Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

SUMUR PATI (Part 21) - Tewasnya Pak Dul Modin


JEJAKMISTERI - Malam merambat menuju pagi. Suasana semakin hening dan sunyi. Angin seolah enggan berhembus, hingga bayangan dedaunan yang menghitampun seolah enggan untuk bergerak. Diam. Bagai bayangan tangan raksasa yang siap mencengkeram mangsa. Bias cahaya rembulan meredup, enggan menerangi bumi yang tengah berduka. Burung Beluk, jangkrik, belalang, dan binatang binatang malampun seolah enggan untuk bersenandung, seolah angkara murka yang sedang melanda desa ini, membuat binatang binatang itupun menghilang entah kemana.

Hanya suara ledakan ledakan yang terus terdengar dari arah desa, diiringi jerit kematian yang menggema Cumiakkan telinga. Namun suara suara itupun seolah tak mempengaruhi keempat orang yang tengah duduk di dekat batu besar berpermukaan datar itu.

Mas Joko, Mbak Romlah, Pak Slamet, dan Mas Toni, mereka juga diam terpaku, larut dalam kecemasan yang melanda perasaan masing masing. Pak Slamet resah, memikirkan keselamatan Ratri dan juga sang istri yang tengah berjuang seorang diri di desa. Mas Joko dan Mbak Romlah gelisah, menunggu hasil dari usaha Pak Dul Modin dan Ramadhan yang sedang berjibaku untuk menyelamatkan putra bungsu mereka. Dan Mas Toni, laki laki itupun tak kalah gundah, memikirkan kambing kambing ternaknya yang mungkin saja sudah menjadi korban dari huru hara yang tengah terjadi di desa. Kambing kambing yang sedianya hendak ia jadikan modal untuk menikah itu, entah bagaimana nasibnya sekarang. Lalu siapa yang memikirkan nasib Pak Dul Modin dan Ramadhan? Entahlah!

"Sampai kapan kita akan terus menunggu Mas?" bisik Mas Toni memecah keheningan.

"Entahlah! Mungkin sampai Pak Dul Modin dan Ramadhan kembali," desah Mas Joko, juga dengan berbisik.

"Andai Wulan disini Mas, mungkin pageblug ini tak akan separah ini."

Serempak Mas Joko dan Mbak Romlah menoleh dan menatap tajam ke arah Mas Toni, membuat laki laki itu sadar bahwa ia telah salah berucap.

"Sampeyan punya rokok Mas?" buru buru Mas Toni mencoba mengalihkan pembicaraan. Namun kalimat yang ia pilih sepertinya juga salah, karena mata Mas Joko justru semakin mendelik lebar ke arahnya.

"Eh, ini lho, banyak nyamuk. Kalau sambil merokok kan lumayan, asapnya bisa buat mengusir nyamuk," ujar Mas Toni lagi sekenanya.

Meski sedikit kesal, toh akhirnya Mas Joko mengeluarkan juga sebungkus rokok dari dalam sakunya. Asap tipis seketika mengepul saat lintingan tembakau itu mereka nyalakan. Bahkan Pak Slamet yang selama ini dikenal sangat anti dengan rokok itu ikut ikutan menyulutkan batang bernikotin itu.

"Tadi sudah beberapa kali aku mencoba menghubungi Wulan. Tapi tak pernah nyambung. Ndak ada sinyal sama sekali," gumam Mas Joko, entah ditujukan kepada siapa.

"Memang, semenjak pageblug ini terjadi, sinyalpun seolah olah ikut menghilang. Sepertinya kita benar dikurung oleh makhluk makhluk itu, tanpa diberi kesempatan untuk berinteraksi dengan dunia luar." Pak Slamet yang semenjak tadi diam ikut bicara.

"Ya. Kita jadi seperti ayam aduan sekarang. Dikurung ditengah arena agar saling membunuh satu sama lain," Mas Joko menghembuskan asap rokoknya kuat kuat.

"Apa salah dan dosa kita, sampai harus mengalami nasib yang seperti ini?" Mbak Romlahpun ikut bicara.

"Entahlah Mbak, yang jelas...., eh, tunggu, kalian merasa nggak?" Pak Slamet tak melanjutkan ucapannya.

"Ada apa Pak?" Mas Toni yang paling penakut diantara mereka terlihat sedikit panik mendengar pertanyaan Pak Slamet barusan.

"Ini seperti...., gempa!" jawab Pak Slamet.

"Eh, iya. Tanah yang kita pijak bergoyang"

"Astaga! Pertanda apa ini?"

Keempat orang itu saling pandang, saat sama sama merasakan bumi yang mereka pijak bergoyang. Semakin lama semakin terasa, hingga keempatnya mulai panik dan mencoba berpegangan pada apapun yang bisa mereka pegang.

"Gawat! Ini..."

"Dhuaaarrrr...!!!"

Ledakan keras terdengar, disusul dengan guncangan yang semakin keras, membuat keempat orang itu sedikit limbung. Dan sesuatu yang burukpun kembali terjadi. Tubuh Pak Dul Modin dan Ramadhan yang masih duduk bersila diatas batu besar itu tiba tiba terpental dan terlempar jauh ke arah yang berlawanan.

"Whuuuussss...!!!!"

"Gussrraaakkkk...!!!"

"Gedhabrruussshhhh...!!!"

"Keceprroooottttt...!!!"

Tubuh Pak Dul Modin terlempar dan jatuh diantara rumpun semak semak, hampir sepuluh meter jaraknya dari batu besar yang tadi didudukinya. Sedang Ramadhan, nasibnya lebih sial lagi. Pemuda itu terlempar ke tengah tengah sawah hingga hampir sekujur tubuhnya terbenam kedalam lumpur.

"Arrrgghhhhh....!!!"

"Huadhuuuuhhhh....!!!"

Keempat orang yang menjaga batu itu terkesiap. Bukan karena tubuh Pak Dul Modin dan Ramadhan yang terpental, tapi keempatnya justru terpaku pada dua tubuh mungil bersimbah darah yang tergeletak diatas batu besar itu.

"Ratriiiii...!!!"

"Ndaruuuu...!!!"

Pak Slamet dan Mas Joko serta Mbak Romlah segera memburu dan memeluk kedua tubuh mungil itu. Dan seolah baru tersadar dari mimpi buruk, kedua bocah itu hanya terbengong bengong, tak mengerti dengan semua yang telah terjadi.

"Bapaaakkkk...!!! Dimana ini? Kok gelap gulita begini?" jerit Ratri yang disusul dengan suara tangisannya.

"Emaakkk....!!! Bapaaakkk...!!! Kenapa badan Ndaru basah dan lengket begini? Mana bau amis lagi?! Kita dimana Maaakkk...?!"

"Sudah sudah! Kalian ndak papa! Tenang! Jangan ribut! Jangan berisik! Ayo kita...."

"Woooyyyy...!!! Ndak ada yang punya cita cita buat nolongin aku apa?" teriakan Ramadhan dari tengah tengah sawah menyadarkan keempat orang itu.

"Mas Joko, tolong lihat keadaan Wak Dul. Aku dan Toni akan menolong Ramadhan. Mbak Romlah tolong tetap disini ya, jaga anak anak ini," Pak Slamet membagi tugas.

Mas Joko segera bergegas menuju ke semak semak dimana tempat Pak Dul Modin tadi terlempar, sedang Pak Slamet dan Mas Toni dengan susah payah membantu Ramadhan keluar dari benaman lumpur ditengah sawah.

"Wedhus! Sampai njedhindhil begini aku!" gerutu Ramadhan. "Eh, gimana nasib Wak Dul Mas? Dan anak anak..."

"Sudah, itu lagi diurus sama Mas Joko dan Mbak Romlah," jawab Pak Slamet. "Sekarang lebih baik bersihkan dulu tubuhmu di kali itu, biar kita bisa cepat kembali ke desa. Ratri dan Ndaru juga selamat kok."

Ramadhanpun segera menceburkan sekujur tubuhnya pada aliran air kali yang berada tak jauh dari tempat itu, untuk membersihkan lumpur yang melekat di hampir sekujur tubuhnya. Lalu tak lama kemudian ketiganya kembali naik menuju ke batu besar berpermukaan datar itu.

Nampak Mbak Romlah masih sibuk menenangkan Ratri yang masih menangis histeris. Sementara Ndaru, anak laki laki itu sepertinya mewarisi sifat sang kakak. Ia begitu tenang dalam suasana yang kacau seperti ini. Bahkan sesekali anak itu membantu sang emak untuk menenangkan Ratri.

"Dimana Mas Joko?" tanya Mas Toni.

"Itu, masih disana," Ramadhan menunjuk ke arah semak semak.

"Lho, kok malah duduk mengelesot begitu? Bukannya membawa Wak Dul kesini?"

"Jangan jangan...?"

Firasat buruk menyergap ketiga laki laki itu. Ketiganya lalu setengah berlari menghampiri Mas Joko yang bampak terduduk lemas diatas hamparan rerumputan.

"Mas Joko, apa yang..."

"Pak Dul Modin....," suara Mas Joko tersendat. "Beliau..., sudah ndak ada!"

"Innalillahi...!!!"

"Uwaaaaaakkkkkk....!!!" jeritan Ramadhan menggema ditengah keheningan malam yang mencekam itu.

****

Jasad tak bernyawa itu mereka baringkan diatas batu. Jasad yang telah dingin dengan beberapa bagian tubuh yang membiru lebam, serta darah kental yang masih mengalir dari sudut bibir serta kedua lubang hidung dan telinganya. Anehnya, ada senyum yang tersungging di bibir jasad itu, seolah kematian yang menjemputnya bukanlah sesuatu yang menyakitkan.

Kesedihan jelas terpancar dari keempat orang yang mengelilingi jasad itu. Bahkan Ramadhan menangis histeris seperti anak kecil, mengalahkan suara tangis tangis Ratri yang sudah mulai mereda.

Pak Slamet beberapa kali menghela nafas panjang, mencoba menenangkan perasaannya yang terguncang. Demikian juga dengan Mas Joko dan Mbak Romlah. Sementara Mas Toni sengaja membawa Ratri dan Ndaru agak menjauh dari mayat Pak Dul Modin.

"Ini semua salahku! Aku benar benar anak tak berguna! Andai saja...., andai saja tadi tak kubiarkan Uwak bertarung sendirian, ini semua tak akan terjadi! Aku..., aku...., Uwaaaaakkkkk....!!! Bangun Wak! Jangan tinggalkan Ramadhan! Apa kata Mbak Ratih nanti kalau tau aku tak bisa menjaga Uwak?! Bisa bisa dia akan membunuhku kalau tau aku...."

"Rom! Sudah! Jangan seperti anak kecil begitu! Ini semua bukan salahmu, tapi salah kita semua. Kita semua merasa kehilangan Rom. Kita semua sedih dan berduka! Tapi, masih banyak hal yang harus segera kita selesaikan! Sekarang, lebih baik kita bawa jasad Uwak ke desa. Soal bagaimana reaksi Ratih nanti, biar kita tanggung bersama," Pak Slamet mencoba membujuk sang adik ipar yang masih histeris itu.

Bukan perkara mudah, karena Ramadhan selama ini memang dikenal paling dekat dengan Pak Dul Modin. Bisa dibilang, setelah sang ayah meninggal beberapa tahun yang lalu, Pak Dul Modinlah yang menjadi ayah kedua bagi Ramadhan. Dan sekarang, Ramadhan harus merasakan kehilangan untuk yang kedua kalinya. Bisa dibayangkan, seperti apa hancurnya hati Ramadhan saat ini.

Hingga sampai beberapa waktu kemudian, barulah Ramadhan bisa ditenangkan. Pemuda itu pelan pelan bangkit dan mengusap air matanya. Direngkuhnya tubuh sang Uwak yang telah dingin itu, lalu dinaikkannya ke punggungnya. Tanpa memperdulikan yang lainnya, pemuda itu lalu pelan pelan berjalan menuju ke arah desa sambil menggendong jasad sang Uwak. Samar samar, Pak Slamet masih bisa mendengar sang adik ipar itu bergumam lirih.

"Jangan khawatir Wak, akan kubalaskan kematian Uwak ini! Iblis iblis terkutuk itu, mereka akan merasakan kematian yang lebih menyakitkan lagi! Aku berjanji Wak, mereka, iblis iblis terkutuk yang telah membunuh Uwak, akan kuhabisi mereka dengan tanganku sendiri!"

BERSAMBUNG

*****
Selanjutnya

*****
Sebelumnya
close