OYOT NIMANG - AKAR GAIB GUNUNG SUMBING (Part 1)
JEJAKMISTERI - Pendakianku dengan Silvia di gunung Sumbing.
Meniti alam dengan kecamuk rasa kesedihan, sangat berpengaruh dengan keadaan yang akan di hadapi. Meskipun alam dapat menjadi peredam luka, tetapi astral melihat kerapuhan dalam jiwa manusia, hal ini yang menjadi kelemahan diri saat itu.
Terminal Magelang sore itu, kami berdua turun dari bus dari Jogja. Sebuah warung makan menjadi tujuan awal kami karena memang sudah sangat lapar, sebab dari Kaliurang tadi pagi sampai muter-muter Jogja, dan sampai disini perut ini belum diisi nasi sama sekali. Selesai makan kami masih sempat duduk di bangku panjang, dan menikmati batangan rokok sambil merencanakan perjalanan kali ini.
Sebelum lanjut ke cerita aku kenal dengan Silvia ini hanya lewat media sosial awalnya, kami sahabat chatting, dan aku yang jarang memiliki teman akhirnya sering cerita dengan dia, saling menanyakan kabar meski belum pernah berjumpa. Baru ketika aku ke Jawa dengan beban masalah keluarga aku sempatkan singgah di Bandung untuk bertemu dengan nya. Satu minggu di kota orang aku jatuh sakit, hanya dia yang jadi teman satu-satunya yang merawat ku, meski meluangkan waktu dalam kesibukan kerjanya!
Gadis hebat yang ada ketika aku benar-benar terpuruk oleh keadaan. Hanya tangan dia yang bisa menyambut dan tuntun aku untuk kembali berdiri.
"Jadi dari sini kita naik mas?", tanya Silvia, yang mengejutkan lamunan ku.
"Ehh... naik taksi online saja neng.. coba kamu pesan!", suruh ku padanya.
"Oke, tujuannya kemana?", dia kembali bertanya.
"Ke Kaliangkrik..", jawab ku.
Mendengar itu dia hanya menghembuskan nafas panjang, tangannya mengusap punggung ku, Dan berkata dengan sangat pelan.
"Mas tolong fokus... tujuannya kemana?, Kaliangkrik nya dimana?, aku loh belum pernah kesini!".
"Ohh iya maaf.. maaf.. ke basecamp Mangli neng.", Jawab ku.
"Yok sudah, kita tunggu di luar terminal karena taksinya tidak bisa masuk sini!", ajaknya dengan mengulurkan tangannya.
Melihat itu aku hanya tersenyum langsung menyambar tas gunung ku, Dia yang melihat itu juga tersenyum dan menggelengkan kepalanya. Entah apa yang aku dimata Silvia saat ini, yang jelas dia melihat laki-laki rapuh karena sebuah perpisahan dengan istri dan anak-anak nya. Tapi ketulusan itu selalu dia berikan untuk memberikan bahunya agar sama menopang beban ini.
Mobil yang disewa Silvia itu pun datang, kami berdua masuk, sebelumnya aku jejalkan terlebih dahulu cerriel ku di bagasi belakang. Dan Velloz berwarna silver itu pun membawa kami menuju tujuan yang sudah mereka sepakati melalui aplikasi itu!, terus melaju menembus sore, aku hanya amati sinar jingga di langit di kejauhan itu, sementara dalam diam ku, Silvia menyibukkan diri dengan mengutak-atik layar handphone nya, untuk mengusir sepi ia pun menjejalkan hand free ke telinganya.
"Neng.. neng..", aku mencoba membuka obrolan, karena merasa tidak enak hati membiarkannya diam sendirian.
"Haa.. apa mas?", dia bertanya.
"Malam ini kita langsung ngetrack apa nunggu besok saja?", tanya ku padanya.
"Bebas sih, bagaimana kesiapan mas saja, Via ikut saja.", katanya dengan santai.
Sehabis isya kami baru sampai basecamp, di sana masih melayani pendaftaran, karena memang buka dua puluh empat jam penjagaan oleh pemuda setempat. Tetapi kami mengubah jam keberangkatan menunda untuk mendaftar esok pagi saja. Turun dari mobil kami hanya memesan kopi di sebuah warung, karena simaksi tetap saja besok pagi baru di lakukan. Walau demikian, di tempat ini cukup bagus untuk di nikmati, penginapan dan tempat-tempat yang sangat bagus menjadikan tempat untuk kami habiskan waktu. Dia yang asik berfoto, aku hanya melihat tingkahnya. Anak kota yang jarang bertemu alam jadinya keasikan oleh sambutan yang istimewa menurutnya.
Di bawah sinar bulan yang lumayan terang malam ini, dia berjalan mendekati ku, lalu duduk di sebelah ku, dia menyandar di bahu ini, kami sama menelisik ke arah yang jauh ke bawah sana, gemerlap lampu kota di kejauhan menjadi pemandangan sempurna kala sunyi yang diimbangi angin dingin yang menyapu kami berdua.
"Indah ya.. serasa tentram hati saat ini..", ucapannya terdengar.
"Iya, alam selalu memberikan ketenangan, pengobat luka hati.. alam selalu menjanjikan itu!", kata ku menyauti omongannya.
"Sudah lah mellow mulu deh.. kita disini untuk bahagia, sejenak tanggalkan beban mu mas Al.. aku tau itu berat tapi kamu bisa, kamu percaya tuhan, ini semua kehendak tuhan mas!", tuturnya kembali menyemangati diri ini.
Aku hanya menatap lekat ke arahnya, karena ada sesuatu di hati yang belum bisa menerima pernyataan itu. Aku paham betul dengan makna takdir, tetapi menyemai kata ikhlas kehilangan buah hati itu benar-benar sangat membuat luka dalam yang tidak pernah ada obat penawarnya.
Dia yang melihat ke arah ku langsung meminta maaf jika kata-kata nya salah. Tapi aku juga sangat paham dia hanya berusaha membuat ku tegar.
"Kita mau tidur dimana?", Silvia bertanya pada ku.
"Ya bebas penginapan banyak, apa mau buka tenda juga bisa.", ujar ku.
"Aku pengen menginap di rumah warga, biar kesannya juga rasanya seperti pendaki beneran!", ungkapnya mengutarakan keinginan.
Aku mengiyakan kemauan itu, karena jika mendaki yang aku lalui selama ini, jika bermalam di basecamp saat menunda perjalanan para pendaki akan menyewa rumah warga untuk beristirahat dan membeli makan di rumah itu, penyambutan yang begitu istimewa dari penduduk lokal. Itu menjadi sebuah kerinduan bagi para pendaki, singgah dan menghabiskan waktu semalam dengan ramah tamah pemilik rumah adalah surga bagi kami.
"Jadi kita jalan turun ke pemukiman warga ni!", ajak ku.
"Yuk...", jawaban yang di hiasi senyum sangat terlihat tulus di mata itu.
Meninggalkan pos pendaftaran itu kami jalan menurun mencari rumah warga yang biasa jadi penginapan dadakan para pendaki. Pak Yon nama pemilik rumah itu!, beliau selain berprofesi sebagai ojek di desa Mangli, disini lah kami berdua bermalam, disambut selayaknya kerabat, dan di berikan tempat yang sangat nyaman untuk tidur malam ini.
Bapak paruh baya ini mudah akrab dengan orang asing, dengan caranya yang duduk bercerita dengan kami dan pendaki lainya. Sedikit banyaknya beliau memberi pesan serta petunjuk tempat dimana yang rawan, pantangan-pantangan yang mendaki ke Sumbing. Dan menceritakan beberapa kejadian mistis yang pernah beliau jalani selama dulu menjadi tim ranger di gunung ini.
Dari itu kami semua menjadi lebih tau dan berhati-hati kedepannya. Sampai kami berdua memutuskan untuk tidur!.
Pagi hadir dan kami terbangun sebelum matahari meyibakan kabut di kaki Sumbing ini, masih temaram di luar sana, angin masih mengembuskan hawa dingin, dengan kumadang adzan subuh telinga ini di berkati oleh pujian syukur dengan diberikan masa hingga detik ini.
Air sedingin es itu ku jadikan pensucian diri, sebelum menuju sujud ke hadirat sang Khaliq. Hingga panjatan doa-doa terucap dalam relung hati akan berbagai permohonan diri.
Salam terucap seusai sholat dan aku berbalik pada makmum yang bermukena di belakang ku. Orang lain, wanita yang baru saja aku kenal, menjabat tangan ini lalu menciumnya, bagai masa dimana mantan istri ku pernah melakukan hal yang sama. Yang menjadi pembeda gadis belia ini bukan siapa-siapa ku, hanya teman seperjalanan saja.
"Mas Al mau kopi?, biar aku pesankan!", dia menawari ku, sambil memasukan lipatan mukenanya ke dalam tas.
"Iya boleh.. ngopi di depan rumah sambil lihat matahari terbit pasti seru neng!", ajak ku padanya.
"Oke neng pesankan dulu ya.", imbuhnya lalu memesan kopi ke pemilik rumah.
Aku yang duduk di bangku kayu di teras rumah, Silvia datang dengan membawa dua gelas kopi Hitam yang dia pesan. Kami kembali duduk menikmati suasana bersama, menerawang jauh ke ufuk langit menyaksikan mentari yang mulai membuka hari. Meski kabut tipis menyelimuti perkebunan juga sawah-sawah, itu lebih memberikan nuansa indah, bagai lukisan yang maha agung.
"Subhanallah.. indah banget..", ucap Silvia.
Memang sangat menakjubkan alam pagi ini, elok terlihat oleh mata, di padu dengan langit yang menggumpalkan awan-awan putih.
"Kita nanti daftar naik jam berapa mas?", Tanya nya.
"Jam delapan neng, petugas buka jam segitu biasanya.", jawab ku.
"Ohh oke masih lama."
"Iya, nikmati saja dulu fajar mu juga kopi panas mu!", suruh ku pada Silvia.
"Ho oh mas.", jawabnya dengan di barengi menganggukkan kepalanya.
Usai matahari terbit dengan sempurna kami beranjak sarapan, membayar semua yang kami pesan dan juga sewa tempat istirahat dengan pak Yon, baru kami berdua berpamitan untuk memulai naik ke atas. Jabatan ramah tamah itu kembali terjalin, dan pesan terucap kembali dari mulut laki-laki hebat ini.
Setelah mengepak barang, dan mengecek ulang bawaan, aku kenakan lagi tas jumbo itu lalu berjalan menuju pos pendaftaran lagi.
Jam depan kurang, aku mendaftar lalu membayar biaya administrasi, mencatat nomor handphone, mengisi data, melakukan pengecekan logistic, lalu mendengarkan arahan petugas.
Semua beres aku mengajak Silvia berdoa, sebelum benar-benar memulai pendakian. Dengan khusuk kami berdoa meminta tuntunan tuhan, agar selalu di jaga, di jauhkan dari marabahaya, hingga kembali pulang nanti dengan keselamatan.
"Sudah siap!", kata ku.
"Siap mas.", jawabnya dengan menatap gunung yang gagah menjulang di depan mata itu.
"Yok jalan!", aku mengajaknya.
Kami memulai start, menapaki makadam jalur yang masih sangat luas ini, menaiki tangga meninggalkan pos Mangli, lalu mulai jalan mengecil dengan sisi kanan kiri menjadi perkebunan warga yang menjadi sambutan permulaan perjalanan kami berdua.
*******
25 Desember 2021, penutupan tahun kami jadikan hari libur natal ini sebagai momen akhir tahun yang sempurna, dengan melakukan hacking berat menapaki jalur gunung Sumbing. Walau tidak seberapa banyak pendaki yang naik hari ini setidaknya ada beberapa rombongan yang tetap menjalani aktivitas sama seperti aku dengan Silvia.
Masih tergolong mudah menapaki jalur awal ini yang meski pun jalur satu orang tetapi jalan makadam dengan tatanan batu ini menjadi track yang nyaman meski terus menanjak sampai ke pos satu. Sesampainya di sini kami beristirahat, merasakan badan yang mulai panas berkeringat. Aku membuka jaket, lalu memasukan ke dalam carriel. Mengenakan kaos lengan panjang saja lebih nyaman dari pada makin kepanasan karena jaket tebal ini!
Meski cuaca cerah, matahari terik, hawa dingin tetap kami rasakan. Kabut benar-benar tidak terlihat saat ini, hingga pemandangan indah terhampar, barisan pegunungan menjadi penyemangat kami, dari tempat ini saja sudah sangat indah akan jauh lebih indah lagi nanti dari atas puncak yang mana kami dapat berdiri di atas gunung tertinggi ke dua di tanah Jawa ini!
"Minum mas!", Silvia menawari ku.
"Iya neng", aku mengambil botol air mineral yang dia sodorkan ke arah ku.
"Gerak kita yok!", ajaknya masih dengan semangat yang luar biasa.
Aku hanya mengiyakan itu, walau belum sampai sepuluh menit kami duduk di area ini. Kini penyambutan oleh hutan pinus yang sangat rapat hingga cahaya panas tadi sama sekali tidak dapat menembus jalur yang kami tapaki saat ini. Serena dingin di sepanjang track ini, jalan juga sudah tidak semudah tadi, semua tanah yang tidak teratur, dengan akar pepohonan yang menjadi anak tangga alami. Bagai kami melintasi aliran irigasi yang kering tanpa air.
Menembus hutan lebat ini membutuhkan waktu yang lumayan lama, dua jam lebih kami berjalan hanya berhenti ketika merasa penat itu pun tidak seberapa lama langsung di lanjut jalan kembali, di area ini kabut mulai turun di barengi dengan hujan yang lumayan deras. Ponco yang kami kenakan hanya cukup membantu agar tidak basah pakaian tetapi tanah mulai di licin dengan air yang lumayan deras mengalir.
"Istirahat dulu, kita harus makan neng, cuaca begini berbahaya dengan perut lapar!", ajak ku ke Silvia.
"Oke mas, makan roti saja kan ga perlu masak?", dia bertanya, karena bakal ribet kalau masak harus bentang flyset segala bikin waktu makin terbuang.
"Iya makan yang gampang saja!", jawab ku.
Aku hanya mengeluarkan gulungan flyset untuk menahan hujan dengan kami duduk berlindung dengan berkerudung saja. Sepatu juga celana yang mulai basah, merambat rasa dingin, hingga badan berulang kali menggeridik merinding. Sudah menjadi resiko ketika memasuki alam cuaca yang dapat berganti dengan cepat sudah sangat wajar, dari itu kondisi tubuh harus di jaga tetap setabil, tenaga harus benar-benar di perhatikan jangan sampai terkuras habis karena akan terus menembus dinginnya ketinggian yang terus meningkat menyusup tulang.
"Sudah siap lanjut?", Tanya ku, sementara hujan semakin deras.
"Ayo mas, lanjut!", dia yang tanpa pernah menyerah menyatakan kesiapan.
Silvia yang sudah beberapa kali mendaki dan sedari kecil dia tinggal di Garut di bawah kaki gunung Guntur, menjadikan dirinya gadis tangguh, meskipun dia terlahir berdarah Manado. Fisiknya sangat luar biasa kuat, dapat mengimbangi langkah ku yang secara fisik saja langkah ini lebih lebar dari langkahnya!
Tidak terdengar keluhannya sedikit pun, meski dalam kondisi cuaca seperti ini. Justru dia yang seakan memberikan ku kata semangat.
Hanya menempuh dua puluh menit berjalan ternyata kami sudah kembali menemukan selter di pos dua. Tempat yang mana kami bisa berteduh di sini, dan di tempat ini kami lebih bisa membuat kopi panas untuk benar-benar kembalikan stamina dan menghangatkan tubuh yang serasa hampir membeku.
Plant papan yang bertuliskan pos Siruwet ini menjadi kelegaan bagi kami karena dapat keluar dari hutan yang dibawah sana cukup menyiksa dan tanpa menemukan ada nya penunjuk arah. Terus mengandalkan feeling kami bergerak dibawah hantaman air langit dan halimun pekat yang menutup pandangan.
"Mau masak mie ga mas?", ucapnya setelah selesai menyeduh kopi.
"Neng kalau laper masak saja ga papa, saya makan roti sama ngopi saja, sambil ngudut.", ujar ku memberitahu.
"Ya udah kalau gitu ikut mas saja, sambil ngudut juga.. hehe...", katanya sambil nyengir.
Aku membalasnya dengan senyum, bagi ku cewek merokok itu sudah wajar, dan aku juga tidak pernah melarang atau memiliki pandangan buruk bagi mereka yang menyukai itu. Sebab semua memiliki alasan tersendiri, dan bagi aku pribadi walau ini tidak bagus untuk kesehatan tetapi ada rasa tenang ketika menikmati kebulan asap itu.
Terdengar orang mengobrol dan berlari turun ke bawah, tidak seberapa lama enam orang pendaki antara tiga cowok dan tiga cewek tiba di sini. Mereka yang menyapa setelah menyelesaikan misinya merasa bahagia walau terlihat pucat kedinginan. Melihat itu aku menyuruh Silvia untuk memasak air lagi dan membuatkan kopi buat rombongan ini.
"Mas... ikutan berteduh ya!", ucap laki-laki yang jalan paling depan.
"Mari mas... sini.. sini...", sambut ku ke mereka.
Lalu kami berjejal disini, saling berkenalan dan menanyakan asal kota masing-masing. Terdengar mereka pendaki campuran ada yang dari; Jogja, Temanggung, juga Magelang. Cukup lama air mendidih karena memang cuaca sangat berpengaruh, aku lebih dahulu menawari mereka roti juga air putih. Sudah dapat dipastikan jika logistic mereka sudah habis. Hingga akhirnya kami semua dapat menyeruput kopi bersama.
Cukup lama kami berbincang, dan berteduh disini, sampai hujan mulai reda di pertengahan hari. Sekitar pukul satu siang kami berpisah, aku dan Silvia berpamitan pada mereka berenam, dan mereka memberikan ucapan semangat. Momen itu berakhir disitu, lalu kami melangkah naik ke atas, menyibak belukar yang basah.
Belum seberapa lama track kami titi dengan semangat baru, baru aku mendengar gadis di belakang ku mengaduh, aku hentikan langkah ku lalu berbalik ke arahnya. Aku lihat dia setengah sujud memegangi cabang kayu kecil dengan muka tertunduk.
"Kenapa neng?", aku turun menghampirinya.
"Sebentar mas Al.. rehat bentar ya!", pintanya.
Aku menatapnya lekat mencoba mencaritahu kenapa dengan dirinya. Ketika dia mengangkat wajahnya dan menatap ke atas dia melihat sesuatu yang entah apa itu, yang jelas sudah ada sambutan ganjil di belakang ku yang tidak bisa mata ini lihat.
"Lihat apa anak ini?", aku bertanya dalam hati.
"Kamu ga papa?", Tanya ku meyakinkannya.
"Ga papa mas... sebentar ya!", kata itu terdengar.
Aku dapat memaklumi itu, dan hanya menunggu kapan dia kembali siap melanjutkan perjalanan. Andai saja dia meminta turun karena takut, aku hanya bisa menurutinya, sebab alam bukan tempat keegoisan, lebih baik membatalkan pendakian dari pada harus menghadapi marabahaya yang akan jauh membawa diri dalam lingkaran dedemit gunung.
"Alhamdulillah.. hahhh...", ucapnya yang di barengi dengan nafas lega itu terdengar.
"Mau lanjut?", kata ku bertanya.
"Lanjut, ga papa, aku tadi..."
"Iya ga papa, ga usah di ceritakan!", aku memotong omongannya.
Lalu dia mengulurkan tangannya meminta bantu naiki jalur menanjak yang tidak seberapa tinggi itu!, lalu aku menyuruhnya jalan di dapan biar dapat menjaga juga melihatnya dari belakang. Aku dapat menyimpulkan jika kebatinan Silvia ternyata sangat tajam. Entah kenapa dengan diri ini, justru tidak dapat merasakan apa pun. Walau sudah sejauh ini menyusuri pendakian tetap saja di dalam otak terus penuh dengan kesedihan.
******
Tidak seberapa sungai terlihat disini, dengan lumayan deras karena hujan tadi. Kembali Silvia meminta beristirahat, karena udara disini benar-benar sudah sangat dingin. Dan disini mengucapkan kata dingin menjadi salah satu pantangan menurut pak Jon menyampaikan itu waktu kami bermalam di tempatnya. Hanya saja teman ku ini menyeletuk jika dia merasa dingin.
"Mas istirahat sebentar, dingin benget ni, aku ambil jaket dulu!"
"Aduh..", ucap ku lirih, tapi di dengar dia.
"Ahh sorry.. sorry... kelepasan aku.", ucapnya dengan menutup mulutnya.
"Sudah ga papa... santai saja.", jawab ku.
Aku antara percaya dan tidak perihal larangan ini, tetapi sebuah larangan tidak akan pernah ada tanpa sebab, dan tentu itu di buat karena pernah terjadinya sebuah tragedi di sebalik ucapan itu. Disini bisa ku hanya berdoa semoga tidak terjadi apa-apa. Cuaca yang belum berpihak pada kami, alam masih berselimut kabut, dan gerimis masih turun, membawa suhu sangat dapat dirasakan dibawah enol drajat.
Kini jaket sudah dia kenakan tetapi justru terlihat jika dia semakin kedinginan. Sampai jas hujan ia kenakan lagi, badan Silvia bergetar menggigil.
"Ehh neng kamu ga papa?", aku mulai agak panik melihat itu.
"Tenang.. aku hangatkan tubuh sambil buat kopi panas sebentar ya!", ucapnya sembari meminta.
"Iya....", aku langsung mengeluarkan peralatan.
Menunda perjalanan kembali, sampai disini terlihat langit semakin gelap, memasuki waktu asar sudah lumayan temaram bagai mau magrib. Tetapi bagaimana pun keselamatan adalah utama dari pada memburu waktu hanya untuk mencatat keberhasilan berdiri puncak gunung.
Sumbing termasuk gunung yang memiliki jalur berat, meski disini tergolong jalur paling pendek dari jalur lain, tetapi puncak kemiringannya sangat menguras tenaga, menghajar fisik tanpa ampun.
Aku menyuruhnya mendekatkan telapak tangan ke kompor biar bisa merasa hangat. Walau gerimis belum juga berhenti, kami tanpa penutup apa pun memasak air dibawah langit yang tidak memberikan celah dalam membuang airnya. Sedikit lumayan terlihat dia mulai stabil, dengan berkurang tubuhnya yang menggigil, wajahnya juga tidak sepucat tadi!
Aku seduh kopi dalam cangkir lalu memberikan pada Silvia, tegukan kopi panas itu sangat berguna untuknya. Kini dia jauh lebih kembali pulih. Hanya saja pantangan dilarangnya mengucapkan kata "dingin" di Sumbing tetap menjadi misteri. Aku yang melihat perubahan secara drastis setelah kata itu terucap dari mulut Silvia, membuatnya dia kedinginan. Hebatnya dia selalu bisa mengontrol hal itu!
Suara aliran air itu gemericik terdengar, angin yang terus berhembus memperlihatkan halimun bergerak terseret. Disini aku melihat bayangan seperti seseorang yang berdiri di sebalik kabut. Aku yang terus memastikan itu, mencoba memfokuskan pandangan.
"Lihat apa mas Al?", Silvia bertanya sambil menepuk bahu ku.
"Itu manusia, apa batu sih?", aku tidak yakin dengan apa yang terlihat.
"Pohon mungkin.", jawabnya sambil pandangannya mengikuti arah yang aku tunjuk.
Aku yang terus memperhatikan itu, tanpa bergerak bayangan itu tetapi semakin besar juga terasa terus mendekat. Tetapi jelas itu sama sekali ditempat semula tanpa bergeser maju sama sekali. Andai pun manusia kenapa tidak bersuara, andai batu atau pohon kenapa terus bertambah besar!
"Sudah ga usah di perhatiin, beres-beres saja yok, lalu gerak!", pinta Silvia.
Dari pada rasa penasaran ini justru menyeret ke hal yang tidak diinginkan, aku langsung mengepak peralatan. Dan kembali mengikuti arahan gadis ini. Dia entah kenapa seperti malaikat penjaga di pendakian kali ini. Dari berbagai perjalanan baru saat ini justru aku yang di jagain oleh seseorang, sangat berbalik dengan berbagai pengalaman-pengalaman sebelumnya.
Dari sini pun aku merasa jauh dari kata fokus, selalu diarahkan olehnya, agar selamat.
"Jalan kita neng!", ajak ku.
Dia hanya mengangguk dengan tetap memegang cangkir kopinya sambil berjalan di depan ku. Sampai menyeberangi sungai kecil ini pun dia tetap sambil menyeruput kopinya. Aku baru ini menemui cewek kuat, segokil dia.
Percabangan Debus kami lewati dengan rasa yang di ikuti seseorang. Mungkin saja itu sosok yang aku lihat di bawah tadi!
Rasa ini terus terasa, bahkan suara langkahnya menginjak ranting dan beceknya jalur dapat terdengar. Diam dan mengabaikan hal itu jauh lebih baik, karena dia yang saat ini berusaha kacau kan pemikiran diri ini.
Lolos melalu jalur yang sangat menanjak juga menguras habis tenaga itu, percabangan Magli-Butuh kini kami berdiri, ada kelegaan di area ini yang tidak terlalu miring dan tidak seberapa lama lagi pos Tiga akan segera terlihat, kami perkirakan sehabis magrib kami berdua tiba disana. Untuk menghindari gelap di jalur kami terus melangkah, walau kaki benar-benar sudah sangat letih, lutut bergetar menopang badan yang menggendong carriel ini.
"Semangat neng Via!", aku menyemangatinya dengan suara parau kecapekan.
"Iya kak... huft....", dia juga terdengar ngos-ngosan menjawab ku.
Gelap sudah kini jalur, meleset jauh dari perkiraan. Aku yang membayangkan akan sampai puncak waktu magrib, justru baru sampai di sini kami masih bertarung dengan alam yang menghadiahi kami cuaca buruk sepanjang pendakian ini. Headlamps aku kenakan, Silvia juga mengeluarkan senter kecilnya. Sama-sama kami bergerak pelan menembus gelap ini, tanpa di susul atau menemui pendaki yang tengah turun juga beristirahat.
"Heii... heii... heii....."
Suara memanggil dari arah belakang.
Tiga kali suara itu memanggil, bukan hanya aku yang mendengar tetapi Silvia juga, sampai dia berhenti dan berbalik ke arah ku. Sambil menyorotkan senternya ke bawah dan mencari sumber suara itu. Aku menyuruhnya jalan saja, tanpa perlu pedulikan apa pun. Andai memang itu pendaki lain, nanti juga bakal bertemu di pas tiga saat kami beristirahat.
Gangguan bermunculan ketika matahari kini sudah benar-benar tenggelam, berbagai penggilan yang tanpa ada wujudnya terus terdengar dari belakang di bawah sana. Meski gerimis sudah mulai berhenti, kabut tebal bagai batasan dinding berwarna putih itu kini lebih pekat dan tebal. Dapat dirasakan jika putaran waktu gerbang lelembut kini terbuka sudah.
"Alhamdulillah selter tiga mas!", Silvia menyerukan kelegaan.
"Iya neng.", aku yang hanya asal menjawab, karena semua tertutup kabut.
Teman ku yang semakin semangat untuk segera sampai di pos itu, memperlebar langkahnya, agar dapat segera sampai dan merebahkan badan di sana untuk membuang lelah. Hanya saja lima belas menit kami terus menanjak, tempat itu sudah tidak terlihat lagi oleh Silvia.
"Lah kok ga sampai-sampai ya mas, tadi deket banget loh!", dia memberitahu dengan nafas yang sudah memperlihatkan dirinya kecapekan.
"Sabar dikit lagi, tarik nafas dulu sebentar!", aku menyuruhnya agar tetap tenang.
"Iya mas.. tapi tadi deket banget. Ini ga beres deh.", celetuknya mulai tidak bisa mengontrol omongan.
"Sudah berdoa saja, jangan mikir macam-macam. Ayo jalan lagi!", ajak ku dengan memperingatkan dia.
Dia sebelum kembali melangkah aku lihat berdiri diam, sambil khusuk berdoa. Setelah itu baru kembali melanjutkan langkah. Dan. Lima atau sepuluh langkah saja kami berjalan sudah berada di bangunan beratapkan seng itu!, tentu ini sangat aneh dan terlihat ganjil, mau setebal apa pun kabut dalam jarak beberapa meter masak cahaya headlamps kami tidak menemukan tempat ini barusan, tetapi sekitaran lima meter naikin jalur, kami berdua sudah di sisi pos tiga.
Mata bagai di tutup oleh mereka atau memang sengaja selter peristirahatan ini tadi di hilangkan, dengan kembalinya kekuatan iman baru semua itu dapat hilang, menguap begitu saja. Suara panggilan yang sedari tadi terus terdengar pun kini tidak ada lagi!, kami melepaskan tas masing-masing yang sudah terasa berat menggantung di bahu sedari tadi, dan menikmati denyutan lutut sampai telapak kaki saat duduk beristirahat.
"Kok ga nemu pendaki lain ya neng?", aku mulai membuka obrolan.
"Iya cuma di bawah saja itu kak, paling belum ada yang turun kali ya. Atau baru pada naik mungkin!", jawabnya dengan tangannya memijit kakinya yang terasa capek itu.
"Iya kali.", ucap ku datar karena tanpa mendapatkan jawaban.
Disaat seperti ini juga gadis ini ingin buang air kecil, sampai dia celingak-celinguk resah mencari tempat.
"Kenapa?", tanya ku, yang heran melihat tingkahnya.
"Kebelet pipis nih mas... dimana ya?", dia yang terus berusaha mencari tempat.
"Sudah dimana saja, niat saja yang baik-baik terus di siram banyak-banyak bekas pipisnya!", suruh ku pada nya.
"Iya deh, ga tahan lagi nih.", katanya dengan mengambil air mineral dari dalam tas nya.
Sebelum dia bergerak pergi kencing aku hanya mengingatkan kembali untuk menyiram bekasnya sampai bersih. Dia mengangguk dan mengacungkan jempolnya memberi tanda jika paham dengan maksud ucapan ku. Lalu dia pergi mencari tempat untuk pipis, tanpa terlihat lagi oleh ku tertutup kabut.
Susahnya mendaki dengan cewek berdua saja itu begini, merasa kasihan saat seperti ini, untung saja Silvia bukan cewek penakut yang mesti di antar juga di tungguin saat buang air. Ada rasa sedikit tenang tapi dalam hati juga sangat was-was, ditengah belantara berkabut, yang menjadi ketakutan ku hanya jurang saja andai dia tidak berhati-hati mencari tempat.
Aku yang duduk menunggunya hanya memakan roti dan minum air putih, sesekali aku lirik jam tangan ku, menandai seberapa lama teman ku ini pergi. Lima belas menit dengan alam yang sepi menjadikan ku semakin khawatir. Karena kalau pun hanya buang air kecil tidak akan selama ini, apa lagi menunaikan hajatnya di alam liar, yang angker begini.
"Neng... neng... Via..." aku berteriak memanggilnya.
Tetap tidak ada jawaban. Sampai aku ulangi memanggilnya dengan suara yang jauh lebih keras, agar dia dapat mendengar ku.
"Iya mas, iya." Dia menjawab. Membuat hati ini lega.
Sampai cahaya itu terlihat dan dia bergerak mendekat kembali menuju tempat aku menunggunya. Tetapi jelas terlihat dimata ku, jika sosok wanita berambut hitam panjang juga mengikuti Silvia dari belakang. Dia datang tidak sendirian!
[BERSAMBUNG]
*****
Selanjutnya