OYOT NIMANG - AKAR GAIB GUNUNG SUMBING (Part 2 AND)
JEJAKMISTERI - Pagi buta membangunkanku karena alarm di jam ku sudah berbunyi, subuh hadir, aku membangunkan gadis itu lalu mengajaknya untuk berwudhu dari air botol yang sudah kami persiapkan. Usai ibadah aku mengajaknya untuk jalan ke atas, meninggalkan semua peralatan di dalam tenda.
Meski dalam perjalanan matahari sudah mulai memerah, kami dapat menikmati semesta yang kian terlihat itu. Beberapa kali Silvia meminta untuk di foto sebagi pengabadian perjalanan di gunung Sumbing ini!
Pagi ini sangat memberikan ketenangan, alam terbuka dengan sangat indah, dan kini kami berdua berdiri melawan angin di atas ketinggian, menatap lautan awan putih yang di hiasi gunung-gunung terlihat pucuknya saja.
"Subhanallah indahnya!", Silvia mengucap sukur berdoa.
Disini, bawah langit aku menengadah menerawang birunya langit dan mencoba meminta pada tuhan agar ditanggalkan semua beban hati ini, ubah kesedihan menjadi kebahagiaan. Tidak luput dari rutinitas ku yang selalu bersujud mendoakan kedua orang tua yang sudah tiada di dunia fana ini, sang guru, saudara. Sebagai penutupan pencampaian suatu perjalanan.
Ini lah obat hati, ini yang selalu aku inginkan, selalu menjadi impian, merajut kenangan dengan sujud ku agar kelak tidak pernah terlupakan jika jagad raya ini pernah menjadi saksi dalam simpuh yang berair mata, dengan perjuangan menembus kabut, hujan, badai, dan gelap malam yang penuh misterinya.
Gunung memberikan makna juga semangat untuk diri ini, bukan hanya datang, menikmati alam, berfoto, lalu pulang dengan keindahan semata. Tetapi tanah tuhan ini lah yang selalu membentuk segudang rasa untuk selalu diterapkan dalam kehidupan. Rasa cinta sejatinya sang Khaliq terus menuntun, menjaga. Hingga makna kepedulian itu terbentuk. Mental pendaki yang di hajar oleh beban berat kala menempuh kesulitan menjadikan diri belajar bagaimana berjuang, mensyukuri berkat seadanya, paham akan makna berjuang.
Mata ini juga menyaksikan wajah-wajah bahagia kala impiannya terwujud di tepian kawah ini. Mereka menyerukan suaka kedamaian dengan menikmati fajar yang dihadirkan sempurna kali ini. Aku terus amati wajah-wajah itu satu persatu dengan duduk di sebuah batu.
"Bagaimana perasaan mu pagi ini mas?", Silvia menanyakan itu.
"Alhamdulillah.. tak terucapkan neng, tenang, bahagia, dan yang paling utama itu terimakasih ku pada tuhan telah menuntun kamu untuk menjaga ku. Terimakasih ya!", ku sampaikan rasa terimakasih ku padanya.
"Sama-sama.. dah nikmati dulu pemandangan dulu ya, biar makin adem, baru nanti turun!", ajaknya, sambil duduk di sebelah ku.
Ini masih separuh perjalanan, belum usai titian kaki ini untuk kembali turun, melewati segalanya lagi!, menerima kepuasan saat ini belum tentu nanti akan sedamai dan seaman saat ini. Hingga hampir sejam lamanya kami menikmati puncak, dan memutuskan kembali ke tenda.
Setelah sampai, Silvia langsung memasak sarapan juga bekal untuk di perjalanan, aku yang membongkar tenda, mengepak barang. Agar langsung jalan turun setelah perut kenyang.
Sekali aku melirik ke arah tenda yang semalam ada cewek kesurupan itu, mereka terlihat aman, menandakan setan semalam tidak kembali datang mengganggu lagi.
"Neng turun mau pakai jaket ga?", tanya ku.
"Engga mas.. panas juga hari ini kayaknya.", ucapnya dengan tetap dia menggoreng telur.
"Oke.. aku masukin ke tas ya!", aku memberitahu nya.
"Oke mas, terimakasih.", dia menjawab.
Semua barang sudah beres aku masukan, kini menikmati sarapan berdua sambil sesekali membahas perjalanan semalam. Aku yang merasa bersalah telah membentaknya waktu itu kembali mengutarakan kata maaf, dan entah terbuat dari apa hati gadis ini, dengan senyum dia menjawab "tidak apa-apa mas.. lupakan saja!". Kata yang sangat bijak terdengar oleh ku!
Nasi goreng telur dadar dan kopi panas menu yang dia buat. Kami kini duduk menikmati, dengan melihat pemandangan juga beberapa monyet bergerombol datang tapi mereka tetap menjaga jarak, karena pendaki disini lumayan ramai. Dari para kelompok pendaki ada yang hendak summit, ada juga yang sedang bongkar tenda, dan sebagian lagi sudah mulai jalan turun.
Perut yang aman karena kenyang, aku masih menikmati batangan rokok dengan dia yang menyeruput kopinya terus melihat ke arah kejauhan, dirinya masih terpana dengan jagad ini. Sampai semua kelar pukul sembilan pagi, aku dan Silvia kini melangkah meninggalkan pelataran ini untuk pulang.
"Kita santai saja turunnya mas, sambil nikmati perjalanan turun!", ucapannya terdengar dia masih enggan kehilangan pesona alam di Sumbing ini.
"Iya neng.. slow saja.", aku mengerti permintaannya.
Seperti biasa dia yang berjalan terlebih dahulu, aku mengikuti di belakang. Teriakan orang-orang masih terdengar, hingga tiga puluh menit kami menuruni hamparan ilalang yang sangat luas ini, kini hanya desu angin menerpa kami, membawa dingin di bawah teriknya mentari yang hanya terasa hangat di badan.
Disini semalam hanya dipenuhi asap alam yang pekat, jauh berbeda di pagi hari, aura magis, kelebatan bayangan, dan suara-suara astral itu sama sekali tanpa terdengar.
Indah, sunyi, ketentraman menelisik hati yang kini jauh lebih tenang.
"Kayak ombak ya mas rumput itu di sapu angin!", Silvia menunjuk ke depan.
"Iya, bagus kan!", ucap ku.
"Bagus banget mas, rasanya betah disini.", kata nya.
Sambil menikmati semua ini kami tetap bergerak pelan, karena waktu terus bergulir, sementara kami berharap sebelum gelap sudah sampai di basecamp agar bisa segera pulang ke rumah saudara ku di Magelang.
*****
Kejadian tidak terduga aku lihat ketika kami sampai di pos tiga, di sana rombongan pendaki meminta bantuan karena temannya sakit.
"Kenapa ini mas?", tanya ku pada mereka.
"Masuk angin kayaknya mas, perutnya kram sama muntah-muntah!", Salah satu dari mereka menjawab.
"Neng kamu ada minyak kayu putih ga?", tanya ku pada Silvia.
"Aduh Via ga bawa mas.", jawab nya.
Aku hanya membuka tas mengeluarkan kotak p3k, yang ada hanya alkohol untuk bersihkan luka, betadine, perban, juga kasa. Obat angin kami juga sama sekali tidak beli, ini yang selalu kurang di perhatikan pendaki, obat-obatan setidaknya bawa lengkap untuk berjaga-jaga. Hanya koyo yang ada untuk meredamkan kram perutnya itu.
Wajah cewek itu terlihat pucat, dan aku tersadar jika cewek ini yang semalam kesurupan setelah Silvia memberitahu. Agak bingung aku disini, karena di atas tadi tenda yang semalam menggemparkan kami semua masih tega berdiri, tetapi kenapa mereka sudah berada di pos tiga.
Aku ingin sekali bertanya dengan apa yang aku lihat, tapi aku urungkan, karena takut membuat mereka malah panik.
Kami ikut rombongan ini menunggu yang sakit dengan memberikannya makan juga minum, sampai kembali membaik dan sanggup berjalan kembali. Mereka juga berharap ada pendaki yang datang dan membawa obat untuk gadis ini. Sampai tengah hari kami disini alhamdulillah cewek itu mulai pulih dan bisa di ajak pulang.
"Mas sama mbaknya depan saja, soalnya teman kami ini bakal lambat jalannya, atau mau duluan juga ga papa!", kata ketua rombongan itu.
"Iya kami jalan di depan, barengan saja pelan-pelan mas.", aku memberitahu nya.
"Iya mas, terimakasih banyak mau temani kami.", jawab nya.
Aku dan Silvia mencoba mengimbangi rombongan yang berjumlah tujuh orang itu. Tetapi karena sangat lambat mereka memapah yang sakit membuat berulang kali kami berdua menunggu, dan berkali-kali berhenti karena gadis itu kesakitan dan meminta beristirahat.
Aku mengusulkan untuk menggendong gadis itu saja bergantian, karena cowok disini ada enam orang termasuk aku. Agar cepat turun, supaya tidak kemalaman melalui hutan di bawah sana. Tetapi justru cewek itu tidak mau menerima usulan ku, dan tetap ingin berjalan saja, walau pelan dan di papah oleh temennya.
Padahal menurut perhitungan ku jarah antara pos tiga ke pos dua hanya satu setengah jam jarak tempuh jika menurun seperti ini, ini hampir dua jam separuh perjalanan saja belum. Sementara mendung mulai terlihat dan kabut mulai turun menutup.
Apa yang aku takutkan terjadi hujan turun dengan deras bercampur angin. Kami semua tidak dapat mengelak di tempat terbuka seperti ini, mau mengambil ponco juga sudah terlambat, akhirnya kami tetap melanjutkan turun menembus badai.
Entah karena aku yang mengikuti jalannya Silvia yang terlalu cepat atau bagaimana, tujuh orang tadi sudah tidak terdengar suaranya lagi!, aku yang menengok ke belakang juga tidak dapat melihat bayangan mereka dari sebalik kabut.
"Neng pelan saja neng... kasihan orang itu belum kelihatan!", pinta ku pada Silvia.
Dia justru tanpa menjawab apa-apa terus saja jalan, aku cepat-cepat menyusul lalu menarik tangannya.
"Neng... sabar turunnya!", ucap ku lagi.
"Kenapa mas?", tanyanya karena tidak menyadari sudah jauh meninggalkan rombongan tadi.
"Orang tadi ketinggalan jauh, berhenti sekejap ya!", aku meminta padanya.
"Mas ini hujan deres banget, tunggu di bawah saja, cari tempat berteduh!", ucap Silvia.
Aku yang melihat dia juga merasa kasihan karena sudah mulai kedinginan. Memang terkadang sifat egois manusia akan muncul ketika dalam kondisi seperti ini. Berhenti menunggu juga tidak mungkin karena angin seakan seperti mengamuk sekarang.
"Ya ayok turun, berhenti di selter!", kata ku mengiyakan kemauannya.
Hari sangat gelap, walau masih jam tiga sore. Kami terus turun sampai menemukan pos dua, dan berhenti di sana. Badan sudah menggigil kedinginan, semua basah dari ujung kepala sampai ujung kali. Aku ada keinginan untuk kembali ke atas menyusul mereka dan menyuruh Silvia menunggu disini dengan memasak air juga menghangatkan diri.
"Neng berani disini dulu kan?, aku jemput mereka dulu!", kata ku.
"Mas.... kamu serius, tinggalin Via sendirian di tempat seperti ini, kondisi seperti ini.", Ucapnya dengan bibir yang membiru kedinginan.
"Ya sudah, masak air saja!", suruh ku.
Aku mengikat flyset melingkar agar kami berdua dapat bergantian ganti baju. Setelah dia beres menganti baju, aku menyuruhnya minum kopi panas yang aku buat, lalu aku yang ganti pakaian. Kilatan cahaya sesekali membuka gelap alam. Kami disini menunggu sangat lama, hingga alam benar-benar gelap, dan hujan berhenti.
Ada dua orang turun dari atas, mereka yang baru saja tiba aku menanyakan tentang pendaki tujuh orang tadi.
"Mas tadi melewati tujuh orang, cowok lima, cewek dua, yang satu sakit ga?", Tanya ku.
Dua orang itu saling pandang, dan sedikit bingung karena baru tiba dan mendapatkan pertanyaan dari ku.
"Ga ada siapa-siapa mas, kami ga nyalip atau lihat orang yang turun." Jawabnya.
Disini gantian aku dengan Silvia yang saling menatap bingung. Kemana tujuh orang tadi!
"Memangnya kenapa mas?", tanya salah satu dari dua orang yang duduk tidak jauh dari.
Saat aku mau menjelaskan, tiba-tiba saja Silvia mencubit ku, memberitahu tanda kalau untuk diam saja, disini kita tidak bisa percaya dengan apa yang terlihat. Entah yang tadi itu manusia atau bukan juga kami tidak tahu. Dan kedua laki-laki ini apa kah benar-benar pendaki aku juga tidak bisa memastikannya.
"Minum mas!", Silvia menawari mereka minum
"Boleh mbak, saya minta air panasnya ya!", ucap orang itu.
"Iya silahkan." Jawab kami hampir barengan.
Aku dapat menyimpulkan mereka orang karena mau meminta apa yang ditawarkan, dan membuat kopi lalu menikmatinya bareng kami.
Aku masih berusaha menunggu rombongan tadi, meski hari semakin malam, dan dua pendaki ini memilih duluan lalu berpamitan meninggalkan kami berdua.
"Mas sebaiknya kita turun saja deh!", ucap Silvia.
"Sebentar neng, kasihan mereka loh.", kata ku.
"Mas logika saja kita berjam-jam disini mereka belum sampai, bahkan dua orang tadi ga melihat mereka!", ucapnya menyerukan agar aku paham.
"Iya neng aku tau, sebentar dulu, atau kalau perlu aku susul naik sebentar!", kata ku dengan nada sedikit tinggi.
Kembali kami dikacaukan oleh keadaan dan beradu argument antara logika Silvia dan kemanusiaan yang aku kedepankan. Kami berdua meributkan hal tidak jelas entah itu manusia atau bukan.
******
"Oke sekarang begini saja mas mau turun atau balik lagi naik?, jujur ya mas, Via kalau harus naik lagi capek banget. Silahkan cari mereka biar aku disini."
Aku menghentikan argument itu, sejenak diam menatap ke arah Silvia yang juga menatap ku dengan mata menangis. Beberapa kali aku melihat bibirnya bergetar ingin menyampaikan sesuatu yang dia tahan.
"Oke neng, maaf.. ya sudah kita turun.", kata ku padanya.
"Kalau mau turun itu dengan kemauan mas, jangan ada ganjalan dalam hati. Pikirkan lagi biar kedepannya tidak ada penyesalan.", kata nya penuh dengan menahan emosi.
"Ya sudah kita turun, maaf ya.. udah jangan nangis lagi.", aku kini hanya merasa bersalah padanya.
Tentu ini sangat tidak baik bagi mental sahabat ku yang jelas kacau karena perdebatan yang sebenarnya hanya menunda waktu kami berdua untuk turun sesuai jadwal. Kini malam menghadang kembali, dan tentu apa yang bersembunyi di sebalik kegelapan tengah mengawasi dengan mencoba menyeret kami ke jalur lain agar dua manusia ini tidak dapat kembali pulang ke alam selayaknya.
Hutan pinus sangat gelap dengan jalur yang begitu sulit kami susuri menurun. Suara burung hantu terdengar menyeramkan, membuat suasana serasa lain. Degup jantung yang berkejaran menandakan kami tidak dalam keadaan tenang juga siap menjamah belantara sepekat kelam ini!
Angin dingin membalut diri, membuat bulu halus meremang tanpa bisa terelakan. Pikiran di suguhkan dengan gambaran-gambaran penampakan yang akan muncul dari mana saja.
Sampai langkah kaki Silvia berhenti karena harus mencari jalan untuk menuruni dinding tanah yang tinggi. Akar pohon menjadi satu-satunya titian agar kami dapat mencapai tanah datar di bawah sana!
"Ada persik ga sih mas?", tanya Silvia karena memang harus membutuhkan tambang untuk menuruni area ini.
"Ada sih moga saja sampai bawah karena sudah aku potong buat ikat flyset.", jawab ku, lalu membuka tas gunung ku.
Tali aku ikatkan ke salah satu pohon, dan menyambungnya hingga dapat di jadikan penolong kami berdua untuk turun. Aku menyuruh Silvia turun dengan meninggalkan tas nya, agar ringan dan dia bisa lebih leluasa bergerak mencari topangan merayap dinding alam ini. Beberapa kali dia hampir jatuh, untung hobbynya climbing dapat membantu dia ketika menjumpai medan jalur sesulit saat ini. Setelah dia sampai bawah baru aku menurun kan dua tas kami dengan mengulurkan tambang presik ini.
Aku memang sudah janggal di area ini, karena sewaktu kami naik siang kemarin tidak tempat ini tidak sebegitu sulit atau seextreme ini!, atau ini karena keadaan malam yang gelap menjadi begitu susah di jamah.
Sampai berlahan aku mulai turun, dan mencari pijakan akar raksasa yang ternyata licin ini. Dengan adanya tali ini sangat membantu bagi para pendaki tentunya, hingga aku biarkan persik ini tetap terpasang disini, semoga dapat membantu bagi siapa saja saat hendak mengalami peristiwa yang sama seperti kami berdua.
"Oke.. lanjut langsung yuk!", ajak ku setelah sampai bawah, dan meraih carriel ku.
"Ayok mas.", jawabnya.
Bergerak lagi kami turun, kini jalur setapak dengan rumbia liar disisi kanan juga kiri bagai lorong yang di padu dengan gelap harus kami lalui, dengan kebulan asap yang keluar dari mulut juga hidung ketika bernafas. Dingin semakin terasa walau kami sudah tidak berada di ketinggian lagi!, tetapi aku dapat perkirakan jika saat ini kami masih berada di atas seribu lima ratus mdpl atau lebih.
Track yang kami jajaki jauh lebih terasa susah walau dalam keadaan turun, jauh berbeda ketimbang dalam waktu siang hari pas naik kemarin. Gambaran mudah itu ternyata tidak selayaknya tersirat, meski turun gunung terkadang aku sangat menyepelekannya, sementara kondisi sangat berbeda saat ini, ditambah fisik semakin melemah, dan ini hanya sisa tenaga semata.
Satu jam berlalu tanpa dapat menembus area hutan ini.
"Neng, istirahat dulu bisa ya, bikin minum dulu, saya sudah mulai sesak nih!", pinta ku pada Silvia.
"Iya mas, sini aku bantu turunkan carrielnya.", dengan cekatan dia membantu ku, dan mengeluarkan peralatan memasak.
"Air masih ada ga kamu neng?", aku bertanya karena lupa mengisi botol-botol kosong di atas tadi.
"Punya Via masih lah dua liter mas. Aman lah itu.", ucapnya yang dapat memberikan ku rasa lega.
"Alhamdulillah.. cukup lah sampai bawah nanti." Balas ku menjawab dia.
Aku melirik ke arah jam tangan ku, yang ternyata mati. Berkali-kali aku pencet tuas agar dapat melihat digital jam, tetapi tanpa terlihat. Aku tidak bisa memperkirakan saat ini pukul berapa karena jam Silvia pun sama mati saat aku menanyakan padanya.
"Iya kok sama barengan matinya ya mas?", tapi jarum jamnya masih menunjukan pukul sepuluh lebih, tetapi Via ga tau matinya barusan atau pagi tadi! ", dia memberitahu pada ku.
"Oke ga papa, paling juga masih jam sembilan malam saat ini, kita santai saja ga perlu buru-buru!", kata ku, melonggarkan pikiran kami berdua.
"Iya lah mas, santai saja.", jawabnya.
Aku meninggalkan dia sendiri lalu mencari tempat untuk buang air kecil. Dibawah pohon dengan semak belukar yang tumbuh aku pipis di situ, sampai selesai aku bersuci, lalu menyiram pohon yang terkena air seni ku dengan sisa air di botol air mineral yang aku bawa.
Kembali aku ke tempat Silvia duduk membuat kopi, dengan sinar headlamps yang menyorot ke wajahnya, sedikit seram terlihat, karena wajahnya pucat pasi.
"Neng kamu sakit ya?", aku menanyakan keadaannya.
"Engga mas, baik saja kok, kenapa?", tanyanya balik.
"Kamu kelihatan pucat loh.", ucap ku.
"Engga papa mas, cuaca saja yang buat pucat, nanti kalau sudah minum juga bertenaga lagi kan.", Silvia memberitahu keadaanya.
Kami sudah kembali mengulur banyak waktu saat ini, kami berdua kembali duduk meminum kopi, dan selain itu aku juga menyempatkan merokok. Meski ditengah-tengah keganjilan alam gelap ini, kami berdua selalu fokus dan mengobrol kan hal yang sewajarnya, agar tidak terucap perkataan sompral yang dapat membahayakan diri.
Dua batang rokok dengan secangkir kopi sudah aku selesaikan, sementara Silvia memakan cornet telur yang dia buat tadi pagi untuk memulihkan tenaganya. Aku sama sekali tidak merasakan lapar karena kopi sudah sangat mengenyangkan, tetapi pilihan seperti yang aku lakukan ini sebenarnya sangat salah dan tidak di anjurkan.
Sebagaimana pun makan adalah utama untuk kembalikan tenaga, juga suhu tubuh yang kedinginan seperti ini.
Bergerak lagi kami turun, sampai rasa lelah di tumit juga lutut ini terasa, nyeri di kaki membuat aku meminta untuk kembali beristirahat dulu.
"Kamu ga papa kan mas?", nada Silvia khawatir.
"Ga papa neng, hanya butuh istirahat lagi sebentar." Jawab ku.
Sedikit aku rasakan resa dan berdiri mengangkat kaki bergantian untuk mengetes nyeri di lutut. Setelah aku rasa aman, baru aku mengajaknya lanjut lagi. Berulang kali aku rasakan kaku di tumit juga lutut, tetapi aku terus mengikutinya yang tetap berjalan melewati jalur ini. Memang area yang tidak adanya toleransi dengan menyajikan sedikit area landai agar ada rasa nyaman di kaki ini.
******
Dalam terus menahan rasa sakit yang ku coba mengabaikan nya, kini Silvia yang meminta untuk berhenti. Bukan karena dia merasa sakit seperti ku, tetapi karena dia merasakan hal aneh.
"Sebentar mas, kita berjalan sudah berapa lama sih?", dia bertanya dengan nada kebingungan.
"Dua jam lebih neng. Iya kenapa belum tembus juga hutan ini ya!", aku menyerukan kata keanehan juga yang kini aku rasakan.
"Mas ingat ga area ini, sudah kita lewati berkali-kali!", ucapnya.
Aku yang langsung mengamati tempat ini meski semua hanya rumbia dan alam yang gelap, aku dapat kenal setelah menemukan pohon liar yang menjadi tempat aku kencing di dalam sana. Dan kini kami juga tepat berdiri dimana tadi kami berdua beristirahat, meminum kopi, dan aku menghabiskan dua batang rokok.
"Iya neng, ini tempat kita tadi berhenti." Kata ku.
"Via merasa lewat sini sudah lebih dari tiga kali mas!", gadis ini memberitahu ku.
"Hah.. serius neng!, masak sih!", aku yang terkejut mendengar perkataan itu.
"Mas fokus dong, jeli dikit lah.", katanya dengan nada terdengar kesal.
"Maaf neng, bukan ga fokus, aku jalan dari tadi menahan tumit sama lutut ku yang sakit.", aku memberi alasan yang aku rasa kan.
"Iya mas.. Bismillah jalan lagi kita yok!", ajak nya.
Setelah mengobrolkan tempat yang kami lewati berulang kali. Dan pada akhirnya kami kemabali ketempat ini lagi, entah itu dirasa oleh Silvia atau tidak tapi kali ini aku yang merasakan dan milihatnya. Dengan cuek kami terus berjalan, sekiranya lima belas menit turun kami akan sampai di tempat semula. Hingga akhirnya aku meminta untuk berhenti, dan mematahkan satu pohon sebagai pertanda.
Lanjut lagi kami tinggalkan tempat ini yang aku hitung sudah ke sembilan kalinya melalui area ini, dua jam tanpa berhenti dan di putar-putar di tempat ini saja. Sampai pada akhirnya lelah sudah terasa oleh Silvia yang sudah sempoyongan berjalan hingga dia tanpa meminta berhenti langsung terduduk ditengah jalur. Aku yang bediri di belakangnya langsung lesu setelah melihat pohon yang tadi aku patahkan.
"Ihhh... kesini mulu dah, kapan sampainya coba mas.", Silvia kesal dengan menatap ke arah ku.
"Daerah ini ada oyot nimang, (akar mimang)yang pasti tanpa sengaja kita menginjaknya neng. Makanya seperti ini.", ujar ku.
"Apa itu oyot nimang mas?", tanya dia karena tidak paham.
"Itu istilah jawanya, kita menginjak akar ghaib, yang mana efeknya kita terus di putar-putar di tempat ini!", aku menjelaskan pada nya.
"Waduh, terus itu dari pohon ghaib gitu mas?", tanyanya lagi dengan rasa penasaran yang lebih besar.
"Bukan pohon ghaib akar itu berasal, bisa jadi akar pohon beringin, dewandaru, dan pohon lain. Tetapi bentuk akar ini yang menjadikannya lain dan menjadi tempat semayam nya jin, atau tempat suci para jin.", meski dilarang mengucapkan kegamblangan menyebut bangsa lain tetapi aku dengan terang-teranganmengungkapnya.
"Bentuknya seperti apa itu akar mimang mas?", dia masih sangat penasaran.
"Bentuknya seperti apa ya, kayak per motor gitu melingkar-lingkar, warnanya kayak akar tapi lebih kuning, dan efeknya ya begini, kita di putar-putar. Kalau tidak segera sadar justru kita bisa di buat ling-lung, atau hilang ingatan.", aku terus nyerocos menjawab pertanyaan-pertanyaan itu walau di tempat seperti ini. Dengan tujuan ku berharap jin di area ini dapat terusik dan mengembalikan kami berdua.
Oyot nimang (akar mimang) ini sendiri lebih membahayakan karena dapat membuat tersesat, jika kurang beruntung manusia dapat masuk ke alam lain hanya karena melangkahi atau menginjak akar ghaib ini.
*****
Cukup lama kami tertahan di area ini, karena sudah terlalu lelah untuk berjalan dan hanya akan kembali ditempat ini lagi. Sementara kami yang semakin merasa kebingungan sudah berupaya sebisanya agar dapat keluar dari pengaruh akar mimang ini.
Aku hanya melihat Silvia semakin diam setelah mendengar penjelasan tadi, dengan diam dirinya berdoa, mengharap ada jalan keluar atau bertemunya orang lain yang datang di area ini. Dalam kondisi saat ini aku sendiri dapat menyimpulkan jika dengan diam justru akan semakin bingung, aku mengikuti gadis ini duduk diam dan meminta pertolongan melalui doa. Berpasrah mungkin menjadi satu-satu nya cara agar tuhan selalu memberikan jalan untuk selamat.
"Mas... mas...."
Silvia memanggil ku dengan menepuk lengan tangan ini.
"Ya neng?", Tanya ku setelah usai berdoa.
"Mas ayo jalan . Via mendengar suara ramai di bawah sana!", ucapnya memberitahu dan mengajak ku kembali bergerak.
"Suara apa?, ga ada suara apa-apa.", aku menyangkali omongannya karena memang tidak mendengar suara apa pun.
"Ada mas, mungkin itu rombongan pendaki. Ayo buruan!", dia menarik tangan ku dengan sedikit memaksa.
Aku hanya bisa mengikuti ajakan itu, walau sangat yakin jika apa yang sudah Silvia dengar itu bukan lah suara manusia. Dia juga terlihat sangat buru-buru, karena sudah merasa takut dengan kejadian ini. Hal ini gadis hebat itu sudah mulai di kuasai oleh jin penunggu tempat ini, dia tidak dapat lagi membedakan mana yang logis dan tidak.
Suasana dingin dengan pakaian yang sudah basah karena keringat membuat tenaga juga semakin di bawah kemampuan lagi, dengan sangat pelan kami berdua menuruni tempat jalur ini, beberapa kali kami juga terjengkang jatuh, terpeleset karena tanah semakin licin di pijak. Benar-benar ini menjadi kesanggupan yang terakhir. Lutut semakin bergetar menjaga badan loyo ini, dan disini kami kembali ketempat semula lagi.
"Ya Allah mas, aku capek lah...", Silvia langsung menangis memeluk ku setelah berada di area yang tadi.
"Iya sudah sabar jangan nangis neng, kamu harus yakin kita bisa keluar dari sini. Lawan ketakutan mu dengan doa sebisa-bisanya!", aku yang semakin panik hanya berusaha menenangkan dia terlebih dahulu.
"Demi Allah Via sudah beneran capek banget, berdoa dari tadi juga tidak menemukan jalan keluar.", dia masih menangis dan keluarkan rasa kesal dalam hatinya.
"Iya tenang, kita pasti keluar. Sudah jangan nangis lagi ya!", kata ku, walau tidak tau harus bagaimana keluar dari pengaruh akar ghaib ini.
Sejenak aku menyuruhnya untuk duduk lagi, aku berusaha memikirkan cara tetapi tidak tau harus berbuat apa, untuk berusaha membawa kata hati menyatu dengan pikiran saja sangat susah. Blank tidak dapat menemukan solusi apa pun. Ini salah satu efek jika terkena akar ini, orang akan semakin di hilangkan pemikirannya ling-lung, dan yang ada hanya kepanikan, yang terus membuat takut semakin besar.
Aku amati Silvia yang mulai melamun, tatapannya jauh kebawah sana, menatap kegelapan tanpa berkedip sekali pun. Aku memanggil namanya berkali-kali tetapi tidak dia hiraukan, sampai aku tarik lengan jaketnya, berharap dia tersadar, dan tidak kemasukan bangsa lelembut. Ini yang aku takutkan, kini benar-benar terjadi!
Dia mulai menangis lagi, tetapi tanpa ekspresi, datar menerawang sunyi, lalu matanya melirik kearah ku. Wajah sadis yang sangat menakutkan aku lihat!
Dia berlahan menoleh ke arah ku dengan mata yang sangat merah penuh air, senyumnya menyungging memperlihatkan wajah bengis yang jelas ini bukan lagi Silvia.
"Mau apa kamu?", aku bertanya dengan nada yang tenang.
"Hhmmmm...", suaranya terdengar dari dengusan nafas yang berat.
"Tolong jangan ganggu kami!, kami berdua hanya lewat untuk pulang, jika ada kesalahan yang kami perbuat tolong dimaafkan!", aku menyarati sosok yang merasuki sahabat ku ini.
"Maneh duaan neangan jalan sejen... ulah lewat dieu sabab didieu teh mesjid lain jalan!", ucapnya pada ku.
Aku hanya bisa diam disini karena tidak paham apa yang di ucapkan Silvia dengan bahasa itu, yang aku tau itu bahasa sunda tetapi aku sama sekali tidak paham dengan apa yang dikatakan nya.
"Tolong bisa pakai bahasa yang saya paham!", pinta ku pada dia, karena saat ini aku hanya semakin bingung tidak paham apa-apa.
"Mangkat tidieu... Mangkat tidieu...", ucapnya dengan nada yang sangat marah dan menunjuk ke arah atas.
Aku tidak lagi mau bernegosiasi dengan sosok yang merasuki Silvia, aku tanpa memikirkan apa-apa langsung menggandengnya untuk jalan naik seperti yang terus dia tunjuk. Sepanjang perjalanan dia terus bersuara dengan bahasa sunda dan tangannya menunjuk ke arah atas. Sampai dia tersandung dan menabrak ku, disitu dia pingsan.
Panik ku semakin menjadi karena keadaan ini, tapi aku juga paham jika sosok itu telah meninggalkan raga Silvia, hingga terjadinya dia tidak sadarkan diri.
Aku membasuh mukanya, dan berharap dia segera siuman. Sepanjang kepanikan ku itu, aku hanya berfikir kenapa di gunung ini, di tanah ini yang merasuki Silvia justru memakai bahasa sunda, sungguh tidak dapat aku simpulkan, otak ini terasa kram jika harus memikirkan apa yang tidak bisa aku pikirkan!
Dia tersadar setelah beberapa saat aku menunggunya, dia yang merasakan pusing juga mual bertanya pada ku; "mas ini di mana?", matanya melihat ke sekeliling dengan jemari yang menyangga kepalanya sendiri.
Aku juga mencoba mengingat area ini, dimana ada tebing dan tali persik tempat kami turun beberapa jam waktu yang lalu.
"Ini bukannya tempat kita bergelantungan turun itu ya mas!", dia berkata dengan menyorotkan cahaya mengikuti tuas tambang menuju ke atas.
"Iya neng.", jawab ku.
"Lah kenapa kita balik ke sini?", dia bertanya dengan bingung.
Aku yang enggan menceritakan kejadian itu langsung menyuruhnya tenang sejenak, memberikan dia minum. Aku berdiri, menyoroti sisi kanan kiri untuk mencari jalur lain, dan di hutan pinus seperti ini banyak sekali bekas jalur itu yang membuat banyak orang ke sasar, belum lagi kalau mendapati akar mimang seperti tadi, sidah dapat dipastikan susah untuk keluar dari hutan ini!
Setelah aku pastikan dia kuat berjalan, aku mengajaknya jalan melalui sebelah kiri meski banyak sekali percabangan aku hanya mengikuti kata hati kemana harus menuntun. Dan sekitar satu jam mencari jalan sendiri kami bisa mencapai perkebunan warga dan keluar dari hutan ini sebelum subuh.
*****
Sesampainya kami di pemukiman warga tidak lama kumandang adzan subuh terdengar. Kami yang sudah mencapai keberhasilan hanya mengucapkan lafas syukur, dimana aku dengan gadis hebat ini dapat selamat, walau menempuh gelap semalaman dengan berbagai situasi.
Dapat melewati oyot nimang ini memberikan ku pengalaman baru, dan mengajarkan ku sebuah arti kesabaran adalah kunci dalam suatu tujuan, jatuh, mengulang, dan berjuang itu tujuan hidup sebagaimana harus di terapkan dalam langkah perjalanan selanjutnya.
Pagi harinya kami berdua pulang ke Magelang, menginap di rumah saudara ku, dan ketika di sana lah, aku baru bisa menceritakan cara kami dapat petunjuk keluar dari cengkraman hutan angker itu. Dengan arahan sosok yang tidak bisa aku pahami bahasanya, tetapi penuntun tetap lah penuntun, tanpa peduli dimana dan dengan siapa, juga di tanah mana saja. Yang pasti tuhan selalu mengutus pertolongan bagi manusia yang tengah dalam kesusahan.
"Itu nenek buyut ku mas, beliau yang menuntun kita keluar!"
[TAMAT]
*****
Sebelumnya
Ini kisah yang saya alami dengan Silvia. Semoga dapat memberikan pemahaman, dan diambil kesimpulan kebaikan.
Perjalanan adalah ilmu, berbagi adalah pelajaran. Sampai jumpa dalam kisah selanjutnya.