Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

LEUWEUNG SAREBU LELEMBUT (Part 2) - Gerbang tumbal

"Diatas tanah ini manusia menjadi budak. Tumbal darah, daging dan nyawa sudah sepantasnya diberikan untuk Sang Tuan"


“Leuweung sasar sudah menjadi hak kami, tanahnya bukan lagi hitam, tapi merah dari darah! Gerbang tumbal akan terbuka selamanya dan manusia akan tersesat! Menyembah tuan kami!
...

Jaka Surya

Gemerlap cahaya barang-barang mewah sudah sedari tadi menghiasi ruangan salah satu rumah mewah, beberapa lampu yang tergantung indah itu terus menyinari seorang kakak yang sedang berkunjung ke rumah adiknya malam ini, lintingan tembakau sudah terjepit di antara celah jarinya sudah berkali-kali habis, sakar dan puntungnya mendarat di sebuah asbak kaca yang teramat mahal.

Cara duduk lelaki itu gelisah, dengan pandangan mata yang terus berkeliling mengawasi isi rumah, sambil merasakan banyak kejanggalan, ketika melangkahkan kakinya masuk ke bagian ruang tamu, sudah tidak terhitung lagi berapa banyak lelaki itu mengusap pundaknya, bukan karena angin malam ini yang masuk sejak pintu nan megah itu terbuka lebar, namun ia merasa ada yang memperhatikannya.

“Maaf Kang Jaka, Ibu sama Bapak tidak bisa diganggu malam ini, katanya nanti saja mau berkunjung ke rumah Mak Endah, agar bisa bicara dengan Kang Jaka” Ucapan sopan dari penjaga rumah bernama Dadang membuayarkan segala keanehan yang sedang dirasakan Jaka sedari tadi.

“Walau cuma sebentar saja Dang, ini ada hal penting!” tekan suara Jaka, yang sudah lama menunggu.

“Tadi juga Dadang bilang seperti itu Kang Jaka, tapi maaf Dadang hanya kerja di rumah ini, tidak bisa memaksa dan hanya mematuhi perintah saja, tidak lebih Kang...”

Jaka langsung memahami betul ucapan terakhir Dadang, membuatnya langsung mematikan lintingan tembakau, berdiri dengan perlahan lalu mendekat ke arah Dadang, sedang berdiri menatap heran.

“Bilang kepada Mimin dan Karta, Rara hilang sudah empat hari dan barusan, ketika jam dua belas lewat artinya sudah lima hari! tidak perlu Mimin dan Karta datang ke rumah Mak Endah lagi! Kalau hilangnya Rara karena perbuatan mereka berdua, saya bisa berbuat lebih gila dari Mimin dan Karta!” bisik Jaka dekat dengan telinga Dadang.

Membuat Dadang langsung terdiam, orang yang paling lama ikut bekerja dengan Karta dan Mimin itu tentu tahu betul anak perempuan yang barusan keluar dari mulut Jaka, bahkan ia mengetahuinya sejak Rara masih balita.

“Ba...baik Kang, nanti Dadang bilang sama Bapak dan Ibu” jawab Dadang sangat ketakutan bukan hanya pada ucapan Jaka, namun pada sosok hitam penuh bulu yang sudah berdiri di dekat pintu depan, ia lihat sangat jelas untuk pertama kalinya.

Ketika Jaka berjalan ke depan untuk keluar rumah, sosok hitam itu seketika hilang, sosok itu lebih tertarik pada binatang dan darah segar yang berada di lantai dua rumah, yang sengaja dipersembahkannya tengah malam ini, agar bisa memberikan pertanda bahwa dalam waktu dekat Sang Budak akan menemui Tuan-nya kembali di dalam leuweung sasar.

Sambil menunggu balasan pesan yang dikirim kepada Ojan agar menjemputnya, Jaka berjalan perlahan mengikuti luasnya tembok depan rumah Mimin, walau terhalang pagar yang menjulang tinggi, pandangannya ke arah tiap jendela lantai dua rumah itu masih bisa terlihat sedikit jelas.

Langkahnya tiba-tiba berhenti, bukan untuk membakar lintingan tembakau yang kesekian kalinya lagi, namun melihat dari balik jendela paling ujung di lantai dua itu sudah berdiri anak perempuan, di tubuhnya sudah melingkar sebuah selendang, bahkan sampai menutupi seluruh bagian rambutnya, namun wajahnya masih terlihat jelas.

“Rara! Itu Rara!” ucap Jaka sangat kaget.

Ingatan lima malam kebelakang yang terjadi didalam rumah Mak Endah, saat terakhir kali melihat Rara sudah terputar jelas dalam pikirannya, apalagi selendang yang sama menyelimuti tubuh keponakan perempuannya itu.

“Tid! Tidid!”
“Jaka ayo sudah malam! Ada kabar penting di kampung!” ucap Ojan tergesa-gesa, sudah berada di samping Jaka.

Kedatangan Ojan tidak disadari Jaka ketika melihat penampakan Rara yang sekarang sudah kembali hilang begitu saja, namun ia tetap yakin hal seperti ini sudah menimpanya tiga kali sejak Rara pergi, menjadi pertanda.

“Kabar apa Jan!” tanya Jaka kaget.

“Sesepuh kampung melihat pertanda Rara, ke arah kulon (barat) perginya, tapi kondisi Mak Endah sudah tidak sadarkan diri barusan! Cepat pulang!”

Membuat Jaka langsung menaiki motor, kabar berupa petunjuk dari para sesepuh kampung itu malah secara bersamaan menimpa Mak Endah, padahal ketika Jaka meninggalkan rumah, keadaan Mak Endah baik-baik saja, dalam hati Jaka tidak ingin perihal buruk menimpa Mak Endah.
...

“Min seharusnya Jaka barusan tidak kembali ke rumahnya, sudah benar Jaka yang seharusnya terlebih dahulu mati! Dia sudah berani datang ke rumah ini!”

“Diam Karta! Jangan banyak bicara! Kita hanya mengikuti perintah dan jangan gegabah!”

“Aku hanya tidak ingin terjadi masalah saja Min, untuk pengorbanan yang sudah kita lakukan selama ini”

Tangan Karta hanya memegang bagian pergelangan tangannya bekas sayatan pisau, rasa sakit dan perih sudah tidak ia rasakan lagi.

“Sudah tenang! Seharusnya mereka datang, darah di lengan kamu sudah berada di dalam wadah, lagian kabar Rara hilang di kampung sudah tersebar Karta, semua tidak akan sia-sia dan kita harus rapi jika ada yang tanya perihal itu, paham!”

Suami dan istri itu sedang menanti di balik pintu yang sudah tertutup rapat, menanti dengan harap cemas, keringat sudah membasahi wajah mereka berdua, dibalik pintu dan ruangan yang sengaja mereka kosongkan di rumahnya itu sudah berserakan berbagai sesajen.

“I...itu dia Min datang...” bisik Karta dengan gembira.

Terdengar hentakan makhluk berkaki besar baru saja menghantam lantai keramik, disusul suara ayam hitam yang sekarang tiba-tiba berisik di dalam kamar itu, namun seketika hilang begitu saja.

“Diterima dengan baik...” ucap Mimin perlahan.

Kepala Mimin dan Karta secara bersamaan mengangguk, bahwa apa yang mereka persembahkan malam ini telah diterimanya, apalagi bau amis darah sudah mereka berdua cium keluar dari celah pintu kamar bagian bawah.

Padangan Karta terus melihat ke arah jam mewah yang menempel di lengannya, bersebelahan dengan luka bekas sayatan yang masih mengeluarkan darah, sambil terus mengingat ucapan seseorang yang telah menitipkannya pesan.

“Brug! Brugg! Bruggg!”
Suara hentakan kaki sudah kembali terdengar sangat jelas, membuat Mimin langsung menyalakan korek api dan mendekatkannya kepada lilin yang sudah berada di depannya sedari tadi.

“Kreket...” dengan sangat pelan pintu ruangan itu Karta buka.

Mereka berdua seketika tersenyum bahagia, manakala melihat ayam hitam sudah tergeletak di dekat wadah rotan yang berisikan kembang-kembang, hingga wadah darah dari lengan Karta sudah dilihatnya berantakan, dan sebuah kertas kosong yang tergeletak di dekat kemenyan hitam, sudah tertuliskan sebuah angka berantakan dari darah.

“Ini tanggalnya Min! Rara sudah diterima!” terlihat sebuah angka yang menjadi pertanda untuk mereka berdua kembali ke sebuah leuweung, menyempurnakan langkah selanjutnya untuk mendapatkan apa yang selama ini mereka berdua inginkan, kemudahan dan kekayaan yang lebih dan lebih.

“Ayo cepat keluar!” bentak Mimin tiba-tiba, apalagi ketika melihat foto Rara sudah berlumuran darah.

Tanpa mereka berdua sadari, Dadang yang baru saja akan menyampaikan pesan penting yang di titipkan Jaka, melihat dengan jelas mereka berdua sedang tergesa-gesa keluar dari dalam kamar, memegang kertas bertulisan darah itu, membuatnya langsung tergesa-gesa menuruni anak tangga.

“Kang Jaka harus tahu ini!” bisik hati nurani Dadang, apalagi kabar yang diterimanya tentang Rara masih menyisakan kejanggalan, karena Ibu dan Bapaknya seolah membiarkan kabar kehilangan anaknya itu terjadi.

***

Jalu Kertarajasa (Budi)

Bunyi denyit kayu yang terinjak terdengar jelas masuk ke dalam telinga Budi, bersamaan suara ayam jago yang berkokok kencang, membuat matanya perlahan terbuka langsung membereskan sejadah yang sedari malam menjadinya alas tempat bersila, menyadari ada seseorang yang mendekat.

“Abah Idim belum datang juga Indra” ucap Budi sambil berbalik badan, melihat Indra anak kandung Bah Idim satu-satunya itu membawa satu gelas kopi untuknya.

“Terkahir bilang mau ke rumah Ki Duduy, bisa jadi ke rumah Gama juga, kemarin malam titip pesan Budi jangan dulu pergi sebelum Bah Idim pulang, Abah sudah cemas sejak kamu pergi Bud” jawab Indra terlihat cemas manakala melihat keadaan Budi, dari wajahnya terhias sedang memikirkan sesuatu yang berat.

Hanya asap rokok yang keluar dari mulut Budi dan Indra tanpa adanya pembicaraan lagi, memandang lurus ke arah tumpukan anyaman rotan yang sudah siap Indra dagangkan pagi ini ke pasar terkedat.

“Ndra...” ucap Budi perlahan, menemukan jawaban dalam pikirannya pagi ini.

“Gimana Bud, apa yang bisa aku bantu dalam masalah ini” jawab Indra, akhirnya bisa bicara setelah Budi memulainya, apalagi ia sudah mengetahui masalah apa yang sedang Budi dan Gama hadapi saat ini.

“Temui Gama pagi ini di sekolahnya sekalian kamu berangkat ke pasar, bilang pada Gama, bahwa Rara bukan hilang kemungkinan berada di dalam leuweung sasar dan yang mengendakinya mungkin orang tuanya sendiri, dan satu lagi aku sudah melihat lelaki bersarung lusuh mengenakan vespa masuk ke dalam kampung wetan tilasjajah” ucap Budi sambil melihat ke arah Indra dengan serius.

“Siapa lelaki itu Bud” tanya Indra penasaran, apalagi bulu pundaknya sudah berdiri manakala mendengar kembali nama sebuah leuweung dan kampung dimana Budi berasal, sebelum diangkat menjadi anak Bah Idim dan kakaknya Indra.

Budi hanya memandang Indra jauh lebih tajam, tiba-tiba menepuk pundak Indra berkali-kali, sangat mengerti pada rasa penasaran Indra.

“Sisakan setengahnya dagangan rotan itu, aku hari ini mau berjualan ke pasar yang berbeda, tidak usah bertanya apapun dulu Ndra, sampaikan pesan barusan kepada Gama secepatnya...”

Indra tidak bisa mengelak akan ucapan Budi, padahal sudah lama sekali Budi tidak berjualan ke pasar, apalagi harus membantah pesan dari Bah Idim, namun ia tetap harus mengikuti ucapan Budi yang terkadang selalu mempunyai cara tersendiri, apalagi masalah kali ini berkaitan dengan tempat dimana ia dilahirkan.
...
Embun yang membasahi dedaunan dibelakang rumah Mang Idim baru saja perlahan jatuh, serempak dengan mentari pagi yang baru saja terlihat hadir, sambil Indra menyiapkan berbagai macam anyaman rotan yang nantinya akan dibawa oleh Budi.

Budi hanya duduk di kursi depan rumah, beberapa kali Indra melewati dirinya untuk menyimpan anyaman rotan itu ke atas motornya.

“Aku sudah waktunya berangkat Bud, barang-barang kamu sudah siap” ucap Indra perlahan.

“Berangkat saja duluan, jangan lupa mampir ke sekolah Gama, sampaikan pesan barusan” jawab Budi hanya menatap kosong, tanpa melihat ke arah Indra.

Setelah anggukan kepala Indra, motor tua yang belakangnya penuh dengan anyaman rotan perlahan menjauh dari rumah, meninggalkan Budi yang masih diam, berkecamuk dengan pikirannya sendiri, tidak bisa leluasa bergerak untuk memenuhi keinginannya tiba di kampung wetan tilasjajah memastikan keadaan leuweung sasar.

“Bukan hanya masalah Rara yang hilang, benar kata Ki Duduy tidak bisa hanya aku dan Gama menyelesaikan masalah ini, siapapun yang berani mengacau di tanah kelahiranku, mereka harus kembali ke tanah!” bisik hati Budi sangat kesal.

Dari kejauhan motor yang dikenakan Indra tiba-tiba berhenti, manakala berpapasan dengan Bah Idim dan Ki Duduy, Indra langsung membicarakan keanehan Budi pagi ini kepada Bah Idim dan semakin mengenaskan melihat Budi yang terlihat melamun, termasuk membicarakan pesan yang Budi titipkan untuk Gama.

Rotan-rotan sudah berjajar di depan rumah, sudah beberapa kali Budi hanya bolak-balik membereskan rumah, agar ketika Bah Idim pulang semuanya sudah rapi, namun tiba-tiba Budi melihat motor tua dikenakan Mang Idim dan Ki Duduy baru saja berhenti didepan rumah.

“Assalamualaikum” ucap Ki Duduy sambil tersenyum ke arah Budi.

“Walaikumsalam Kek, Bah...” jawab Budi langsung mencium tangan Bah Idim dan Ki Duduy.

“Kek lelaki bersarung lusuh mengenakan vespa itu masuk ke kampung wetan tilasjajah, semalam Budi...”

“Sudah tenang, duduk dulu... ada hal yang harus kamu ketahui, ini bukan masalah biasa, bisa mati sia-sia jika kamu mengikuti rasa kesal dan dendam dalam diri kamu Bud, duduk...”
Baru saja Budi akan melanjutkan ucapannya langsung dipotong oleh Ki Duduy, membuatnya langsung terdiam.

“Kakek dan Mang Idim sudah memastikan semalaman suntuk, di dalam sana leuweung sasar tidak ada yang perduli kepada pemegang juru kunci yang sudah lama pergi, sarebu lelembut hanya menanti tumbal-tumbal yang di berikan orang tua Rara, termasuk nyawa-nyawa anak kecil lainnya Bud...”

“Ma...maksudnya Kek, Budi belum paham” tanya Budi semakin penasaran.

“Mereka sudah terlalu kuat, penculik Rara bukan wewe gombel biasa, sudah banyak lelembut jauh berkali lipat dari sebelumnya ketika kamu di bawa dari kampung wetan tilasjajah ke rumah ini... Gama dan kamu tidak mungkin gegabah datang kesana tiba-tiba, bantuan itu mungkin telah tiba, tapi belum pasti... ada seseorang telah menghidupkan apa yang telah mati di dalam leuweung sana Budi, itulah kenapa kita tidak bisa gegabah...” ucap Ki Duduy.

“Bahkan sulit rasanya, para keturunan dan murid Ki Langsamana untuk datang kesana, pasti akan tercium oleh sarebu lelembut Bud, yang kita pikirkan keselamatan warga kampung juga, bukan hanya Rara dan amarah kamu pada pelaku yang membuka kembali leuweung sasar” ucap Mang Idim menambahkan.

“Terlebih keluarga Rara, Nenek dan Mamangnya benar kata Gama, cepat atau lambat akan terkena musibah dari kelakuan anak kandungnya sendiri, ingat aturan lama kita Budi, banyak nyawa yang harus selamat” lanjut Ki Duduy.

Cahaya sinar matahari yang sudah meninggi masuk menerobos ke dalam celah-celah jendela dan kaca, tidak lagi memberikan kehangatan kepada Budi, pikirannya tidak lagi berkecamuk, semua yang keluar dari mulut Ki Duduy dan Mang Idim sangatlah jelas, sedikit menggambarkan apa yang terjadi.

“Kek, Mang... izinkan Budi mencari tahu apa yang terjadi di kampung wetan tilasjajah, ada orang yang bisa Budi temui tanpa harus datang ke kampung ataupun leuweung sasar” ucap Budi tiba-tiba, telah memikirkan hal ini sejak malam hari.

“Salah satu orang kepercayaan Abah Amar dan Ni Warsih waktu hidup” jawab Ki Duduy.

Budi dan Mang Idim hanya menganggukan kepala, membenarkan ucapan Ki Duduy.

“Semoga saja masih hidup setelah puluhan tahun tidak berjumpa dengan kamu Bud, pergi dan bereskan hari ini” lanjut Ki Duduy menepuk paha Budi yang duduk bersebelahan sedari tadi.

Membuat Budi langsung bergerak ke arah motor, hanya Mang Idim saja yang berdiam, karena dia sudah mengetahui Budi akan berjumpa dengan siapa, kecemasannya hanya satu... takut membuka luka lama akan kematian Ibu dan Bapaknya, hingga ia tidak terkendali, apalagi pergi seorang diri tanpa Gama dan Mang Idim hanya memberikan handphone kepada Budi agar bisa menelpon Gama.

“Budi...” ucap Ki Duduy sambil berjalan ke arah motor Mang Idim, setelah belakangnya berisikan banyak anyaman rotan yang akan dijualnya, bahkan ketika Mang Idim tidak lagi berbicara kepadanya, Budi merasakan Mang Idim sedang menyembunyikan sesuatu.

“Iyah Kek...” jawab Budi sedikit kebingungan.

“Mereka dari tengah pulau jawa mungkin sudah tiba jauh-jauh hari di tanah kita, tempat berasal dimana karuhun (leluhur) mereka mempunyai lelakon yang tidak beda dengan Ki Langsamana, mewariskan banyak ilmu, jangan cemas... bala bantuan itu sudah hadir, entah dari siapa kakek sudah merasakannya...” ucap Ki Duduy dekat dengan telinga Budi.

“Te...termasuk lelaki itu Kek” jawab Budi perlahan.

“Entahlah, setidaknya firasat orang tua jarang meleset, pastikan saja tujuan kamu hari ini berhasil dengan anyaman-anyaman rotan itu, malam ini Gama akan segera datang, dia perlu membuat aman terlebih dahulu di sekolah perihal Rara... bawalah kabar dari kampung dan leuweung itu agar Gama mendengarnya langsung dari kamu...” bisik Ki Duduy.

***

Dibawah sinar matahari yang semakin meninggi, laju kendaraan roda dua yang Budi kendarai sudah menembus jalanan kota, rambut gondrongnya tidak jarang terkena hembusan angin yang cukup kencang, tujuannya adalah salah satu pasar tradisional yang berada di kecamatan, yang tidak terlalu jauh dari kampung wetan tilasjajah, untuk menemui seseorang bekas kepercayaan almarhum Bah Amar.

“Seharusnya Mang Karni masih hidup dan tetap akan berjualan anyaman rotan” bisik hati Budi, menumbuhkan rasa penasaran dalam dirinya akan apa yang sudah terjadi di tanah kelahirannya itu.

Tidak jarang pikirannya semakin berkecamuk pada lelaki bersarung lusuh mengenakan vespa karena bisa melihat pertanda malam kemarin, manakala burung-burung hitam misterius pembawa pesan dari dalam leuweung sasar itu berterbangan, namun dalam dirinya juga tumbuh rasa curiga pada lelaki itu, sehingga ia mempunyai bekal untuk nanti malam berbicara dengan Gama yang selalu memahami keinginan dirinya itu.

“Jangan sampai apa yang tidak ingin aku ketahui terjadi oleh lelaki itu, walaupun bukan sembarangan orang dan kenapa harus melihatnya lagi” ucap Budi perlahan.

Setelah dua jam perjalanan ke arah barat, tidak mengambil jalan yang akan membawanya pada jembatan dekat dengan leuweung sasar, roda dua kendaraan yang Budi kendarai baru saja tiba di salah satu pasar tradisional.

Para pedagang dan pembeli sudah terlihat sedikit longgar karena waktu sudah bergerak semakin siang, kedua bola matanya terus mencari tempat dimana para pedagang biasa berdiam.

“Anyar nya Kang datang ka ieu tempat, tuh belah ditu Kang meh ngahiji jeng nu sejenna, parkir motor oge genahen lega”
(baru yah Kang datang ke tempat ini, tuh sebelah sana bareng dengan yang lain, parkir motornya juga enak luas) ucap salah satu juru parkir.

“Nu dagang kos kieu aya deui teu di pasar ieu Kang”
(Yang dagang seperti ini ada lagi nggak di pasar ini Kang) tanya Budi, memastikan untuk mencari orang yang akan ditemuinya, karena ia masih ingat puluhan tahun kebelakang pasar tradisional inilah yang selalu menjadi tujuan Mang Karni.

“Sigana aya Kang, sok we kaditu heula moal nanaon kalem, poho ngarana tapi biasana aya sih nu ngajual anyaman kos kieu”
(sepertinya ada Kang, kesana dulu aja nggak apa-apa santai, lupa namanya siapa tapi biasanya ada juga yang menjual anyaman seperti itu)

Tidak berselang lama motor sudah terparkir dan berjajar dengan para penjual lainnya, namun sepanjang mata Budi melihat, ia tidak mendapati orang yang dicarinya, membuatnya hanya duduk dibawah pohon yang cukup besar, di dekat motornya.

“Apa Mang Karni sudah meninggal dunia...” ucap Budi sambil membakar rokoknya, bersamaan dengan terik sinar matahari semakin meninggi, memancarkan sinar panas kepada bumi.
...
Sudah hampir dua jam Budi hanya berdiam, sesekali menjual anyaman rotannya, beruntungnya bukan kali pertama ia mengetahui tentang rotan, karena sejak Abah Amar dan Ni Warsih hidup, dari bambu rotanlah mata pencahariannya waktu itu.

Ketika melihat jam di handphone sudah menunjukan waktu istirahat mengajar Gama, membuatnya langsung melakukan panggilan.

“Assalamualaikum Gam”
“Walaikumsalam Budi” jawab Gama kaget.

“Pesan dari Indra sudah sampai Gam”
“Su...sudah, sudah Bud, kondisi di sekolah sedang panik, hingga saat ini petunjuk Rara hilang belum ditemukan satupun, tapi pesan yang Indra sampaikan sudah jelas, malam ini aku ke rumah Mang Idim, kondisi Mak nya Rara sedang buruk, sesuatu menimpa dirinya malam kemarin, sejak Jaka pergi ke rumah orang tuanya Rara” bisik Gama menjelaskan tidak ingin ucapannya itu terdengar para guru lain, apalagi mereka semua sudah sepakat meminta bantuan Gama, padahal sudah Gama jelaskan berkali-kali dirinya hanyalah orang biasa sama seperti mereka.

“Yang aku lihat malam kemarin berarti benar Jaka, aku sedang mencari Mang Karni semoga saja masih hidup, ingin tahu kondisi di kampung Gam” jawab Budi tiba-tiba menghentikan ucapannya itu.

“Lalu Bud...”

Beberapa detik Gama menunggu ucapan Budi, namun padangan Budi sudah tertuju kepada satu orang yang baru saja tiba, mengenakan motor tua dan membawa banyak anyaman rotan yang sama dengan apa yang di jual Budi hari ini.

“Budi, hallo Bud...”
Telepon Budi matikan begitu saja, manakala ia sedang memastikan lelaki tua berambut hampir semuanya putih itu sedang berbicara dengan salah seorang pedagang, beberapa kali pandangan mereka berdua melihat ke arah Budi, membuat Budi langsung menundukan kepalanya.

“Mang Karni, masih hidup! Tidak sia-sia” bisik hati Budi mencoba tenang, karena sudah puluhan tahun baru melihatnya lagi dari jarak yang tidak terlalu jauh.

Enggan rasanya untuk Budi kembali melihat ke arah Mang Karni, karena sejak ia dibawa Bah Idim ke rumahnya dan diangkat menjadi anaknya, tidak mengetahui perbuahan yang terjadi kepada Mang Karni.

“Aku harus tetap berhati-hati, bisa jadi Mang Karni juga salah satu dari mereka yang membuka leuweung sasar!” bisik Budi, sudah melihat dari kejauhan bayangan seseorang berjalan mendekat ke arahnya.

Tiba-tiba dengan sangat cepat seseorang sudah duduk di sebelah Budi, terdengar suara korek api dan hisapan rokok pertamanya sangatlah dalam, tangan sebelah Budi sudah berada dibalik punggungnya, sudah memegang pisau andalannya.
...
“Benar ternyata ucapan Idim, Jalu yang sekarang Amang lihat bukan jalu puluhan tahun yang masih berlindung di ketiak Ni Warsih” ucap Karni dengan suara yang sudah sangat tua.

Membuat Budi sangat kaget, apalagi Mang Karni sudah menyebut orang tua angkatnya dengan lantang dan almarhum ibunya.

Dengan sangat cepat tanpa di lihat orang sekitar, pisau andalan Budi sudah menempel dibagian perut samping Mang Karni, tanpa melihat wajahnya sekalipun.

“Jalu apa-apaan ini!” bentak Mang Karni sangat kaget, sudah merasakan ujung pisau yang sangat tajam itu perlahan menusuk ke arah baju samping yang dikenakannya.

“Panggil saya Budi, jangan sebut nama Ibu saya! Kalau tidak ingin pisau ini semakin dalam!” bisik Budi sambil melihat tajam ke arah wajah Mang Karni yang sedang ketakutan.

“Ba...baik Bud, Budi baik jangan seperti ini, Idim sudah lebih dulu menemui Amang kemarin, memberitahu kamu akan datang juga, ternyata benar, maafkan tadi Amang menyebut nama ibu kamu” jawab Mang Karni terbata-bata, tidak menyangka pada sosok Budi yang sudah puluhan tahun tidak ia lihat malah berbuah menjadi sangat buas.

Dengan cepat Budi kembali memasukan pisau ke balik pinggangnya, menatap tajam ke arah Mang Karni.

“Mang!” ucap Budi langsung memeluk erat tubuh Mang Karni.

“Su..sudah Budi sudah, cepatlah kembali ke kampung wetan tilasjajah” ucap Mang Karni menerima pelukan Budi, dan tidak menyangka anak ingusan puluhan tahun yang tidak pernah ia lihat, kini sudah tumbuh menjadi gagah dengan rambut gondorongnya.

Tepukan tangan Mang Karni mendarat berkali-kali pada pundak Budi, merasakan rasa rindu yang dipertemukan oleh waktu, namun sayangnya pertemuan siang ini karena ada masalah yang besar di tempat Budi berasal.

“Apa yang terjadi disana Mang, ceritakan sekarang, aku tidak punya banyak waktu dan pasti akan aku selesaikan” ucap Budi sudah sekuat tenaga menahan air matanya keluar.

“Apa Idim belum cerita sama sekali Bud” jawab Mang Karni, menyodorkan rokok kepada Budi.

Budi hanya menggelengkan kepalanya, sambil membakar rokok yang dikeluarkan dari dalam saku celana.

“Entah dari mana Amang harus memulai pertemuan ini, yang paling penting dari arah rumah kamu dulu, gerbang gaib itu sudah bertahun-tahun berganti nama, para warga kampung menyebutnya sekarang gerbang tumbal yang dikehendaki serebu lelembut... gerbang yang dulunya Abah kamu jaga, kini berantakan, mungkin hitungan bulan petaka akan menjumpai Amang dan para warga kampung...” ucap Mang Karni perlahan, melihat serius ke arah wajah Budi.

Budi hanya diam tidak berani lagi mulutnya terbuka, apalagi kenyataan lebih buruk kini terdengar langsung dari mulut Mang Karni, bahkan matahari yang semakin meninggi tidak membuat dua orang itu merasakan panas, karena masing-masing harus berbicara dan mendengarkan hal penting ini, terutama untuk Budi.

“Ada yang memulai, hingga masuk ke dalam leuweung sasar dengan sangat mudah, ritual sesat leweung, sudah terjadi lagi dan kini semakin buruk Bud... tumbalnya anak-anak, anak yang tidak tahu apa-apa, membuka gerbang tumbal semakin lebar...” lanjut Mang Karni.

“Amang tahu siapa dalang dibalik gerbang tumbal itu” tanya Budi sangat penasaran.

“Semenjak empat hingga dua tahun kebelakang manakala matahari tengelam dari arah barat, Amang sudah pastikan suara teriakan-teriakan dari dalam leuweung sasar terdengar jelas, membuat warga kampung enggan untuk keluar sehabis magrib... selanjutnya mungkin wujud Bud, cepatlah pulang... walaupun kabar buruk harus kamu dengar siang ini...” jawab Mang karni.

“Mang aku tanya siapa dalang yang membuka gerbang itu, Amang tinggal jawab cepat” ucap Budi sudah tidak sabar, karena setiap pengakuan yang keluar dari Mang Karni semakin membuatnya bersalah pada leuweung sasar, terlebih selama hidupnya almarhum Bah Amar adalah juru kuncinya.

“Seorang perempuan tanpa busana pernah masuk dan keluar lewat gerbang tumbal, perawakannya besar, orang tua jaman dulu menyebutnya wewe gombel, mereka membawa anak kecil perawakannya tidak diketahui pasti, tapi apa kamu bisa jamin Amang akan masih hidup kalau menyebutkan nama itu...” jawab Mang Karni semakin cemas.

“Apa amang tidak percaya bagaimana Abah dan Mak berkorban untuk leweung sasar, begitu juga aku!”

Mang Karni hanya menganggukan kepala, apalagi sudah mendengar perubahan pesat Budi dari Mang Idim.

“Bah Sugik orang sangat sakti pengikutnya tidak sedikit, semua warga takut jika berjumpa dengannya” jawab Mang Karni sangat pelan.
Budi langsung berdiri setelah mendengar nama Bah Sugik, mengabaikan raut wajah Mang karni yang sangat ketakutan ketika menyebut namanya itu.

“Kabar buruk lainnya, warga kampung menyalahkan orang tua kamu, dan kamu yang tidak bertanggung jawab Bud akan leuweung dan pemegang juru kuncinya, kalau mau datang ke kampung, temui dulu Amang jika ingin aman, atau mati sia-sia!” ucap Mang Karni.

Budi hanya menganggukan kepalanya ke arah Mang Karni yang terlihat cemas, memberikan hormat karena puluhan tahun tidak berjumpa dengannya, wajah Budi sudah berubah menjadi merah menahan semua amarah yang ada dalam dirinya, apalagi setelah mendengar keadaan kampung dan leuweung sasar.

“Sugik! Sesakti apa orang itu, mungkin dalam tubuhnya sudah tidak memiliki darah!” bisik Budi, setelah mengetahui satu nama yang bisa membawanya pulang dan cerita dari Mang Karni terus ia ingat.

***

Digjaya Adiguna Gama

Langit dengan cahaya keemasannya baru saja turun dengan perlahan, motor yang biasa dikendarai Gama sudah terparkir, seorang perempuan bernama Halimun Dewi sedang memakaikan jaket pada tubuh Gama.

“Apa benar yang kamu katakan tadi Gam, di sekolah bisa terkendali soal Rara, beberapa pembeli bahan bagunan juga sudah mendengar kabar hilangnya Rara ini...” tanya Dewi sangat cemas, karena baru saja pulang dari toko bagunan suaminya itu harus segera bergegas kembali.

“Doakan saja Wi, sebelum maghrib aku mau berkunjung ke rumah Rara, tadi Pak Hadi sudah berangkat duluan, pulangnya aku ke rumah Mang Idim dulu yah” jawab Gama setelah memasukan gelang gengge ke dalam saku celananya, dan tidak lupa satu botol kecil berisikan wewangian, sambil menganggukan kepala, karena masalah yang dihadapinya saat ini perihal Rara bergerak menjadi masalah yang sangat serius, saling berkaitan satu sama lain.

Tidak ada lagi ucapan yang keluar dari mulut Dewi, hanya memegang tangan Gama dengan erat, mengantarkannya ke halaman depan rumah.

“Itu Budi, apa sudah janjian Gam kenapa tidak masuk dulu” tanya Dewi.

“Iya sudah Wi, yasudah aku berangkat dulu semoga tidak pulang terlalu malam yah, nanti aku berikan kabar secepatnya” ucap Gama, padahal ia sama sekali tidak ada janji dengan Budi yang harus datang ke rumahnya.

Gerbang besi yang sudah terbuka lebar dan senyuman Mang Tahrim mengiringi perlahan motor keluar dari halaman rumah.

“Naik cepat Bud” ucap Gama.

Membuat Budi yang sedari tadi hanya menundukan kepala, langsung menaiki motor Gama.

“Kenapa ke rumah, bukannya malam ini aku mau ke rumah kamu Bud”

“Ki Duduy yang suruh Gam, katanya ada hal penting yang tidak aku pahami, bahkan aku juga sudah berjumpa dengan Karni dan mengetahui lebih apa yang terjadi di kampung wetan tilasjajah dan leuweung sasar...”

Seketika motor yang sedang melaju tiba-tiba berhenti begitu saja di samping jalan, kepala Gama lansung menoleh ke belakang, sangat kaget dengan ucapan Budi yang sudah berjumpa orang kepercayaan almarhum Bah Amar, setelah puluhan tahun tidak berjumpa.

“Sugik nama orang sakti itu dan wewe gombel dengan perawakan besar, yang sudah diketahui Karni, dan aku yakin kedua orang tua Rara, bahkan Rara sedang berada di dalam leuweung itu, sementara Ki Duduy bilang tidak cukup kita berdua menyelesaikan masalah ini Gam” lanjut Budi.
Gama langsung terdiam, gelang gengge dalam saku celananya tiba-tiba terasa panas, setelah mendengar nama yang Budi sebutkan.

“Lalu Bud...” tanya Gama semakin cemas kepada anak didiknya yang sudah hilang cukup lama, bahkan pihak sekolah dan pihak berwajib sedang berusaha mengusut kasus Rara ini.

“Ki Duduy menyerahkan semuanya kepada kamu Gam, termasuk izin untuk aku datang kesana” jawab Budi dengan dengan pasrah.

Baru saja Gama akan menjawab ucapan Budi, handphone dalam saku celananya bergetar.
“Angkat dulu saja Gam, mungkin ini yang di maksud Ki Duduy dan Mang Idim” ucap Budi.
Terlihat kontak bertuliskan nama Pak Hadi, apalagi Gama tahu Pak Hadi sedang berada di rumah Rara, dan langsung melakukan panggilan.

“Assalamualaikum Pak”
“Pa..pak! Pak Gama ini Mak Endah neneknya Rara dari semalam tidak kunjung sadar, cepat kesini Pak, banyak hal aneh aku tidak bisa lama!” jawab Pak Hadi tiba-tiba sangat panik.

“Tunggu sebentar lagi saya sampai Pak, Bapak boleh pamit nanti gantian sama saya yah, tenang jangan panik”

“Sesekali matanya melotot, suaranya mengerang seperti kesakitan, kadang tadi senyumnya saja menakutkan”

“Baik! Saya segera kesana Pak, sudah Bapak pulang saja”

Segera Gama tutup telpon dari Pak Hadi, mendengar kondisi di rumah Mak Endah sudah sangat kacau, apalagi gelang gengge dalam saku celana Gama itu semakin terasa panas.

“Kita ke rumah Mak Endah dan ketemu Jaka, itu keluarga Rara sebelum waktu magrib, ini sudah sangat sore, ayo mereka membutuhkan pertolongan kita! Aku sudah mendengar banyak anak hilang untuk dijadikan ritual tumbal Bud, di bawa ke leuweung sasar!” ucap Gama tergesa-gesa.

Budi hanya menganggukan kepalanya saja, dan membenarkan firasat Ki Duduy dan Mang Idim sebelumnya, bahkan ucapan terakhir Gama sudah Budi dengar juga sebelumnya.

“Setelah ini kita pergi ke kampung wetan tilasjajah!” lanjut Gama cukup keras, melawan suara terpaan angin kencang, karena laju kendaraan semakin cepat.

Budi hanya menganggukan kepalanya, lalu tersenyum karena tidak akan lama rasa rindu dan gejolak dendam pada orang yang telah menginjak-injak tanah kelahirannya itu akan segera dituntaskan.
...
Beberapa tanda jalan menuju rumah Mak Endah dan Jaka sudah Gama lewati dengan cepat, beruntungnya tidak perlu waktu lama menuju rumah Rara, sebuah perkampungan setelah melewati pasar adalah tanda terakhir, bahkan barusan sempat berpapasan dengan motor yang dikenakan Pak Hadi, yang terlihat tergesa-gesa.

Rumah yang sudah hampir rubuh dengan halaman depan yang tidak terlalu luas, baru saja terlihat ditinggalkan beberapa orang warga kampung yang mungkin sudah melihat keadaan Mak Endah, apalagi waktu adzan maghrib berkumandang saat Gama dan Budi baru saja tiba.

“Pak Gama...” ucap Jaka yang sudah beberapa kali melihat Gama di sekolah, manakala mengambil rapot kenaikan kelas Rara.

“Asalamualaikum Mang Jaka, maaf saya baru bisa datang, ini dengan saudara saya Budi” jawab Gama sambil bersalaman.

“Tidak apa-apa Pak, barusan Pak Hadi juga sudah memberitahu perkembangan pencarian Rara oleh pihak sekolah dan pihak berwajib...” jawab Jaka, dari raut wajahnya berusaha tersenyum walaupun Gama hafal betul lelaki yang berada didepannya itu kini dalam masa-masa sulit.

Gama dan Budi langsung mengikuti langkah Jaka masuk ke dalam rumah, apalagi untuk Budi sudah memastikan bahwa malam itu yang dilihatnya benar adalah Jaka, yang berkunjung ke rumah orang tua Rara.

“Lelaki itu benar yang datang malam ke rumah orang tua Rara Gam, lalu malam itu juga aku berjumpa lelaki bersarung lusuh dan motor vespa di jembatan, dia bisa melihat pertanda sama denganku” bisik Budi ketika dipersilahkan duduk di kursi seadanya.

“Aku sudah dengar dari pesan yang kamu titipkan pada Indra, cepat atau lambat kita akan mengetahui lelaki itu, aku penasaran dengan kekuatan yang ada dalam dirinya Bud, semua penuh ketidaksengajaan berjumpa dengan kita” jawab Gama perlahan, melihat Jaka berjalan ke arah dapur, terlihat cahaya kuning keemasan itu sudah berganti dengan gelap malam.

“Tunggu sebentar ya Pak Gama, Pak Budi saya buatkan kopi dulu” ucap Jaka cukup kencang dan terdengar jelas, karena ruangan rumah yang tidak terlalu luas.

“Padahal Mang Jaka tidak usah merepotkan” jawab Gama.

“Gam meong hideung tiba...” bisik Budi tiba-tiba melihat meong hideung berjalan terpincang-pincang dari arah depan rumah yang pintunya masih terbuka.

“Harusnya pertanda” bisik hati Gama mulai cemas, apalagi belum menanyakan keadaan Mak Endah.

“Gama itu!” bentak Budi tiba-tiba.

Membuat Gama langsung berdiri, melihat jelas bayangan besar dari arah salah satu kamar, bayangan itu bergerak, bahkan kain penutup yang berguna sebagai pintu ikut bergerak juga dengan sendirinya.

“Ta...tahan Bud, tenang!” bisik Gama agar tidak membuat Jaka curiga.

Suara dengkuran nafas yang cukup keras tiba-tiba Gama dan Budi dengar, begitu juga Jaka yang langsung melihat ke arah kamar itu, sambil membawa dua gelas kopi diatas wadah tampah.

Langkah Jaka tiba-tiba berhenti, pemandangannya sangat kaget, kedua tangannya yang sedang memegang wadah tampah sudah bergetar.

“Per...pergi kalian...”
Terdengar suara nenek-nenek dari dalam kamar itu, dengan suara yang begitu basah dan serak.

“Mak... Itu Pak Gama, guru Rara Mak, kenapa Mak tiba-tiba bisa bangun dan sadar...”

Tiba-tiba wadah tampah yang diatasnya terdapat dua gelas kopi itu seketika terjatuh, dua gelas langsung pecah mengenai lantai keramik, dengan tubuh Jaka yang langsung mematung.

“Per...pergi! Jangan ganggu kami!”

Keluarlah Mak Endah berdiam di dekat tubuh Jaka, matanya sudah merah melotot ke arah Gama dan Budi yang sudah berdiri, terutama Gama sudah merasakan gelang gengge dalam saku celananya berubah sangat panas.

Baru saja mulut Jaka akan terbuka untuk bicara, tiba-tiba sapuan tangan Mak Endah mendarat pada wajah Jaka, dan langsung membuatnya tergeletak begitu saja, didekat pecahan gelas dan air kopi yang masih panas.

“Jelmaan para pengikut wewe gombel Bud” bisik Gama, sudah melihat di dalam tubuh Mak Endah dirasuki sosok hitam.

Tubuh Mak Endah berjongkok dengan perlahan, tubuhnya merangkak dengan rambut putihnya itu sudah terurai menutupi wajahnya, tangannya tiba-tiba merobek sebagian baju yang menempel di tubuhnya.

“Arrrghhhhh!!!”
Gerakan cepat merangkak tangan dan kaki Mak Endah secara bersamaan menuju Gama dan Budi.

“Budi tahan kepalanya! Sekarang!” bentak Gama, sudah merasakan meong hideung berada di dekat kakinya.

Sebelum gerakan cepat merangkak Mak Endah sampai di dekat Gama, Budi sudah maju terlebih dahulu, dengan cepat kedua tangan Budi menahan kepala Mak Endah, bahkan sampai kuda-kuda posisi kaki Budi terbawa oleh kuatnya dorongan kepala Mak Endah.

“Sialan sosok ini sangat kuat! Maaf Gam terpaksa ini!” bentak Budi tubuhnya sudah semakin terdorong kebelakang, dengan gerakan cepat satu tangan Budi bergerak ke arah leher Mak Endah, dengan sekuat tenaga mengunci leher nenek tua itu, langsung dibalikannya tubuh Mak Endah yang kini berada di atas tubuh Budi, mata merah menyala itu memandang penuh amarah ke arah Gama.

“Le...lepaskan manusia biadab! Lepaskan! Tubuh Nenek tua ini akan mati malam ini juga!”

Dengan cepat Gama memejamkan matanya, mengeluarkan perlahan gelang gengge dalam saku celananya.

“Sekarang Gam!” bentak Budi.

Gelang gengge itu sudah menempel tepat di bagian dahi Mak Endah.

“Aaaaaaa!!!”

“Dari mana kamu! Akan aku habisi jika tidak keluar sekarang dari tubuh Nenek ini” ucap Gama sambil dalam hatinya membaca amalan, agar bisa mengalahkan kekuatan sosok yang ada dalam tubuh Mak Endah.

“Le...leuweung sasar! Kalian tidak akan bisa menghabisi aku, banyak nyawa anak yang akan mati oleh tuanku, persembahan tumbal dan pesta untuk bangsa kami! Darah mereka halal!”

Gama semakin menekan gelang gengge di dahi Mak Endah, membuat dua kali teriakan jauh lebih kencang.

“Am....ampun ampun!!! Lepaskan!!!”

“Siapa tuanmu itu, cepat katakan!” bentak Gama dekat di telinga Mak Endah, sementara Budi terus menahan tubuhnya agar tidak bisa bergerak, walaupun Budi hampir kehabisan tenaganya.

Tiba-tiba kepala Mak Endah melawan kuatnya kuncian dua tangan Budi pada lehernya, dan kaki Budi pada tubuh Mak Endah, mata Mak Endah tidak lagi melihat tajam ke arah Gama, melainkan ke arah Jaka yang masih tergeletak.

“Brug!!!”

Tiba-tiba tubuh Mak Endah melemah dan matanya terpejam, membuat Budi langsung menyingkirkannya dengan cepat.

Sosok perempuan sudah berdiri di dapur, dengan tubuh yang hanya ditutupi selendang, dan rambut panjangnya, begitu juga payudaranya menggantung besar, bahkan tubuhnya dua kali lipat lebih tinggi dari manusia dengan kuku yang sangat panjang dan tajam.

“Ka...kalian tidak akan bisa membawa Rara pulang! ibunya sudah memberikannya kepada tuanku, nyawanya sudah menjadi tumbal!”

Meong hideung sudah menatap tajam dengan mata kuning menyala di ke arah sosok perempuan.

“Leuweung sasar sudah menjadi hak kami, tanahnya bukan lagi hitam, tapi merah dari darah! Gerbang tumbal akan terbuka selamanya dan manusia akan tersesat! Menyembah tuan kami!”

Baru saja Gama akan membunyikan gelang gengge, tiba-tiba perempuan itu tertawa melengking kencang, membuat tubuh Mak Endah dan Jaka langsung bergetar seperti terkena sengatan listrik.

“Mereka berdua akan sama-sama mati! Datanglah kalian di tempat kami jika tidak ingin semuanya mati, termasuk semua keluarga kalian! Tuan kami sudah mengetahuinya!” sambil berbalik badan, hanya tersisa rambut panjang yang terurai berantakan dan tiba-tiba hanya menjadi kemenyan hitam.

Membuat Gama dan Budi hanya terdiam, apalagi melihat kondisi Mak Endah dan Jaka yang semakin mengenaskan sudah keluar dari dari mulut mereka berdua.

“Pergi ke leuweung sasar bud! Pastikan semuanya Sekarang!” bentak Gama dengan tegas.

“Ta...tapi Gam!” tanya Budi sangat kaget, mendapat izin dengan cara tiba-tiba.

“Aturan lama, jangan sampai banyak tumbal nyawa! Sekarang pergi! Biar aku yang urus Mak Endah dan Jaka sampai sadarkan diri, cepat! Ini waktunya sebelum malam semakin larut!” ucap Gama semakin tegas, sambil memberikan kunci motor kepada Budi.

“Aku yakin itu sosok wewe gombel yang bisa berubah wujud semakin besar dari barusan, jangan gegabah Bud hati-hati, walaupun itu tanah kelahiran kamu! Mungkin sarebu lelembut sudah menanti...” lanjut Gama.

Budi hanya menganggukan kepala saja, sambil membenarkan sebuah pisau yang sedari tadi ia bawa di balik pinggangnya, Budi meninggalkan Gama dengan meong hideungnya dan tubuh Mak Endah dan Jaka yang masih tergeletak.
Suara motor yang Budi kendarai langsung melesat cepat, membuat Gama langsung berjongkok mengelus kepala meong hideung.

“Jaga Budi, jangan sampai dia mati sia-sia di kampung wetan tilasjajah dan leweung sasar...” bisik Gama sambil membacakan amalan dalam hatinya.

Meong hideung hanya mengeluskan kepalanya kepada tangan Gama, kemudian berjalan terpincang-pincang melewai tubuh Mak Endah dan Jaka, membuat Gama memahami sesuatu dari apa yang di lakukan meong hideung itu.

***

Jalu Kertarajasa (Budi)

Roda dua yang Budi kendarai sudah melesat kencang menerobos setiap kemacetan malam ini, apalagi ia sudah menantikan waktu kembali ke tanah kelahirannya, walaupun sudah mendapati hal-hal yang membuat hatinya begitu sakit, pengakuan cerita dari Mang Karni dan sosok yang barusan sudah merasuki tubuh Mak Endah sudah membuat rasa penasarannya itu terpuaskan, tinggal sedikit bukti yang harus ia lihat dengan dua bola matanya sendiri.

Tidak perlu waktu lama kendaraan roda dua itu sudah melaju ke arah ke arah barat, tempat dimana Kampung Wetan Tilasjajah dan Leuweung Sasar bersebelahan, bahkan Budi masih sangat ingat letak lokasi di dalam kampung dan darimana ia harus mulai melangkah malam ini, menuju gerbang masuk.

Jembatan besar sudah ia lihat kembali, namun ada hal yang menarik perhatian Budi, kini burung-burung hitam itu sudah kembali berterbangan di atas leuweung sasar, selain memberikan pertanda, itu merupakan sambutan hangat untuk keturunan satu-satunya juru kunci leuweung sasar yang sudah kembali.

“Harusnya disini aman, tidak mungkin membawa motor ini masuk ke dalam kampung” bisik hati Budi, setelah berhenti tepat di antara pohon besar, setelah tidak jauh dari tugu nama kampung.

Langkah kakinya seperti napak tilas masa kecilnya, namun kedatanganya kali ini bukanlah untuk bernostalgia melainkan ada hal-hal yang harus segera ia selamatkan.

Perkataan Mang Karni siang tadi langsung mendapatkan bukti, semua pintu rumah warga yang letaknya berjauhan itu sudah tertutup rapat, suasana kampung wetan tilas jajah sangatlah sunyi, hanya suara angin yang berhembus mengenai pepohonan.

“Ujung kampung dari sana” ucap Budi sambil memilih berjalan diantara kegelapan agar tidak ada satupun warga kampung yang mengetahui kedatangannya.

Bahkan kali ini kepulanganya setelah puluhan tahun dihantui rasa cemas yang berlebih, Budi harus bisa mengendalikan dirinya, karena rasa sakit hati pada kematian orang tuanya terus menyelimuti langkahnya.
...
Dengan nafas yang ngos-ngosan dan penuh kepaswadaan, langkah kaki Budi baru saja selesai berjalan menaiki sebuah tanah untuk sampai di bekas rumah dulunya, yang menhadap lurus ke arah leweung sasar.

“Kresek! Kresek! Kresek!”
Budi mendengar jelas langkah lain yang mendekat dari arah belakang tubuhnya itu, membuat ia sangat kaget, namun berusaha tenang, setelah langkah kaki di belakang bisa cepat Budi pastikan.

“Hanya satu orang belum terlalu dekat juga, akan aku habisi disini” bisik hati Budi, sengaja terus melangkah menginjak rerumputan agar sampai di rumah lamanya.

“Didepan!”
Dengan cepat Budi menyelinap diantara dua pohon yang tidak terlalu besar, badannya dengan cepat berjongkok, untuk mengelabuhi orang yang mengikutinya sedari tadi.

Hingga terlihatlah dua kaki yang terus melangkah, dan tiba-tiba berhenti, mencari keberadaan Budi, diantara celah tumbuhan tinggi itu Budi melihat seorang lelaki yang mengenakan jaket mengunakan tutup kepala, padahal dari depan sudah terdapat, empat pilar dari semen yang juga ia lihat bekas rumah pangungnya saat itu.

Dengan gerakan cepat, Budi melangkah tanpa mengeluarkan suara sambil mengeluarkan pisau dari balik punggungnya, menuju badan belakang lelaki itu.

“Di...diam jangan teriak!” bisik Budi, seketika pisau itu sudah melingkar tepat di bagian leher.

“Pisau ini bisa seketika memisahkan leher dan tubuh, siapa kamu, jawab pelan, cepat!!!” bisik Budi semakin menekan dengan sekuat tenaga ke arah leher, sementara dua tangan lelaki itu berhasil ia kunci mengenakan satu tangan Budi.

“Am...ampun Bud, ini Amang, Karni... ini Karni...” ucap lelaki tua yang sudah hampir kehabisan nafas bahkan hampir kehilangan nyawanya, namun tidak Budi lepaskan begitu saja, hanya melonggarkan tekanan tangan di bagian leher agar bisa berbicara sedikit leluasa.

“Di dalam leuweung sasar terdengar teriakan, mungkin di pintu ujung sana sedang terjadi hal buruk, Amang minta jangan datang kesana Bud, tolong dengarkan ucapan Amang” ucap Mang Karni perlahan, sambil merasakan ketakutan dibekap tubuhnya itu oleh kekuatan Budi.

Budi hanya menganggukan kepalanya saja, namun tetap tidak melepaskan pisau dari leher Mang Karni, malah kembali menekannya sekuat tenaga, membuat Mang Karni sangat panik.

“To...tolong Bud jangan Bud tolong! Jangan bunuh Amang!” ucap Mang Karni sedikit kencang, merasa pisau tajam itu akan segera berjumpa dengan kulit tuanya.

“Arrrrghhhhh!!!”
Sekuat tenaga Budi memukul bagian belakang pundak Mang Karni, hingga membuat tubuhnya itu langsung tengkurap mengenai tanah, tanpa mengeluarkan suara lagi.

“Ini tidak akan lama, maaf Mang, pagi juga amang bakalan sadar, tidak ada yang bisa melarang aku datang ke leuweung sasar! Apalagi ini perintah Gama!” ucap Budi sambil melewati tubuh Mang Karni, lalu memasukan kembali pisau ke balik punggungnya.
...
Setelah beberapa detik melihat tanah bekas dimana Budi dulu tinggal bersama almarhum Abah dan Maknya, kini Budi melangkah tergesa-gesa menuju ujung kampung wetan tilasjajah, untuk sampai di pintu masuk leuweung sasar, padangan matanya sudah tajam, keringat sudah mengalir diwajahnya, sudah tidak sabar ingin membuktikan kesaktian Bah Sugik dan para pengikutnya itu termasuk wewe gombel yang Gama katakan.

Hamparan rumput sudah terlihat Budi, namun secara perlahan ia mendengar erangan suara manusia di ujung leuweung sasar, membuatnya semakin tergesa-gesa melangkahkan kaki.

Beberapa orang sudah tergeletak lemas tanpa bisa bergerak, lebih dari tiga orang yang pertama kali Budi lihat, mengenakan baju serba hitam, bahkan orang-orang itu sangat kaget ketika melihat perawakan Budi dengan rambut gondrongnya.

“Siapa kalian!” betak Budi langsung menjambak salah satu orang yang paling dekat dengannya.

Orang itu tidak menjawab hanya mengelengkan kepalanya berkali-kali, apalagi amarah sudah tergambar jelas di wajah Budi.

“Kalian pengikut Sugik!!!” ucap Budi langsung mengeluarkan pisaunya.

“Ada orang yang masuk ke dalam! Ampun!” jawab orang yang sudah merasakan ketakutan.

Karena tidak ingin kedatanganya di ketahui siapapun dengan terpaksa Budi memegang setiap leher orang-orang itu agar matanya terpejam.

“Arrghhh!!!”
Hanya suara teriakan menahan rasa sakit yang terakhir Budi dengar, dan mereka bertiga sudah terlelap.

Membuat Budi langsung berjalan dengan cepat memasuki leuweung sasar, setelah puluhan tahun ia tinggalkan dan lepas dari tanggung jawab, sebagai penerus juru kunci.

“Dibawa kesini Rara!” ucap Budi sambil mengatur nafasnya yang sudah ngos-ngosan.

Namun langkahnya tiba-tiba terhenti dan sangat kaget, ketika mendapati sebuah sarung lusuh yang tergeletak begitu saja, apalagi setelah ia pastikan sarung itu pernah di lihatnya berkali-kali, dipakai lelaki yang mengenakan vespa tua, segera Budi ambil dengan perlahan.

“Lelaki itu, tujuannya ternyata leuweung ini juga! Untuk apa!” ucap Budi semakin kebingungan, apalagi sudah cukup ia dibuat curiga dan penasaran apa lelaki itu.

Dari kejauhan ia melihat lelaki yang sama malam kemarin mengendarai vespa tua, berjalan ke arahnya.

Pandangan lelaki itu seperti heran pertama kali melihat Budi secara dekat, begitu juga dengan Budi, yang akhirnya bisa melihatnya saat ini secara berdekatan.

"Ah elah, udah cukup aku saja yang tingkahnya kayak monyet, jangan ada lagi orang yang tingkahnya kaya hewan buas" ucap lelaki yang belum Budi ketahui namanya, saat melihat budi yang berlaku layaknya hewan hutan.

Budi semakin yakin bahwa lelaki yang kini berhadapan dengannya bukanlah sembarang orang, sama ketika pertama kali ia melihatnya jauh-jauh hari.

“Itu sarungku balikin!” ucap lelaki itu yang sudah menyadari sarungnya berada di tangan Budi.

"Jadi kamu yang menghabisi orang-orang itu!" tanya Budi semakin penasaran.

"Balikin! Sarung itu mengandung kutukan aroma keringat pendekar jawa yang bisa membuat hidupmu nggak tenang!

Buat ikat rambutmu juga bakal jadi sarang kutu!" pinta lelaki itu.

“Untuk apa tujuan kamu masuk ke dalam leuweung sasar!” tanya Budi semakin penasaran.

Baru saja lelaki itu akan menjawab, tiba-tiba secara bersamaan mendengar jelas suara lengkingan teriakan perempuan sangat kencang dari dalam leuweung sasar.

BERSAMBUNG

*****
Selanjutnya

*****
Sebelumnya
close