Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

ALAS SEWU LELEMBUT (Part 2) - Leuweung Sasar

JEJAKMISTERI - Tak hanya Alas wetan, terdapat juga sebuah hutan terkutuk yang dilarang untuk dimasuki. Misteri di dalamnya mampu membawa maut bagi yang memasukinya


(Sudut pandang Cahyo...)
Suara petir memecah keheningan malam berpadu dengan hujan yang tidak kunjung henti sejak pagi. Biasanya, hujan adalah alasanku untuk bermalas-malasan di rumah, dan menghabiskan waktu untuk tidur di kasur.

Tapi tidak kali ini... Sudah beberapa minggu setelah aku berhasil memulihkan roh Wanasura setelah ia kehabisan kekuatanya. Tapi sejak saat ia pulih, ia selalu merasa gelisah seolah merasakan sesuatu yang tidak biasa.

Bulek juga mengabariku bahwa sudah beberapa hari ini Kliwon menghilang dan tidak kembali ke rumah. Hal ini benar-benar membuatku khawatir. 

"Hutan? Kalau memang ada kekuatan yang menyegelnya, seharusnya itu nggak akan menjadi bahaya kan Jul?” Tanya Danan yang juga ikut khawatir setelah kuceritakan tentang sebuah hutan yang menarik perhatianku.

"Aku juga berpikir begitu, tapi Wanasura gelisah dan pertanda alam juga sudah terlihat. Aku merasa cepat atau lambat kita akan berurusan dengan hutan itu,” Jelasku. 

Danan berpikir sesaat, aku tahu ia adalah orang yang paling khawatir dengan peringatan yang dikatakan oleh Nyi Sendang Rangu saat kami selesai berhadapan dengan Ki Luwang.

"Ya sudah, kita putuskan nanti soal hutan itu. Lebih baik kamu nyamperin Paklek, katanya ada teman lama kalian yang ingin bertemu,” ucap Danan. 

Ucapan Danan benar. Paklek sudah meneleponku dan memintaku menemuinya di terminal. Ada teman lama kami yang menyusul ke kota ini untuk bertemu dengan kami.

"Iya Nan, kita janjian besok pagi kok,” balasku.

"Memang siapa to yang datang? Kok paklek sampe harus menjemput ke Terminal?” Tanya Danan. 

"Belum tahu Nan, mungkin kalau sudah ketemu nanti aku akan ingat,” balasku.

Danan mengerti, sepertinya ia ada acara tersendiri dengan Abah. Entah mengapa dia begitu terobsesi dengan sosok roh yang menyelamatkan nyawanya saat sempat membatu.

Seorang pria yang cukup berumur tengah terduduk di pinggir trotoar terminal sembari menikmati teh segar yang tersaji dalam botol kaca.

Akupun segera menghampirinya dan menegurnya. "Wah korban iklan nih Paklek, apapun makanannya minumnya.....”

"Bayarin dulu Jul, paklek lupa bawa duit,” Belum sempat menggodanya, paklek sudah memalakku untuk membayarkan minuman yang ia minum sembari melamun dulu.

"Ealah, belum sempet ngomong. Udah ilang lima ribu perak...” ucapku.

"Seger jul, pesen aja nggak usah malu-malu,” balas paklek.

"Yo ndak malu lah paklek, orang bayarnya pake duitku,” jawabku dengan muka kecut.

Tapi walau begitu tetap saja embun dingin yang terlihat berkeringat dari teh botol kaca itu membuatku menelan ludah dan ingin meneguk hal yang serupa.

"Bu! Saya pesen satu juga,” teriakku memesan es teh yang menggoda itu.

Yang terjadi saat ini di sana adalah dua manusia tidak jelas yang tengah menikmati minuman dingin sambil duduk di pinggir trotoar. 

"Memangnya siapa yang mau ketemu, Paklek ?” 

"Lupa namanya,” Balas paklek singkat.

"Lha piye to? udah janjian mau ketemu malah lupa namanya,” protesku.

"Namanya lupa pasti nggak inget to Jul, Piye to..” balas Paklek.

Aku hanya menggaruk kepala bingung menanggapi kelakuan Paklekku yang semakin tua ini.

Belum sempat memprotes paklek lebih jauh, tiba-tiba aku dan Wanasura merasakan sesuatu yang mendekat. Keberadaan itu bersama sebuah bis yang memasuki terminal. Akupun berdiri menyambut kedatangan bis itu.

Belum sempat bis itu berhenti, tiba-tiba dari kaca jendela melompat sesosok makhluk kecil yang segera berlari ke arahku.

"Kliwon!!” Teriakku bingung.

Kera kecil itu segera berlari ke pundakku dan menaikinya.

Tanpa sadar rambutku sudah berantakan dibuat olehnya. Aku penasaran dengan siapa dia datang ke tempat ini. Tepat saat bis itu berhenti, aku melihat dua orang yang wajahnya tidak asing. Dia adalah orang- orang yang pernah membantuku di Alas Wetan dulu.

"Mas Linggar? Mas Linus?” Tanyaku menyambutnya.

“Paklek! Cahyo! Waduh maaf ya, tadi agak macet. Nunggu lama ya?” ucap Mas Linggar. 

“Halah nggak kok, es teh sebotol aja belum habis,” balas Paklek menyambut mereka berdua.

Seseorang yang datang bersama dengan Mas Linggar adalah Mas Linus. Dialah pemilik pusaka sebenarnya dari pusaka pisau batu yang sudah membantu kami dalam beberapa tragedi. 

“Hai Cahyo!” Sapa Mas Linus.

"Halo Mas, Hehe.. kayaknya banyak yang harus saya obrolin sama Mas Linus,” sambutku. 

"Ya sudah, santai dulu saja ada banyak hal yang sepertinya harus kita bicarakan. Tapi yang paling darurat kayaknya kita cari warung bakso dulu deh,” ucap Mas Linus.

"Bener! Sehari kebelakang kami Cuma makan singkong goreng sama tahu sumedang jajanan di bus,” Tambah Linggar.

Kamipun berpindah menuju sebuah warung Bakso yang tidak jauh dari terminal.

Awalnya kami ingin memulai dengan perbincangan-perbincangan singkat. Tapi melihat Mas Linggar dan Mas Linus makan dengan lahap, kamipun ragu untuk menyelanya. 

"Paklek, udah mangkok ketiga..” bisikku pada paklek.

"lya Jul, kalau sampe lebih dari sepuluh mangkok kita pura-pura nggak kenal aja. Siapa tau mereka lagi kesurupan,” balas paklek berbisik.

Baru kali ini kami berdua melongo menyaksikan orang yang menikmati makananya.

"Paklek, coba dicek bakso ini penglarisnya apa ?” Tanyaku.

Seketika rasa sakit muncul di kakiku bersama injakan kaki paklek yang mendarat di kakiku.

"Hati-hati kalo ngomong, ngawur kamu..” balas paklek.

Setelah selesai mengisi perut kamipun memulai perbincangan mengenai alasan mereka menemui kami.

"Maaf ya Paklek, di desa kemarin keadaanya benar-benar tidak kondusif. Mencari makan saja susah,” Cerita Mas Linggar.

Merekapun menceritakan tentang sebuah desa di salah satu sisi Alas Wetan. Saat mereka datang, desa ini sudah dikuasai oleh berbagai sosok tak kasat mata.
Semua warga desa yang tinggal di sana adalah orang-orang terkutuk yang pernah membuat perjanjian dengan sosok ghaib.

Setiap mereka meninggalkan desa, selalu ada kejadian aneh dimana mereka akan kembali.

Saat waktunya tiba, orang-orang itu akan diambil dan dijadikan makanan untuk setan-setan anak buah sosok mengerikan yang bernama Gandara Baruwa.

Yang menyedihkan lagi, ternyata desa itu adalah desa kelahiran Ibu Mas Linggar.

"Beruntung Kliwon dan anak buahnya datang menguasai desa itu. Aku tidak menyangka sekumpulan kera bisa menghadapi sekumpulan makhluk ghaib yang menyerang desa,” ucap Mas Linggar.

"Kliwon dan anak buahnya memang bukan kera biasa, tapi bila sosok bernama Gadara Baruwa itu turun tangan, menurut saya mereka tetap saja tidak berkutik,” Balas Paklek.

Mas Linggar juga menceritakan bahwa ia mendapat penglihatan. Penglihatan tentang sebuah desa dan keberadaan Gandara Baruwa yang tengah menikmati tumbalnya. Di sanalah keberadaan sukma ibu dan Pakde-pakdenya berada.

"Saat ini Gandara Baruwa sedang memanen tumbalnya. Entah untuk tujuan apa, tapi menurut Eyang Ratih ia dan beberapa makhluk mengerikan lainya sedang mengumpulkan kekuatan,” Jelas Mas Linggar.
"Sama satu lagi Paklek..” Mas Linus mencoba menyampaikan sesuatu.

"Saya khawatir dengan sosok lain yang bersemayam di tubuh Linggar, Nyai Kunti. Aku merasa itu adalah sosok yang berbahaya,”

Aku dan Paklekpun menatap Mas Linggar bersamaan. Aku baru sadar, ada sosok lain yang bersembunyi di tubuhnya.

Ia mampu menyembunyikan keberadaanya hingga kami tidak sadar.

"Nanti kita cari tau, kalian sudah lelah. Akan bahaya bila kita mengusiknya,” ucap Paklek.

Sekarang kami mulai mengerti dengan apa yang ingin dibicarakan oleh Mas Linggar dan Mas Linus. Kamipun meminta mereka untuk beristirahat terlebih dahulu di penginapan dan kami akan menghampirinya di malam hari.

Sepertinya ada yang mau di diskusikan paklek bersamaku tentang masalah ini.

***

Sementara menunggu Mas Linggar dan Mas Linus beristirahat, aku mengajak paklek ke rumah Abah. Di sanalah kami akan tinggal sementara waktu. 

Seperti biasa Abah menyambut kami dengan baik. Obrolan orang tua antara Abah dan Paklek sudah mulai berbeda dari seleraku dan Danan.

Beberapa candaan mereka kadang hanya membuat kami harus pura-pura tertawa agar suasana tidak kaku. 

"Kamu sudah dapet petunjuk Nan?” Tanya Paklek.

"Sedikit paklek, ada amalan yang sedang saya jalankan. Sepertinya sosok yang ingin saya temui bukan roh biasa. Saya merasa harus memantaskan diri,” Balas Danan. 

Sepertinya Danan mulai menemukan jalanya.

Tapi aku merasa terlalu membosankan bila melihat Danan terlalu fokus seperti itu. 

‘‘Danan, Kita keluar yuk! Bantu aku cari tahu tentang kejadian kemarin..” ajakku pada Danan.
"Boleh, biar paklek istirahat dulu juga,” balas Danan.

"Kejadian? Kejadian apa Mas Cahyo?” Tanya Abah.

Sepertinya aku lupa menceritakan pada Abah.
"Saya tidak tahu ini perasaan saya saja, atau memang ada sesuatu. Makanya mau saya pastikan sama Danan,” Jelasku.

Akupun menceritakan tentang sebuah hutan yang kulihat dari sebuah jembatan yang besar. Hutan itu sepertinya terletak di sebuah kampung yang besar. Saat itu aku melihat sosok burung- burung berwarna hitam beterbangan dari dalam hutan itu.

Anehnya, aku bahkan tidak mengenali jenis burung tersebut. 

“Astagfirrulahaladzim...” 

Abah membaca Istigfar saat mendengar ceritaku. Melihat hal itu akupun mengambil kesimpulan bahwa ini bukan pertanda baik.

"Abah pernah dengan ada hutan keramat di kampung itu. Kalau tidak salah namanya Kampung Wetan Tilasjajah.. Mas Cahyo benar-benar melihat burung itu beterbangan?” Tanya Abah.
"lya Bah, Jelas sekali,” jawabku.

"Hanya orang-orang tertentu yang bisa melihat pertanda itu. Burung-burung itu tidak bisa dilihat oleh orang biasa,” Cerita Abah.
Mendengar cerita Abah aku jadi semakin cepat-cepat ingin mencari tahu tentang hutan itu.

"Ceritakan Bah, ceritakan tentang hutan itu,” pinta Danan.

Abah menggeleng, ia menghela nafas seolah tidak mampu berkata lebih lagi.

"Saya akan temui kenalan saya terlebih dahulu. la lebih mengerti mengenai hutan itu.

Kalau kalian ingin mencari tahu, kalian bisa datang ke Kampung Wetan Tilasjajah. Semua warga kampung sana tahu betapa keramatnya hutan itu.” Jelas Abah. 

"Gimana nan? Kita ke sana?” tanyaku.

"Ayo, mumpung masih siang,” Balas Danan.
"Silahkan cari informasi, tapi jangan coba- coba memasuki hutan itu tanpa persiapan. Jauhi hutan itu sebisa mungkin,” perintah Abah.

Kamipun mengangguk menyetujuinya dan berpamitan meninggalkan rumah Abah.

Aku dan Danan memutuskan untuk mendatangi kampung yang dimaksud oleh Abah. Kami melewati sungai yang besar dan jembatan yang menghubungkanya. Aku menunjukkan pada Danan dimana aku melihat kejadian yang kumaksud, tapi kali ini hutan yang kutunjuk itu tak lagi menunjukkan keanehanya.

“Memang ada sesuatu di sana Jul, orang seperti kita pasti bisa merasakanya,” ucap Danan.

“Iya, tapi kita harus mencari tahu lebih jauh,” Balasku.

Aku kembali mengegas Si Mbah Vespa tua kebanggaanku menuju kampung yang bernama Kampung Wetan TilasJajah tempat hutan itu berada. Sebuah kampung yang cukup besar, namun tidak terlalu padat.

“Nah!! Ketemu!” teriakku sembari segera berbelok.

“Ketemu apa jul? Ada Petunjuk?” Tanya Danan. Aku melambatkan motorku yang akhirnya berhenti di sebuah warung makan.

“Ketemu warung lah Nan, masa ketemu demit terus? Makan dulu, dari pagi belum ketemu nasi,” ucapku. 

“Ealah Panjul, wis tak anggep serius,” Balas Danan.

Sejak pagi perutku baru terisi bakso tanpa tersentuh nasi. Jadi sudah sewajarnya aku melengkapinya dengan masakan dari warung ini.

“Punten teh..” teriakku menyapa penjaga warung sembari masuk ke warung yang cukup luas itu.

“Mangga A, Dahar didieu?” (Silahkan mas, makan disini?) Tanya perempuan itu.

“Nan, belum pesen udah ditawarin Mangga,” bisikku pada Danan. 

“Jangan becanda terus, udah jelas kamu tau artinya,” balas Danan sembari memukul kepalaku.

“Ye.. namanya juga usaha,” balasku.
Kamipun masuk ke dalam dan mengintip lauk yang tersedia di etalase kaca di warung itu.

“lya Teh, makan disini...” Balas Danan.
"Saya pepes ikan ya teh.. nggak pake mangga,” Ucapku.

Dananpun mengambil serbet milik teteh itu dan melemparkanya ke wajahku. Teteh penjaga warung itu hanya tertawa melihat tingkah kami.

"Maafin ya Teh, temen saya lagi kumat. Jadwal kontrolnya udah kelewatan soalnya,” ucap Danan.

Akupun segera mengambil piring yang telah terisi nasi dan pepes ikan dan membawanya ke meja. 

"Teh, saya teh pesen es teh buatan teteh yang dibikinya teh pake teh celup dan gulanya teh sedikit ya teh,” Ucap Danan yang sepertinya gatal ingin ikutan menggoda teteh itu.

"Hati-hati teh, temen saya yang itu jadwal kontrolnya malah udah lewat sebulan.. jangan ditanggepin,” Teriakku dari jauh.

Aku dan Danan cukup puas melihat teteh penjaga warung itu menahan tawa melihat kelakuan kami. Sepertinya warga desa sini juga ramah-ramah.

Beruntung becandaan kami tidak mengganggu pelanggan warung yang sebenarnya cukup banyak. Hampir setengah kapasitas warung ini penuh oleh warga yang menyisihkan waktunya untuk istirahat makan.

"Enak Nan,” ucapku memberi dapat tentang masakan yang kumakan.

"Iya Jul, nggak semanis masakan di Klaten tapi masakan sunda masih masuk ke lidah kita. Apalagi pepes-pepesan,” Balas Danan.

Dalam sekejap makanan di piring kami sudah menghilang dan bergeser berganti menjadi segelas es teh manis penutup menu makan kami.

"Teh, kalau hutan yang di sebelah sana itu hutan apa sih teh ?” Danan mulai menggali informasi mengenai hutan yang ku maksud. 

“Waduh, saya sih taunya itu hutan desa. Tapi memang katanya ada salah satu sisi hutan yang dianggap keramat,” cerita teteh penjaga warung.

"Itu hutan apa teh? Kenapa bisa dianggap keramat ?” Tanyaku. 

Teteh itu mengernyitkan dahinya. “Kalau itu saya kurang tahu, biasanya orang- orang yang sudah lama di desa ini yang tau tentang cerita hutan itu,” jelasnya.

Kami mengangguk-angguk mendengar penjelasanya, walau sebenarnya kami cukup kecewa karena tidak langsung mendapat informasi.
“Leuweung Sasar, itu nama hutan keramat yang kalian tanyakan,”

Tiba-tiba seorang pria bergabung dalam percakapan kami. Pria itu duduk bersama temanya sembari menikmati segelas kopi hitam.
“Leuweung Sasar?” Danan Penasaran.

“Leuweung Sasar Tanah Beureum, Orang dulu menyebutnya begitu. Hutan itu selalu membawa petaka,” Teman dari orang tadi ikut dalam perbincangan kami. 

Kamipun berbalik arah dan bergabung dengan meja kedua orang itu.

“Eh, Maaf mas sampai lupa memperkenalkan diri.. Saya Danan dan ini teman saya Cahyo. Masnya tahu tentang hutan itu ?” Tanya Danan. 

“Saya Karta, dan ini Mimin.. Kalian teh bukan orang sini ?” Tanya Karta. 

“Iya bukan, kami dari jawa tengah,” balasku.

“Pantas saja manggilnya 'Mas',” balas Mimin. 

“Haha.. iya nih, kebiasaan,” Balas Danan.

Kartapun mulai menceritakan tentang keberadaan Leuweung Sasar.

Setiap orang yang memasuki hutan itu hampir dipastikan akan tersesat. Konon mereka tersesat bukan karena tidak mampu menentukan arah. Tapi ada campur tangan ghaib di sana.

Hanya orang-orang tertentu yang memiliki kemampuan yang bisa lolos dari hutan itu.

Bahkan tanaman hijau saja bisa menjadi tanah merah dalam sekejab di sana.

“Seseram itu ?” Tanya Danan.

“Lebih dari itu, Hutan itu juga sarangnya ilmu hitam dan pesugihan. Bahkan sebagian orang juga menyebutnya Leuweung Sarebu Lelembut atau Hutan seribu lelembut,” Jelas Mimin.

“Alas Sewu lelembut.. kenapa julukanya bisa sama seperti Alas Wetan ataupun hutan di Desa Gandurejo kampung Nyai Jambrong ?” Bisikku pada Danan.

Danan menggeleng, yang pasti saat ini kami mengetahui ada satu lagi hutan yang berbahaya seperti kedua hutan tadi.

"Tapi kalian tidak usah khawatir. Hutan itu sudah di segel dan tidak bisa dimasuki oleh siapapun. Hal yang buruk dari hutan itupun tidak akan keluar bila tidak ada yang mengusik segel itu,” Jelas Karta.

"Segel? Segel seperti apa ?” Tanyaku.

Aku membayangkan segel yang dimaksud seperti saat pusaka Mas Linus menutupi Alas wetan dengan kesaktianya. Saat itu jangankan berminat untuk masuk, siapapun bahkan tidak menyadari keberadaan Alas wetan.

"Ada ilmu seseorang yang menyegelnya. Kami juga kurang mengerti, tapi selama ini Kampung Wetan Tilasjajah aman-aman saja hidup berdampingan dengan Leuweung Sasar,” Jelas Karta.

Aku cukup lega mendengar pernyataan itu.

"Saya sempat merasakan sesuatu dari hutan itu. Apa dengan tersegelnya hutan itu saya tidak perlu khawatir ?” Tanyaku. 

"Abaikan saja, jauhi hutan itu! Bila kalian salah berbuat malah mungkin akan membahayakan desa ini,” ucap Mimin.

Mendengar penjelasan itu kamipun cukup lega. Setidaknya kami bisa mengesampingkan permasalahan di hutan ini terlebih dahulu dan membantu Mas Linggar.

Setelah cukup banyak berbincang, kamipun kembali ke desa dirga. Sebentar lagi maghrib, aku dan paklek sudah berjanji untuk menemui Mas Linggar dan Mas Linus saat matahari tenggelam.

***

Langit mulai memerah, beberapa menit lagi kami sudah tiba di desa dirga dan ingin segera mengejar kewajiban kami untuk beribadah. Tapi sebelum sampai ke desa, kami melihat pemandangan yang cukup mengganjal.

Ada anak kecil terdiam di tengah jalan sembari mengarah ke sebuah bukit. Saat kami mendekat, iapun melangkah dengan tatapan kosong dengan perlahan menuju ke bukit itu.
"Jul, itu anak kecil kenapa ?” Tanya Danan.

Aku menoleh ke arah bukit kemana anak itu mengarah. Seketika aku terhenti saat menyadari ada sesuatu di sana.
"Nan! Itu...”
Aku menunjuk ke arah hutan bukit.

Mengerikan..
Dari balik pepohonan aku melihat sebuah tangan besar seukuran pohon pisang dengan jari-jari yang panjang dan tajam. Tangan itu melambai-lambai seolah memanggil anak kecil itu.

“Kejar Jul! Jangan sampai bocah itu ke sana!” Teriak Danan.
Kami berdua segera berlari mengejar anak itu. Danan ke arah anak itu menahanya agar tidak terus melangkah sementara aku mencari tahu sosok apa yang ada di hutan bukit itu.

“Titip anak itu Nan!” Teriakku.
“Hati-hati!”
Aku mempercayakan anak itu pada Danan. Dialah yang lebih ahli dalam mengembalikan kesadaran orang yang terpengaruh sihir.

Kali ini senja terasa begitu mengerikan, langit terlihat begitu merah menerangi hutan yang selama ini kuanggap biasa saja.
“Keluar kau!” Teriakku memancing sosok mengerikan yang masuk ke dalam hutan tadi.

Sayangnya teriakanku sama sekali tidak digubris. Namun samar-samar aku mendengar suara langkah kaki dari salah satu sisi hutan. Akupun berlari ke asal suara tersebut dan menemukan pemandangan yang lebih membuatku geram.

Ada sebuah batu di sana. Sesajen dan sebuah patung kayu terletak di batu itu. Tapi bukan itu yang membuatku geram. Di pohon-pohon sekitar batu itu terlihat anak-anak kecil yang kakinya tergantung di ranting-ranting pohon besar.

“Keluar!!! Berani-beraninya kalian!” Aku menantang siapapun yang melakukan perbuatan ini.
Tidak hanya setan yang muncul tadi, aku menduga ada manusia yang melakukan ini. Anak- anak kecil itu tidak mungkin tergantung di pohon tanpa campur tangan manusia.

“Cahyo!” Terdengar suara Danan dari jauh.
“Di sini Nan!”
Danan mendekat bersama anak kecil yang sudah tersadar.
"Ini gila!!” ucap Danan.
Melihat kedatangan Danan aku segera pergi menuju anak-anak itu, memanjat pohon dan melepaskan semua ikatanya.

Danan menangkap anak-anak itu dan memastikan keadaanya.
"Mas, Fatan gimana mas? Fatan nggak papa kan ?” Tanya anak yang tadi sempat diselamatkan oleh Danan.
Sepertinya mereka saling mengenal.

"Nggak papa, mereka masih hidup. Yang penting kita harus cepat membawa mereka kembali ke rumahnya,” ucap Danan.
"Kami satu desa mas, tadi satu persatu dari kami menghilang. Kami saling mencari, tiba-tiba saya tidak sadar dan baru sadar setelah ditolong masnya tadi,” ucap anak itu.

Cerita anak itu memperjelas asal muasal kejadian ini. Tapi langit mulai gelap, prioritas utama adalah menyelamatkan anak-anak ini terlebih dahulu. Kamipun membawa anak-anak ini keluar hutan.

Danan segera meminta Mas Jagad menjemput kami untuk membawa anak-anak ini kembali ke desa.
Dan benar saja, tepat saat kembali ke desa sudah ada orang tua dari anak-anak ini yang kebingungan mencarinya.

"Apa yang terjadi Mas Danan ?” Tanya Abah dengan wajah khawatir.
"Kami menemukan mereka di hutan dekat desa Bah, ada sesajen dan patung ritual. Mereka tergantung seolah siap ditumbalkan,” ucapku sembari berbisik.

Begitu banyak warga yang datang mengerubungi anak-anak itu. Aku sengaja mengecilkan suaraku agar tidak membuat panik mereka semua. Tapi entah mengapa kami merasa ada seseorang dengan kemeja safari terus memperhatikan kami.

Entah mengapa aku pernah merasa pernah bertemu denganya.
"Ya sudah, kita serahkan mereka kepada orang tuanya. Nanti biar saya yang ceritakan kejadianya ke perangkat desa,” ucap Abah.

Akupun menitipkan anak-anak itu pada Abah dan Danan. Abah bercerita bahwa paklek sudah duluan menghampiri Mas Linggar dan Mas Linus. Menurutnya ada sesuatu yang sepertinya harus segera diurus. Dengan segera aku melaju Simbah lagi ke arah penginapan Mas Linggar.

Kali ini aku membawa sebuah benda yang mungkin seharusnya sudah kukembalikan sejak lama. Pusaka pisau batu...

***

Suara teriakan terdengar dari salah satu kamar di penginapan Mas Linggar. Aku langsung bisa menebak dimana kamar mereka. Dengan cepat aku memarkirkan motor dan memastikan kondisi di dalam. 

"Paklek ?” aku memastikan apa yang terjadi di dalam.

Tak bisa kusangka, dalam penglihatanku ruangan ini sudah dipenuhi oleh ular-ular yang merayap di lantai hingga ke dinding-dindingnya. Sementara itu, Paklek tengah memegang dahi Mas Linggar sembari membacakan ayat-ayat suci untuk membersihkan sesuatu dari tubuh Mas Linggar.

"Mas Cahyo ?”

Mas Linus sedari tadi terus membaca doa memagari dirinya dari hal buruk yang keluar dari tubuh Mas Linggar. Saat mengetahui kedatanganku, Mas Linus sengaja mengajakku keluar membiarkan Paklek konsentrasi dengan ritualnya.

"Sudah banyak ular yang keluar dari tubuh Linggar, dan itu tidak habis-habis,” ucap Mas Linus.
Ular yang dimaksud Mas Linggar adalah ular ghaib hasil perwujudan ilmu hitam. Sepertinya memang ada sesuatu yang menyerang Mas Linggar.

"Ulah Nyai Kunti itu ?” Tanyaku.
"Mungkin, tapi mungkin nanti paklek yang bisa memberi kesimpulan,” jelas Mas Linggar.
Beruntung penginapan ini tidak terlalu ramai. Pengunjung lain mengisi kamar yang berjauhan.

Paklek juga sudah memasang pagar ghaib agar ritualnya tidak mempengaruhi orang lain.
"Oh iya, Mas Linus.. Sepertinya sudah waktunya saya mengembalikan ini,”
Aku mengeluarkan pusaka pisau batu yang sudah banyak membantuku selama ini.

"Pusaka ini ya ?” Mas Linus memperhatikan pusaka peninggalan keluarganya itu.
"Ngapunten, Maaf.. sepertinya kekuatanya habis setelah membantu kami di pertarungan terakhir,” Jelasku.
Mendengar ucapanku Mas Linus sedikit tersenyum.

"Syukurlah kalau keberadaan pusaka ini bisa berguna,” balas Mas Linus.
"Dia sudah banyak membantu saya, bahkan menyelamatkan nyawa saya,” ucapku.
Aku teringat saat di hutan bersama Giridaru, pusaka inilah yang menunjukkan jalurku untuk kembali,

Bahkan saat tersesat di Jagad segoro demit pusaka ini ikut membantuku dan kliwon untuk keluar dari alam itu. Dan yang terakhir saat melawan Ki Luwang. la sampai kehabisan kesadaranya demi membantu menggunakan Ajian Triwikrama untuk Wanasura.

"Mas Cahyo yakin sudah bisa mengembalikan ini? Bisa saja pusaka ini sudah menjadi bagian dari mas Cahyo ?” tanya Mas Linggar.
Aku menggeleng. Selama ini aku paling malas menyimpan benda berharga. Itu adalah amanah yang tidak bisa disepelekan.

"Kasihan Mas, sama saya tidak pernah dirawat. Boro-boro dikasi sesajen, disimpanya saja ala kadarnya,” balasku.
Mas Linus malah tertawa mendengar ucapanku.
"Ya sudah, kalau memang kalian masih berjodoh pasti pusaka ini akan menemukanmu lagi dengan sendirinya,” Kata Mas Linus.

"Saya setuju soal itu,” balasku.
Sembari menunggu paklek menyelesaikan Ritualnya, aku menemani kliwon yang sedari tadi masih menikmati buah-buahan yang entah ia dapat dari mana.

Aku tidak menyangka Kliwon sampai berkelana sejauh itu kembali ke Alas Wetan dan tahu lebih dulu mengenai masalah ini. Sepertinya selain denganku, Kliwon juga memiliki ikatan dengan Mas Linggar.

Entah karena ia adalah orang pertama yang ia tolong, atau karena ia merupakan keturunan dari desa yang berdampingan dengan Alas Wetan.
"Rrrrr”
Saat sedang asik-asiknya menikmati malam, tiba-tiba raut wajah Kliwon berubah menjadi menyeramkan.

la menatap ke arah kamar Mas Linggar.
"Dia datang.. jangan lengah!” Suara Mas Linus tiba-tiba berubah.
Itu adalah suara dari pusaka yang baru saja kukembalikan padanya.

Aku dan Kliwon segera berlari menuju kamar Mas Linggar dan bergegas membuka kamarnya. Saat itu ada kobaran api putih di tubuh Mas Linggar. la seperti mencoba menahan sesuatu dari tubuhnya dengan bantuan ilmu paklek.

"Jangan disini! Kita ke hutan belakang!” Teriak Paklek memerintahkan aku dan Mas Linus. Kamipun membantu Mas Linggar berjalan menuju hutan belakang. Jaraknya hanya beberapa ratus meter dari penginapan.

Namun sebelum cukup dalam masuk ke dalam hutan Mas Linggar sudah tidak mampu lagi mempertahankan kesadaranya.
"Sopo sing arep gawe perkoro...?” (Siapa yang mau mencari perkara?)
Itu adalah suara perempuan! Mas Linus berbicara dengan suara perempuan.

Suaranya seperti wanita tua yang lirih dan penuh amarah.
Tapi bukan itu yang kukhawatirkan. Mata Mas Linggar memerah seluruhnya hingga ke bagian putihnya. Aku tahu bahwa tubuhnya merasakan sakit dari kemunculan makhluk itu.

"Ora ono sing nggawe perkoro, Kulo mung pengen tau opo tujuane penjenengan ngerasuki Linggar,” (Tidak ada yang mencari perkara, saya hanya mau tahu apa tujuanya kamu memasuki Linggar), Balas Paklek.
Saat itu tiba-tiba muncul bayangan hitam dari tubuh Linggar.

Bayangan yang besar dari makhluk berwujud wanita dengan rambut yang beterbangan berantakan.
“Dudu urusanmu!” (Bukan urusanmu)
“Kalau tidak ada yang ingin kau katakan, lebih baik tinggalkan tubuh Linggar,” Perintah paklek.

“Cuh, Aku! Aku Nyai Kunti! Tidak ada satupun yang bisa memerintahku!” Teriak sosok itu.
Saat itu seketika angin berhembus dengan begitu kencang. Bayangan tangan Nyai Kunti melayang mencekik paklek dan mencoba menyerang kami.

Paklek sudah bersiap mengeluarkan kerisnya, tapi tiba-tiba Kliwon melompat ke hadapan paklek.
“Gggraarrr!!” Bayangan Kliwon membesar dan membuat Nyai Kunti gentar.
Tidak mau mengalah, kini ia mengincar Linus.

Tangan dan kukunya yang tajam hendak mencengkram wajah Linus. Tapi ia berhenti...
Sosok itu menatap mata Linus baik-baik.
“Yang ada di hadapanmu saat ini bukan manusia sembarangan,”
Itu adalah suara dari kesadaran pusaka pisau batu yang merasuki tubuh Mas Linus.

Kini berganti Nyai Kunti menoleh ke arahku. Aku sudah tahu apa yang harus aku lakukan.
Kukencangkan ikatan sarungku dan memanggil temanku.
“Wanasura!”
Seketika suara auman yang menggelegar memecahkan keheningan desa.

Nyai Kunti yang sebelumnya sombong kini terdiam. la tidak menyangka dengan siapa mereka berhadapan.
Tapi ada satu hal yang tidak bisa kusangkal. la tidak takut...
“Khikhikhi... rupanya kalian sudah tiba,” ucap Nyai Kunti.

Aku sama sekali tidak mengerti apa maksudnya. Tapi aku yakin yang ia maksud ‘kalian’ adalah Pusaka Mas Linus dan roh Wanasura dan Wanasudra.
“Kami tidak ingin mencari masalah! Kembalikan saja sukma keluarga Linggar dan tinggalkan tubuh Linggar,” Perintah Paklek.

“Khikhikhi.. Kau tahu tidak akan semudah itu aku meninggalkan tubuh ini kan ?” Ledek Nyai Kunti. Ucapanya terdengar biasa, tapi entah mengapa aku merasakan tekanan yang besar saat ia mengatakan ucapan itu.

"Tapi.. aku beritahu sesuatu, bukan aku yang mengambil sukma keluarga Sasena,” ucap Nyai Kunti.
“Tapi... Linggar bercerita sukma mereka terpisah saat kau merasuki dirinya ?!” teriak Mas Linus.
“Bodoh, aku hanya memilih untuk menyelamatkan tubuh anak ini.

Sisanya, semua sukma keluarga Sasena sudah diminta oleh D/a..” ucap Nyai Kunti.
“Jadi sebenarnya Nyai Kunti ini penjaga Mas Linggar atau Musuh mereka sih ?” Aku semakin bingung dengan sikap makhluk ini.

Tapi mendengar pertanyaanku, sosok bayangan roh perempuan mengerikan itu melesat menerjang tepat di hadapanku.

"Seorang perempuan digilir oleh tujuh pertapa keluarga Sasena! Dihamili hingga tujuh kali dan janinya ditumbalkan!

Hanya anak ketujuhlah yang dibiarkan hidup di dalam perutnya!
Perempuan itu dipasung dan hanya diperbolehkan makan dari bekas mulut ketujuh pertapa biadab itu.

Sepanjang hidupnya ia habiskan di dalam goa dengan terus mendengar mantra terkutuk sampai perempuan itu mati bersama janinya terkubur hidup-hidup di dalam Goa,” Teriak Nyai Kunti dengan wajah penuh amarah.

"Itu adalah ritual menciptakan khodam, tapi caranya sangat keji,” ucap Linus.
"Sekarang menurutmu perempuan itu harus menjaga keluarga itu? atau mengutuk keluarga itu ?” Tanya Nyai Kunti sembari berpaling meninggalkanku.

Aku tidak bisa berkata apa-apa. Sudah sewajarnya Nyai Kunti menuntut balas. Tapi tadi ia berkata bukan ia yang menculik sukma keluarga sasena.
"Mereka ada di dekat tempat ini, semua pencari ilmu sedang berlomba-lomba untuk memberikan pengorbananya untuk ‘Dia’.

Mereka mengumpulkan tumbalnya di sebuah hutan yang seharusnya tidak boleh dimasuki lagi,” Ucap Nyai Kunti. 
"Apa itu Leuweung Sasar? Dan Dia siapa ?” gumamku.
Belum sempat menjawab tiba-tiba Mas Linggar memuntahkan darah bersama hilangnya bayangan roh Nyai Kunti.

Mata Mas Linggar melotot dan tubuhnya mulai kejang.
Paklek tidak lengah sedikitpun. la menyalakan api putih dalam tanganya dan meletakkan di dada Mas Linggar hingga tubuhnya kembali tenang.
"Li...Linggar? Linggar kenapa paklek ?” Tanya Mas Linus.

"Sudah, ia selamat. Kita tepat waktu. Sepertinya aku harus melatih jalur sukma Linggar sebelum Nyai Kunti merebut kesadaranya lagi. Itu akan berbahaya bagi nyawanya,” ucap Paklek.

Belum sempat paklek menyelesaikan pengobatanya, Mas Linggar tiba-tiba berdiri memaksakan dirinya dan menghampiriku.
"Hutan apa yang ia maksud? Leuweung sasar? Tunjukkan dimana,” Ucap Mas Linggar sembari meremas bahuku.

"Tenang Linggar! Pulihkan dulu tubuhmu!” Ucap Mas Linus yang terlihat khawatir.
Jelas tidak mungkin aku memberi tahu tempat itu dalam kondisi Mas Linggar yang belum pulih.

"A...Abah, Abah yang tahu dimana hutan itu. Kita harus bertemu beliau kalau mau ke sana,” ucapku sembari memberi kode pada paklek.
Paklek mengangguk setuju dengan rencanaku.
Setidaknya kami bisa mengulur waktu Mas Linggar agar tidak nekad ke hutan itu.

"Kalau begitu kita ke tempat Abah sekarang,” ucap Mas Linggar.
"I...iya,” balasku.
Mas Linggarpun meminta kami bergegas menemui Abah. Sesuai permintaanya kami mengajak Mas Linus dan Mas Linggar menuju kampung Abah.

Dengan menggunakan satu motor tua dan kendaraan umum, cukup lama waktu yang kami butuhkan untuk sampai di desa Abah. Tapi saat sampai di desa Abah, semua tidak seperti yang kubayangkan.

Seluruh desa mati listrik. Tidak ada pencahayaan selain dari senter dan lilin-lilin dari dalam rumah.
"Ini ada apa?” Tanya Paklek.
"Nggak tahu paklek, tadi pas aku tinggal nggak begini,” ucapku.
Aku mencari keberadaan warga, namun semua berdiam di dalam rumah.

Ini jelas tidak wajar..
Paklek menatap ke salah satu sisi. Ia menatap ke sesuatu yang sama sekali tidak aku sadari. Ia menggeleng-geleng melihat ke sosok itu.
"Apa paklek? Ada apa?” Tanyaku.

"Perhatikan baik-baik! Makhluk itu ada di sana,” Balas Paklek.
Akupun memperhatikan arah yang ditunjukkan oleh paklek. Awalnya aku cukup kebingungan, namun saat tersadar tubuhkupun bergetar.
"Besar.. sebesar itu? itu setan?” Tanyaku.

Makhluk itu terlihat dari desa ini. Aku tidak menyadarinya karena mataku tak mampu menangkap besarnya sosok itu. Dari tempatku hanya terlihat makhluk berbulu dengan mata merah yang besarnya hampir setengah desa.
"Gandara Baruwa..” Gumam Mas Linggar.

"Apa? Gandara?” tanya Paklek.
"Dia makhluk yang meminta banyak tumbal di penglihatanku, dia juga yang menculik sukma ibu dan ketiga pakdeku,” Ucap Mas Linggar.
Gila! Makhluk apa lagi yang harus kita lawan kali ini?? Besarnya saja mungkin hampir sebesar buto lireng.

Siapapun yang bisa melihatnya pasti akan gentar. "Berarti di sana leuweung sasar?” Tanya Mas Linggar.

"I...iya mas,” balasku dengan spontan.

Tapi setelah beberapa saat, Penglihatan kami akan makhluk itu perlahan menghilang seperti disembunyikan oleh sesuatu di hutan itu.

Mas Linggar segera mengeratkan tasnya dan berlari ke arah makhluk itu.
"Tunggu mas! Jangan nekad!” Teriakku.
Kami berteriak mengejar Mas Linggar, tapi di perbatasan desa akhirnya kami menemui Abah, Jagad dan Danan yang tengah berdiri dengan tatapan serius di sana.

"Ini apa-apaan Nan?” tanyaku pada Danan. Danan mengetahui kedatangan kami dan menceritakan permasalahanya. 

"Merekalah yang mau menumbalkan anak- anak yang kita tolong tadi,” Ucap Danan.

Ada seseorang berpakaian hitam dengan janggut panjang.

Di sekitarnya bergelimpangan tubuh anak-anak kecil yang tak dapat kulihat sukmanya. Di belakangnya sudah ada beberapa mobil dan pria berpakaian pendekar yang sudah bersiap di sepeda motornya.

Rupanya mereka tidak terima saat kami menyelamatkan anak-anak itu dari hutan.

“Mbah Sugik! leu teh langsung urang mawa ka leuweung sasar bae mbah?” (Mbah Sugik! Ini langsung saya bawa ke Leuweung Sasar saja mbah?) tanya salah satu dari pengikut orang itu. 

Kakek berpakaian hitam itu mengangguk dan anak buahnya segera meninggalkan tempat itu.

Rupanya anak buahnya memanggilnya dengan nama Mbah Sugik.
“Brengsek!” Danan yang mencoba menghadang mereka.

Tapi dukun tua itu segera menghadang Danan yang tiba-tiba terpental oleh sesuatu yang melindungi dukun itu.

Akupun menangkap tubuh Danan dan bersiap membantunya.
"Apa yang mereka bawa?” Tanyaku. 

"Masing-masing dari mereka membawa pusaka peti batu, sukma anak-anak itu di dalam benda itu!” Ucap Danan.

Brakkk!!!
Terdengar suara sepeda motor terjatuh dari kejauhan. Ada suara perkelahian dari sana. Saat melihat Mas Jagad tidak ada disekitarku, aku menduga itu adalah ulahnya.
"Minggir kau kakek peyot!” Teriakku sembari mengibaskan sarungku untuk menyerangnya.

Tapi berbeda dengan Danan, bila Danan terpental oleh ilmu dukun itu. Aku malah tak mampu menyentuhnya. Berkali-kali aku menyerangnya dan seranganku hanya menembus tubuhnya.
"Jangan gegabah Cahyo!” Teriak paklek.

Benar saja, semakin sering aku menyerang kakiku semakin menghitam dan semakin berat. Akupun panik dan melompat mundur.
Danan segera memutihkan kutukan dari kakiku dengan doa-doa yang ia bacakan.

Bukan masalah besar, tapi akan menjadi besar bila kami tidak bisa mengalahkan dukun itu. 

"Dua kotak sudah hancur! Kita hanya tinggal menarik sukma mereka kembali ke tubuhnya. Tapi masih ada dua kotak lagi di tangan mereka,” ucap mas Jagad yang tiba-tiba muncul dari tempat yang tidak kuketahui. 

"Jagad! Kau susul mereka bersama Cahyo, jangan sampai mereka masuk ke hutan itu, biar kami yang berurusan dengan dukun itu” Perintah Abah.

Aku dan Mas Jagad mengerti perintah Abah. Mas Jagadpun menyalakan mobil bak terbukanya dan menjemputku untuk mengejar orang-orang itu.
"Kami ikut!” Tiba-tiba Mas Linggar dan Mas Linus sudah ada di bak belakang.

Sayangnya kami tidak punya waktu untuk mendebat mereka. Akupun menoleh pada paklek meminta persetujuanya, dan paklek mengangguk.
"Paklek akan menghadang orang-orang itu dengan wujud sukma! Kalian susul mereka secepatnya!” ucap Paklek.

Dengan segera, Jagad melaju mobilnya meninggalkan desa yang seketika menjadi begitu kelam ini.
Belum sempat jalan terlalu jauh, tiba-tiba Mas Jagad mengerem mendadak mendapati sosok ular besar menghadang kami.

Kami ingin keluar, tapi tiba-tiba api besar menyambar dari belakang kami dan mengusir makhluk itu.
"Itu api paklek!” Ucapku.
Rupanya paklek sudah menggunakan ilmu ragasukmanya untuk mengejar anak buah Mbah Sugik.

Mas Jagadpun kembali menginjak gasnya dan mengejar para pengikut dukun itu.
"Semoga Danan bisa menghadapi dukun itu,” ucapku yang cemas dengan keadaan Danan.

"Tenang, ada Abah disana. Setelah paklek berhasil menghadang anak buah dukun itu ia akan segera menyusul Danan,” Hibur Mas Jagad.
Kami melewati jembatan penghubung Kampung Wetan Tilasjajah, sebentar lagi kami sampai ke arah hutan yang disebut dengan Leuweung Sasar itu. 

Braaaakk!!!!

Terdengar suara motor yang terjatuh di sekitar hutan. Sepertinya Paklek berhasil menghentikan mereka. Kamipun memarkir mobil di pinggir jalan utama dan berlari ke arah mereka.

"Mas Linggar! Jangan jauh-jauh dari kami!” Ucapku.

"Tenang Cahyo, aku awasi Linggar,” ucap Mas Linus.

Mendengar ucapan itu aku menjadi cukup lega. Dengan segera aku meminjam kekuatan wanasura untuk menguatkan kakiku.

Dengan beberapa kali lompatan akupun berhasil menyusul keempat orang yang membawa sukma anak-anak di desa Abah. 

“Serahkan kotak batu itu!” ucapku.
Bukanya berhenti, mereka malah ingin berlari menuju kedalam hutan.

Beruntung mas Jagad segera mencegahnya. Sayangnya mereka bukan orang biasa.
Mereka mampu menandingi ilmu beladiri mas Jagad.
“Hentikan! Jangan mau jadi hamba setan!” Teriakku mencoba menyadarkan mereka.

“Hahaha... Hamba setan? Merekalah yang melakukan perintah kami! Memberi kami kekayaan, kekuatan, bahkan untuk mencabut nyawa kalian!” Teriak salah satu dari mereka. Benar saja, seketika muncul makhluk besar berbulu yang hampir sebesar pohon keluar dari balik pepohonan.

“Sialan! Bagaimana bisa ada genderuwo sebesar itu!” Teriakku.

“Itu! Itu anak buah Gandara! Berarti benar disinilah tempat sukma ibu tertahan” Teriak Mas Linggar.

“Wanasuraaa!!!”

Tak mau lengah sedikitpun, akupun meminjam kekuatan wanasura lagi untuk memperkuat bagian tubuhku.
Sebuah pukulan kuhantamkan ke tanah untuk menggoyahkan pijakan para pengikut dukun itu.

Tapi belum sempat melancarkan serangan lagi, tangan besar genderuwo itu bersiap melumatku.

Beruntung mas Jagad berhasil menarik tubuhku untuk menjauh. Tidak seperti genderuwo pada umumnya yang takluk dengan beberapa bait doa, makhluk ini benar-benar kuat.

Sesekali aku menyerang bagian tubuhnya namun semua itu hanya membuatnya mundur sesaat.

"Serahkan ini pada tuanmu!”

Anak buah dukun itu menitipkan kedua kotak batu itu pada makhluk raksasa yang melindunginya.

Perlahan makhluk itu mencoba menghilang dibalik gelapnya hutan. 

“AAArrrggh!!! Jangan kabur!!”

Aku melepas sarungku dan mengibaskanya sekuat tenaga.

Dengan ajian penguat raga kuhempaskan satu persatu anak buah dukun itu hingga terkapar. Dengan terpaksa Mas Jagad melumpuhkan mereka dengan mematahkan beberapa tulang mereka. Ada salah satu diantara mereka yang berlari menjauh.

Akupun mengambil sebuah batu besar dan memasukkanya ke dalam sarungku. Dengan beberapa kali ayunan, aku melemparkan sarungku hingga batu itu mendarat di tubuh orang itu dan terkapar.

Tapi.. rupanya keputusanku salah. Aku terlalu berkonsentrasi pada anak buah dukun itu, sementara Mas Linggar sudah mulai bertingkah aneh. Matanya memerah lagi dan giginya berderit.

"Kalau kau memang penjaga Sasena! Pastikan bahwa kau memang berguna!” Geram Linggar. 

"Linggar! Kamu jangan gila!! Tahan Mas Linus.
Belum sempat aku menggapai tubuh Mas Linggar, tiba-tiba ia melesat seperti kilat menuju ke dalam hutan keramat itu.

"Aaaarrggg!! Kenapa jadi gini sih!” Keluhku yang segera menyusul Mas Linggar.
"Cahyo! Tunggu! Jangan sendirian!” Teriak Mas Jagad.
Tanpa sengaja kami semuapun masuk ke dalam hutan itu.

Disegel? Aku memang merasakan beberapa residu kekuatan dari pagar yang tak kasat mata. Tapi energi itu sudah lama menghilang. 

"Pusaka batu? Bisa bantu aku?” Tanya Mas Linus pada pusakanya, sayangnya pusaka itu sama sekali tidak memberi respon.

"Sial, kemana kau saat dibutuhkan!” Keluhnya lagi.
Kamipun berhasil melihat sosok Genderuwo itu. Mas Linggar dengan cepat menyusulnya dan menaiki tubuhnya.

Tak seperti Mas Linggar yang kukenal pendiam, kini ia mengamuk dengan mencengkeram kepala genderuwo itu.
“Jangan remehkan aku bocah tengik!” teriak Nyai Kunti yang tengah merasuki Mas Linggar.

Ini benar-benar pemandangan yang tak pernah kuduga. Dengan sekali gerakan Nyai Kunti Menjambak kepala genderuwo besar itu dan memisahkan kepalanya dari tubuhnya.

“Duuummmm!!!” Suara dentuman terdengar dari jatuhnya suara makhluk besar tak kasat mata itu.

“Gi...gila! Satu lagi setan gila ada di dekat kita,” ucapku.
“Kalau sampai jadi musuh dia akan merepotkan,” ucap mas Jagad.
“Tapi bukan itu saja masalahnya,” tiba-tiba Mas Linus menyusul kami dari belakang.

Kami menoleh ke arahnya sembari mengawasi perilaku Mas Linggar.
“Jalan masuk kita tadi menghilang...” Ucap Mas Linus.
Aku tertegun, sekali lagi aku lengah.

Akupun berlari menuju arah kedatangan kami dan sama sekali tidak menemukan jalan menuju tempat kami masuk.

“Sial! Ini benar-benar masalah besar!” Teriakku.

"Nggak usah panik Cahyo! Nanti biar aku coba mencari jalurnya dari alam ghaib,” Hibur mas Jagad.
“Bukan!!! Bukan Itu!!” Teriakku.
Mas Jagad dan Mas Linuspun bertatapan.

"Sarungku ketinggalan! Bisa-bisanya aku kepikiran nyerang anak buah dukun sialan itu pake ketapel sarung!” Jawabku dengan wajah depresi.

***

(Sudut pandan Danan...)
"Ingat Danan, Tidak ada ilmu hitam yang melebihi kekuasaan Tuhan,” Abah mencoba membuka mataku untuk mencari celah melawan Mbah Sugik.
"Tenang Bah, masih banyak cara yang belum kucoba,” balasku.

Sekali lagi aku mencoba mendekati Mbah Sugik. Ada pagar tak kasat mata yang membuatku terpental, tapi tidak seperti tadi. Abah memurnikan tanah tempat kami berpijak sehingga ajian dukun itu melemah.

Sembari terus mencari celah, aku membacakan ajian pada kepalan tanganku.
"Angin topan memiliki pusat yang tenang,” ucap Abah mencoba memberi petunjuk.
Aku mengerti maksud Abah.

Dari setiap bagian yang kudekati aku selalu terpental sampai akhirnya aku memisahkan sukmaku dari ragaku dan melayang tepat ke atas Mbah Sugik.

Sebuah pukulan jarak jauh kulontarkan tepat dari atasnya.

Dan benar saja, pagar yang digunakan Mbah Sugik tidak melindungi dirinya dari titik ubun-ubunya. Seranganku mendarat tepat di tubuhnya, tapi aneh... tiba-tiba tubuh Mbah Sugik menghilang. Aku mencarinya ke segala arah, tapi tidak ada tanda-tanda dari dirinya.

"Dia sudah melarikan diri,” Ucap paklek yang sukmanya sudah kembali ke dirinya.
Akupun kembali ke tubuhku dan menghampiri mereka.
"Kabur?” tanyaku.
"Tumbal anak kecil mudah didapatkan dibanding harus bertarung dengan kita,” jelas paklek.

Sialan, berarti dia bermaksud mencari tumbal di tempat lain. Aku benar-benar lengah. 

"Sekarang lebih baik kita tolong anak-anak ini dulu,” Ucap Paklek.

"Kita tolong warga desa dulu Paklek, mereka akan memantu kita mengevakuasi tubuh anak-anak ini,” Pinta Abah.

Paklek setuju, mereka akan ke desa untuk menghilangkan kutukan yang dipasangkan Mbah Sugik pada Desa ini. Tapi aku tidak bisa meninggalkan anak-anak ini.

Akupun memutuskan untuk memisahkan sukmaku dari ragaku.

Wujud ini mempermudahku mengumpulkan sukma anak-anak yang berhasil diselamatkan tadi.

Malam terlihat begitu kelam saat itu. Dalam alam roh aku berjalan menyisiri jalan di pinggir hutan menyaksikan sukma dari anak-anak desa yang terdiam tanpa tau apa yang terjadi.

"Ayo kita kembali,” ajakku pada roh seorang anak yang termenung sendiri di sisi hutan.
Aku berjalan lagi dan kembali menemukan beberapa roh anak desa yang melayang-layang dengan tatapan kosong.

Sayangnya, tidak ada hutan yang tidak berpenghuni. Seluruh penunggu hutan terlihat mengincar roh anak-anak yang sebenarnya masih hidup itu.
"Tenang kalian akan aman, setelah ini kalian akan bisa bertemu orang tua kalian,” ucapku.

Merekapun menurut dan berjalan tidak jauh dari tempatku berada.
Tapi tepat saat aku ingin mengembalikan mereka. Terlihat ada seseorang berdiri diantara tubuh anak-anak desa itu.

Pria berbaju safari cokelat yang terlihat tidak asing. Wajahnya penuh dengan amarah saat mendapati tubuh anak-anak itu terkapar di tanah tanpa rohnya.
Iapun menoleh ke arahku dengan mengenggam benda kecil seperti gelang.

Dengan cepat aku segera mengenali bahwa itu adalah sebuah pusaka.
“Jadi... Kau setan yang merampas sukma mereka?” Ucap orang itu dengan mata yang menatap tajam ke arahku.
Setan? Benar.. aku lupa kalau aku sedang dalam wujud sukmaku.

Cringg!!
Terdengar suara dari gelang pusaka yang dibawa oleh orang itu. Seketika aku merasakan bahaya yang menakutkan.
Orang itu menghentakkan kakinya di tanah dan membunyikan gelang itu beberapa kali.

Jelas aku tahu itu bukanlah hal yang biasa. Itu adalah ritual pemanggilan.
“Gggrrrrrr....”
Anginpun berhembus bersama dengan terdengarnya suara hewan yang menakutkan.

Suaranya benar-benar menyerupai suara macan hutan yang mengerikan.
Siapa orang sakti itu? Dan makhluk apa yang mengikutinya?

[BERSAMBUNG]

*****
Selanjutnya

*****
Sebelumnya
close