Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

ALAS SEWU LELEMBUT (Part 1) - Linggar Sasena

Kelamnya hutan belantara selalu menyimpan misteri yang tak berujung.

Sang Penguasa mulai memanggil mereka yang mengabdi padanya untuk mulai mengumpulkan tumbal baginya...


JEJAKMISTERI - Roh, arwah, khodam, pusaka, dan berbagai macam wujud lainya. Begitu banyak misteri di alam ini yang masih sangat sulit untuk dipahami oleh akal manusia.
Suara tanpa wujud, penyakit tanpa sebab akibat, penglihatan yang menjadi kenyataan, hingga kematian yang tidak wajar.

Semua itu terjadi di alam ini dengan diluar kuasa dan nalar seorang manusia pada umumnya.
Seorang manusia yang konon diciptakan yang paling mulia diantara makhluk lainya, sosok makhluk yang diciptakan menurut rupa Penciptanya.

Tapi mengapa makhluk yang tidak lebih mulia dari manusia bisa menciptakan musibah untuk manusia?
Ini aku.. Linggar Sasena,
Hanya seorang pegawai negeri sipil, yang bekerja sebagai staff tidak penting di kantor pemerintahan. Tapi, ini bukan keluhan.

Ini semua seperti harapanku untuk hidup dengan pekerjaan yang biasa, tujuan hidup yang biasa, dan menjauhi berbagai masalah. Bukan pemalas, aku percaya bahwa kebahagiaan juga terdapat pada kesederhanaan selama kita mensyukurinya.

Tapi… pada kenyataanya, takdir di dunia ini tidak sesederhana itu.
Di tengah gerimis aku pulang dengan membawa beberapa benda yang kubenci.
Kemenyan, beberapa jenis kembang, kopi hitam, hingga benda yang selama ini selalu aku jauhi.

Suara berdenyit pintu rumah terdengar bersama beberapa mata yang menyambutku. Kali ini ada tiga orang. Iya, ada tiga orang pria yang cukup berumur di hadapanku. Mereka adalah pakdeku.
Mereka mengenakan baju surjan lengkap dengan blangkonya.

Mereka mengelilingi seseorang yang seharusnya kujaga walaupun nyawaku taruhanya. Seseorang yang mengurusku sejak kecil hingga saat ini.

Ibuku…

“Anak durhaka! Lepaskan! Lepaskan aku.. kukutuk kau! Neraka untukmu!”

Suara itu terdengar dari seorang wanita terus memberontak dari tali yang terikat di tangan dan kakinya. Tali-tali itu juga terikat di tangan ketiga orang yang menjaganya.

“Jangan hiraukan, itu bukan ucapan ibumu!” ucap salah satu dari pakdeku.

“Berisik! Kakek peyot! Kubunuh kau!” umpat ibu.

Aku tahu dengan jelas, ibu tidak mungkin berbicara seperti itu. Terlebih saat ini wujudnya sangat mengenaskan. Tubuhnya kurus kering, tapi perutnya membesar. Rambutnya tumbuh tak beraturan dengan wajah yang pucat.

Semua dokter dan rumah sakit sudah menyerah. Besarnya perut ibu bukan merupakan kehamilan atau penyakit. Tidak terdeteksi apapun secara medis. Salah seorang dari pakdeku memberi tahu bahwa ibu sudah dipilih oleh dia…

Dia adalah sosok terkutuk yang membuat leluhurku terpaksa membuat perjanjian denganya.

Nyai Kunti…

Aku membakar kemenyan dan meletakkan beberapa jenis kembang alam satu wadah. Dalam sebuah nampan anyaman, aku menyatukan benda-benda itu dan menyerahkanya kepada ibuku.

Saat itu iapun menatapku sambil tersenyum.

“Kau harusnya berterima kasih! Tanpaku, kalian tidak akan lahir dan leluhur kalian Raden-raden goblok itu akan mati dibantai!” ucapnya sembari mengambil nampan itu.

Sedikit demi sedikit ia mengambil kembang dari nampan itu dan memakanya dengan lahap. Ia menghirup aroma kemenyan itu dengan nikmat sementara matanya tak sabar untuk menikmati kopi pahit yang kubuatkan.

Salah satu pakdeku pun melepaskan ikatanya dan membiarkan kedua pakdeku yang lain menjaganya. Pakde Darja namanya. Ialah yang tertua diantara mereka.

“Yang Sabar ya Linggar, kita hadapi ini bersama,” ucap Pakde Darja.

“Iya Pakde, saya akan terus mencari cara untuk memulihkan ibu,” balasku.

Memang sudah banyak cara yang kami coba. Mulai dengan memanggil ulama setempat, beberapa orang pintar yang terkenal, dan bahkan ritual yang pernah dilakukan keluargakupun sudah dilakukan.

Namun Nyai Kunti yang ada di tubuh ibu hanya menertawakan kami.

Setelah selesai menghabiskan sesajen yang kubawa, Ibupun perlahan tenang. Raut wajahnya yang mengerikan perlahan berubah menjadi sendu dengan tatapan kosong.

Sekali lagi aku melihat pemandangan yang membuat rasa perih di dadaku.

“Ibu sudah tidak tahan nak…” tangis ibu.

Air matanya menangis meratapi apa yang terjadi pada dirinya. Aku hanya bisa memeluk ibu yang kembali mendapatkan kesadaranya sesaat.

“Ibu sabar ya, Linggar akan tolong ibu. Linggar janji,” balasku.

“Ibu mau mati saja…” balasnya yang sudah tidak tahan dengan penderitaan yang terjadi pada dirinya.
Aku tidak mampu menjawabnya dan hanya terus memeluknya.

Aku tahu kesadaran ibu tidak akan lama, sebentar lagi ia akan kembali dikuasai oleh sosok makhluk yang menyiksanya itu.

“Malam ini kita coba ritual itu lagi, semoga saja Nyai Kunti mau meninggalkan tubuh ibumu,” Jelas Pakde Darja.

Aku mengangguk mengiyakan. Sudah beberapa kali kami melakukan ritual pada ibu. Semua itu berdasarkan catatan-catatan dari leluhur kami yang pernah menolong keluarganya dari sosok ini.

Dulu hal itu pernah menolong mereka leluhurku, tapi entah mengapa belum berpengaruh terhadap ibu.

***

Malampun datang, gerimis masih menemaniku di teras rumah bersama secangkir kopi.

Dari dalam sudah terdengar suara tembang yang dinyanyikan pakde Darja. Tembang itu bernafaskan mantra-mantra yang dituliskan leluhurku untuk mengiringi ritual yang mereka lakukan.
Aku tidak ikut dalam ritual ini, sebelumnya aku pernah membantu mereka.

Namun keberadaanku membuat ibu semakin emosional. Jadi aku memutuskan untuk menunggu di luar hingga prosesi selesai.

Suara air terdengar mengguyur tubuh ibu dengan tembang indah yang dinyanyikan oleh pakde.

“Eling dunyo, eling akhirat. Saben titah duwe panggonane dhewe..”

Setelah beberapa kali guyuran tiba-tiba suasana menjadi hening. Aku menduga saat ini sedang dalam prosesi membacakan doa. Tapi entah mengapa aku mendapati firasat yang tidak enak..
Aku penasaran ingin masuk ke dalam, tapi pakde Darja belum memanggilku.

Bisa saja aku merusak ritual bila melakukanya.
Suasana hening terasa semakin lama, dan firasatku terasa semakin tidak enak. Akupun memutuskan untuk membuka pintu dan mengintip sedikit dari celahnya.
Cahaya lilin adalah satu-satunya yang menerangi dari dalam rumah.

Lampu dan cahaya lainya sengaja dimatikan untuk proses ritual.
Tidak ada suara apapun di dalam, namun aku melihat ada bayangan yang mengayun-ayun dari sekitar tempat ibu berada. Seketika, saat itu juga rasa takut menghampiriku.

Akupun membuka seluruh pintu dan mendapati ketiga pakdeku tengah tergantung di langit-langit rumah dengan tambang yang disangkutkan di kayu atap tanpa plafon di rumah kami.
Tambang itu adalah tambang yang mereka gunakan untuk mengikat ibu.

Ujung dari ketiga tali yang menggantung pakde tergenggam di tangan ibu. Sementara itu, ibu menyeringai senang melihat leher ketiga kakaknya tergantung di sana.

“Nya...nyai! Hentikan!!!” aku berteriak.

Dengan bergegas aku berlari ke arah ibu. Saat itu ia melepaskan tali di genggamanya hingga tubuh ketiga pakdeku terjatuh di tanah. Tapi mereka bertiga tidak terkapar sendiri, ibupun ikut kehilangan kesadaran dan terjatuh.

Akupun mengecek keadaan mereka. Denyut nadi pakde masih terasa, namun kesadaranya mulai memudar. Sementara ibu…
Mata ibu melotot dengan mulut menganga. Tubuhnya kaku dan terkadang kejang tak menentu. Ini tidak seperti biasanya.

Aku ingin menanyakan hal ini pada pakde-pakdeku, tapi keadaan mereka tidak lebih baik daripada ibu.
Di tengah kebingunganku aku merasakan ada sesuatu di atas. Aku menoleh dan di sana sudah ada sosok makhluk menyeramkan melayang layang di atasku.

Sosoknya berwujud perempuan kurus kering dengan kulit hitam legam. Rambutnya melayang-layang bersama tubuhnya tepat diatasku.

Itu, Nyai Kunti..

“Aku bebas…” ucap sosok itu.

Tubuhku gemetar melihat sosok itu. Tapi rasa khawatirku akan keadaan ibu memaksaku menghadapi makhluk itu.

“Kau apakan ibu! Apa yang kau lakukan!” teriakku.

Mendengar ucapanku, sosok Nyai Kunti menoleh dengan tajam ke arahku.

Ia menatapku dengan wajah yang mengerikan dan terbang menembus kedalam tubuhku.
Rasa sakit seperti tertusuk ribuan jarum kurasakan hingga aku kehilangan kesadaran.
Dalam sekejap rasa sakitku hilang namun aku tersadar di sebuah hutan yang kelam.

Aku seolah mengenal hutan ini, tempat yang pernah membawa kenangan buruk untukku pada saat KKN dulu. Alas Wetan…
Kali ini suasananya berbeda..
Dari dalam hutan terlihat begitu banyak sosok yang melayang-layang menatapku dari dalam kabut hutan.

Suara teriakan dan tangisan terdengar dari sekelilingku. Dan saat kabut itu menghilang asal suara teriakan itu mulai terlihat.
Sosok-sosok yang melayang-layang itu tengah menyeret orang-orang menuju ke sebuah desa yang aneh.

Desa tua dengan bangunan yang sudah lapuk dimana sosok manusia-manusia terikat dan disiksa di tempat itu.
Ada sosok mengerikan di sana. Sosok makhluk yang besarnya hampir setengah desa itu sendiri.

Aku menduga bahwa orang-orang yang disiksa itu adalah tumbal untuk makhluk besar itu.
Ada ibu disana…
Ia berada di desa itu bersama ketiga pakdeku yang masih mengikatkan tanganya pada ibu. Mungkin itulah alasan mereka tidak diseret oleh setan-setan di sana.

Aku hendak berlari mendekat untuk menolong ibu. Namun tiba-tiba angin besar meniupkan kabut tebal dan menghalangiku. Ada seseorang yang menghadangku saat itu.

"Tolong ibumu… tapi tidak saat ini..” ucap sosok itu.

Aku mengenali suara itu, dan aku memastikanya ketika sosok itu sudah muncul dari balik kabut.

“Bapak? Apa maksudnya ini? Bapak dimana?” Teriakku.
“Ada satu desa yang akan mati, desa kelahiran ibumu,” ucap Bapak sembari berjalan ke arahku.

“Lantas saya harus apa pak? Apa yang harus saya lakukan?” Tanyaku.
“Pergi! kembalilah ketempat ini tapi jangan sendiri.. Carilah mereka yang mungkin bisa menghadapi makhluk itu,” ucap Bapak.

Saat itu bapak menyentuh wajahku dengan tanganya dan seketika aku seperti tertarik akan sesuatu dengan cepat.
Seketika aku terbangun dengan nafas yang hampir habis. Aku memperhatikan ruangan ini yang ternyata aku masih berada di rumah.
Tapi Ibu dan ketiga Pakdeku..

Mereka masih terbaring dengan mata melotot dan mulut menganga. Tubuhnya kaku seolah sukmanya tidak menyatu lagi dengan tubuhnya.
Akupun segera berlari keluar meminta pertolongan ke tetangga yang kukenal.

Pak Kepala desa yang sudah mengerti kondisi ibu sejak sebelumnyapun kembali menggelengkan kepalanya. Ia tidak menyangka keadaan akan kembali parah.

“Mas Linggar, sebenarnya apa yang terjadi dengan mereka? Mengapa keadaanya bisa seperti ini?” Tanya Pak Kades.

“Mungkin ini kutukan di keluarga saya pak, saya sama sekali tidak menyangka akan ada kejadian ini,” balasku sembari melihat ibu dan ketiga pakdeku diperiksa oleh beberapa warga.

“Jelas kami juga tidak menyangka, sampai beberapa tahun yang lalu kalian adalah keluarga biasa dan bahkan tidak berhubungan dengan hal-hak klenik seperti ini,” balasnya.

“Ini musibah pak, tapi saya sudah dapat petunjuk. Kalau boleh saya titip mereka berempat beberapa saat untuk menyelesaikanya..” ucapku.
“Mas Linggar yakin itu jalan penyelesaianya?” Pak Kades memastikan padaku.

Aku mengangguk.. Aku yakin kalau aku harus datang ke alas wetan untuk menghadapi makhluk itu.
“Ya sudah, tapi mas Linggar jangan nekad. Kami akan merawat ibu dan ketiga Pakde Mas Linggar,” Balas Pak Kades.

Akupun berterima kasih pada pak kades dan segera membereskan barang-barangku. Ada satu orang yang mungkin saja dapat membantuku. Dialah yang dulu membantu menolong masalah di hutan itu dengan bantuan pusaka pisau batu miliknya.

***

Part 1 - Linggar Sasena

Sama sekali tidak ada mimpi indah ataupun tidur yang tenang selama perjalananku ke tempat ini. Suara tawa tanpa wujud selalu menghantuiku setiap aku mencoba memejamkan mata.

Ada seseorang yang telah menungguku di sebuah warung kopi di terminal. Dia adalah Linus.
“Wajahmu lesu, kurang tidur ya?” Tanya Linus.
“Bukan kurang tidur, tapi hampir tidak tidur,” balasku lemas.
Linus memesankanku segelas kopi dan bergeser dari tempatnya duduk.

“Kayaknya masalahmu kali ini lebih serius, aku nggak nyangka kita bakal berurusan sama hutan itu lagi.” Ucap Linus.
“Jangankan kamu, sampai beberapa tahun ke belakang aku masih menikmati pekerjaanku dan tidak terpikir sedikitpun akan berurusan dengan hal klenik,” balasku.

Segelas kopi diantarkan kepadaku bersama satu nampan gorengan hangat yang baru matang. Aku segera menyeruputnya dan berharap beberapa teguk kopi ini dapat menahan rasa ngantukku.
“Aku nggak nyangka kalau desa ibumu itu juga dekat Alas Wetan,” tanya Linus.

“Aku memang nggak bilang, karena desa ibuku berlawanan dengan desa Ranggilawu. Letaknya di sisi belakang Alas Wetan.
Saat cukup dewasa aku juga hanya satu kali ke sana, dan itupun aku sempat tersesat di sisi lain Alas Wetan,” Jelasku.

“Iya juga, kalau nggak salah kamu juga sempat cerita soal tersesat saat itu..” Balas Linus.
Kami menghabiskan waktu beberapa saat di warung kopi itu untuk beristirahat sejenak.

Setelahnya kami menaiki mobil angkutan umum tua yang sudah mengetem sejak kedatangan kami menunggu penumpang penuh.
Aku memperhatikan mobil yang aku sebut dengan omprengan ini. Berbeda dengan angkutan kota.

Kursi mobil ini seperti mobil travel dan menempuh rute yang jauh. Hanya saja mobil ini seharusnya sudah tidak layak untuk digunakan, aku ingat kalau mobil ini sudah ada sejak aku masih kecil.

Walau keadaanya mengenaskan, Mobil ini masih dengan tangguh melewati daerah-daerah jalur yang terapit dengan hutan-hutan dan menuju desa-desa yang tidak dilalui trayek kendaraan umum resmi.

“Masih kuat aja pak mobilnya,” tanyaku yang memilih duduk di depan bersama Linus. Ini lebih baik dibanding harus bersanding dengan warga yang membawa barang-barang tidak biasa seperti ikan segar, sayur sayuran, hingga ayam jago.

“Jelas mas, walau bentuknya kayak kaleng krupuk tapi mesinya selalu saya eman-eman,” balasnya.
“Nggak pernah mogok?” Tanyaku.
“Ya pernah, namanya mobil tua. Tapi itupun satu tahun sekali belum tentu..” Balasnya.

“Nggak nyangka ya, mobil yang umurnya hampir kayak kita ini masih bisa menembus jalur pinggir hutan begini,” Tambah Linus.

“Mobilnya sih memang tambah tua, pasti ada saatnya mobil ini pensiun.
Tapi mobil ini masih bisa terus narik juga karena jalurnya sudah dibangun dan sekarang sudah aspal.
Paling ada beberapa jalur belubang karena pertemuan dengan jalur kendaraan berat dari tambang batu,” cerita pak sopir itu.

Benar juga, dibanding dulu, sekarang jalur yang kami lewati sudah diaspal dengan baik. Padahal saat menoleh ke kanan dan kiri, semuanya masih berupa hutan belantara.

“Masnya turun di mana?” Tanya sopir itu lagi.
“Desa Rowomanten pak, udah deket,” balasku.

“Heh, yang bener?” Tanya sopir itu dengan raut wajah yang berubah.
“Iya, memang kenapa pak?” tanyaku.
“Sudah lama tidak ada yang berhenti di sana, dari beberapa penumpang saya mendengar kabar yang tidak enak di sana,” ucap sopir itu lagi.

“Kabar apa pak? Tolong ceritakan, kami kesana juga karena mendapat firasat tidak enak,” tanya Linus.
Sopir itu menghela nafas sejenak. Ia seperti mencoba mengingat cerita apa yang pernah ia dengar.

“Ada kabar, desa Rowomanten diserang semacam kutukan. Warganya tidak bisa keluar dari desa, malah ada yang bilang mereka semua sudah meninggal di sana,” cerita sopir itu.
“Huss pak, jangan ngomong gitu,” ucap Linus, sepertinya ia tidak ingin aku khawatir.

“Iya maaf, saya Cuma menceritakan apa yang pernah saya dengar,” jawabnya.
“Iya pak, terima kasih. ada cerita apa lagi pak?” tanyaku.
“Cuma itu mas, lebih baik masnya simpan nomor hape saya. Kalau ada apa-apa bisa telpon saya nanti bisa janjian buat saya jemput,” balasnya.

“Oh iya, terima kasih pak..”
Tak lama setelah perbincangan itu, akupun turun di sebuah jalan setapak dengan gapura yang bertuliskan Desa Rowomanten.
Dari jalan yang kami lihat, memang sepertinya sudah jarang ada kendaraan yang melalui tempat ini.

“Ingat, tujuan kita ke desa ini untuk mencari tahu masalahnya. Jangan sekali-kali bertindak nekad,” peringat Linus.
“Iya, aku tahu benar apa yang kita hadapi..” balasku.

Kamipun berjalan cukup jauh menerobos tepi hutan. Letak desaku tidak terlalu dalam, bila dengan sepeda motor hanya membutuhkan waktu tidak sampai sepuluh menit untuk sampai. Namun bila berjalan kaki mungkin bisa dua kali lipatnya.

Saat ini hari menjelang maghrib, langit sudah memerah memastikan kami akan bermalam di desa ibu nanti. Sebenarnya aku sedikit cemas, namun masih aku berharap bahwa apa yang diceritakan oleh sopir angkutan itu hanya isu belaka.

Hanya sedikit lagi kami sampai di desa, tiba-tiba langkah kami terhenti. Dari dekat pos desa terlihat seorang kakek sedang menatap kami dari kejauhan.
Aku sama sekali tidak mengenal kakek itu, atau mungkin aku yang tidak ingat.

Ia menatap kami dengan tubuh bungkuknya serta rambut dan janggutnya yang berantakan.
“Lungo! Deso iki wis ditutup!” (Pergi! Desa ini sudah ditutup) Ucap kakek itu dengan tegas.

“Maaf Mbah, saya harus ke desa Rowomanten. Ada yang harus saya cari tahu,” ucapku berusaha untuk sopan.
Kakek itu menatapku dari ujung kaki hingga ujung kepala. Iapun menghela nafas sejenak dan berjalan dengan kakinya yang gemetar dan pergi melewatiku begitu saja.

Raut wajahnya aneh, aku tidak bisa menebak itu menandakan apa.
“Kek, saya mencari..” aku mencoba menyapa kakek itu kembali dan menoleh ke belakang. Tapi kakek itu sudah menghilang dari pandanganku begitu saja.

Tidak sepertiku yang kebingungan, wajah Linus terlihat ketakutan. Ia melihat ke salah satu arah yang berbeda denganku.
“Nggar, kakek itu… kakek itu!” Teriak Linus.
Aku menoleh ke arah yang ia tunjuk. Saat mengetahui maksud Linus akupun menelan ludah.

Dibalik langit merah di hutan itu, kakek yang berpapasan dengan kami tadi tengah duduk di salah satu ranting pohon sembari menggigiti hewan yang seperti ayam hidup. Tubuhnya kurus kering tanpa pakaian dengan kulit yang hitam.

Saat mengetahui kami menatapnya, iapun menoleh kepada kami dan menyeringai memamerkan giginya yang penuh dengan darah hewan itu.
“Ca..cabut! Cepetan!” Perintahku pada Linus.
Kamipun segera mempercepat langkah kami agar bisa segera masuk ke dalam desa.

Saat sampai ke desa, langitpun semakin gelap. Entah mengapa kabut turun menyelimuti desa di jam yang bahkan masih belum terlalu malam ini.
“Nggar ini pasti ada yang nggak beres,” ucap Linus.
Aku tidak segera merespon ucapan Linus dan terus melangkah mencari rumah Ibu.

“Sudah gelap, ngapain kalian di luar!” Tiba-tiba terdengar suara seorang bapak dari dalam rumah. Tapi saat kami menoleh, ia buru-buru menutup pintu rumahnya.
“Cepat masuk ke rumah!”
Kali ini suara teriakan seorang perempuan dari dalam rumah memperingatkan kami.

Tapi sama seperti sebelumnya, perempuan itu segera menutup jendelanya saat kami menoleh.
Aku mengingat arah rumah ibu dan berhasil menemukanya. Ada kebun yang sudah dipenuhi rumput liar di sekitar rumah ibu.

Di balik rumput liar itu ada sebuah rumah kayu tua yang cukup besar dan sebuah bangunan bekas kandang sapi di belakangnya.
“Itu rumah ibuku Nus..” ucapku.
“Ada yang tinggal di sana?” Tanya Linggar.

“Dulu ada pakdeku, tapi kalau melihat keadaanya saat ini mungkin sudah tidak ada yang menempati,” Jawabku.
Yah.. aku juga cukup kecewa, ini artinya kami harus berberes rumah dulu sebelum bisa beristirahat.

***

“Khikhikhi…”

Terdengar suara tawa seorang perempuan dari arah belakang kami.
Aku dan Linus saling bertatapan dan menoleh ke belakang. Kami tidak melihat apapun di belakang kami selain kabut yang semakin tebal.
Tapi satu hal yang kami sepakati, suara itu bukan pertanda baik…

Secara bersamaan bulu kuduk kami berdiri dan merasakan adanya bahaya di dekat kami. Aku mulai melangkahkan kaki perlahan menuju rumah itu, dan dari belakang samar-samar terlihat bayangan sesuatu yang bergerak menembus kabut.

Linus menepukku memberi isyarat untuk kami mempercepat langkah dan mulai berlari.
“Arep lungo ngendi to le?.. Khikhihi..” (Mau pergi kemana to nak?.. Khikhikhi…)
Suara itu terdengar semakin dekat.

Bukan hanya suara, dari belakang tiba-tiba terpental kepala seekor babi hutan yang mendarat tepat di hadapan kami.
Kepala hewan itu masih mengalirkan darah segar dan menggelinding kembali ke hadapan kami.
“Sialan! Lari!!! Lari Nggar!” Teriak Linus.

Kami terus berlari sekuat tenaga menghindari apapun yang berada di belakang kami saat itu. Apapun itu, pasti adalah sesuatu yang sangat berbahaya.
Setelah menerobos semak-semak rumput liat yang menghalangi. Kamipun sampai di rumah ibu.

Dengan tergesa-gesa aku mencari kunci rumah itu dan berusaha membuka pintu.
“Cepat! Cepat Linggar… ada yang mendekat,” Linus benar-benar terlihat ketakutan.
Sementara itu aku masih sibuk mencari kunci yang cocok dengan lubang kunci di pintu depan.
Klekk!

Berhasil! pintu rumahpun terbuka dan kami segera masuk ke dalam dan segera menutup pintu rumah rapat-rapat. Aku tidak yakin berada di dalam rumah dapat mengamankan kami, tapi setidaknya seluruh penduduk desa juga melakukan hal yang sama.

Sedari tadi, Linus terus mengintip ke arah keluar jendela. Wajahnya pucat menatap sesuatu yang ia lihat di luar sana.
“Ada apaan?” Tanyaku yang segera menghampiri Linus.
Ia tidak menjawab dan masih terpaku pada sesuatu yang ada di luar sana.

Di balik kabut mereka menari-nari. Perempuan dengan kebaya compang-camping menenteng potongan tubuh hewan dan memakanya dengan rakus. Di sisi kabut yang lain ada sosok yang melayang-layang seolah mencari sesuatu yang menjadi jatahnya.
Brakkk!!!

Di tengah kebingunganku, sesosok kepala berlumuran darah menabrak kaca jendelaku.
Itu adalah kepala mayat manusia…
Ada makhluk berwujud kakek kurus kering yang sengaja menghantamkan kepala manusia itu ke kaca jendela rumah ini dan menyeretnya mengelilingi dinding rumah ini.

Sepertinya ia memang bermaksud mengancam kami.
Linus terjatuh di tanah sementara aku hanya bisa menelan ludah melihat semua pemandangan di desa ini.
“Ini bukan lagi desa manusia…” ucap Linus.

Aku setuju dengan ucapan Linus, tapi walau begitu mengapa masih ada warga yang tinggal di desa ini.

***

“Kreeet…. Kreeeet….”
Terdengar suara daun pintu yang bergerak dari dalam rumah. Linus segera berdiri dan berdiri di sebelahku.

Cahaya api dari lampu minyak mendekat ke arah kami dari dalam rumah. Ada sosok yang mendekat namun kami tidak dapat mendengar suara langkah kakinya.

Seorang nenek…

Seorang nenek muncul dibalik kegelapan dan menerangi ruangan dengan lampu yang ia bawa.
“Nek, nenek siapa?” Tanyaku mencari tahu siapa nenek yang ada di rumah ibuku itu.
Linus menahanku saat tahu aku ingin menghampirinya.

“Jangan Linggar, dia.. dia bukan manusia..” ucap Linus menahanku.
Bukan manusia? Jelas-jelas nenek itu menenteng sebuah lampu minyak yang tengah menyala.

“Ucapan bocah itu benar, aku sudah bukan lagi manusia.. tapi jangankan mengangkat lampu minyak ini, mematahkan leher kalianpun aku sanggup,” ucap sosok nenek itu.
Sepertinya sosok nenek itu tersinggung dengan ucapan Linus.

Aku menelan ludah ketika melihat wajah marah nenek itu.
“Ikut aku!” Perintahnya tiba-tiba.
Aku dan Linus saling bertatapan, Linus mengangguk seolah tidak merasakan bahwa Nenek itu berniat mencelakai kami.

Ia melayang bersama lampu minyak yang ia bawa menuju ke sebuah kamar di dalam rumah. Aku ingat, ini adalah salah satu kamar eyangku yang dilarang untuk aku masuki saat aku kecil.

Perasaanku tidak enak, sebelum masuk ke kamar itu aku sudah mencium bau yang menyengat. baunya seperti bau..
“Ma..mayat!!” teriak Linus yang terperanjat melihat sosok jasad yang hampir tersisa tulang belulangnya saja itu.

“Tidak usah berisik! Bawa ke halaman belakang, dan kuburkan!” perintah roh nenek itu.
“Ini? Ini jasad Eyang?” Tanyaku.
“Kuburkan dulu, dan kita bicara nanti! Kalian mau tidur di rumah bersama mayat!” Teriak nenek itu.

Kamipun tidak punya pilihan. Benar ucapan nenek itu. Aku tidak pernah menyangka akan menemukan jasad manusia di rumah ini dan harus menguburkanya.
Nenek itu berjalan ke halaman belakang dan berjaga beberapa meter dari kami.

Dengan lampu yang ia bawa beberapa kali ia saling bertatapan dengan sosok yang bergentayangan di desa ini.
“Cepat! Kalian mau berurusan dengan mereka??!” Teriak nenek itu lagi.

Takut? Jelas…

Linus yang mengerti mengenai hal ghaib saja terlihat tidak berkutik dengan keadaan ini.
Bayangkan saja, dua orang pria yang baru saja sampai di desa menemukan jasad yang sudah membusuk dan harus menguburkanya dengan ditonton oleh sosok-sosok mengerikan dari balik kabut.

Linus mulai menggali lubang sementara aku memindahkan bagian jasad yang berada di kamar satu persatu. Sebagian jasad itu masih memiliki daging dan tengah digerogoti oleh belatung, sebagian sudah habis dan tinggal tulang.

Walau menutupi hidungku dengan kain, aku tetap tidak bisa menghindari aroma busuk dari jasad ini.

“Cepat masukan sisanya dan kuburkan!” Perintah Nenek itu ketika mengetahui seluruh bagian jasad sudah kubawa.
“Sebentar eyang..” ucapku.

Akupun mengambil air dari sumur timba yang tidak jauh dari tempat kami berada dan membersihkan tubuh kami.
“Lama sekali!” Nenek itu sudah tidak sabar, namun kami tidak tega bila menguburkan jasad ini begitu saja.

Aku dan Linuspun mendekat ke liang kubur itu dan membacakan doa untuk mendoakan siapapun jasad yang kami kubur ini. Kami berharap walaupun meninggal dengan tidak layak, setidaknya ia bisa mendapat ketenangan di alam sana.

Saat mengetahui tujuan kami, nenek itupun berhenti meneriaki kami dan terlihat merenung.
Tapi rasa takut justru mulai menghantui kami, ada sosok yang mendekat.
“Wenehke wong loro kuwi! Ben tak nikmati saben tetes getihe menungso kuwi..”

(Berikan mereka berdua untuk kami! Biar kami menikmati setiap tetes darahnya!)
Tiba-tiba makhluk kurus setinggi rumah muncul dari balik kabut dan mengincar keberadaanku dengan Linus.

“Wani nyentuh menungso kuwi, urusanmu karo aku!” (Berani menyentuh mereka, Kalian berurusan denganku!) Ucap Nenek itu.

Setan itu terlihat kesal. Iapun mendekat ke arah roh nenek pembawa lentera itu dan mengancamnya. Namun nenek itu tidak gentar dan setan itupun pergi.

Aku merasa nenek itu bukanlah roh biasa.
Aku menelan ludah melihat kejadian itu, aku tidak menyangka apa jadinya bila kami tidak ada nenek itu di dekat kami.

“Kenapa bengong?! Cepat selesaikan!”

Tanpa membantah, kamipun menutup liang kubur itu dan menancapkan sebuah nisan yang kami buat dari kayu seadanya.
Setelahnya kami membersihkan tubuh seadanya dan masuk ke dalam rumah lagi. Linus memastikan pintu sudah tertutup dengan rapat.

“Nek.. sebenarnya nenek ini siapa?” Tanyaku penasaran.

Kali ini nenek itu tidak menjawab. Ia hanya berjalan menuju kamar dimana jasad itu berada tadi dan berdiam di sana. Aku dan Linus saling bertatapan menebak maksud sosok roh nenek itu, namun semua itu berakhir dengan kami mengangkat kedua pundak kami tak tahu apa yang nenek itu inginkan.

Kamipun memutuskan untuk mengganti baju dan membersihkan salah satu kamar yang akan kami gunakan untuk istirahat nanti. Ini adalah kamar ibuku dulu.

Kamar yang selalu aku gunakan untuk istirahat setiap ke tempat ini. Tapi semenjak ibu pindah bersama bapak, sepertinya kamar ini sudah digunakan oleh orang lain.
Linus mengeluarkan dari tasnya sebungkus singkong goreng yang ia beli di terminal tadi.

Setidaknya ini cukup untuk mengisi perut kami sampai besok pagi. Rasa lelah benar-benar menyelimuti tubuh kami, tapi rasa takut akan bahaya di sekitar rumah ini mengurunkan niat kami untuk tidur.

Merasa tidak ingin pulang dengan tangan kosong, kami memutuskan untuk membunuh rasa takut kami dan menghampiri roh nenek yang masih setia dengan lampu minyak yang menyala di kamar eyangku dulu.

“Eyang… kulo nuwun,” (Eyang permisi)
Aku dan Linus mendekat ke kamar dan berhati-hati memasuki kamar itu.

“Kulo nuwun eyang…” (Permisi eyang)
Aku mencoba menegur sosok roh yang seorang diri terdiam di kamar itu.

“Kowe Linggar putuku to?” (Kamu Linggar cucuku kan?) tanya roh nenek itu.

“I..iya eyang, berarti benar jasad tadi jasad eyang?” Tanyaku.
Nenek itupun mengangguk.

“Tapi kenapa saya tidak ingat wajah eyang? Yang saya ingat hanya Eyang Putri Ramini, nenek saya,” ucapku.

“Panggil saya Eyang Ratih saja, saya kakak dari eyangmu.
Soal Ramini bukankah kamu sudah tahu dimana makamnya?” tanya Eyang Ratih.

Aku mencoba mengingat, Eyang putri memang sudah meninggal beberapa tahun lalu dan sudah dikuburkan. Saat itu Bapak dan Ibu pulang kampung sementara aku diminta untuk tetap di rumah.

“Iya Eyang, tapi kenapa eyang bisa ada di sini? Dan mengapa jasad eyang bisa ada di sini?” Tanyaku.

“Sabar dulu cucuku, malam masih panjang.. kedatangan kalian ke tempat ini pasti sudah ditakdirkan,” jelas Eyang Ratih.

“Berarti Eyang Ratih juga sudah tahu akan ada sesuatu hal yang berbahaya yang berhubungan dengan Linggar?” Tanya Linus.

Eyang Ratih berbalik menatap ke arah Linus.
“Tidak hanya Linggar, ini juga berkaitan denganmu,” ucap Eyang Ratih.

Mendengar ucapan itu Linus merasa bingung. Bahkan mengenal Eyang Ratih saja tidak, hubungan Linus dengan keluargakupun tidak ada.

“Akan banyak yang terlibat dengan tragedi ini, tapi yang terpenting sekarang adalah bagaimana cara menyelamatkan sukma ibumu, pakdemu, dan ayahmu bisa kembali pulang,” Jelas Eyang Ratih.

Aku menghela nafas mendengar ucapan Eyang Ratih.

“Jadi Eyang juga mengetahui masalah ini?” Tanyaku.

Eyang Ratih mengangguk. Sementara kami mengambil posisi duduk, ia malah berdiri mengangkat lenteranya dan mengelilingi kami berdua.

“Bukan hanya eyang, makhluk penjaga keluarga Sasena juga sudah bertindak. Bukankah kau sudah berkenalan denganya?” Tanya Eyang.

Samar-samar dari cahaya lampu minyak yang menyinariku, aku melihat ada sosok yang berdampingan dengan bayanganku.
Bayangan makhluk berambut panjang dengan tangan kurus dan kuku-kuku yang tajam. Ia bergerak tak menentu dengan mengerikan.

Tapi dari bentuk perutnya yang membesar, aku bisa menduga siapa sosok itu.
“Nyai Kunti…”
Aku menggumam menyaksikan sosok mengerikan yang menyatu dengan bayanganku.

“Linggar… apa-apaan itu?” Tanya Linus.

Aku tidak menanggapi rasa heran Linus dan kembali menatap Roh Eyang Ratih.

“Penjaga? Dia yang sudah menyiksa ibu hingga keadaanya mengenaskan saat ini. Bagaimana dia bisa disebut penjaga??” Ucapku tidak terima.

“Kau masih belum tau apa-apa, apakah sosok itu kutukan atau penyelamat? kalian akan tahu sendiri nanti. Dan mungkin kamu jugalah yang bisa menghentikan perjanjian mengerikan keluargamu itu,” jelas Eyang Ratih.

Aku tidak mengerti, semua ini penuh dengan teka teki.

“Maaf nek, lalu apa yang terjadi dengan desa ini? Apa semua warga benar-benar tidak bisa meninggalkan desa?” Tanya Linus.

Eyang Ratih berjalan menuju jendela kamar. Ia menatap desa yang sudah sangat tidak pantas disebut sebagai tempat tinggal ini.

“Desa ini sudah mati, semua yang masih hidup hanya menjadi persediaan tumbal bagi mereka,” ucap Eyang Ratih.

“Memangnya mereka tidak bisa pergi eyang?” Tanyaku.

Eyang Ratih menggeleng.
“Kemanapun mereka pergi, mereka akan segera kembali.
Manusia yang tersisa di tempat ini adalah orang-orang yang pernah berurusan dengan Gandara Baruwa,” ucap Eyang Ratih.

“Maksudnya Genderuwo?” Tanya Linus.

“Genderuwo yang kalian kenal lahir dari persetubuhan Gandara dengan manusia perempuan yang ditumbalkan suaminya.
Demit itu akan menyamar jadi suaminya dan menghamili istrinya. Perbuatan itu melahirkan genderuwo yang sekarang kalian ketahui,” jelas Eyang Ratih.

Aku memang pernah mendengar cerita ini.

Ada sebuah pesugihan yang didapatkan dengan mengikat perjanjian dengan sosok seperti Genderuwo.
Keluarga itu akan hidup makmur. Kekayaanya melimpah dan sosok genderuwo akan menjadi khodam yang melindungi keluarga itu.

Tapi makhluk pemberi pesugihan itu akan memperkosa istri keluarga itu dengan menyamar sebagai suaminya.
Hal aneh akan sering terjadi, biasanya sebelum tujuh bulan bayi akan menghilang dari kandungan. Atau bayi lahir dengan kondisi mengerikan.

Sosok bayi itu adalah penerus Gandara Baruwa yang kelak akan menjadi anak buahnya dan menjadi bagian dari kerajaanya.

“Tega-teganya ada pria yang melakukan hal seperti itu,” ucapku.
Kali ini Eyang Ratih menatapku dengan tajam.

“Yang leluhur kita lakukan dengan Nyai Kunti tidak jauh berbeda. Jangan memandang kesalahan orang lain sementara dosa kita tak lebih sedikit dari mereka,” Ucap Eyang Ratih.

“Apa tidak ada cara untuk menyelamatkan mereka Eyang?” Tanya Linus.

Eyang Ratih kembali menggeleng.

Bersamaan dengan jawaban Eyang Ratih, tiba-tiba terdengar suara teriakan dari luar. Aku dan Linggar menyaksikan dari jendela ada seorang perempuan yang ditarik keluar oleh setan berlengan panjang. Beberapa orang di dalam rumah mencoba menahanya tapi terlihat sia-sia.

Linus merasa cemas, ia masih berharap ada cara untuk menolong orang itu. Iapun berlari kearah pintu dan dengan ragu mencoba membukanya.

“Jangan bodoh, begitu keluar dari rumah ini sudah tidak ada yang melindungi kalian,” ucap Eyang Ratih.
“Ta...tapi?” Linus cemas.

Aku tahu betul, Linus adalah orang yang tidak bisa diam melihat kejadian seperti itu di depan matanya. Akupun merasakan hal yang serupa, tapi aku juga sadar betul, aku tidak bisa melakukan apapun terhadap makhluk itu.

“Linggar, bukanya manusia adalah makhluk yang paling mulia. Tidak seharusnya kan kita takluk pada setan-setan itu?” ucap Linus.

Linus menahan rasa takutnya dan membuka pintu rumah.

“Kalaupun harus mati, aku mati karena percaya akan hal itu,” lanjutnya sembari berpaling dan berlari menuju perempuan itu.

Aku ingin segera menyusulnya, tapi aku tersadar dengan apa yang diucapkan Eyang Ratih. Tapi raut wajah Eyang Ratih malah berubah dan sedikit tersenyum.

“Keberanian itulah yang membuat takdir besar akan jatuh pada dirinya,” ucap Eyang Ratih.

Mendengar ucapan itu, akupun tidak ragu untuk berlari mengejar Linus.

“Tolong!!! Tolong anak saya!” Teriak seorang ibu yang masih berusaha merebut anaknya dari cengkeraman setan besar bertangan panjang itu.

Kami menahan tubuh perempuan itu dan membantu menariknya.

“Kita sudah nekad, terus apa rencanamu? Pusaka itu juga sudah tidak ada padamu,” teriakku pada Linus.

***

“Hitung semua yang kita punya,” ucap Linus.

“Maksudnya?”

“Pertama, Doa… jangan lupa kita punya Tuhan yang harus selalu kita andalkan,” ucap Linus.

Seketika mataku terbuka. Gagalnya berbagai usaha yang kulakukan untuk kesembuhan ibu sempat membuatku melupakan apa yang harusnya paling kuandalkan.

Saat itu yang kami lakukan adalah terus menahan tubuh perempuan itu bersama keluarganya sembari membacakan doa-doa yang dipimpin oleh Linus.
Bacaan doa kami membuat makhluk itu gelisah dan melepaskan wanita itu. Tapi masalah sebenarnya baru saja terjadi.

Keberadaan kami justru membuat marah sosok-sosok yang menguasai desa ini.

“Cepat masuk! Jangan keluar dan terus baca doa jangan sampai terputus,” perintah Linus pada keluarga itu.
“Ta..tapi? Mas-masnya?” Tanya mereka.

“Tidak tahu! Selamat kan diri kalian dulu, kami akan cari cara!” Teriak Linus.
Aku kagum akan keberanian Linus, walau aku masih ragu apakah itu keberanian atau kebodohan.
Persis seperti yang diucapkan Linus, kamipun terus membaca doa tanpa terputus.

Di satu sisi, Linus yang juga berguru tengah membaca sebuah amalan yang sepertinya dapat membantu kami selamat dari situasi ini.

“Aku sudah mencoba mempagari tempat ini Linggar, semoga saja ini berhasil,” ucap Linus.
Aku mengangguk dan menelan ludah.

Sehebat apa pagar yang dibuat Linus yang bisa menghadang puluhan makhluk yang melayang-layang mengincar kami dan setan-setan yang marah dengan perlawanan dari kami.

“Kowe wis ora sayang nyowo,” (Kalian sudah tidak sayang nyawa)

Tiba-tiba suara Linus berubah menjadi suara perempuan.

“Grrrrr…. Grrrr….”
Tak lama kemudian suara Linus terdengar menggeram seperti dirasuki sosok binatang buas.

“Linus! Kamu kenapa?” Teriakku.

“Kowe kabeh kudu mati!” (Kalian semua harus mati)

Kali ini suara Linus terdengar berat. Ia terjatuh tengkurap seolah tak mampu menahan tubuhnya. Tak berhenti sampai di situ, berbagai makhluk marasuki tubuh Linus dan menyerangnya habis-habisan.
Aku memeganginya dan membacakan doa yang panjang di telinganya.

Aku berharap setiap doa yang kubacakan bisa memanggil kesadaranya.
“Aaaaarrrghhh….!!!” Linus berteriak kesakitan.
Ia berguling-guling ditanah berusaha mendapatkan kesadaranya.

“Sudah cukup!! Cukup!” Aku berteriak berusaha menghentikan setan-setan itu merasuki tubuh Linus.

Sayangnya bukan berhenti, mereka malah berkumpul dan menerjang ke arahku. Aku tidak bisa menjelaskan wujud mereka semua. Wajah mereka tidak berbentuk dan berbau menjijikkan.
Tapi tidak seperti Linus, saat menerjangku aku terpental sangat jauh hingga menabrak dinding rumah.

“Urrggghhh..” Rasa sakit menyelimuti tubuhku, tapi tidak ada satupun dari mereka yang merasukiku.
Sebaliknya mereka mundur saat menatapku, hal itu bersamaan dengan sadarnya Linus.

“Linggar! Mata kamu! Mata kamu memerah.. memerah seperti darah!” teriak Linus yang mengkhawatirkanku.
Merah? Bagaimana mataku bisa memerah…
Tapi benar, semua yang kulihat berubah menjadi merah.

Tak hanya itu, aku merasakan ada sosok yang membuatku tak henti-hentinya merinding, ia ada di belakangku.
Aku menoleh ke belakang dan melihat bayangan makhluk yang paling kubenci.

Bayangan Nyai Kunti tengah berada di belakangku seolah menantang semua makhluk yang ada di tempat ini.
Sayangnya tubuhku tidak sekuat itu, sebelum Nyai Kunti bertindak akupun terjatuh. Tubuhku begitu lemah seolah tak mampu mempertahankan kesadaranku.

“Tidak, kamu masih belum mampu menahan kekuatan makhluk itu,” ucap Linus membantuku berdiri.

“Ta..tapi?”
Aku tidak ingin mengakuinya, tapi sepertinya hanya Nyai Kunti yang mampu menolong kami saat ini.

Mengetahui kami yang sedang lengah, tiba-tiba sebuah lengan panjang mencengkeram tubuhku dan mencoba menarikku. Aku benar-benar tidak mampu melawan, namun Linus masih mencoba menahanku.
Sayangnya makhluk itu mendekat. Ia membuka mulutnya lebar-lebar dan ingin mencoba melahapku.

Aku hampir merasa ini adalah akhir hidupku. Tapi tiba-tiba ada bayangan makhluk besar yang mendekat. Suara dentuman terdengar tak jauh dari tempat setan itu berada.
Suara langkah-langkah kecil terdengar mendekat ke arah kami.

Salah satu yang mencolok dari mereka berdiri di depan kami, ia menantang setan bertangan panjang itu seorang diri.
Seekor kera..
“Kliwon? Kamu Kliwon kan?” aku menyadari sosok itu.
Ia adalah kera kecil yang pernah menolongku saat tersesat di Alas Wetan dulu.

Kliwon tidak menjawab, tapi aku melihat bayanganya membesar layaknya kera rakasasa yang mengerikan.
Melihat setan itu mundur. Aku menoleh ke seluruh wilayah desa dan menemukan kera-kera lain sedang berada di atap-atap rumah seolah menguasai desa itu.

“Dia? Bukanya dia monyet yang selalu bersama Cahyo?” Tanya Linus.

Aku mengangguk, bila Kliwon sampai kembali ke Alas wetan dan mengumpulkan pasukanya, pasti ada sesuatu yang sangat genting.

Keberadaan pasukan Kliwon membuat seluruh setan-setan itu mundur. Beruntung tanpa kurasa tiba-tiba matahari fajar mulai muncul. Seluruh makhluk itupun menghilang bersama kesadaranku yang kabur dan menjadi gelap.

***

Aku terbangun dan menyadari ada kain hangat yang tengah menempel di dahiku. Sepertinya aku melewati tidur yang cukup panjang. Sudah ada segelas minuman di dekat tempat tidurku dan terdengar suara Linus sedang berbincang di luar.

Aku mengecek suhu tubuhku yang sudah kembali normal dan mengumpulkan kesadaranku. Setelah menghabiskan teh hangat yang disiapkan untukku, akupun keluar menyusul Linus.

“Lho Linggar, jangan maksain kalau masih belum enak,” ucap Linus.

“Nggak, sudah nggak papa. Eyang Ratih kemana?” tanyaku pada Linus.

Mendengar pertanyaanku beberapa warga yang berbincang dengan Linus menatap ke arahku. Sepertinya Linus belum menceritakan tentang hal itu kepada mereka.

Akhirnya kamipun menceritakan tentang kejadian semalam kepada warga desa dan menunjukkan dimana kami mengubur jasad Eyang Ratih.

Aku melihat perbedaan yang mencolok dari desa ini. Hampir seluruh sudut desa dipenuhi monyet-monyet yang keluar dari Alas Wetan.

“Eyang Ratih sudah pergi entah kemana, tapi sebelum dia pergi dia meninggalkan pesan,” kata Linus.

“Pesan?” tanyaku.

“Gandara Baruwa tidak sendiri, ia bangkit bersama makhluk-makhluk yang tidak kalah mengerikan.
Semua sedang mencari tumbal untuk menyatakan kekuasaanya..” Jelas Linus.

“Gila? Melawan anak buahnya kemarin saja kita tidak sanggup. Kini ada lebih dari itu?” Aku tidak percaya dengan cerita Linus.

“Kita harus bertemu dengan beberapa orang. Menurut Eyang Ratih ada beberapa roh yang akan berperan untuk menyelesaikan masalah ini,” jelas Linus.

Aku mengernyitkan dahi. Aku hanya ingin menyelamatkan keluargaku, tapi mengapa sekarang kami terlibat masalah yang lebih besar.

Tapi biar begitu, sepertinya kami juga tidak punya pilihan.
“…Roh perjanjian terkutuk.. aku menduga itu adalah Nyai Kunti yang ada di dalam dirimu saat ini,” ucap Linus.

Aku menghela nafas tak mampu lagi menyangkal hal itu.

“…Roh penjaga Alas Wetan..“ Linus menoleh ke arah Kliwon, dan aku setuju dengan dugaanya.

“…Sisanya aku tidak punya petunjuk, Eyang Ratih mengatakan.. Roh seorang ulama dan pengikutnya, Roh penunggu sendang, Penjaga bukit batu, dan roh pusaka terlarang..”

Aku mencoba menebak itu semua, namun hampir tidak ada petunjuk yang kudapatkan. Tapi dengan kemunculan Kliwon, aku mengetahui siapa yang harus kutemui berikutnya.
“Kita harus ketemu Cahyo dan Paklek,” ucapku.

“Iya, sepertinya pasukan Kliwon akan menjaga desa ini,” Balas Linus.
Kami menghampiri warga desa yang mendekat tadi mengobrol dengan Linus. Walaupun desa sudah dikuasai oleh pasukan Kliwon Aku menyarankan kepada mereka untuk pergi mengungsi.

Akupun memberikan nomor telepon kepala desa Ranggilawu tempatku dulu melaksanakan KKN. Seharusnya mereka mau menampung warga desa ini bila menceritakan kejadianya.

Sementara langit masih terang akupun memaksa Linus untuk membereskan barangnya dan meninggalkan desa.

Linus yang merasa trauma dengan kejadian semalampun sepakat untuk segera pergi dari desa.

Tanpa kami minta, Kliwon tiba-tiba naik ke pundakku seolah ingin menunjukkan dimana saat ini sahabatnya Cahyo berada.

Dan yang pasti, dengan keberadaanya di dekat kami, kami merasa jauh lebih aman dari sebelumnya.

***

(Di desa Dirga..)
Suara riuh pedagang pasar terdengar menemani lamunan Danan. Mobil Jagad terparkir di salah satu sudut kios dengan semua barang yang telah diturunkan.

“Masnya bengong aja, nanti kesambet lho,” tegur seorang ibu yang baru saja melintasi Danan.

Tidak seperti biasanya, Danan benar-benar memikirkan sesuatu dengan keras. Kejadian pertarungan dengan Ki Luwang meninggalkan misteri yang membuatnya cemas.

“Kamu masih mikirin ucapan Nyi Sendang Rangu?” tanya Jagad yang mendekat ke arah Danan.

“Iya mas, masalahnya aku merasa apa yang kita hadapi nanti bukan hanya soal adu kekuatan. Ada sesuatu yang tidak bisa kita selesaikan hanya dengan pertarungan,” balas Danan.
Jagad merapikan sisa barang yang masih perlu dia antar.

Setelahnya, diapun bersiap meninggalkan Danan lagi.
“Kalau kamu cemas, berarti kamu masih ragu dengan kebesaran Tuhan. Percaya saja, jika sudah waktunya, kita pasti akan dipertemukan dengan jalanya..” ucap Jagad yang kembali mengantar daganganya ke toko lain.

Danan kembali melamun, tapi saat ini lamunanku terganggu dengan keberadaan kucing yang berjalan dengan pincang di dekat pasar.
Kucing itu seolah memperhatikan seorang kakek yang berjalan dengan membawa tongkat.

Ia tengah berjalan untuk menjajakan kerajinan bambu miliknya di pasar. Tapi ada yang aneh..
Kakek itu berjalan dengan kaki yang diseret. Sekilas hanya terlihat seperti seorang kakek yang kesulitan berjalan. Tapi dari mataku aku melihat ada hal yang berbeda.

Ada sosok makhluk berwujud tuyul berwarna hitam bergelantungan di betisnya. Sepertinya makhluk itu sudah cukup lama mengikutinya, aku melihat ada luka ghaib yang terjadi akibat makhluk itu terus menggerogoti betis kakek itu.

“Kek!” Danan meninggalkan tempat duduknya dan menghampiri kakek itu.

“Kunaon A? hayang meuli?” (Kenapa A? Mau beli?) tanya kakek itu.

“Iya Kek, mau beli gasing bambu,” jawab Danan.

Setelah beberapa kali mampir ke desa Dirga. Danan mulai mengerti bahasa sunda walau masih belum bisa membalasnya dengan baik. Dananpun memberikan beberapa lembar uang sebagai ganti gasing bambu yang ia beli.

“Kakek sering main ke hutan bambu ya?” tanya Danan iseng.

“Iya A, kan jualanya kerajinan bambu,” Balasnya.
Danan membuka obrolan sembari mencari kesempatan untuk memeriksa kaki kakek itu. Saat Danan menebak keadaan kakinya, iapun mengijinkan Danan untuk memeriksanya.

Sebuah doa panjang dibacakan oleh danan sembari beberapa kali mengelus betis kakek itu. Beberapa kali kakek itu meringis merasakan kepanasan, namun itu tidak lama.
Setelah Danan selesai dengan pengobatanya, tiba-tiba kakek itu bisa berdiri dengan lebih nyaman.

“Gimana kek? Sudah enakan?” Tanya Danan.
“I..iya, kok bisa? Tadi saya diapakan?” tanya kakek itu.

Danan tidak ingin menceritakan tentang sosok yang menggerogoti kakinya. Ia hanya menyarankan agar kakek itu sering beristirahat agar kakinya bisa pulih sepenuhnya.

“Yang penting kalau kakek main ke hutan bambu lagi jangan terlalu masuk ke dalam. setelahnya mandi yang bersih dan jangan lupa ibadahnya,” Jelas Danan.
Kakek itu berterima kasih dengan bantuan dari Danan. Iapun segera pergi dan melanjutkan daganganya lagi.

Saat berbalik arah, Danan melihat sosok seekor kucing yang berjalan dengan pincang menghampiri dirinya.
Dananpun berjongkok menyambutnya. Kucing itu mendekat dan menciumi tangan Danan. Tapi itu tidak lama..

Setelah itu kucing hitam itu hanya kembali berjalan dengan kakinya yang pincang. Entah mengapa Danan melihat raut wajah sedih di mata kucing itu.

“Kucing itu suka denganmu… Sayangnya sepertinya ia sudah punya majikan,”
Tiba-tiba terdengar suara Abah yang menghampiri Danan.

“Eh, Abah ngagetin aja…” Balas Danan.

“Bukan Abah yang ngagetin, Kamu aja yang kebanyakan melamun,” ucap Abah.

Danan menggaruk kepalanya mengakui kesalahanya. Kedatangan abah bukan tanpa sebab, ia memang ingin menemani Danan untuk mencari tahu apa yang mengganjal pikiranya.

“Saya masih berhutang budi sama sosok yang menolong saya saat membatu itu Bah, sepertinya Abah mengetahui sosok itu?” tanya Danan.

“Kita cerita sambil jalan-jalan ya? Lha mas Cahyo dimana? Kalian nggak bareng?” Tanya Abah.
Danan menggeleng.

“Nggak tahu, tadi dia bilang ngerasain hal yang aneh. Katanya dia mau mencari tahu ke arah salah satu hutan..”

Abah mengerti, iapun mengajakku meneruskan jalan-jalan sembari menceritakan tentang sosok yang mungkin telah menolongku. Sosok yang Abah kenal denang nama Ki Langsamana…

***

Seekor monyet putih terlihat tengah memantau dari kejauhan. Entah kebetulan atau ia memang mengenali sosok Cahyo.

“Grrrrr…..”

Saat tengah menikmati segelas kopi, cahyo merasa Wanasura gelisah memberi pertanda.

Tanpa kesulitan, Cahyopun menemukan sosok Monyet putih yang memandangnya dari kejauhan.

“Kenapa mas?” tanya Dirga yang menemani Cahyo di rumah.

“Monyet putih Dirga.. Mitosnya kalau sudah ada monyet putih yang keluar dari hutan menunjukkan wujudnya, itu adalah pertanda akan adanya bahaya,” balas Cahyo.

“Yang bener mas?” Tanya Dirga.

“Iya..”
Cahyopun mencari kunci motornya dan berpamitan pada dirga untuk mengikuti kemana kera putih itu melangkah.

Kera itu berlari dengan cepat, dari jauh Cahyo juga melihat ada beberapa kera lain yang mengikuti dirinya. Jelas Kera putih itu berniat ingin memberi tahu sesuatu.
Sebuah hutan…

Kera putih itu masuk ke hutan tersebut. Cahyo tidak ingin gegabah, ia memperhatikan hutan itu secara seksama dan memang merasakan ada sesuatu yang mengerikan disana.

Saat melewati sebuah jembatan, tiba-tiba terlihat burung-burung hitam yang jenisnya sulit untuk dikenali beterbangan dari dalam hutan. Cahyopun menghentikan vespa tuanya dan memperhatikan tempat itu.

“Grrrr….” Wanasura terlihat helisah.

“Tenang wanasura, seharusnya hutan semengerikan ini disegel dan jangan dibiarkan siapapun untuk masuk,” ucap Cahyo kepada wanasura.

Jelas kejadian beterbanganya burung-burung itu adalah sebuah pertanda.
Setidaknya Cahyo sudah mengerti maksud dari kera putih itu.

Iapun memutuskan untuk menceritakan kejadian ini pada paklek dan Danan untuk meminta pendapat tentang keadaan hutan ini.
Saat hendak melaju sepeda motornya, tiba-tiba cahyo merasakan perasaan aneh yang cukup mengancam.

“Kamu juga ngerasain juga kan Wanasura?” Tanya Cahyo pada sosok yang bersemayam di dirinya itu.
Wanasura memberi isyarat, tapi ia tidak melihat sosok berbahaya apapun di sana.
Ia tidak mungkin mengabaikan perasaan itu.

Tapi saat menoleh, yang ia lihat adalah seorang pria berambut panjang yang juga tengah memperhatikan fenomena di hutan itu.

Merasa tidak menemukan sosok aneh, Cahyopun memilih untuk tidak menghiraukanya..

Menurutnya, tidak mungkin perasaan mengancam itu berasal dari seorang manusia biasa. Iapun segera melaju vespa tuanya dan kembali untuk mendiskusikan ini dengan Paklek.

[BERSAMBUNG]

*****
Selanjutnya
close