahal banyak hal yang harus disampaikan kepada Gama.

“Bala bantuan kliwon! Seharusnya kera ekor panjang itu mengetahui dengan mudah isi leuweung sasar dan keberadaan Rara juga tempat dimana Bah Sugik berada” ucap Budi tiba-tiba dengan pandangan kosongnya.

Apalagi Gama kini melihat meong hideung tiba-tiba berjalan terpincang-pincang ke arahnya dari dalam rumah, anehnya langsung menatap tajam ke arah Budi dan hal itu juga di sadari Budi.

“Budi siapa Kliwon!” tanya Gama semakin penasaran, merasa bahwa nama itu yang sudah bersama Budi, karena tatapan meong hideung dan ucapan Ki Duduy seperti berbuah bukti.

“Cahyo orang itu yang memanggilnya Gam di leuweung sasar, bahkan orang itu bisa memerintah dengan konyolnya, walaupun aku sedikit heran masih ada sosok yang bersamanya, seperti meong hideung dengan kamu” jawab Budi perlahan, bersamaan dengan meong hideung berjalan terpincang-pincang ke arah pintu.

Tiba-tiba Gama mendengar suara yang baru pertama kali masuk ke dalam telinganya.

“Srek... srekk... serekk...”

Namun Budi malah menganggukan kepalanya, masih ingat dengan suara kedatangan Kliwon.

Tiba-tiba pintu dapur terbuka dengan perlahan, membuat meong hideung berjalan terpincang-pincang keluar, dan sudah mendapati seekor kera dengan ekor yang panjang berdiri, mereka berdua bertatapan tajam, terlebih meong hideung sudah memancarkan sinar kuning dari matanya.

“Itu Kliwon yang Cahyo panggil, akan membantu kita Gam” ucap Budi tiba-tiba.

Namun kliwon terus saja memberikan pertanda dengan kepala dan ekornya yang terus menujuk ke arah barat dimana leuweung sasar berada, begitu juga dengan meong hideung yang seperti merasakan pertanda itu.

“Rara dalam bahaya! Cepat selesaikan! Bisa mati anak malang itu Gama..” ucap Ki Duduy sangat tegas, membuyarkan penglihatan Gama dan Budi pada Kliwon dan meong hideung.

“Sekarang! Seribu lelembut menunggu kalian, Sugik sudah di ujung kesabarannya, cepat habisi sebelum banyak nyawa yang mati!” lanjut Ki Duduy semakin panik.

Kliwon dan meong hideung melihat ke arah Gama dan Budi secara bersamaan, seperti mengerti apa yang akan mereka berdua lakukan di dalam leuweung sasar, terlebih Budi ingat kembali pada ucapan terakhir Cahyo sebelum berpisah.. Aku pasti bantu... Kliwon akan bersama kamu Mamang Gondrong.

“Sekarang Gama!” ucap tegas Ki Duduy, sudah mengetahui bahwa Kliwon bukanlah makhluk sembarangan yang diberikan Cahyo kepada Budi, menjadi kunci yang akan membawanya masuk ke dalam leuweung sasar.

“Sarebu lelembut geus nungguan tumbal-tumbal nyawa, ngajelma jadi iblis nu mawa malapataka”
(Seribu lelembut sudah menanti tumbal-tumbal nyawa, menjelma menjadi iblis yang membawa malapetaka)

BERSAMBUNG

*****
Selanjutnya

*****
Sebelumnya
close