Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

ALAS SEWU LELEMBUT (Part 3) - Pendekar Pasundan

Tokecang, tokecang…
Balagendir tosblong…
Suara itu mendekat menuju ke arah desa.

Imah akang, bau arang…
Barudak leutik.. Gosong…
(Rumah abang, bau arang.. Anak kecil.. Gosong…)


(Sudut Pandang Cahyo…)
“Cahyo! Jangan gegabah! Itu hanya sebuah sarung!” Teriak Jagad.
Bukanya tidak mempedulikan ucapan Mas Jagad, namun sarung itu memiliki arti yang penting untukku.

Tapi setelah berpikir sesaat aku merasa ucapan Mas Jagad ada benarnya, sepertinya masalah Mas Linggar masih lebih darurat.

“Baik mas, kita cari nanti saja,” Balasku.

Tapi tepat saat aku membalikkan badan, tiba-tiba Mas Jagad dan yang lainya sudah menghilang dari pandanganku.

“Mas Jagad! Mas Linggar!” Teriakku memanggil mereka, namun tidak ada satupun jawaban dari mereka.

Sebaliknya mulai ada kabut pekat yang menyelimuti hutan ini.

Samar-sama aku merasakan ada sosok yang mendekat. Sosok pria berambut gondrong muncul dari balik kabut.

Ada sesuatu yang menarik perhatianku. Ia menenteng sebuah sarung yang sangat kukenal.

"Heh! Itu sarungku! Balikin!" ucapku yang menyadari sarungnya berada di gengGaman orang itu.

Pria itu tidak menjawab dan terus berjalan ke arahku dengan tatapan dingin.

“Jadi kamu yang menghabisi orang-orang itu?” Ucap pria gondrong itu.

Aku mencoba mencerna apa yang ia maksud. Apa yang dimaksud adalah anak buah dari Dukun bernama Mbah Sugik itu? Apa dia salah satu dari mereka?

“Mereka pantas mendapatkanya,” ucapku.

Aku merasa orang ini berbeda dengan anak buah Mbah Sugik yang lainya. Entah mengapa aku merasa ia jauh lebih berbahaya. Tingkahnya seperti makhluk buas yang sedang menahan amarahnya hingga menggeram.

"Ah elah, udah cukup aku saja yang tingkahnya kayak monyet, jangan ada lagi orang yang tingkahnya kaya hewan buas," balasku saat melihat wajah Budi yang berlaku layaknya hewan hutan.

Walau sedang menahan amarahnya, orang itu tetap menjaga jarak dariku seolah tidak meremehkanku.

"Heh Balikin! Sarung itu mengandung kutukan aroma keringat pendekar jawa yang bisa membuat hidupmu nggak tenang! Buat ikat rambutmu juga bakal jadi sarang kutu!" Ucapku lagi.

Pria Gondrong itu masih belum mau menyerahkan sarungku.

“Untuk apa tujuan kamu masuk ke dalam leuweung sasar!” tanya Budi semakin penasaran.
Baru saja aku akan menjawab, tiba-tiba secara bersamaan kami mendengar jelas suara lengkingan teriakan perempuan sangat kencang dari dalam leuweung sasar.

***

(Sudut Pandang Danan…)
Suara auman makhluk mengerikan terdengar di sekitarku bersama sebuah ritual singkat dari seseorang yang berada di hadapanku sekarang.

“Jangan jauh-jauh dari mas ya,” Ucapku pada sosok roh anak-anak yang mulai ketakutan itu.

Hentakan kaki orang itu mampu membuat tanah di bawahnya bergetar, dan semua semakin mengerikan ketika samar-samar terlihat makhluk hitam yang tingginya melebihi tubuh manusia dewasa.

Siapa orang ini? Apa dia ada hubunganya dengan Mbah Sugik?

“Grraaaoorrr….”

Aku menggenggam wujud roh Keris Ragasukma bersiap menghadapi sosok apa yang akan kuhadapi.

Sesuatu mendekat ke arahku, ia menerjang dengan begitu cepat dengan wujud yang mengerikan. Itu sebuah cakar!

Aku tidak bisa membayangkan wujud sebenarnya dari makhluk mengerikan ini. Setidaknya aku harus bisa menyelamatkan diri dari serangan ini terlebih dahulu.

Akupun bersiap menghalau cakar besar itu dengan Keris Ragasukma di tanganku.

Tapi… tepat sebelum cakar itu beradu dengan Keris Ragasukma, tiba-tiba makhluk itu terhenti.
Terlihat.. terlihat dengan jelas dihadapanku saat ini. Seekor macan berukuran sangat besar berwarna hitam.

Wujudnya begitu mengerikan. Aku yakin siapapun lawan dari makhluk ini akan gentar melawanya.
Aku melihat seseorang yang memanggil sosok ini. ia masih menutup matanya sembari terus menggenggam pusaka gelang miliknya.

Tapi saat menyadari makhluk utusanya berhenti menyerangku, iapun membuka matanya.
“Apa yang terjadi?” ucap orang itu yang kebingungan dengan makhluk suruhanya itu. Kebingunganya sama dengan apa yang kurasakan.

Tapi macan hitam raksasa itu malah berbalik arah menuju tuanya dan tubuhnya mengecil secara perlahan.

Semakin wujudnya kecil jalanya semakin tertatih layaknya seekor kucing yang pincang.

Tunggu? Kucing pincang? Jangan-jangan?

Akupun menggunakan kesempatan itu untuk kembali ke tubuhku dan menghampiri orang itu. Aku yakin ada kesalahpahaman diantara kami.

“Kenapa? Kenapa kamu tidak mau menyerang makhluk itu?” Tanya orang itu pada sosok kucing hitam yang kini bermanja-manja di kakinya.

“Mungkin karena ia tahu ada kesalahpahaman diantara kita,” balasku sembari mendekat kepadanya.

“Tunggu? Kau manusia? Lantas tadi?” Pria itu cukup bingung melihat sukmaku yang sudah kembali ke tubuh.

Aku menunjukkan pusaka Keris Ragasukmaku padanya dan menjelaskan apa yang terjadi.

“Dengan kemampuan keris ini aku bisa melakukan ajian Ragasukma, memisahkan roh dengan tubuh. Dengan cara itu aku lebih mudah untuk menemukan sukma dari anak-anak ini,” jelasku.

“Jadi Aa’nya bukan setan?” Tanya pria itu. Akupun menjulurkan tanganku padanya.

“Nama saya Danan, Dananjaya Sambara. saya dan teman saya sedang mencoba menolong anak-anak ini. Tapi sepertinya masih ada sukma beberapa mereka yang belum bisa saya temukan,” ucapku.

“Wah, kalau gitu maafkan saya A, Saya Gama. Saya juga sedang mencari pelaku yang membuat masalah serupa di desa saya,” balasnya.

“Salam kenal Mas Gama, tapi bagaimana kalau perbincanganya kita tunda dulu. Biar saya pulihkan dulu beberapa anak yang sukmanya berhasil saya temukan,” balasku.

“Baik A’ , Biar saya bantu..” ucapnya.

Kamipun menghampiri tubuh anak itu satu persatu dan mengarahkan sukmanya untuk kembali. Aku memperhatikan Gama yang ternyata juga memiliki kemampuan untuk memulihkan anak-anak ini.

Sembari menolong mereka, tak lama kemudian Abah dan Paklek datang bersama beberapa warga desa yang segera membantu mengevakuasi anak-anak yang sudah sadar.
“Mereka gimana mas? Apa sudah bisa dipertemukan dengan orang tuanya?” Tanya salah satu warga desa.

“Yang sudah sadar sebaiknya segera dibawa pulang agar orang tuanya tidak khawatir. Tapi mereka yang belum sadar sebaiknya dibawa ke rumah sakit,” balasku.

Abah tersadar dengan keberadaan seseorang yang berada di dekatku, Gama.

“Punten, Aa’ teh siapa?” Tanya Abah pada Gama.
“Eh, Iya pak. Saya Gama, tadi saya dari Kampung Wetan Tilasjajah. Tadi ada sedikit insiden dengan mas Danan,” balas Gama.

Aku mendekati Paklek sembari membisik kepadanya.

“Hati-hati Paklek, dia juga orang sakti. Kucing itu ga kalah serem sama kliwon,” bisikku.

Paklek mengernyitkan dahinya tidak percaya. Sekilas kucing itu memang hanya terlihat seperti kucing hitam yang pincang biasa.

“Ojo guyon kowe nan,” (Jangan bercanda kamu Nan) Balas Paklek.

“Yah.. nggak percaya,” ucapku. Akupun menepuk tanganku dan memanggil Gama.

“Gama! Nih Paklekku nggak percaya kalau kucing itu bisa jadi makhluk raksasa?!” Teriakku.

Gama segera menghampiri ke arahku sambil menepuk pundakku.

“Jangan begitu Danan, aku nggak bisa seenaknya memanggil dia. Hanya saat dalam keadaan berbahaya saja,” balasnya.

“Haha, benar juga,” balasku.

Ternyata Gama juga sama. pusaka dan khodam yang ia miliki tidak bisa seenaknya digunakan.

Tapi ternyata perbincanganku dengan Gama tadi menarik perhatian Abah.

“Kucing? Raksasa?” tanya Abah.

Ia melihat di tangah Gama masih tergenggam sebuah gelang kecil yang tadi ia gunakan untuk ritual pemanggilan khodamnya.

“Apa itu gelang gengge?” Tanya Abah.

Mendengar pertanyaan itu sontak Gamapun kaget. Tak hanya Gama, akupun jadi penasaran apakah Abah tahu tentang orang ini.

“I...iya pak, Bapak tahu gelang ini?” Tanya Gama.

“Jangan bapak, saya biasa dipanggil Abah. Nak Gama ini, apa kenal Ki Duduy?” tanya Abah.

“Eh, Abah kenal Ki Duduy? Ki Duduy teh kakek saya,” balasnya.

Aku mendekat pada Abah mencari tahu apa yang ia maksud.

“Ki Duduy itu orang yang mau aku pertemukan sama Mas Danan, malah bisa kebetulan begini ketemu dengan cucunya,” Ucap Abah.

“Memangnya Mas Danan ada perlu apa dengan Ki Duduy?” Tanya Gama.

Sebenarnya aku masih ragu menceritakan hal ini kepada Gama, tapi apabila Gama memang cucu dari orang yang dimaksud Abah mungkin aku harus menceritakanya.

“Saya ingin mencari tahu tentang sosok seseorang,” jawabku.

“Kami menduga sosok yang Mas Danan maksud adalah Ki Langsamana. Jadi saya berpikir ingin mempertemukan Mas Danan dengan Ki Duduy,” tambah Abah.

Gama terdiam sejenak sepertinya ia sedikit berhati-hati menanggapi ucapan kami.

“Gelang ini adalah peninggalan Ki Langsamana, menurut Kakek sosok yang berhadapan dengan Danan tadi juga peninggalan Ki Langsamana.

Kami menyebutnya Meong Hideung. Tapi untuk menjawab pertanyaan Mas Danan, saya sendiri takut salah berbicara.” Jawab Gama.

Melihat Gama menunjukkan gelang itu aku teringat bunyi krincing dan suara kucing saat sosok itu menolongku dari pembatuan.

“Tapi mungkin saya bisa mempertemukan Kalian dengan Kakek saya Ki Duduy agar informasi yang Danan butuhkan bisa lebih akurat,” tambah Gama.

Aku dan Abah cukup lega mendengar ucapan Gama.

“Terima kasih, semoga kami berjodoh bertemu beliau,” balasku.

“Tapi Punten, saya masih ada suatu hal yang harus saya lakukan. Ada anak kecil di kampung saya yang menghilang dengan misterius.
Setelah urusan ini selesai saya akan menghubungi Abah dan Mas Danan,” Ucap Gama.

Mendengar ucapan itu aku sedikit tersenyum. Rupanya selain kami masih ada juga orang yang mau repot-repot membantu orang lain dalam masalah serupa.

“Iya Gama, kami juga harus menyelesaikan masalah di tempat ini dulu,” balasku.

Aku teringat dengan anak-anak yang masih belum tersadar. Harus ada yang mengangkutnya ke rumah sakit, tapi Mobil Mas Jagad sedang tidak ada di tempat.

Walaupun ada, tidak mungkin juga membawa mereka di mobil bak Mas Jagad.

Di tengah kebingungan kami, dari jauh kami melihat nyala lampu mobil mendekat ke arah kami. Orang itu turun dan menanyakan perihal keramaian di tempat ini.

“Maaf Abah, itu ada yang mau bantu nganter anak-anak itu ke rumah sakit,” ucap salah satu warga desa.

Abah menghampiri orang itu untuk memastikan. Masalahnya di desa ini jarang sekali yang memiliki mobil.

Mungkin tak hanya aku, Abah juga khawatir kalau orang itu adalah komplotan dari dukun bernama Mbah Sugik itu.

Setelah berbicara sebentar, Abahpun kembali dan memerintahkan warga untuk memasukkan anak-anak itu ke dalam mobil.

“Abah? Bener nggak papa? Abah kenal orangnya?” Tanyaku.

Orang itu datang menghampiriku dan memberikan salam.

“Permisi Mas Danan, biar saya yang nganter anak-anak ini ke rumah sakit. Harusnya masih muat untuk membawa perwakilan orang tua mereka juga,” jelas orang itu.

Aku menatap orang itu, wajahnya terlihat tidak asing untukku.
“Ini Putra, pemilik pabrik tahu yang pernah Mas Danan datangi..” Jelas Abah.

Aku berpikir sejenak dan teringat akan kejadian saat aku menemukan warangka di pabrik itu.

Sebuah pabrik yang menyimpan kematian misterius dari seorang wanita.

“Owalah Mas Putra, pangling saya. Saya jadi tenang kalau gitu. Titip mereka ya Mas,” Ucapku.

“Siap Mas Danan. Mas Danan juga istirahat, jangan maksain diri,” balas Mas Putra yang segera berpamitan padaku.

“Kalau begitu saya juga mau pamit mas, maaf tadi sudah salah paham,” Gamapun mendekat ke arahku.

“Eh Iya nggak papa, hati-hati ya mas. Kita ketemu lagi secepatnya,” balasku.

Setelah kepergian mereka, aku bersiap untuk menyusul Cahyo. Tapi Paklek melarangku.

Menurutnya mereka berempat sudah cukup. Paklek merasa masih ada kemungkinan Mbah Sugik dan anak buahnya kembali ke tempat ini untuk mengincar lagi anak-anak yang masih lemah.

Akhirnya Aku, Abah, dan Paklekpun memutuskan untuk menjaga desa dan mempercayakan sisa anak buah Mbah Sugik yang kabur itu ke Cahyo dan Mas Jagad.

***

Sejak kejadian malam itu Desa Abah mengadakan pengamanan keliling dengan jumlah orang yang lebih banyak. Aku sempat beristirahat, tapi entah mengapa Paklek terlihat begitu cemas. Biasanya ia adalah yang paling tenang menghadapi permasalahan seperti ini.

Malam setelahnya keadaan di desa ini berubah drastis. Desa yang sebelumnya ramai dengan aktivitas warga kini menjadi begitu sepi.

Warga terutama anak-anak benar-benar dilarang untuk keluar setelah matahari tenggelam. Apalagi hingga saat ini Cahyo dan Jagad belum juga kembali.

“Paklek nggak tidur?” Tanyaku pada Paklek yang masih terus berjaga di halaman rumah Abah.

“Belum Nan, perasaan nggak enak Paklek masih belum hilang dari kemarin,” ucapnya.

Tak hanya Paklek, aku juga sama. Tapi menurutku di saat seperti ini sebaiknya kami beristirahat mengumpulkan tenaga untuk menghadapi kemunculan dukun itu lagi.

Baru saja ingin merayu Paklek untuk beristirahat, sayup-sayup aku mendengar suara Abah yang tengah melantunkan ayat-ayat suci dari salah satu masjid desa. Suasana ini hampir selalu kurasakan di setiap desa yang tengah mendapat teror ghaib.

Melewati tengah malam, Paklekpun memutuskan untuk masuk ke rumah dan tidur. Walau cukup cemas, tapi sepertinya ia sudah tak mampu menahan kantuknya.

***

Tokecang… tokecang…

Di tengah tidurku sayup-sayup aku mendengar suara suara seseorang sedang benyanyi dengan sangat pelan.

Tokecang, tokecang…
Balagendir tosblong…
Suara itu seperti mendekat menuju ke arah desa.

Imah akang, bau arang…
Barudak leutik..
Gosong…
(Rumah abang, bau arang.. Anak kecil.. Gosong…)

Mendengar suara itu sontak akupun memaksa diriku untuk terbangun dari tidur. Aku yakin memang ada yang mendekat ke desa ini.

“Paklek!” aku mencoba membangunkan Paklek yang masih terlelap.

Ia membuka matanya dan aku memberinya isyarat bahwa aku curiga akan sesuatu. Paklek yang cemas semenjak tadi segera mengambil tasnya dan mengikutiku menuju keluar.

Tokecang… tokecang…

Benar, ada sosok yang mendekat membawa obor. Ia masuk ke dalam desa sembari menari-nari mengenakan pakaian wayang orang dengan wajah yang dicat putih. Jelas dia bukan manusia biasa.

Aku memperhatikan seluruh warga yang bertugas berjaga tertidur lelap. Kecurigaanku muncul bahwa ngantuknya Paklek dan warga desa adalah akibat ilmu dari sosok itu.

Sambil terus menyanyi dan menari ia memasuki desa yang kini sangat hening ini.

Orang itu menunjuk satu persatu rumah seolah sedang menandai dimana rumah yang ia incar.

Aku dan Paklek memperhatikan dari jauh. Orang itu mengetuk salah satu pintu warga desa. ia menunggu sambil terus menari dengan asik di depan pintu rumah orang itu.

Tak berapa lama, seorang anak keluar dari rumah itu dengan tatapan kosong. Degan segera ia menjambak anak itu dan menyeretnya ke jalan sembari terus menari-nari.

Iapun pergi ke rumah berikutnya dan melakukan hal yang sama.

Anak-anak itu hanya menurut saja dengan perlakuan kasar dari orang itu. anehnya semua warga dan anggota keluarga tidak ada yang terbangun.

Kamipun tidak mau menunggu lama dan menghadang makhluk itu. Iapun mengernyitkan dahinya saat melihat kami.

Tak lama setelahnya dia menoleh ke salah satu atap rumah.

“Nyai Runtak Goblok! Masih aya nu teu sare!” (Nyai Goblok! Masih ada yang belum tidur) ucap orang itu.

Aku dan Paklek menoleh ke arah orang itu menoleh. Kamipun baru sadar bahwa ada sosok di atas salah satu rumah.

“Khikhikhi… mereka sudah tertidur, tapi bangun lagi.. khikhikhi. Selanjutnya urusanmu goblok!” Balas sosok itu.

Kami yakin dua orang ini bukan manusia biasa. Sosok yang menari itupun melempar anak-anak itu ke pinggir dan berjalan mendekati kami.

“Kang Jawir teh nggak suka ribut! Kang Jawir teh nggak suka berantem!” Ucapnya sembari tertawa.

“Kalau begitu lepaskan mereka dan pergi jauh dari sini!” Ucapku.

“Hihihihi…” Kang Jawir malah tertawa seolah sedang bercanda.

“Mereka sudah dipilih, Kang Jawir teh cuma ngejemput, hihihi,”

Paklek menepuk bahuku. Sepertinya Paklek mencoba memperingatkanku.

“Mereka kuat, Paklek sama sekali tidak tahu ilmu apa yang mereka gunakan,” ucap Paklek.

Ucapan Paklek benar. Walau terlihat seperti orang tidak waras, Kang Jawir dan Nyai Runtak menyembunyikan ilmu yang tidak kami ketahui.

“Kami tidak mungkin membiarkan kalian membawa anak-anak itu,” ucapku.

“Hihihi, maneh teh saha? Sugik bae teu wani ngatur aing,” (Kamu itu siapa? Sugik saja tidak berani ngatur saya)

Ia tertawa tapi setelahnya matanya berubah menjadi ancaman. Kali ini aku merasa dalam bahaya.

Akupun menarik Keris Ragasukma dari sukmaku dan bersiap menghadapinya. Tapi saat aku hendak menariknya dari warangkanya. Tiba-tiba tangan Kang Jawir sudah menahan tanganku hingga tak mampu mencabut keris itu.

“Jangan buru-buru,” ledeknya.

Paklek yang melihat hal itu juga mencabut keris sukma geninya dan menyerangnya untuk mengusirnya dari dekatku.

Dengan sigap Kang jawir melompat ke belakang sembali kembali menari.

“Hiji.. dua.. tilu… Jurig didinya, jurig didieu,” Kang jawir mengucapkan kalimat itu sembari menatap tajam ke arah kami. Aku merasakan firasat buruk dari apa yang ia ucapkan.

Iapun melompat sembari mengulang-ulang kalimat itu.

Dan tepat saat kakinya menyentuh tanah, kami tercengang dengan apa yang terjadi.
Tiba-tiba di seluruh desa muncul berbagai macam sosok yang sudah mengincar kami.

Aku menelan ludah saat melihat kumpulan pocong bergelimpangan di atap-atap rumah.

Roh manusia yang mati dengan tidak sempurna memandangi kami dengan wajahnya yang rusak dari sudut-sudut jalan. hingga tubuh tanpa kepala yang berjalan mendekati kami.

“Paklek!” ucapku memperingatkanya.

Kang Jawir kembali menari dan meninggalkan kami. ia menuju ke pintu rumah selanjutnya dan mengacuhkan kami.

“Jangan ganggu anak-anak itu,” ucapku. Belum sempat mengejarnya, tiba tiba sosok pocong terjatuh di hadapanku. Ia berusaha berdiri dan menghadangku.

“Urusanmu dengan mereka,” balas Kang Jawir yang benar-benar mengacuhkan kami.

Paklekpun sudah mulai membaca-baca ajian untuk menghadapi makhluk-makhluk ini. Tanpa kusadari mereka sudah makin mendekat mengerubungi kami.

Aku mencoba menenangkan roh mereka dengan doa, tapi mereka malah kesakitan.

“Tidak bisa Nan, mereka diikat oleh orang-orang itu.” ucap Paklek.

Mengetahui hal itu aku merubah seranganku dengan menghadapi mereka dengan Keris Ragasukma.

Aku menyerang yang mendekat satu persatu hingga tubuh mereka terbelah.

“Sakiit… sakit…”

Makhluk-makhluk itu bukanya melawan, mereka malah merintih kesakitan. Tapi walau tubuh mereka terluka dan terbelah mereka tetap mendekat ke arah kami dengan segala cara.

“Sakitt.. jangan tambah penderitaan kami,” ucapnya.

Ucapanya begitu lirih. Mereka seperti benar-benar tersiksa. Aku yakin mereka benar-benar roh manusia.

“Brengsek kalian! Apa yang kalian lakukan pada mereka!” Teriakku.

“Khikhikhi… kami sudah memberi pada mereka apa yang mereka mau saat mereka hidup. Kini mereka harus membayarnya saat mereka mati,” Ucap Nyai Runtak.

Aku ingin menyerang mereka lagi. Tapi mereka tidak akan menghilang dan hanya akan terus tersiksa, sementara doa-doa kamipun tidak mampu menenangkan mereka karena ada yang mengikat mereka.

Aku dan Paklek hanya bisa bertahan menghadapi mereka semua agar menjauh.

Geni Baraloka Paklek sudah menyala, api itu bisa memulihkan beberapa luka roh tumbal itu tapi tetap saja tidak bisa menenangkanya.

Nyai runtak tertawa puas mengetahui kami yang kewalahan melawan para pengikutnya ini. Sepertinya aku harus mengambil resiko.

“Maaf Paklek, nggak bisa begini terus,” ucapku. Akupun menerobos kumpulan pocong dan setan setan itu dan berlari menuju salah satu rumah tempat Nyai Runtak berdiri di atapnya. Aku bersiap naik ke atas untuk menyerang sosok perempuan gila itu, tapi ternyata tidak semudah itu.

Semakin aku mendekat mataku terasa berat. Aku hampir tidak mampu menopang kesadaranku dan tertidur. Sementara itu di tengah kesadaranku yang sulit kupertahankan. Setan-setan tadi sudah mulai mengejarku lagi.

“Khikhikhi.. jangankan kau, Sugikpun tak mampu mendekatiku. Matamu akan tertutup sama seperti mataku,” ledek Nyai Runtak.

Beberapa kali aku mengibaskan kepalaku untuk terbangun. Tapi ini terlalu berat.

Akupun terjatuh di tanah bahkan sebelum sempat menaiki atap rumah itu.

“Khikhikhi… kasihan, masih muda sudah mati. Khikhikhi,” ucap sosok itu.

Tapi tak berapa lama setelah mengucapkan kata-kata itu. darah bermuncratan dari mulutnya.

Dari dadanya muncul ujung keris yang kuhujamkan menembus dari belakang.

“Tubuhku mungkin bisa tertidur, tapi tidak sukmaku,” ucapku yang diam-diam memisahkan sukmaku untuk menyerang Nyai Runtak dari belakang. 

“Aarrggh… sa...sakit!” teriak perempuan itu.
“Nyai!!!” Kang Jawir yang menyadari kejadian itupun panik.

Iapun kembali meninggalkan anak-anak itu dan berlari ke arahku. Mengetahui hal itu Paklek menghadangnya di tengah puluhan pocong yang masih terus mencoba mendekatinya.

“Jangan berani-berani kau sentuh Nyai!” Ancam Kang Jawir.

“Dia pantas mati!” Balas Paklek.

“Tolong! Tolong Jawir!” Teriak nyai.
Aku tidak melewatkan kesempatan ini dan meletakkanku di kepala Nyai Runtak. Saat itu aku mulai merukiyahnya dengan membaca doa-doa yang seketika membuatnya tersiksa.

“Hentikaan!!! Hentikaan!!!” Teriak Nyai Runtak.

Bersamaan dengan itu setan-setan yang mengerubuti kampung ini mulai menghilang satu-persatu. Sepertinya dugaanku benar, Nyai Runtaklah yang mengikat mereka.

Kang Jawir terlihat cemas. Tapi ia masih bisa bepikir untuk melawan kami.

Iapun menarik salah seorang anak kecil dan mencengkeram lehernya dengan kuku-kukunya.

“Lepaskan Nyai atau kubunuh anak ini disini!” Ucap Kang Jawir.

Sontak aku dan Paklek mulai panik. Tapi aku tidak bisa melepaskan Nyai Runtak begitu saja.

“Lepaskan anak itu! kami tidak akan membunuh Nyai Runtak!” teriak Paklek.

Sepertinya Paklek juga tidak bisa berkutik. Sedikit nekad Kang Jawir bisa saja membunuh anak itu dan berganti menyandra anak lainya.

“Ada satu anak yang mati, maka kupastikan Jasad Nenek sialan ini yang kukembalikan padamu!” Aku mencoba mengancam balik.

“Ja...jangan! Lepaskan dia! Kami akan pergi!” Teriak Kang Jawir.

Tak kusangka Kang Jawir yang begitu mengerikan sangat ketakutan kehilangan Nyai Runtak.

Tapi aku tidak bodoh, aku menyelesaikan doaku hingga tuntas dan kubawa Nyai Runtak ke hadapan Paklek.

“Lepaskan anak itu dan pergi!” perintahku.

“Baik! Tapi lepaskan Nyai!” Pintanya.

“Ikuti kami!” Ucapku.

Aku dan Paklekpun berjalan perlahan meninggalkan desa dan masuk ke sebuah hutan dengan membawa tubuh Nyai Runtak. Kang Jawir menggendong salah satu anak kecil itu dan mengikuti kami.

“Tinggalkan anak itu, dan kami akan tinggalkan Nyai Runtak di sini, lalu pergilah sejauh-jauhnya,” ucapku.

Kang Jawir setuju dan menjatuhkan tubuh anak itu di tanah. Kamipun dengan sigap menjemput anak itu sementara Kang jawir segera berlari menjemput nyai runtak.

“Nyai!! Nyai!!” Teriak Kang Jawir khawatir. “Sakit.. sakit Jawirr,” ucap Nyai.

Kang Jawirpun membopong Nyai Runtak dan menghilang di dalam kegelapan. Semoga saja kami tidak perlu bertemu dengan mereka lagi.

Tapi di satu sisi, aku penasaran dengan hubungan mereka. Perbedaan umur mereka terlalu jauh sebagai pasangan.

***

Abah kaget saat menyadari desanya mendapat serangan lagi. Kamipun menjelaskan bahwa itu adalah ilmu sirep dari Nyai Runtak yang membuat seluruh desa tertidur.

Paklek bertanya padaku mengapa aku bisa tersadar saat desa sedang di sirep.

Akupun baru sadar dengan hal itu. Aku terbangun dengan normal dan aku tidak mendeteksi ada sesuatu yang melindungiku.

Sekilas aku malah berpikir, apakah Nyai Runtak memang sengaja menggunakan ilmunya padaku? Tapi untuk apa? Apa dia memang berharap untuk dihentikan?

***

Tragedi malam itu membuat kami tetap waspada. Kali ini Dirga sudah kembali ditemani oleh Guntur. Kami meminta pertolongan mereka untuk tetap di desa sementara aku, Paklek, dan Abah meninggalkan desa.

“Mas Danan mau kemana?” Tanya Guntur.

Sepertinya di desanya juga tidak banyak anak seumuranya, atau mungkin hidupnya terlalu dipenuhi latihan oleh Nyai Jambrong.

Kamipun pergi menuju kota melintasi Kampung Wetan Tilasjajah.

Rumah Gama berada di sana, Ia sudah bersedia membantu kami untuk mempertemukan kami dengan kakeknya.

Aku memperhatikan sebuah hutan yang mereka sebut dengan nama Leuweung Sasar. Cahyo dan Mas Jagad masih berada di sana.

Semoga saja ia bisa menyelesaikan permasalahan yang ada di sana.

“Rumah kakek saya ada di daerah pegunungan. Masih sekitar satu jam dari sini,” ucap Gama yang kami temui di terminal.

“Haha aku jadi penasaran Ki Duduy orangnya seperti apa,” balasku.

“Nanti juga ketemu, sepanjang perjalanan sambil diinget inget mau nanya apa aja ke Ki Duduy,” sahut Abah.

Benar ucapan Gama, setelah satu jam perjalanan kamipun sampai di rumah yang ia maksud.

“Punten.. Assalamualaikum” Gama mengetuk pintu rumah itu dan terdengar suara langkah seseorang yang mendekat.

Pintu itupun terbuka bersama munculnya seorang pria yang cukup berumur dengan rambut yang sudah memutih. Aku menebak bahwa dialah orang yang Gama maksud.

“Walaikumsalam.. Gama, sudah sampai rupanya. Ayo teman-temanya diajak masuk, Silahkan duduk” ucap orang itu.

Orang itu seolah sudah mengetahui akan kedatangan kami. Mungkin Gama sudah memberitahunya terlebih dahulu.

“Kek, ini Abah dari desa yang dekat pabrik. Dan ini teman-teman Abah Mas Danan dan Paklek Bimo.” Gama memperkenalkan kami kepada orang itu.

“Ini Ki Duduy, kakek saya. Sok, mangga kalau ada yang mau di tanyakan,” lanjut Gama.

Dengan wajah ramahnya Ki Duduy menyambut salam kami. Belum sempat berbicara banyak Ki Duduy sudah mendekat dan menepuk lututku.

“Gimana mas, puasanya lancar?” Tanya Ki Duduy tiba-tiba.

Aku cukup kaget. Kenapa Ki Duduy bisa tahu aku sedang melakukan tirakat dan berpuasa agar mendapat jawaban mengenai Ki Langsamana.

“Alhamdullilah Ki, kemarin sudah selesai,” balasku.

Kamipun memperkenalkan diri satu persatu sebelum memulai perbincangan serius.

Gama menceritakan bahwa Ki Duduy adalah ayah dari ibunya yang bernama Umi Esih. Dan seseorang yang ingin kucari tahu, Ki Langsamana adalah buyut dari Gama.

Akupun menceritakan pertemuan kami dengan Gama kemarin termasuk kesalahpahaman yang terjadi diantara kami.

Ki Duduy malah tertawa mendengar ceritaku. “Tumben, biasanya kamu lebih tenang?” Tanya Ki Duduy pada Gama.

“Saya panik kek, ada tubuh bergelimpangan di tanah dan Danan muncul dalam wujud roh. Jadinya kukira setan,” balas Gama.

Saat ini kami bisa menertawakan kejadian itu.

Tapi saat mengingat betapa mengerikanya Khodam Gama saat itu jelas tidak mungkin aku tertawa.

Akupun melanjutkan perbincangan kami dengan menceritakan tentang kejadian saat aku terkena bencana di desa Abah.

Saat itu ketika pertarungan dengan Ki Luwang aku terkena kutukan yang membuat aku berubah menjadi batu.

Aku menceritakan bahwa saat itu aku tertolong dengan sosok pria bergamis putih. kedatanganya ditandai dengan suara seekor kucing dan suara gelang seperti milik Gama.

Tak hanya itu, bahkan sosok itu juga sempat membantu kami saat pertarungan di alam lain melawan Ki Luwang.

“Menurut Abah, mungkin sosok itu adalah Ki Langsamana. Apa itu mungkin Ki?” Tanyaku. Ki Duduy menoleh ke arah Gama sebelum menjawabku.

Iapun mengangguk sembari menyeruput kopinya.
“Ki Langsamana sudah meninggal dan rohnya sudah tenang. Tapi sesekali ia memberi petunjuk pada kami saat kami sedang kesusahan,” ucap Ki Duduy.

“Berarti itu benar Ki?” Tanyaku.

“Bisa jadi benar, bisa jadi tidak. Mungkin itu adalah sosok pengikut Ki Langsamana yang mencoba menolong kalian. Ia menampilkan sosok Ki Langsamana sebagai pertanda bahwa perbuatanya itu atas seijin beliau,” jelas Ki Duduy.

“Pengikut?” Tanyaku lagi.

“Kami mengenalnya dengan nama Meong Hideung. Apa mungkin itu alasan ia tidak mau menyerang Mas Danan saat kuperintahkan?,” Tanya Gama sembari menoleh ke arah Ki Duduy.

“Benar, beruntung Danan sudah berkenalan dengan meong hideung terlebih dahulu sebelum bertemu denganmu,” ucap Ki Duduy.

Ki Duduy melanjutkan ceritanya mengenai sosok bernama Ki Langsamana itu.

Menurut ceritanya Ki Langsamana adalah seorang ulama pengembara yang sering mendatangi tempat-tempat yang dianggap bermasalah terutama dengan hal ghaib.

“Bila beliau bisa menyelesaikan masalah tersebut, beliau pasti menyelesaikanya. Tapi bila tidak, beliau pasti meninggalkan sesuatu yang bisa menjadi petunjuk untuk diselesaikan oleh orang lain atau keturunanya,” jelas Ki Duduy.

Mendengar cerita ki langsamana akupun menoleh ke arah Paklek. Apa yang beliau lakukan sama seperti yang Paklek dan Bapak lakukan semasa hidupnya.

“Saya mencoba mempelajari petunjuk dan peninggalan yang dimiliki Ki Langsamana tapi entah mengapa ilmunya tidak menurun kepada saya.
Ilmu-ilmu dan peninggalan Ki Langsamana ternyata turun ke cucu saya ini,” ucapnya sambil mengelus punggung Gama.

“Peran masing masing manusia kadang memang berbeda Ki. Kadang peran kita memang hanya memberi petunjuk agar mereka bisa melalui jalan yang benar,” Sahut Paklek.

Dari perbincangan itu sepertinya aku melihat kesamaan diantara Ki Duduy dan Paklek. hanya saja saat ini Paklek masih lebih muda dan masih bisa ikut mendampingi kami.

“Saya mendapat petunjuk bahwa akan ada bencana yang akan datang.
Saat itu mungkin kami akan membutuhkan bantuan Ki langsamana. Apa itu memungkinkan Ki?” Tanyaku.

“Seperti yang saya bilang tadi, Ki Langsamana sudah tiada. Apabila peranya dibutuhkan, Gamalah yang akan menggenapinya,” Jawab Ki Duduy.

“Iya Danan, kalau ada sesuatu yang dibutuhkan bilang saja. pasti saya bantu,” sahut Gama.
Aku mengangguk mengerti, sekarang terjawab sudah. Kemunculan Ki Langsamana saat itu ternyata menuntun kami untuk bertemu dengan mereka.

“Satu lagi…” tiba-tiba Abah mengambil sesuatu dari bawaanya. Ia mengeluarkan sesuatu yang dibungkus rapi dengan koran.

Ia menyerahkan itu dengan meletakkanya di hadapan Gama.

“Ini apa Bah?” Tanya Gama.

“Kalau memang Gama adalah pewaris Ki Langsamana, mungkin sudah saatnya aku mengembalikan ini,” ucap Abah.

Gama mebuka bungkusan koran itu dan menemukan sebuah sorban putih yang sudah sangat berumur.
Ki Duduy ikut melihat dan menyentuhnya.
Seketika matanya menjadi berkaca-kaca.

“Ini? Saya tahu sorban ini.. Ini Sorban yang dipakai ayah saya, Ki Langsamana,” ucap Ki Duduy.

Ia mengambil salah satu ujung sorban itu dan menciumnya seolah mengenang sesuatu yang dalam.

“Bagaimana ini bisa ada di tangan Abah?” Tanya Ki Duduy.

Abahpun tersenyum dan mulai menceritakan sesuatu.

“Tidak hanya Danan, sayapun pernah ditolong oleh beliau,” ucap Abah.

Kejadianya saat itu Abah masih kecil. Waktu itu ia bermain dengan teman-temanya di pinggir sungai. Saat waktu mulai maghrib ia hendak kembali ke rumah.

Tapi salah satu temanya memanggil ke dalam hutan.

Temanya mengatakan kalau ada hewan aneh di dalam hutan dan mau membawanya pulang.
Abahpun menghampiri temanya itu dan masuk ke dalam hutan.
“Ayo cepat! Di sini,”

Abah ingat sekali anak itu dan suaranya mirip seperti dengan temanya sehingga ia tidak curiga dan mengikutinya sampai ke dalam hutan.

Tapi saat langit mulai gelap dan ia masuk semakin dalam. Seseorang yang menyerupai temanya itu menghilang.

Seketika Abah yang saat itu masih kecilpun panik. Ia mencari jalan keluar, namun ia malah semakin tersesat. Tapi itu bukan hal yang paling menakutkan.

Saat semakin tersesat, Abah melihat sesuatu dari dalam kegelapan hutan.

Tubuhnya besar, rambutnya panjang dan berantakan, matanya merah dengan mulut yang besar, payudaranya menggelambir dengan menjijikkan.

Mungkin yang ditemui Abah saat itu adalah sosok wewe gombel. Sosok itu mendekat kepada Abah. Abah saat itu ketakutan dan hanya bisa menangis.

Tapi sebelum makhluk itu sempat menggapai Abah, tiba-tiba makhluk itu ketakutan dan kembali mundur. Perlahan iapun meninggalkan Abah dan kembali masuk ke dalam hutan.

Abah menoleh ke belakang dan menemukan ada sosok kakek tua bergamis putih di belakangnya.

Iapun memeluk Abah dan mengajaknya bersender di salah satu pohon yang besar.
Orang itu mengaku bernama Ki Langsamana. Ia sedang dalam perjalanan menuju suatu tempat.

“Saya tidak bisa menghantarkanmu ke rumah, tapi dengan melilitnya sorban ini di tubuhmu tidak akan ada makhluk hutan apapun yang berani menyakitimu,”

Abah mengingat jelas perkataan Ki Langsamana saat itu.

Sebelum meninggalkan Abah, Ki Langsamana mengajarkan Abah beberapa ayat-ayat suci untuk di hafal dan melafalkanya bersama-sama.

Hampir setengah malam mereka mengulang-ulang ayat itu sebelum akhirnya Ki Langsamana meninggalkanya sendiri lagi.

Tapi saat ini Abah tidak takut dengan adanya Sorban dari Ki Langsamana.
Saat pagi menjelang, Warga desa berhasil menemukan Abah dan membawanya pulang.

Sampai saat ini Ki Langsamana masih merupakan sosok penolong untuk Abah.

“Setelah saya dewasa, saya baru sadar. Bukan sorban inilah yang melindungi saya. Tapi ayat-ayat suci yang diajarkan Ki Langsamanalah yang melindungi saya dari makhluk-makhluk penghuni hutan saat itu,” jelas Abah.

Wajah Gama dan Ki Duduy terlihat sumringah mendengar cerita mengenai leluhurnya itu.
Mungkin mereka tidak menyangka akan mendengar kisah hebat dari leluhurnya itu sekali lagi. Bahkan dari mulut Abah.

“Kalau begitu sorban ini ijin saya terima Bah,” balas Gama.

“Dengan senang hati Nak Gama, kini setidaknya sesuatu yang mengganjal di hati saya sudah selesai satu,” balas Abah.

“Gam, di setiap perjalanan Ki Langsamana beliau juga meninggalkan tapak tilas yang tidak sembarangan di beberapa tempat.

Tapi mungkin tidak hanya itu, mungkin masih banyak benda-benda peninggalan Ki Langsamana yang ditinggalkan atau diberikan pada seseorang,” ucap Ki Duduy.

Jangankan Ki Duduy dan Gama, aku yang mendengar cerita Abah tentang Ki Langsamana saja juga merasa senang.

Seandainya kami diijinkan bertemu, mungkin aku bisa belajar banyak dari beliau.
Waktu sudah semakin sore, kamipun harus berpamitan pada Ki Duduy. Tapi tepat sebelum kami berangkat Ki Duduy terlihat aneh.

“Gama, kau antar mereka sampai ke desa ya.” Ucap Ki Duduy.

“Baik Kek, tapi kenapa mendadak? Apa ada sesuatu,” tanya Gama.

“Entah, Perasaan Kakek benar-benar tidak enak. Tolong antar mereka ya,” ucap Ki Duduy.
Aku dan Paklek saling bertatapan. Ini masih sore, seharusnya desa masih ramai.

Tapi sepertinya kami tidak bisa meremehkan firasat Ki Duduy.

***

Kami turun dari angkutan umum setelah lewat waktu maghrib. Saat itu kami terkejut dengan adanya nyala api dari dalam desa.

Saat itu warga desa berbondong-bondong sedang berusaha memadamkan api dari beberapa rumah yang terbakar.

Kamipun bergegas berlari menuju tempat itu dan mencari tahu apa yang terjadi.

“Pak Kades? Apa yang terjadi?” Tanya Abah.

“Entah bah, tiba-tiba ada bola api yang melayang-layang dan menyerang rumah warga,” jelas pak kades.

“Banaspati?” Tanyaku.

“Bukan, kalau itu banaspati ia pasti langsung menghabisi nyawa dan tidak membakar rumah seperti ini,” Balas Paklek.

Aku menoleh ke segala arah dan mencari dimana Guntur dan Dirga.

“Dirga? Dimana dirga?” Tanyaku.

“Setelah kejadian tadi dukun itu kembali lagi dengan anak buahnya. Dirga dan temanya menghadang dukun itu bersama warga yang berjaga.

Saat dukun itu lari ke dalam hutan, mereka mengejarnya untuk menangkapnya,” Jawab Pak Kades.

Mendengar cerita itu Gama meremas pundakku. “Firasatku tidak enak, bisa jadi itu jebakan,” ucap Gama.

“Benar Danan, Susul Dirga. Biar Abah dan Paklek yang mengawasi di sini,” Ucap Abah.

“Ayo Nan, biar aku aku temenin,” Ajak Gama. Aku dan Gamapun segera berlari ke arah hutan yang ditunjukkan oleh pak kepala desa.
Bermodalkan senter seadanya kami menyusuri hutan yang biasanya hanya dimasuki warga desa yang mencari umbi-umbian.

“Danan! Itu!” Teriak Gama.
Gama menunjuk ke arah tubuh seseorang yang terkapar di salah satu sisi hutan. Ia tergeletak tak berdaya mempertahankan kesadaranya.

“Ada setan yang mencoba merasukinya,” ucapku yang segera meletakkan tanganku di wajahnya dan membacakan sebuah doa untuk mengusir setan itu.

Orang itupun tersadar dan mencoba mengingat apa yang terjadi.

“Ke arah sana! Mereka ke arah sana” ucap orang itu yang sadar kami sedang mencari yang lainya.

“Bapak kembali ke desa saja ya, pulihkan dulu luka-luka bapak. Biar kami yang mengejar mereka,” ucap Gama.

Bapak itupun menurut dan kami segera bergegas mencari keberadaan Dirga.

Benar saja, yang kami takutkan terjadi. Kami sampai di sebuah tanah yang cukup lapang di tengah hutan. Sebuah batu besar terlihat di tengah dengan seekor kepala kerbau diatasnya. Berbagai sesajen terpampang di sekitanya.

Tapi bukan itu yang membuat kami geram. Guntur terlihat tengah berdiri melindungi Dirga yang tak mampu berdiri dengan luka besar di punggungnya.

Darahnya terus mengalir sementara anak buah dukun itu terus menyerang Guntur tanpa ampun dengan golok di tanganya.

“Mereka menyerang sambil kerasukan?” Tanya Gama dengan wajah penuh amarah. Aku mengangguk, anak buah Mbah Sugik dirasuki sosok yang mungkin ia panggil dengan ritual itu.

Amarah kami semakin tidak terbendung saat melihat warga desa yang sudah terbaring di batu itu dengan berlumuran darah.

“Sudah cukup!” Teriakku mencoba menghentikan mereka.

Mendapati kedatangan kami, Mbah Sugik bukanya gentar, ia malah tertawa seolah memang sudah bersiap menyambut kami.

“Krrrk.. cuih, akhirnya datang juga kalian. Kupikir harus kukuliti dulu bocah-bocah ini agar kalian datang kemari,” ucapnya.

Aku tak tahan lagi, akupun menarik Keris Ragasukma dari dalam sukmaku dan bersiap menyerangnya. Tapi, dukun itu juga tidak diam.

Ia membacakan mantra sembari menggoreskan sebuah kujang di dahinya.

Wajahnyapun berlumuran darah, namun semua mantra yang diucapkan menjadi begitu mengerikan.

“HHhhhhrrrrrrr…..”

Sepasang mata merah menyala dari gelapnya hutan. Ada sosok menyerupai genderuwo yang besar dengan berbagai bekas luka di tubuhnya.

Bersama dengan sosok itu, muncul juga bola api yang menyala-nyala dan siluman ular yang mengikutinya.

“Hati-hati Mas Danan! Bahkan keris Dasasukma Dirga tidak dapat menembus tubuh mereka,” peringat guntur.

Di belakang mbah sugik tengah berdiri sekumpulan pasukan dedemit yang sudah siap melumat kami.

“Cring…”
Suara itu terdengar lagi…

“Tidak usah banyak bicara,” ucap Gama. Aku menoleh ke arah Gama.

Ia sudah tidak mampu lagi menahan amarahnya.

Benda yang disebut dengan gelang Gengge itu sudah ada di tanganya. Sepertinya ia bersiap melakukan ritual itu lagi.

Cring… cring.. cring…

Ia membunyikan gelang itu tiga kali, dan entah tiba-tiba ada kucing hitam yang pernah kutemui itu muncul dari salah satu sudut hutan.

Saat itu Gama menghentakkan kakinya beberapa kali ke tanah hingga tanah di sekitar kakinya bergelombang.

Aku merasakan kekuatan besar mulai datang dan akupun tidak tinggal diam.

Kuletakkan Keris Ragasukma di hadapan dadaku dengan membaca sebuah mantra yang diturunkan oleh leluhurku.

“Jagad lelembut boten duwe wujud…”

[BERSAMBUNG]

*****
Selanjutnya

*****
Sebelumnya
close