Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

KUTUKAN SIRIH IRENG

Nostalgia sama Buto Lireng - Dalang Demit Kampung Wayang.


JEJAKMISTERI - Dananjaya Sambara

“Jangan… jangan ke sini” Ucap seorang nenek tua yang terus bersembunyi di gubuk reyotnya yang hampir tidak pantas disebut sebagai tempat tinggal.

“Keluar kamu nenek brengsek!”

Warga desa dengan wajah penuh dendam berteriak dengan penuh dendam kepada nenek itu.

“Ampun… ampun… saya tidak tahu apa-apa” Balasnya lirih.

“Nggak usah pura-pura! Kamu yang menculik bayi-bayi itu untuk ilmu hitamu itu kan?” Balas salah seorang warga lainya.

“Ampunnn… bukan saya…”
Nenek itu tidak mau mengaku, namun di tanganya masih tergenggam bagian tubuh kecil manusia dan mulutnya masih dipenuhi dengan darah.

“Sudah nek.. keluar dulu, mungkin saya bisa bantu nenek..” Ucapku pada nenek itu sambil berusaha untuk mencari tahu apa yang membuatnya melakukan hal itu.

“Hati-hati Mas Danan, mbah itu tingkahnya memang selalu aneh.. jangan lengah” Ucap Sekar.

“Iya hati-hati Danan! Kamu juga Sekar… jangan jauh-jauh dari Mas Cahyo!”

Aku menoleh pada Cahyo berharap bisa melemparkan sandal jepit ke wajahnya yang masih bisa mencari-cari kesempatan di kondisi seperti ini. Yah.. walaupun tujuanya mungkin agar kami tidak terlalu tegang.

***

“Mbah… ayo, keluar dulu… nggak usah takut” Ucapku.

Nenek itu tetap menggeleng, sepertinya ia memang takut dengan kedatangan semua warga di rumahnya.

“Bapak.. ibu, minta tolong mundur sebentar ya.. biar kami cari tahu dulu” Ucap Cahyo berusaha menenangkan warga.

“Pokoknya nenek itu harus mati! Dia sudah membunuh bayi-bayi di desa ini” ucap warga yang masih dibakar oleh emosi.

***

“Bukan… bukan saya yang membunuh mereka, saya hanya disuruh olehnya saja!” Ucap nenek itu masih dengan wajah ketakutan.

“Siapa? Disuruh oleh siapa mbah?” Tanyaku.
Nenek itu menggeleng tidak mau memberitahu dan wajahnya berubah menjadi pucat. Sepertinya ucapanya tadi sudah membuat marah sosok makhluk yang memaksanya melakukan perbuatan keji itu.


”Khekhehe…”

Suara nenek itu berubah, matanya menjadi hitam dan senyuman mengerikan muncul dari mulutnya dengan memamerkan gigi-giginya yang hitam.

“Aku yang menyuruhnya… kalau kalian tidak suka, sebaiknya kalian ikut mati!”

Nenek itu merangkak dan berpindah tempat dengan kecepatan yang tidak dapat ditangkap oleh mata dan merayap di sebuah dahan pohon besar di antara warga. Mendadak lidahnya memanjang dan melilit leher salah satu perempuan yang sedang menonton kejadian ini.

“Danan… gimana caranya dia bisa sampai sana secepat itu?” Tanya Cahyo.
“Gak tahu… hati-hati Cahyo! Dia bukan lawan biasa” Jawabku.
Nenek itu mengangkat perempuan itu hingga lehernya tercekik dan sulit bernafas.

“To...tolong” Teriak perempuan itu namun warga tidak ada yang berani mendekat dengan kemunculan demit alas di sekitarnya.
“Sekar.. tolong bantu bawa warga pergi dari sini ya, kamu juga cari tempat aman.. kayaknya ini bakal jadi serius” Perintah cahyo kepada sekar.

Aku segera menarik keris dari sukmaku dan menusuk lidah dari mahkluk itu hingga ia menjatuhkan warga desa itu.
Dengan sigap cahyo segera menangkapnya dan membawanya ke warga desa.

Tak mau menyianyiakan kesempatan aku membaca amalan pedang dan memberian serangan pada nenek itu sayangnya ia segera melompat dan tiba-tiba berada di hadapan warga.

“…Khekhekehkehee…. Kalian sudah kurang ajar! Kutukan ini akan terus menjangkit semua orang yang lahir di desa ini.”
Nenek itu mengambil suatu dari celah giginya, meludahinya, dan menjatuhkanya ke tanah.

Sekilas tanah di desa ini berubah menjadi hitam dan tak lama kemudian kembali menjadi menjadi seperti biasa seolah tak terjadi apa-apa.

“Danan.. jangan-jangan itu, Kutukan sirih ireng?” Ucap Cahyo.

Aku yang panik segera berlari ke arah nenek itu dan menyerangnya dengan keris ragasukmaku. Namun tiba-tiba tanah yang kuinjak tidak mau melepas dari kakiku.
“Cahyo jangan ke sini!” Perintahku sebelum Cahyo terjebak sepertiku.

Namun aku tidak kehabisan akal, seketika aku melepaskan sukmaku dari raga dan menyerang nenek itu dengan wujud roh dari keris ragasukma.
Sayangnya nenek itu berubah menjadi asap hitam dan menghilang bersama demit alas di sekitar kami.

“Tumbalkan untuku bayi di bawah tiga tahun di gubuk ini setiap bulan purnama bila kalian mau selamat!”
Suara nenek itu menggema dengan mengerikan di sekitar kami tanpa terlihat wujudnya.

“Jika tidak, semua ternak yang lahir akan mati dan semua bayi yang lahir akan mati membusuk ketika meninggalkan rahim ibunya… Kekhekhekhee”

Cahyo melompat ke atas bangunan mencari ke seluruh arah desa, namun ia tidak menemukan wujud makhluk itu.

Seketika warga mulai panik, beberapa ibu yang tengah mengandung terjatuh tak bisa menahan tangis mengingat apa yang akan menimpa anaknya.

“Mas Danan, Mas Cahyo.. ini gimana? Kenapa bisa jadi seperti ini?” Tanya pak kepala desa.
“Saya akan cari jalan keluarnya pak…” Jawabku.

“Mas… Anak saya mas, bayi ini lahir bulan depan” Ucap seorang perempuan sambil menangis menghampiriu.
“Tenang ibu… kita nggak akan kalah sama makhluk tadi” Ucap Sekar menenangkan.
“Pak Kades, Bu.. maafkan saya. Saya akan coba menghentikan kutukan ini, yang penting warga Desa harus terus berdoa dan beribadah meminta perlindungan Yang Maha Kuasa. Karna hanya melalui Ialah kita bisa menghentikan semua ini” Ucapku berusaha menenangkan warga, padahal sebenarnya aku masih belum mengerti apa yang harus kulakukan.

“Kita minta bantuan paklek… Kemampuanya bisa menghilangkan kutukan ini” Ucap Cahyo yang datang setelah tidak berhasil menemukan petunjuk keberadaan nenek itu.
Aku mengangguk setuju dan segera menghubungi Paklek.

***

Suara bayi terdengar di salah satu rumah di ujung desa. Beberapa warga sudah menunggu dengan harap-harap cemas dengan ketakutan akan kutukan sirih ireng nenek itu. Namun dengan terdengarnya suara tangis anak iu seketika mereka menjadi tenang dan perlahan meninggalkan rumah itu.

“Berhasil Mas Danan, Kutukan Nenek itu sudah hilang…” Ucap ayah dari bayi itu yang senang melihat anaknya lahir dengan lengkap.
“Syukurlah.. ternyata ilmu paklek lebih hebat dari nenek itu” Balasku.

“Jangan sombong Danan, masalah kita belum selesai.. segera bersiap-siap! Kamu juga Panjul!” Ucap Paklek.

Awalnya kami bingung dengan maksud paklek namun tak lama setelahnya hujan datang mengguyur seluruh desa di tengah gelapnya malam.

Petir menyambar seolah menunjukan kemarahan seseorang.

“Dia Datang… jangan ada yang keluar rumah!” Perintah paklek.
“Sekar, kamu masih hafal doa-doa yang diajarkan Paklek dulu kan? Gunakan itu untuk melindungi warga desa ya” Perintah Cahyo pada sekar.

Sekar mengangguk mengerti dan mulai membacakan Doa-doa yang dulu ia gunakan untuk melindungi warga desanya dari kutukan Gending Alas Mayit.
Dari derasnnya hujan di rumah itu terlihat seorang nenek yang ketakutan yang ragu-ragu untuk mendekat.

“To...tolong, saya nggak kuat lagi” Ucap nenek itu.
“Hati-hati paklek, jangan lengah” Ucapku.

Tepat saat kilatan menyambar cahaya terang menyinari mata kami secara singkat. Seketika Nenek itu sudah kembali dirasuki oleh makhluk penyebap kutukan ini.

“Jadi kamu yang menghilangkan kutukanku! Berani-beraninya!” Ucapnya dengan penuh amarah.
“Tidak usah banyak omong! Hadapi kami” Ucap Cahyo yang sudah tidak sabar menghentikan nenek itu.

“Khekhekehe… aku tidak bodoh! Aku bisa mengembalikan kutukan ini kapan saja saat kalian tidak ada! Camkan itu warga desa bodoh! Sebaiknya kalian siapkan bayi gemuk di purnama berikutnya” Ucapnya yang kembali menghilang di tengah rintikan hujan.

“Tunggu nenek peyot! Jangan kabur!” Teriak cahyo yang segera melibaskan tendanganya, namun itu sia-sia. Ia hanya menendang rintikan hujan kosong.
Sungguh, aku tidak menyangka akan hasil seperti ini. Benar Paklek bisa menghilangkan kutukan nenek itu.

Tapi nenek tua itu juga bisa kembali kapan saja ke desa ini saat kami tidak ada.

“Paklek.. apa kita tidak bisa mencari makhluk itu?” Tanyaku.
Paklek menggeleng.

“Kekuatan paklek belum mampu, dan seandainya bisa memaksanya bertarungpun kemampuan nenek itu tidak main-main” Jawab Paklek.
“Terus gimana paklek? Kita nggak bisa ngebiarin warga desa begini terus..” Ucap Cahyo.

“Sudah tenang dulu, pikirkan dengan kepala dingin.. makhluk itu berasal dari jaman yang diceritakan di pewayangan, makanya ia butuh tubuh nenek yang renta itu untuk perantaranya.
Paklek coba cari wangsit dulu… sementara warga akan aman sampai purnama berikutnya”

Mendengar ucapan paklek membuatku semakin berpikir masih banyak makhluk-makhluk mengerikan yang mencoba mencelakai manusia di tempat ini. Tanpa bantuan Eyang Widarpa ternyata aku bukan apa-apa dibanding mereka.

“Paklek, apa benar warga desa akan aman sampai purnama berikutnya?” Tanyaku.

“Tumbal yang diminta makhluk itu harus di serahkan saat purnama, saat tumbal itu tidak diserahkan baru makhluk itu akan kembali lagi... Tapi saat kita kembali ke desa ini nanti, bisa saja nenek itu sedang mengutuk desa lain juga” jelas paklek.

“Danan, kita coba cari petunjuk… jangan sampai nenek itu memakan korban dari desa lain juga” Ucap Cahyo.

“Maaf sepertinya aku harus pergi dulu, aku janji akan kembali di purnama berikutnya…” Jawabku.

“M..maksudmu apa? Ini kondisinya masih gawat” Protes Cahyo.

“Benar.. ini gawat, saat kita menghadapi makhluk itu bersama anak buahnya kita harus punya kekuatan yang bisa menyainginya. Saat ini Eyang Widarpa sudah tenang… aku harus mendapatkan kekuatan yang bisa menggantikanya” Jelasku.

Cahyo menghela nafas, sepertinya ia mengerti akan kekhawatiranku.

“Paklek mengerti, pesan paklek hanya satu… belum tentu yang kamu butuhkan adalah kekuatan seperti yang kamu pikirkan dan hati-hati jangan memaksaan diri” Ucap paklek.

“Paklek itu tadi pesanya dua nggak Cuma satu” ucap cahyo
Seketika serbet yang ada di rumah itu melayang dari tangan paklek ke wajah Cahyo. Sekar hanya tertawa melihat kejadian itu.

“Iya Paklek.. Danan pamit dulu! Sekar, jangan mau digodain Cahyo! Suruh cuci dulu tuh sarungnya!” Ucapku.
“Heh.. ngomong seenaknya!” Ucapnya sambil mengantarkan kepergianku di tengah rintikan hujan yang mulai mereda.

***

Desa Kandimaya, Sebuah desa yang tidak jauh berbeda dengan desa pada umumnya. Hanya saja desa ini terkenal dengan penghasil dalang dan pemainnya.
Sayangnya itu dulu…

Saat ini hanya sedikit dari generasi sekarang yang tertarik untu mempelajari kesenian ini. Rata-rata hanya mereka yang merupakan keturunan pemain wayang lah yang masih mau mempelajari hiburan budaya bangsa ini.

“Ki… masih ingat saya?” Ucapku pada seseorang yang sedang menikmati udara pegunungan di kursi teras rumahnya dengan tatapan yang hampir kosong.

“S..sopo iki? Aku ora asing karo sworone”
(Siapa ini? aku tidak asing sama suaranya) Ucap seorang kakek tua yang merupakan seorang dalang favoritku sejak dulu Ki Daru Baya.

“Danan Ki.. Putrane Bisma” (Danan Ki.. Anaknya Bisma) Jawabku.
Kakek itu memperhatikanku dengan sedikit bingung.

“Owalah… Danan, kowe wis gede… guanteng” Ucapnya.

“Ngapunten yo, Mbah wis tuwo.. wis pikun” (Maaf ya, mbah sudah tua, sudah pikun)

“Udah Ki nggak usah repot-repot, Danan cuman sebentar. Cuma kangen sama Ki Daru Baya Dalang idola Danan” Ucapku.

“Kowe ngomong opo to le.. sekarang mbah sudah tua, buat jalan aja susah.. bisanya ya Cuma begini ngabisin waktu sambil menikmati udara pegunungan begini” balasnya.
Aku tersenyum melihat kesederhanaan Ki Daru Baya.

“Sudah ketemu ibumu?” Tanya ki Daru Baya.
Aku menggeleng.

“Habis ini Danan ke tempat ibu, terus mau ke makam bapak” Jawabku.
“Ya sudah cerita dulu… wajahmu nggak bisa bohong, ada masalah yang sedang kamu hadapi kan?”
Aku tersenyum, ternyata walaupun sudah sangat tua Ki Daru Baya tetaplah Ki Daru Baya.

“Danan lagi mencari cara menghadapi makhluk yang sangat kuat Ki, dia mengutuk desa dengan kutukan sirih ireng.. kata paklek dia aslinya demit dari jaman dulu, sejak jaman yang diceritakan di pewayangan”

Ki Daru Baya mengangguk, ia memaksakan dirinya masuk ke dalam sanggar dan keluar dengan membawa sepasang wayang.

“I..ini apa ki? Apa ini bisa membantu mengalahkan makhluk itu?”

“Eh, bukan… titip bawain ke sanggar ibumu.. kemaren Kirana ada pesenan wayang dari kota” Balas ki Daru baya.
Aku menepuk Jidatku sambil tersenyum, sepertinya aku memang berharap terlalu banyak.

“Semua yang kamu butuhkan sudah ada di dirimu, apapun yang terjadi Takdir akan terus membimbingmu untuk menyelesaikan semua masalahmu.. Ayahmu pernah bilang seperti itu” Ucap Ki Daru baya.

Aku mengerti, berbicara dengan orang yang bijaksana selalu bisa membuatku cukup tenang.

Selanjutnya aku berpamitan dan mampir ke sanggar tempat ibu melatih sinden-sinden baru.

“Kulo nuwon.. Paket” Ucapku setengah menggoda ibu yang sedang melantunkan nada yang merdu di hadapan murid-muridnya.
“Nggeh mas… sedilit..” Balas ibu yang bergegas ke depan menghampiriku.

“Ada paket wayang rahwana sama wayang sinta titipan Ki Daru Baya” Ucapku sambil menutup wajahku dengan kedua wayang itu.

“Aduh.. pake repot repot dianterin, kan sudah saya bilang mau diambil sendiri” Jawab Ibu.

“Nggak papa, kan yang nganterin orang ganteng” Jawabku sambil menunjukan wajahku.

“Da...Danan?” Ucap ibu yang terlihat kaget.
“Ini bener kamu?”
“Iya bu..” Ucapku sambil mencium tangan ibu.
“Kok nggak bilang-bilang mau ke sini?”

“Bu.. Danan pulang ke desa kandimaya ya!” Ucapku.
“Telat! Udah terlanjur sampe” Balas ibu sambil mengusapkan tanganya di kepalaku.
Aku senang melihat wajah ceria ibu. Apalagi sebelumnya aku selalu teringat wajahnya yang selalu berusaha tegar dihadapanku saat kepergian Bapak.

“Wis.. latihanya bubar dulu ya, ada tamu penting“ Ucap ibu pada murid-muridnya.
“Wah.. Mas Danan ya!” Ucap salah seorang dari murid ibu yang mencoba mendekatiku.
“Heh.. jangan ganjen, biar Danan istirahat dulu ya…” Ibu melarang mereka sambil menahanku.

Aku tersenyum mengantarkan mereka keluar sanggar.
“Harusnya biarin aja Bu, siapa tau Danan bisa kenalan” Ucapku.
“Emangnya kamu belum ada calon?” Balas Ibu.

Aku menggeleng, tapi samar-samar aku mengingat wajah Laksmi saat aku tersesat di desa windualit dulu sebelum akhirnya ia menjadi korban demit penari dari alas mayit itu.
“Makanya sering-sering pulang.. nanti kamu kenalan sendiri”

“Haha.. Becanda kok bu. Danan juga masih sibuk..”
“Sibuk kerja atau sibuk sama berburu demit sama Bimo?” Tanya Ibu dengan mata sinis.
“Hehe.. dua-duanya” Ibu menghela nafas seolah tidak bisa menahan sifatku. “Bapak sama Anak sama saja”

Aku menghabiskan sore hari dengan berbincang panjang lebar dengan Ibu. Berkali-kali tawa kecil terjadi diantara kami. Ibu selalu tertawa tiap kali aku menceritakan cerita tentang cahyo yang kelakuanya tidak pernah bisa di prediksi.

“Panjul.. panjul, makin besar makin bandel aja..” Ucap ibu yang berusaha menahan tawanya.
“Ya sudah kamu mandi dulu terus makan.. baru kamu boleh lanjutin urusanmu.
Aku mengangguk menurut. Tidak mungkin aku melewatkan masakan ibu yang sudah lama sekali tidak kurasakan.

***

Tepat saat hari mulai gelap aku berpamitan untuk mengunjungi makam Bapak. Sepertinya ibu juga sudah mengerti tujuan utamaku.

Di sana… di tempat di mana jasad bapak dikuburkan adalah tempat yang sangat cocok untuk aku melatih ilmuku.

Selain itu aku juga memiliki seorang teman di sana yang mungkin bisa memberiku petunjuk mengenai makhluk yang akan kulawan nanti.
Seorang teman yang hidup dari sejak jaman yang diceritaan di cerita pewayangan.. Buto Lireng..

***

...Jagad lelembut boten nduwe wujud
Kulo nimbali
Surga loka surga khayangan
Ketuh mulih sampun nampani
Tekan Asa Tekan Sedanten...

Mendadak langit menjadi gelap, hujan turun begitu deras dan muncul sesosok mahkluk di hadapan kami…

“Akhirnya tiba giliranku”
Sesosok bayangan hitam muncul mendekatiku. Tidak setua eyang widarpa dan tidak berwujud demit juga. Dia lebih seperti sosok seorang pendekar.

“Danan! Siapa dia?! Keberadaanya menggetarkan bukitku” Ucap Buto lireng yang sebelumnya tertidur di bukit batu ini sebelum kedatanganku.

“Dia Leluhurku..“ Balasku.
“Mbah… Saya Danan, Dananjaya sambara… Keturunan Sambara pewaris Keris Ragasukma”

Belum sempat aku melanjutkan perkataanku seketika makhluk itu sudah ada di belakangku dengan menggenggam sebuah keris yang sebelumnya ada di genggamanku.

“Keris Ragasukma… sudah lama sekali” Ucapnya tanpa sepatah katapun berbicara kepadaku.

“Mbah… ngapunten, kulo…” belum sempat berbicara lagi, sosok makhluk itu melompat dan menciptakan cahaya dari keris ragasuka dan melemparkan cahaya itu ke sebuah pohon hingga membakarnya.

Gila… itu ilmu yang hebat, aku tidak pernah tau cara menggunakan kekuatan keris ragasukma dengan seperti itu.

“Sebelum berbicara kepadaku, rebut keris ini dan buktikan kamu pantas mewariskan pusaka kerajaan ini” Ucapnya.

“Tunggu.. Kembalikan!” Ucapku yang segera meraih tanganya namun sia-sia. Ia segera menghindar dan kembali menyerangku denga keris ragasukma yang sepertinya sudah terbiasa berada di tanganya.

Serangan demi serangan mulai melukai tubuhku. Ilmu bela diri dari orang ini sangat tinggi seolah bukan dari jaman ini. Jauh lebih kuat dari ilmu bela diri yang dimiliki Cahyo.

Pertarungan ini berat sebelah, aku kalah dari banyak hal mulai dari ilmu bela diri maupun mengenai keberadaan keris ragasukma yang ada di tanganya. Hingga akhirnya sebuah tendangan membuatku terpental dan jatuh tak jauh dari makam Bapak.

“Aku tahu apa yang kamu pikirkan Danan.. pasti kamu merasa pertarungan ini berat sebelah” sekali lagi suara Buto Lireng terdengar olehku.

“Coba kamu ingat saat kita bertemu ayahmu di atas bukit ini.. apa yang ia katakan saat aku meledek kekuatanya bila tanpa kekuatan keris ragasukma”

Aku merenung dan ingatan itu memang sangat jelas teringat di pikiranku.

Namun aku tidak pernah menyangka kata-kata bapak akan jadi seberat ini.

“Kalau aku tidak bisa apa-apa tanpa keris ragasukma, berarti aku memang tidak pantas memilikinya. Itu juga berlaku untuku… maksudmu itu kan?” Ucapku pada Buto lireng.

Terlihat senyuman kecil di wajah leluhurku itu.
Aku sama sekali tidak mau memusnahkan harapan kedua makhluk hebat ini padaku. Satu persatu aku mengingat apa yang Bapak lakukan saat itu.

Sebuah mantra kubacakan pada kepalan tanganku hingga sebuah kekuatan menyelimutinya.

Tepat ketika keris ragasukma dihujamkan padaku aku melemparkan sebuah pukulan jarak jauh untuk menghempaskanya.

“Hahaha… Ajian Lebur saketi! Tidak buruk… tapi sepertinya itu belum cukup” Tawa Buto lireng.
Benar, kekuatan pukulanku hanya sedikit melukai leluhurku itu.

“Hanya seperti itu? jangan memalukan keturunan Sambara!” Teriaknya yang kembali menyerangku.
Apa? Apa yang harus kulakukan untuk merebut keris itu dari tanganya.

“Ingat semua yang sudah kamu lakukan bersama keris ini!” Teriaknya lagi.

Aku terus kewalahan namun samar-samar aku teringat setiap pertarunganku mulai dari di pabrik gula, imah leuweung, hingga di desa windualit.
Ini pertaruhan, namun aku harus mencobanya.

Aku melompat menjauh dari pertarungan dan memusatkan kekuatanku di dada, tanganku mencoba menggenggam sesuatu yang tidak kumiliki saat ini dan perlahan sukmaku terpisah dari ragaku.

Tepat saat sebuah serangan tiba di arahku, aku menahanya dengan sebuah benda yang digenggam oleh sukmaku.. Keris Ragasukma.

“A...apa ini? Keris Ragasukma ada dua?” Tanyaku.
“Jangan lengah!”

Aku menerima semua serangan dari leluhurku dengan kedua keris ragasukma yang saling beradu. Pertarungan sengit terjadi di antara kami, namun aku masih sulit untuk mengimbangi kekuatanya dan aku tahu leluhurku itu belum menggunakan kekuatanya sepenuhnya.
“Cukup!”

Tepat saat tengah malam ia menghentikan pertarungan ini.

“Itu pelajaran pertamamu. Keris Ragasukma memiliki dua wujud wujud raga dan wujud roh belajarlah untuk menggunakan keduanya sekaligus” Ucapnya yang segera pergi membelakangiku.

“Te.. terima kasih pendekar. Ijinkan aku mengetahui nama pendekar” Ucapku yang penasaran dengan sosok leluhurku yang sepertinya merupakan pendekar sakti mandraguna.

Sayangnya ia tidak menjawab.

“Heh Pendekar, apa kamu yang bernama Daryana Putra Sambara?” Tanya Buto Lireng.
Mendengar pertanyaan Buto Lireng leluhurku terhenti.

“Wahai Tuan Buto, bagaimana kamu bisa tau tentangku.. aku sudah mati sejak ratusan tahun yang lalu” Ucapnya.

“Hahaha… Ayah anak ini yang lebih dulu menceritakan tentang kejadian hari ini. Ini tontonan yang menyenangkan” ucap Buto lireng.

“Sebelum purnama berikutnya saya harus semakin kuat, ada desa yang harus diselamatkan. Demit yang merasuki nenek tua menggunakan kutukan sirih ireng untuk membunuh setiap anak yang lahir.. kekuatanku masih jauh untuk menghadapinya..”

Jelasku kepada pendekar daryana dengan sedikit memaksa.
Ia berbalik dan berjalan menghampiriku yang kelelahan.

“Cucuku, tanpa bantuanku kamu sudah bisa berlatih melawan musuhmu itu.. namun tujuanku melatihmu supaya kamu bisa menghadapi bencana yang ratusan kali lebih besar dari lawanmu saat ini. Takdirmu jauh lebih besar dari ini” Jelasnya yang segera menghilang di dalam kegelapan.

Hampir selama tujuh malam aku menghabiskan waktu di bukit batu. Sesekali buto lireng menampakan wujudnya dan menjadi lawan tandingku. Sepanjang pertarungan ia tidak berhenti tertawa. Sepertinya ia sudah terlalu bosan selama ada tertidur di bukit batu ini.

“Mbah Buto, kamu nggak mau meninggalkan bukit ini dan melihat dunia luar” Tanyaku iseng di tengah pertarungan.

“Hahaha… untuk apa? Untuk meneror desa seperti yang akan kamu lawan nanti?” Jawabnya santai.

“J...jangan, kita bisa kerepotan kalau kamu yang jadi lawan.” Ucapku.

“Aku sudah berjanji dengan ayahmu untuk tidak mengganggu manusia, lagipula aku suka dengan pemandangan bukit ini. Terlebih ada ayahmu yang menemaniku. Tak mungkin aku meninggalkanya sendirian.” Ceritanya.

“Aku mengerti.. Mbah coba terima serangan ini”
Aku melemparkan tubuhku ke sebuah dahan pohon dan menerjangnya dengan tenaga dari lontaran dahan itu.

“Haha serangan yang bagus, tapi aku bisa menghindar dengan mudah!” Ucapnya bangga.

“Yakin?” Ucapku yang sudah berada di pundaknya dengan menempelkan keris ragasukma di leher Buto Lireng.

Buto Lireng merasa kaget dengan keberadaanku. Ia pasti bingung kenapa ada dua orang danan dan dua keris ragasukma di tanganya.

“Ini wujud sukmaku.. aku melontarkan tubuhku sambil memisahkan sukma. Jadi yang ada di sana hanya raga kosongku” Jelasku.

Buto lireng semakin tertawa senang, sepertinya ia mendapat tontonan yang menarik.

“Bagus.. sepertinya kamu sudah terbiasa” Ucap Daryana yang memantauku dari jauh.

“Belum cukup.. bagaimana cara pendekar memberikan kekuatan cahaya di keris itu seperti ilmu yang pendekar gunakan untuk mencoba keris ini kemarin?” Tanyaku penasaran.

“Haha.. rupanya kamu masih terlalu polos. Kamu bisa menggunakanya pada kepalan tanganmu, kenapa kamu tidak menggunakanya pada kerismu?” Jawabnya.

Seketika pikiranku terbuka.
Benar juga! kenapa aku tidak pernah memikirkanya!

***

Tepat setelah malam bulan purnama. Paklek dan Cahyo sudah menunggu di sebuah rumah bersama beberapa warga desa yang tengah hamil.

Kutukan nenek itu benar terjadi. Semua ternak yang baru dilahirkan mati membusuk.

Beruntung belum ada warga yang melahirkan sehingga belum ada bayi yang menerima kutukan ini. Dan hari ini nenek itu pasti akan kembali untuk mengutuk desa ini lagi.
Hujan turun di sekitar desa memberikan suasana sendu dan kegelisahan untuk warga.

“Khekehkehkehe….” Terdengar suara nenek itu datang menghampiri bangunan ini sesuai yang kami perkirakan.

“Kali ini kalian tidak akan bisa menghentikan kutukanku… pengikutku sendiri yang akan mencabut nyawa bayi-bayi itu” ancamnya.

Cahyo dan Paklek keluar dari bangunan itu dan siap menghadapi nenek itu.

“Wis Jelas, kalian harus menghadapi kami dulu sebelum macam-macam sama desa ini!” Ucap Cahyo.
“Kalian terlalu sombong… Kita lihat apa kalian bisa menghadapi ratusan demit alas pengikutku” Ucapnya.

Paklek dan Cahyo terlihat gentar. Bukanya tidak sanggup, tapi aku yakin mereka takut akan ada warga desa yang menjadi korban.

“Bunuh! Bunuh Mereka!”
Perintah nenek tua dengan wajah penuh amarah dan matanya yang menghitam legam.

Suara dentuman terdengar di sekitar desa ini. Seperti suara pertarungan yang tak kasat mata. Dan saat itu juga nenek itu menyadari, tidak ada satupun demit alas yang mengikuti perintahnya menyerang warga desa.
“Paklek! Itu apa paklek?!“ Tanya Cahyo.

Bukanya menjawab paklek malah tertawa terbahak-bahak.

“Kamu tahu ada cerita saat Buto lireng menyerang desa kandimaya. Warga desa tidak melihat pertarungan apapun, tapi dia mendengar pertarungan sengit dari seluruh penjuru desa” Cerita Paklek.

“Maksud paklek apa?” Tanya sekar.
Paklek tidak menjawab dan melanjutkan tawanya.
“Siapa? Siapa Kamu! Keluar!” Teriak nenek itu yang mulai gelisah.
“Panjul.. kamu jangan males-malesan, nanti ketinggalan jauh sama Danan” Ucap Paklek.

Aku melompat dari atas atap rumah tempat mereka bersembunyi dan mendarat tak jauh di samping Cahyo.

“Danan!” Ucap Cahyo kaget.

“Belum terlambat kan?” Ucapku

“I..itu tadi perbuatanmu?” Tanya Cahyo kaget dan Aku hanya menangguk memberi jawaban.

“Uweedannn.. Keren! Jurus apa itu namanya?” Tanya Cahyo.

“Itu bukan jurus, aku hanya memisahkan ragaku dan menggunakan kemampuan roh yang bisa berpindah ruang untuk menghabisi semua demit alas itu” Jelasku.

“Ini baru jurus…” Kali ini aku berlari menerjang nenek itu sambil membacakan mantra untuk menyelimuti keris ragasukma dengan cahaya putih. Namun saat kerisku bersiap menghujam tubuh nenek itu ia menghilang.

Makhluk itu terlihat berada di atas pohon dan bersiap menyerangku. Sayangnya rohku sudah terpisah dan tepat berada di belakang nenek itu dan bersiap menusukan keris ragasukma miliku.

Nenek itu cukup sigap untuk melesat kedepat menghindari seranganku. Tapi cahaya putih dari keris ragasukma terlepas dari bilahnya dan terus melesat menuju tubuh nenek itu. Seketika nenek itu terjatuh ke tanah.

Sebuah api putih besar sudah menyala tepat di tempat nenek itu terjatuh. Itu adalah geni baraloka milik paklek. Seketika juga makhluk itu terbakar, namun tidak dengan tubuh nenek itu.

“Kalian! Akan kubalas kalian!” Ucap makhluk itu yang kesakitan.

“Sudah, api ini akan menghapus dendammu… tenanglah di alam sana” Ucap Paklek.

Tak lama sosok roh perempuan tua berambut panjang keluar dari tubuh nenek itu. Ia tidak lagi mengamuk seperti sebelumnya dan menghilang di tengah gelapnya malam.

“Sekar, tolong bantu nenek ini ya… kasihan dia pasti sudah sangat menderita” Ucap paklek yang segera direspon oleh sekar.

Cahyo segera menghampiriku yang sudah kembali ke tubuhku dan membantuku berdiri.

“Latihanmu pasti nggak main-main ya? Keliatan dari semua bekas lukamu..” Tanya Cahyo.
“Kamu terlalu memaksakan diri…” Ucap Paklek yang juga merasa bersalah melihat semua luka di tubuhku.

“Semua ini sudah ditakdirkan, termasuk latihan ini… Kita akan menghadapi hal yang jauh lebih besar dari ini. sudah seharusnya kita bersiap untuk yang terburuk” Jawabku.

Sepertinya Paklek dan Cahyo samar-samar sudah mengerti dengan maksudku. Mereka telah mendapat petunjuknya sendiri mengenai bencana besar yang akan kita hadapi nanti.

~SEKIAN~

Terima kasih sudah mengikuti kisah ini hingga akhir. Cerita ini berada sebelum kejadian Jagad Segoro Demit.
Sampai sekarang kisah ini masih jadi part favorit saya.

close