Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

SANTET PRING SEDAPUR (Part 1)

SANTET YANG MENGHABISI 12 TURUNAN.


Santet Tumbal Pring Sedapur

Kisah ini tergolong ilmu yang ganas dalam dunia perdukunan. Sebuah mantra yang bertujuan membunuh korban secara tuntas, yaitu jika manusia menggunakan rapalan mantra ilmu hitam ini, maka korban yang dituju akan mati sampai dua belas keturunan.

Ilmu ini ada sejak jaman dahulu kala, turun dari sebuah empu sakti di masa itu, yang menciptakan ajian Bambu Serumpun.

Ilmu mematikan 'pring' yang berartikan bambu. Jenis ilmu ini tidak akan pernah tumbuh tunggal, melainkan berkerumun, menjadi serumpun yang disebut sedapur.

Pring Sedapur memaknakan banyaknya pengiriman mahluk melalui media teluh santet yang menghabisi target sampai tanpa adanya kata selamat bagi yang menjadi korban.

***

Wanita itu menjadi gila, setelah mendapati kedua mertua, kakak dan adik ipar, serta suami, bahkan anak-anaknya meninggal. Mereka meninggal karena menjadi korban sebuah ilmu sakti. Ilmu yang mengerahkan seribu jin untuk menuntun maut pada liang kematian sang manusia.

Perjanjian ini dapat terjadi jika sang pengamal atau peminta ilmu ini, menumbalkan orang yang sangat dicintainya.

Awal malapetaka ini hadir hanya karena terjadinya perebutan sebuah warisan.

Manusia yang terjebak dalam pandangan dan nafsu keduniawian, terkadang menjadikan mereka gelap mata dan hati, sehingga nafsu duniawinya itu menjadi pemicu keinginan untuk memiliki yang bukan menjadi hak miliknya.

Untuk mencapai tujuan dan ambisi itu, terkadang memicu mereka merambah dalam dunia klenik santet, yaitu dengan cara menghabisi seluruh keluarga. Dari beberapa akar permasalahan yang muncul, ketajaman lisan pun menjadi salah satu pemicu semakin peliknya prahara sedarah ini!

***

Setelah kedua orang tua Bu Laras meninggal, dia mendapatkan warisan yang lebih banyak ketimbang dengan Pak Miko abangnya, dan Pak Eri sang adik. Hal ini terjadi karena Ia merupakan anak perempuan satu-satunya yang sangat dicintai oleh mendiang almarhum, maka dari itu,-

ayahandanya mewariskan rumah mewah dan megah itu untuk Larasati. Pewarisan rumah mewah ke Larasati dilakukan secara sah di hukum negara dan dituangkan dalam surat wasiat. Sementara itu, harta gono-gini yang lain, berupa uang, tanah, pabrik pengolahan minyak mentah, dibagi adil dan rata untuk semua anak-anaknya.

Surat wasiat itu dibacakan oleh kuasa hukum tepat dihari keempat puluh setelah meninggalnya Pak Haji Darmadi. Namun imbas dari pembacaan surat wasiat dan pembagian warisan tersebut menjadi asal mula terjadinya peristiwa ini.

Isi surat wasiat yang menjadi mandat amanah alhmarhum itu dianggap memiliki ketimpangan dan tidak berasas keadilan hanya karena sebuah rumah yang menjadi bahan rebutan antara kakak beradik ini.

***

Batam 2012

Malam ini, aku Alzikra, merebahkan diri di dalam kamar, tubuhku terasa lelah sekali, karena aku baru tiba dari perjalanan pulau seberang yaitu, Tanjung Pinang. Rumahku ini telah beberapa hari kosong karena aku tinggalkan,-

ada beberapa pekerjaan yang mengharuskanku pergi beberapa saat. Namun, keinginanku untuk beristirahat tidak bisa maksimal bisa kurasakan, hal ini disebabkan munculnya rasa ketidaknyamanan, yaitu terciumnya aroma yang muncul akibat pengapnya udara tanpa adanya sirkulasi yang baik.

Ditambah lagi rumah milik ibuku ini memang tergolong angker di lingkungan perumahan. Beberapa kali orang menyewa, tetapi tidak ada yang betah. Sosok bocah kecil dan nenek tua selalu usil mengganggu mereka.

Tiiinnn... Tiiinnnn !

Suara klakson mobil tiba-tiba terdengar memanggil dari luar rumah, ibu datang diantar oleh kakak perempuanku, Mbak Ita. Malam-malam begini mereka berdua tiba-tiba datang kerumah ini pasti ada hal yang sangat penting, karena biasanya walaupun tengah malam, ibu hanya memberitahu jika ada yang mau dibicarakan.

"Le..., kamu siap-siap! Sekarang kamu tidur di rumahnya mbak, besok pagi-pagi ikut penerbangan ke Jawa!" kata Mbak Ita, memberitahuku.

"Loh kok dadakan! Memangnya ada apa Mbak?" tanyaku sambil memperhatikan ibu yang masih mengobrol lewat telfon dengan seseorang.

"Kamu jagain Ibu selama di Jawa, ada saudara yang meminta pertolongan!"

Dari pembicaraan sekilas itu, aku sudah menangkap bahwa ada sebuah masalah yang sedang terjadi. Namun, permasalahan itu belum gamblang terlihat jelas, masih menjadi misteri yang samar-samar.

Akan tetapi, jikalau ibuku sudah turun tangan langsung, sudah jelas jika permasalahan itu bukan hal yang main-main, karena beliau sangat jarang mau membantu orang yang berkaitan dengan keilmuan jika menurutnya tidak sangat tidak penting dan berbahaya.

Setelah mendengar instruksi mbakku, aku mengambil beberapa baju, memasukannya ke dalam tas ransel, karena mendadak dan tidak tau sampai kapan menemani ibu ke Jawa, aku mengabari rekan kerjaku, memberitahunya jadwal pekerjaan yang harus dia urus yang berkaitan dengan pekerjaanku.

Kemudian kami bergegas meninggalkan rumahku menuju ke rumah mbak Ita.

"Bu Laras sedang ada masalah Le, kamu temani Ibu dulu ya. Pekerjaanmu bisa di tunda sementara waktu kan?"

"Njih, Bu. Memang masalah apa?" tanyaku ingin menuntaskan rasa penasaranku.

"Keluarga teman ibu lagi dikepung klenik, banyak santet yang berbahaya dikirim ke keluarganya!"

"Lah mung santet kok sampai ibu dateng ke sana segala, kan bisa seperti biasanya, dikasih tau cara penangkalan juga pemagaran rumahnya, Bu!"

"Kamu tuh kalau belum lihat situasi dan kondisi yang sesungguhnya jangan ngomong begitu Le... Hal ini sebenarnya sudah lama ibu tangani dari sini, tetapi klenik yang dikirim ini bukan sembarangan," ujar Beliau menjelaskan lebih rinci.

"Njih Bu, ngapunten." aku meminta maaf atas kelancanganku.

Sudah dapat kuprediksi, bahwa sihir dan tenung yang akan kami hadapi pasti sangat dahsyat, karena sudah ditangani dari jarak jauh pun, tetap tidak terselesaikan dan harus membuat beliau tetap turun tangan secara langsung.

Bukan andahan kasekten lagi, jika sudah mencapai keranah sejauh ini. Peristiwa kali ini sama persis saat dahulu beliau menangani sebuah kasus, yaitu perang santet yang membuat beliau melakukan pemagaran dibeberapa rumah yang beliau kenal.

"Iki cumepak pati, kudu ngowo lambaran, ibu siapke tameng ghoib, pean amalke digawe wirid tekan'e kono!"

(Ini sangat dekat dengan kematian, harus membawa penangkal, ibu siapkan pagar ghaib, kamu amalkan dibuat wirid sepanjang perjalanan sampai ditempat sana) kata beliau seraya memberiku sebuah amalan untuk pemagaran diri.
...

Setibanya di rumah mbakku, kami langsung istirahat. Setelah sholat subuh kami berdua diantar ke bandara untuk cek-in penerbangan. Akhirnya, setelah menunggu kurang lebih dua jam, tepat pukul tujuh pagi perjalanan dimulai, penerbangan dari Batam menuju pulau Jawa.

Sebelum hari tengah hari, kami sudah tiba di bandara tujuan yaitu sebuah kota di pulau Jawa. Kami menggunakan jasa taksi untuk melanjutkan ke tempat tujuan. Perjalanan yang kami lalui kurang lebih selama 3 jam.

Selama perjalanan, ibu hanya berdiam diri, sementara aku berusaha untuk memfokuskan diri, merapalkan tameng ghoib diri. Dan kesiapan itu telah dimulai, ketika kaki ini menginjak di depan pelataran rumah yang sangat besar dan mewah.

"Bismillah, kumanti niat kerono Pengeran Ta'ala. Nyawiji dunung siti, manunggal marang tumetesing tirto, panyuwun ingsun, pangayom kerono Allah."

Mendengar ibu membunyikan niatan itu, aku mengikutinya dgn mengucapkan basmalah. Lalu mulai mengikuti langkah ibuku memasuki pagar rumah itu. Langkah kami baru sebatas halaman rumah, tetapi aura panas sudah menerpa, kami disambut dengan negatifnya astral yang menyelimuti area ini.

Ternyata rumah itu kosong tanpa penghuni, sepertinya memang sengaja ditinggalkan oleh Bu Larasati. Entah untuk menghindari teror, atau memang selama ini Ia pindah ke rumah suaminya. Hanya satu laki-laki tua dengan sarung berselempang di pundaknya yang datang menyambut kedatangan kami.

"Assalamuallaikum, Mbak Larasnya ada Pak?"

"Waallaikumsalam, Bu Laras sekarang berada di rumah bapak suaminya, di sana juga sedang ada lelayu, Bu!" jawab bapak itu.

"Innalilahiwainnalilahirojiun, siapa yang meninggal, Pak?" tanya ibu.

"Anu, Bu. Bapak mertuanya Bu Laras yang meninggal dunia!"

"Ohh, iya Pak, boleh saya minta alamatnya biar saya ke sana untuk menemui Mbak Laras!"

Ternyata ilmu ini sudah menuai apa yang menjadi tujuannya. Korban pertama telah berjatuhan, yaitu meninggalnya mertua Bu Larasati.

Selama dua minggu lebih perutnya membusung, muntah darah, sampai akhirnya ajal memanggilnya. Penanganan medis juga spiritual sudah dilakukan untuk menyembuhkan beliau, tetapi ternyata semua itu tidak mampu menyelamatkan korban.

Rumah duka masih dipadati oleh para pelayat saat aku dengan ibu sampai disana. Raut wajah wanita itupun masih dirundung duka, dan terkesan ketakutan sedang menyelimuti nya.

Dengan mata sembabnya, sahabat ibuku itu menyalami kami berdua, dan kembali memecah tangis itu dalam pelukan orang tuaku.

***

Tumprap kamanungsan tanpo pangemban roso welas asih iku kasejatening sesat. Tanpo paningal, tanpo milah ugeman katresnan, dunung peteng netro ati. Kasiprah ngalahirake angkoro murko.

Malam itu aku mendengarkan sebuah kesaksian. Peristiwa kematian yang dipenuhi dengan aroma kejanggalan dan mencurigakan. Mertua Bu Laras meninggal dengan cara sangat tragis, beliau menahan sakitnya selama beberapa bulan,-

terbaring di bangsal rumah sakit sebelum akhirnya ajal menjemputnya. Aku hanya menjadi pendengar, ketika Bu Laras dan ibu tengah berbicara mengenai kejanggalan yang menjadi misteri dari kematian ini.

Kondisi mertua Bu Laras saat sakit sangat memprihatinkan, perutnya membusung besar, dengan badan yang hanya tinggal tulang yang terbungkus kulit. Beliau hanya bisa memasukan makanan melalui selang yang ditanam di dalam tenggorokan yang dilubangi.

Mulutnya selalu mengatup rapat, tulang rahangnya keras tanpa bisa terbuka, menyatukan barisan giginya dengan sangat kuat.

"Jadi, kondisi almarhum sampai seperti itu!" spontan ibuku berteriak lirih karena kaget.

"Iya, Mbak. Selama dua bulan lebih di rumah sakit, kondisi Beliau seperti itu. Suami juga sudah mendatangkan Kyai dan orang pintar, tetapi hasilnya nihil!"

"Maafkan saya, Jeng. Saya terlambat sampai di sini," Kata ibu seraya mengelus sahabatnya.

"Iya, Mbak. Nggak apa-apa, hanya saja tolong dilihat dulu, kira-kira apa masih ada gangguan lain pada saya dan keluarga," pinta Bu Laras sambil menyeka air matanya.

"Yang tenang ya, Jeng, selalu tawakal, serahkan semua pada Tuhan."

Selama pembicaraan mereka berlangsung, aku menyimak dengan seksama. Aku hanya bisa menimpali jika tenung yang dikirimkan ini tentu bukan main-main, karena sudah beberapa kyai dan paranormal menangani mendiang selama sakit, tetapi tidak juga membuahkan hasil.

Meski manusia meninggal secara sihir termasuk syahid, tetapi si korban menahan derita akibat tenung itu. Tentunya hal itu sangat menyakitkan, tatkala menggugurnya dosa oleh dera kepedihan yang dibuat para jin.
...

Gema tahlil masih berkumandang, tiba-tiba terdengar suara teriakan yang berasal dari dalam dapur.

"Argghh...!

Kami serempak beranjak ke arah dapur, mencari sumber teriakan berasal. Betapa terkejutnya Bu Laras ketika mendapati sang ibu mertua terjatuh dan kejang-kejang.

Mulutnya mengeluarkan buih yang bercampur darah, dengan mata membelalak naik keatas dan tubuh kaku mengejang.

"Astagfirullah, Emaak!" teriak pak Samsi suami Bu Laras.

Semua orang yang hadir di situ merasa takut melihat peristiwa itu, semua mengucapkan istigfar. Dengan bantuan beberapa orang, tubuh tua yang terjatuh itu diangkat ke kamar, tubuhnya masih saja terus kejang dan menggeliat saat mereka menggotongnya.

Saat melintasi di hadapanku, terdengar suara ngorok yang keluar dari mulutnya.

"Bu, kok ga ada tanda-tanda datangnya santet, tetapi kenapa tiba-tiba nenek itu kondisinya seperti itu?" aku bertanya dengan penuh kebingungan.

"Semua keluarga ini sudah diincar sejak lama, Le!" jawab beliau.

Belum sempat aku menjawab perkataan ibu, terdengar teriakan dari dalam kamar.

"Emakkk....! Innalillahi, Emaak...!

Semua langsung berhamburan menuju kamar, berusaha melihat ke dalam kamar ingin memastikan apa yang tengah terjadi. Termasuk Bu Laras yang langsung menerobos masuk tanpa permisi lagi dengan orang-orang yang sudah berdiri di depan pintu kamar.

Mertua Bu Laras kembali memuntahkan darah segar sebelum meninggal. Suasana menjadi tidak kondusif, semua yang hadir menjerit melihat peristiwa mengenaskan itu. Rasa iba dan prihatin muncul di wajah mereka, belum lagi kering tanah pemakaman sang suami,-

kini disusul dengan berpulangnya sang istri. Semua wajah terlihat memucat, merasa ngeri akan ilmu santet yang ternyata benar adanya, dan membahayakan!

"Innalillahi wainnalillahirojiun" hanya kata itu terucap dari sudut bibir ibu dan diriku.

"Ya Allah, Emak... Mengapa secepat ini meninggalkan kami. Bapak saja belum lama pergi meninggalkan kami!"

Kini hanya tangisan dan ratapan yang terdengar dari seluruh keluarga.

Suasana hati sedih akibat belum lama ditinggalkan Mertua laki-laki Bu Laras belum hilang, kini ditambah lagi kedukaan yang memilukan.

"Astagfirullah!"

Ibu tiba-tiba berdiri lalu berjalan mendekati salah seorang pelayat, yang tengah berdiri bersandar di salah satu dinding rumah.
Wajahnya membiru, dengan tarikan nafas yang terlihat sangat berat, tersengal-sengal.

Dia menekan perutnya, terlihat sangat kesakitan dan perutnya perlahan terus membesar.

"Al, ambilkan tasbih ibu dalam tas, cepat!" teriak ibuku.

Seketika dengan gerak cepat, aku membongkar tas ibu, mengambil tasbih dari kayu berwarna hitam, lalu buru-buru memberikannya kepadanya. Dengan memgumamkan doa, tasbih ditempelkan ke perut ibu paruh baya itu,-

dengan sekuat tenaga dan berulang kali secara perlahan ibu menarik ke atas mendorong isi dalam perut dengan tenaga dalamnya.

Heg... heg... heg!

Mulut perempuan itu terlihat sangat penuh. Terlihat dia mendekap mulutnya, berusaha sekuat tenaga untuk menahan desakan dari dalam tubuhnya.

Hoeekss!

Pertahanannya tidak bisa lagi dipertahankan.

Byaarr...!

Dekapan tangannya terlepas, Ia memuntahkan kelabang, kecoak, cacing, beberapa jenis kutu. Mereka keluar bersama lendir berwarna hijau, hewan-hewan itu dalam kondisi hidup, mengeliat dan bergerak-gerak di tengah kubangan lendir.

"Masyallah!"

Orang-orang yang hadir menjerit penuh kengerian.

"Tolong kalian semua tinggalkan tempat ini!" kata ibuku meminta kepada semua orang yang berada di dalam rumah ini untuk pergi menjauh dari lokasi.

"Ngapunten bapak-bapak kalian ibu-ibu, mang di tilar mawon, monggo!" (Maaf buat bapak-bapak juga ibu-ibu, silahkan di tinggal saja, mari!) seruku pada semua tamu itu.

Setelah semua orang keluar, aku dan ibu berusaha membantu menyembuhkan wanita itu, sementara Bu Laras, suami, dan kerabat lain masih berada di dalam kamar.

"Jangan pernah merasa iba melihat semua ini, itu salah satu pantangan dari santet pring sedapur, Al!" kata ibu.

"Maksudnya, Bu?" aku balik bertanya karena tidak paham.

"Ilmu ini akan berpengaruh lebih dalam jika ada yang merasa iba saat menyaksikan korban. Hal itu akan membuat ilmu tersebut akan mengarah kepada orang yang sedang berkecil hati atau dirundung kesedihan.

Ibu ini kena dampak dari ilmu itu karena dia tidak tega melihat ibu Warsini (mertua bu Laras) meninggal." kata ibu, sambil memijat tengkuk ibu yang terserang santet ini.

Aku hanya mampu terpana, karena baru kali ini menyaksikan sebuah ilmu yang dapat menyerang dengan sangat ganas, selain menghabisi trah keturunan sang target, orang lain pun dapat terpapar ilmu ini jika memiliki rasa belas kasihan terhadap sang korban. Naudzubillah min dzhalik!

Menjelang sore hari pemakaman selesai, makam mereka tepat bersebelahan, dua hari dua kematian sepasang suami istri dengan keadaan yang sangat tidak wajar, mereka kembali menghadap sang Khalik. Disisi lain, ini merupakan cikal bakal awal perseteruan yang baru saja di mulai.

Aku yang ikut dalam pemakaman masih melihat jika kondisi jasad yang terbungkus kain kafan itu terus mengalirkan darah. Hal ini membuat kain mori berwarna putih itu memerah dari penutup muka, sampai sekujur tubuhnya.

Dalam keadaan sudah tanpa nyawa pun, tenung itu masih saja bekerja merusak raga sang mayat.

Suasana di sini juga terasa sangat berbeda, angin kencang yang berhembus kencang hanya menerpa bagian atas liang lahat saja, seperti sebuah makhluk sejenis lampor yang terus memutari kami yang berdiri di pemakaman.

Sebagian orang hanya melihat dari kejauhan, mereka tdk berani mendekat karena merasa takut jika santet itu berimbas ke diri mereka juga keluarga, seperti dialami oleh tetangga Bu Larasati.

Keganjilan yang muncul bukan itu saja, roakan gagak yang bersautan dari atas pohon beringin besar dan rimbun itu seperti menyuarakan penyambutan astral, atau menandakan suara kematian. Entah apa arti semua ini, hanya doa yang terus terucap untuk benteng diri selama di sini.

"Kamu darimana? Bukan orang sini ya?" tiba-tiba sebuah bapak-bapak menepuk pundakku.

"Bukan, Pak, saya hanya pelayat di rumahnya almarhum dan almarhumah."

"Ohh iya, perkenalkan saya Miko, abangnya Mbak Laras, menantu mendiang!" Orang itu memperkenalkan diri.

"Iya, Pak!" jawabku singkat.

Ini rentetan keganjilan selanjutnya yang kurasakan. Dalam waktu hampir bersamaan, selain menyaksikan kondisi mayat, roakan gagak, dan angin yang memutari area ini, tiba-tiba sosok Pak Miko datang memperkenalkan diri.

Hal ini tentu menjadi presepsi negatif dalam benakku, muncul pradugaku jika kemungkinan abang dari teman ibu ini lah yang menjadi dalang semua peristiwa ini. Praduga ku semakin menguat, apa lagi jika teringat saat aku menyimak cerita Bu Laras jika perseteruan ini terjadi hanya karena sebuah warisan.

Di rumah duka, Pak Miko tidak terlihat sama sekali, baru di pemakaman ini aku berjumpa. Hal ini semakin menumbuhkan sebuah kecurigaan yang sangat kuat.

Ibu juga bu Laras tidak ikut hadir di sini, membuat suasana semakin aneh, ditambah dengan berdirinya laki-laki setengah tua yang kini tepat berdiri di sebelah ku.

Perasan aneh itu terus kurasakan sepanjang perjalanan dari kuburan sampai ke rumah pak Samsi. Setibaku di rumah, aku langsung membasuh muka, dan duduk sambil merokok berusaha menenangkan diri dari segala keanehan yang kurasakan.

Aku mengedarkan pandanganku ke sekeliling ruangan, mencoba mencari Pak Miko yg aku jumpai tadi, tetapi dia tidak nampak, rupanya ia hanya hadir saat di pemakaman saja.

"Dia kah orang dibalik ilmu Setan ini?" pertanyaan itu terus muncul, dan aku semakin ingin mencari jawabannya.

"Kenapa, Le?" tanya ibu sembari berjalan menghampiriku.

"Enggak, Bu, nggak apa-apa," jawabku seraya mencoba tenang agar tidak memperkeruh suasana yang tengah berkabung.

"Bantu ibu berdoa, prapat rumah ini, juga tebarkan garam ini keliling rumah ya!" suruh beliau dengan memberikan garam yang terbungkus saputangannya.

Aku langsung melakukan prapat, membentengi rumah dengan sarana doa dan juga menebarkan garam di sekeliling rumah dan halaman.

Hal ini terlihat aneh bagi sebagian orang, bahkan banyak yang bertanya apa yang tengah aku lakukan. Aku tidak menjawab dan tetap melakukan ikhtiarku. Aku hanya tersenyum membalas semua pertanyaan itu, dan itu kulakukan untuk mengurangi ketakutan para pelayat.

Aku jadi menyadari bahwa warga juga mulai banyak yang merasa aneh dengan keganjilan yang menakutkan ini. Mereka mulai bisa merasakan dan keanehan dari peristiwa ini. Saat aku berkeliling rumah, aku curiga dengan tanah yang seperti habis digali.

Posisinya tepat berada di belakang pekarangan, lebih tepatnya di sebuah sudut pagar belakang. Seketika aku langsung membongkar galian yang tidak seberapa dalam itu. Ternyata di situ tertanam bungkusan berbagai benda,-

paku, kaca, silet, jarum, bahkan gelugut bambu dan juga sembilu tajam bambu wulung. Ada sobekan kain entah itu milik korban atau bukan. Aku mengambilnya dan membakar sobekan kain, dan juga kafan pembungkusnya, sementara barang lain aku bungkus dengan saputangan bekas garam tadi.

"Ada sungai deras atau bengawan nggak disini, Pak?" tanyaku pada seorang warga yang tengah melayat.

"Ada, Mas. Tetapi harus melewati sawah dan hutan dulu baru ketemu sungai!" jawabnya dengan muka penuh keheranan.

"Ada yang mau antar saya ke sungai nggak ya, Pak?"

"Wah kalau ke sana itu kebanyakan orang takut, Mas. Selain banyak ular juga wingit, sarangnya lelembut!" jawab bapak itu.

"Ohh iya, Pak, jalannya lewat mana ya?"

"Sebaiknya Mas nggak usah ke sana, mau ngapain?"

Orang itu malah balik bertanya dan memperingatkanku tanpa mau menghantarku. Mungkin karena hari sudah sangat sore menjelang magrib, tentu keangkeran sebuah tempat keramat sangat dihindari oleh penduduk kampung sini.

***

Pengurus kehidupan itu Tuhan, namun jangan heran jika kematian juga bisa dihadirkan melalui tangan mahluk tanpa terlihat mata telanjang manusia!

BERSAMBUNG

*****
Selanjutnya
close