Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

AKSORO JIWO - Tembang Kaping Siji (1)

"Peteng ndedet ora ono lintang, onone geni pati kang abang mbarang"


Cerita ini berdasarkan dari kisah nyata, semua nama dan tempat saya samarkan untuk menghindari hal yang tidak diinginkan dimasa mendatang.

Kisah ini bermula dari cerita ini :


JEJAKMISTERI - "Kabeh iku opo ono jalarane karo wong seng pernah cedhak karo siska yo den?" (Semua itu apa ada hubungannya dengan orang yang pernah dekat dengan siska ya den?) Ucap dimas dengan mengelus kepalanya sembari menggaruknya.

Nampak raut wajah deno kebingungan.

Lama, sangat lama kami duduk termenung sembari menunggu deno mengingat sesuatu. Entah beberapa jam, bahkan aku rasa sebungkus rokok berbungkus merah habis ku hisap tak bersisa.

Lalu...

"Aku kelingan, siska pernah cerito neng aku pas jaman cilikane" (aku ingat, siska pernah cerita ke aku ketika masa kecilnya) ucap deno.

"Opo iku?" (Apa itu?) Ucapku dan dimas bersamaan.

"Ngene ceritane" (begini ceritanya)


***
Owekk!!! Owekkk!!!

Suara bayi perempuan baru saja lahir, dibantu tangan seorang dukun beranak desa. Anak itu pun dibersihkannya dan segera di berikannya ke samping ibu kandungnya bernama tini.

"Sampun lair mbok?" (Sudah lahir mbok/buk) ucap lelaki muda bernama muk dengan nama lengkap mukidi.

"Sampun ngger, anakkmu wedok" (sudah nak, anakmu perempuan) ucap dukun beranak itu dengan senyum.

Syukur dan bahagia mereka panjatkan, 10 tahun membina rumah tangga akhirnya mereka bisa merasakan menjadi keluarga yang benar-benar keluarga. Bayi perempuan mungil itu menjadi pelengkap mereka sebagai pasutri.

"Pripun mbok? Sehat sedanten nggih anak kulo?" (Bagaimana mbok? Sehat semua ya anak ku?) Ucap muk pada dukun beranak.

"Sehat sak kabehe ngger, cekap ora ono kekurangan" (sehat semuanya nak, lengkap tidak ada kekurangan) ucap dukun beranak desa.

"Alhamdulillah Gusti" ucap muk sambil mengusap muka sembari meneteskan air mata bahagia.

1 minggu berlalu acara aqiqoh anak perempuan bernama siska purnama sari pun di laksanakan dengan menyembelih 1 ekor kambing dan kenduri kecil-kecilan. Tak lupa klenengan dan tarian mengisi meriahnya rumah muk dan tini. Begitu bahagia keluarga kecil itu.

***

Cerita ini mungkin adalah cerita yang gila menurut saya, sempat meragukan eksistensi demit wanita berjubah kelam ini. Namun, saya paham ada beberapa yang sangat berbahaya, bahkan bisa mengancam nyawa dan bisa saja menyatu dalam cerita ini.

Jika saya lalai menyebutkan nama asli mohon jangan skip saja dan jangan sesekali menyebut namanya dengan keras, apalagi sendirian di ruang gelap. Berdoa dan jangan pernah membaca cerita ini sendirian.

Jika terjadi efek :
Mual-pusing/pandangan kunang-kunang
Tengkuk berat
Punggung panas

Lakukan :
  • Tutup hp
  • Wudhu/minum air putih
  • Al-fatihah 7x
  • An-naas 7x
  • Al-falq 7x
  • Al-ikhlas 7x
  • Ayat kursi 7x
Baca juga "siro ora ganggu balio asale panggonmu"

***

Lanjut cerita

Tanggal 13 suro.
Terlihat seorang wanita paruh baya menyisir rambutnya, keriputnya menandakan usia yang kian menua. Di luar ada suara yang memanggil, memanggil dari luar gubuk anyaman bambu hanya bersinarkan lampu teplok.

"Mbok, mbok darsinah. Njenengan di dawuhi paklik ten griyo" (mbok, mbok darsinah. Kamu di suruh paman ke rumah) ucap sari daei luar gubuk.

"Iyo nduk, mengko tak rono yo" (iya nak, nanti tak kesana ya)

Sari pun pamit pulang, dan mbok darsinah berdandan menuju kenduri muk. Konde, sanggul dan kebaya hitam pun ia kenakan menuju tempat hajatan. Hengkang dari tempat tinggalnya menyongsong hari yang kian gelap namun terasa petang.

Jalan desa masih berupa tanah dan susunan batu, peseda motor mungkin hanya beberapa lalu lalang. Warga desa lebih memilih berjalan kaki karena memang letak desa ini jauh dari hiruk-pikuk perkotaan.

Dibawah lentera obor, tarian yang digandrungi warga desa beserta gamelannya sebuah pertanda sedang ada acara kenduri besar di kediaman muk. Memang muk sangat bahagia akan kelahiran buah hatinya yang selama ini ia damba beserta istrinya.

"Kulonuwun, muk" (permisi, muk) ucap mbok darsinah.

"Monggo mbok, pinarak mlebet" (mari mbok, mampir masuk) ucap muk sembari tersenyum dan mengajak mbok darsinah masuk.

"Hla garwomu karo bayine neng endi ngger?" (Hla istrimu dan bayinya dimana nak?) Ucap mbok darsinah.

"Teng kamar mbok, kirangan nembe nopo niku hehe.." (di kamar mbok, entah sedang apa itu hehe..) ucap muk sambil meringis dan menggaruk kepalanya.

"Yowes, tak rono nek neng kamar yo ngger.." (yasudah, aku mau kesana kalau memang sedang di kamar ya nak) ucap mbok darsinah.

"Njih mbok monggo" (iya mbok silahkan) ucap muk mempersilahkan mbok darsinah ke kamar.

Tin..tini.. iki hlo simbok neng kene" (tin..tini.. ini hlo simbok disini) ucap prapti, ibu dari muk.

"Wes to, ora usah di celuk-celuk. Ben aku sek marani rono" (sudahlah, tidak usah dipanggil-panggil biar aku yang kesana mendatanginya) ucap mbok darsinah.

"Nggih mbok, monggo langsung mlebet mawon" (iya mbok, silahkan langsung masuk saja) ucap prapti. Mbok darsinah hanya membalas dengan senyum ramah seraya masuk ke bilik/kamar itu.

Kamar yang sederhana, dengan amben/tempat tidur terbuat dari bambu. Di kanannya ada ayunan bayi yang terbuat dari rotan.

Terlihat seorang wanita sedang bersama bayinya yang "digedong" atau di balut jarik lurik.

"Mbok.." ucap wanita itu yang tak lain adalah tini istri muk.

"Wes.. ora usah tangi. Ngelaras wae, aku mung arep weruh bayimu." (Sudah.. tidak usah bangun. Santai saja, aku cuma mau melihat bayimu.) Ucap mbok darsinah dan melangkah ke arah jabang bayi.

Namun...

"Duh gusti!" (Ya tuhan!) Mbok darsinah kaget bukan kepalang melihat sang jabang bayi. Di kening dekat ubun-ubun ada sedikit bekas gigitan, bukan gigitan hewan namun seperti gigitan entah demit atau apa.

Di kening jabang bayi terlihat bekas gosong membiru.

"Ciloko!" (Celaka!) Ucap mbok darsinah.

"Enten nopo mbok?!" (Ada apa mbo?!) Tanya tini dengan kebingungan.

Mbok darsinah terdiam sambil menggigit jari. Entah apa yang ada dipikiranya.

"Muk, prap.. rene sek kabeh cepet.." ( Muk, prap.. kesini semua cepat..) ucap mbok darsinah dengan khawatir dan penuh was-was. Terlihat dari rautnya yang memucat memutih...

Dan...

"Pripun mbok?" Tanya prapti dan muk tak kalah herannya.

Mbok darsinah berteriak

Mukk!!! Prappp!!!

"Saiki, cepet gawakno rene : kembang 7 rupo, dupo, brambang bawang, cemiti, karo awu pawon. Cepet!" (Sekarang, cepat bawakan kesini : kembang 7 rupa, dupa, bawang merah dan putih, dan abu tungku dapur. Cepat!") Ucap mbok darsinah.

"Enten nopo sakjane mbok? Ampun meden-medeni" (ada apa sebenarnya mbok? Jangan menakut-nakuti) tanya tini khawatir.

"Wes ngger tenangno pikirmu. Prap, muk.. cepet golekno kuwi kabeh mau!!!" (Sudahlah nak tenangkan pikiranmu. Prap, muķ.. cepat carikan itu semua tadi!!!) Ucap mbok darsinah.

"Nn...nopo wau mbok???" (Aa...apa tadi mbok???) Tanya muk dengan was-was.

"kembang 7 rupo, dupo, brambang bawang, cemiti, karo awu pawon. Cepet!" (kembang 7 rupa, dupa, bawang merah dan putih, dan abu tungku dapur. Cepat!) Ucap mbok darsinah lagi.

Dan...

Cukup lama mbok darsinah menunggu muk menyiapkan apa yang ia suruh carikan.

Lalu....

"N..nni...niki mbok" (i..ii..ini mbok) ucap muk sembari menyodorkan semua yang diminta mbok darsinah di sebuah "lampah" bakulan dari bambu.

Dengan cepat mbok darsinah "ndeplok" (menumbuk) bawang merah dengan kedua tangannya lalu mengunyahnya hingga halus.

Bismillahirohmanirrohim.
Siro mung sak dermo, patiku ono ing tangane kuoso. Demit tak utusi ojo soro ojo gawe ciloko. Getihku lan sukmoku jogo jabang bayine iki. Puja lan puji dawuh datenge Gusti pengeran.

Mongso ketigo mongso rendeng, peteng dadio padang, panas dadio atis. Rogo wesi jabang bayiku iki ojo wani-wani menowo ora kepengen pati.

Ucap mantra dari mbok darsinah.

Di "lepeh" (di muntahkan) kunyahan bawang merah itu dan ditempelkan di ubun-ubun jabang bayi muk dan tini. Seketika jabang bayi menangis keras dan entah apa terdengar suara riuh dan ramai di teras rumah.

Tulung!!! Tulung!!!

Suara terdengar dari teras rumah. Tak ada lagi suara riuh ramai tarian dan gamelan hanya suara rintihan kesakitan meminta pertolongan dari sana.

Semua yang ada di kamar itu sontak menuju di depan, terlihat sudah ada pria tua sedang menolong para pemain gamelan beserta penarinya.

Nama pria itu mbah sambung. Atau mbah sambung macan.

"Kang wongen nopo niki?" (Kang ada apa ini?" Tanya mbok darsinah kepada mbah sambung.

"Ono demit setan alas seng lewat mau, mbuh ngopo malah di osak-asik ngene" (ada demit setan hutan yang lewat tadi, tidak tau kenapa malah di obrak-abrik begini) jawab mbah sambung.

***
Mbok darsinah sepertinya benci sekali saya ceritakan hahaha..


"Wes wes, ayo mlebu kang, arep ono bab penting seng arep tak deloke marang awakmu kang" (sudah sudah, ayo masuk kang, mau ada hal penting yang akan aku sampaikan kepadamu kang) ucap mbok darsinah kepada mbah sambung.

Melangkahlah mereka menuju dalam rumah muk.

Hingar bingar pun sirna, cekam meredam bagai balutan distorsi kelam. Tuan rumah pun jengah dan lelah akan puisi mistis yang mengiris.

Acara terpaksa dibubarkan dan semua dipulangkan.

Sementara warga dusun menolong untuk mengantar pulang para penari dan pemain gamelan.

Di dalam rumah ada pembicaraan yang cukup serius namun sangat syarat akan kengeriangan.

Kenapa tidak ngeri?

Bagai di tempel bara api kepala muk mendengar ucapan mbok darsinah.

"Kang awake dewe kudu golek coro ampuh kang" (kang kita harus mencari cara ampuh kang) ucap mbok darsinah.

"Coro opo? Maksudmu opo to nyai?" (Cara apa? Maksudmu apa nyai?) Tanya mbah sambung masih bingung akan ucapan kawan sepadepokan-nya itu.

"Jabang bayine muk karo tini keno santet brojo kang!" (Bayi-nya muk dan tini terkena santet brojo kang!) Jawab mbok darsinah dengan melotot dan menekan meyakinkan.

"Ora mungkin nyai, wes tak pageri kat ndisik omahe kene pas iseh ono jinate kyai slendro" (tidak mungkin nyai, sudah ku pagari sejak dulu rumah ini pas masih ada mendiang kyai slendro) ucap mbah sambung tidak percaya akan ucapan mbok darsinah.

"Sakjane niki wonten nopo nggih? Criyos mawon engkang cekap.." (sebenarnya ini ada apa ya? Cerita saja dengan lengkap..) ucap muk menimbrung akan pembicaraan dua orang tua itu, derai air mata terasa deras mengalir di celah mata muk kala itu.

"Muk! Menengo dhisik, iki bab sing ora sembarangan! Ojo medot wicoroku dhisik!" (Muk! Diam dulu, ini hal yang tidak sembarangan! Jangan memutus pembicaraanku dulu!) Bentak mbok darsinah pada muk.

Hanya jawaban "nggih" (iya) dan anggukan pelan yang di suguhkan muk.

"Saiki kang ayo kabeh podo ndelok jabang bayine muk karo tini, tak weruhi nek sak tenane jabang bayi iku keno santet brojo" (sekarang kang ayo kita semua melihat bayinya muk dan tini, aku perlihatkan kalau memang benar bayi itu terkena santet brojo) ucap mbok darsinah.

Mbok darsinah pun melangkah menuju kamar tini diikuti mbah sambung dan lainnya.

Mbok darsinah langsung menggendong bayi muk dan tini, diperlihatkan borok yang entah dari mana hampir memenuhi si bayi itu.

Semua kaget, mbah sambung sampai mulutnya ternganga melihatnya.

Muk pun melihat istrinya menangis, tak kuasa mendengar pula jeritan sang istrinya tini. Mata muk merah kepalanya bagai di tempel bara api. Panas! Namun sayu dan pucat terlihat di raut muk. Tangis pun pecah antara muk dan tini.

Namun...

"Nyai, iki podo santet seng keno gone keluargane cokro ndisik kae to?" (Nyai, ini sama dengan santet yang terkena di keluarganya cokro dulu itu kan?) Tanya mbah sambung pada mbok darsinah.

"Iyo kang, santet seng mateni karo ngentekne keluargane cokro sak cindil abange nganti ora siso" (iya kang, santet yang membunuh dan mengabiskan keluarganya cokro sampai ke akar keturunannya sampai tidak bersisa.) Ucap mbok darsinah menjelaskan pelan.

Muk pun semakin ketakutan begitu pula dengan istrinya tini. Kenapa, kenapa, dan kenapa bisa sampai ada santet mengerikan di keluarga kecilnya. Anak yang ia damba membuat muk menelan ludah karena wujud berborok yang lama-lama memenuhi seluruh tubuhnya.

"Nek sewu dino ora iso mbalikke balak iki, iso entek sak cindil abange muk koyo nasibe cokro nek ngene kang" (kalau seribu hari tidak bisa mengembalikkan balak/kiriman santet ini, bisa habis garis keturunan muk seperti nasibnya cokro kalau begini kang) ucap mbok darsinah.

"Iyo nyai, nanging iki jalarane opo dhisik iso keno santet brojo?" (Iya nyai, tapi ini penyebabnya apa dulu bisa terkena santet brojo?) Tanya mbah sambung.

"Iki mesti mergo jabang bayi iki lair neng dino kang riwin kanggo nyempurnakke ilmu kasekten nyugehke awak" (ini pasti karena bayi ini lahir di hari yang rawan untuk menyempurnakan ilmu kesaktian memperkaya diri) jawab mbok darsinah.

"Saiki akeh uwong seneng golek bondo kang coro mesugih. Ora ono roso manungso sejati kang njaluk rizki dateng gusti pengeran, malah moro njaluk karo demit setan kranjingan" (sekarang orang suka mencari harta dengan cara pesugihan. Tidak ada rasa kemanusiaan sejati yang meminta rejeki dari tuhan, malah mendatangi meminta dari demit setan sialan) Ucap mbok darsinah.

***

"Cok! aku lali opo meneh ceritone hah!!!" (Cok! Aku lupa apa lagi ceritanya hah!!!) Ucap deno kesal.

"Baji**** as* iso-isone aku lali as*!!!" (Baji**** as* bisa-bisanya aku lupa as*!!!) Umpat kesal deno sambil membenturkan kepalanya ke meja.

"Wes-wes dipikir santai wae, ora usah kesusu ben ora tuman hahaha" (sudah-sudah dipikir santai aja, tidak usah tergesa memaksa biar tidak ketagihan hahaha) ucap canda dimas mencairkan suasana.

Namun...

Tiba-tiba...

Dari sudut lorong kantin terlihat seorang wanita tua, melambai pada arah kami. Sontak semua kaget.

"Den kae sopo?" (Den itu siapa?) Tanya pelan pada deno.

Belum menjawab deno langsung menggeser kursi tempat duduknya.

Lalu...

“Buk, kapan duginipun teng mriki?” (buk, kapan datangnya kesini?) ucap deno pada wanita itu, siapa wanita itu?, sampai deno mencium tangannya. Diajaknya wanita itu menuju arah kami.

“Kenalke rek, iki bu tini, ibuke siska” (kenalin rek, ini bu tini, ibunya siska) ucap deno mengenalkan wanita itu pada kami, itu adalah ibu dari pacar deno yang tergeletak di ruang icu.

“Ehh..buk…” ucapku dan dimas sambil bersalaman dengan beliau.

“Nembe dugi buk? Kalih sinten wau ten mriki?” (Baru datang buk? Dengan siapa tadi ke sini?) Ucap tanyaku pada beliau.

“Dewe ngger, mau rene numpak angkot” (Sendiri nak, tadi kesini naik angkutan umum) jawab beliau padaku.

“Owalah nggih buk, monggo pinarak lenggah rumiyin, badhe ngunjuk nopo panjenengan, kulo pesenke” (owalah iya buk, mari mampir duduk dulu, mau minum apa, aku pesankan) Ucapku pada beliau lagi.

“Wes ora usah repot-repot ngger” (Sudah tidak usah repot-repot nak) Ucap beliau lagi padaku. Beliaupun duduk bersama kami dan menanyakan kabar anaknya siska, deno hanya menjawab “belum ada perubahan, masih tergeletak tak berdaya di ruang ICU”

Namun…

Ada ucapan dari bu tini yang membuatku ingin mendengar ceritanya, mungkin cerita beliau bisa menjadi petunjuk untuk menemukan benang merah akan permasalahan deno dan siska.

Lalu...

***
Saya peringatkan sekali lagi, kita akan menyelami cerita yang akan membuat tubuh bergidik.

Cerita ini belum mulai, baru sebatas pengenalan. Semua kengerian akan tersuguhkan dan bersiaplah muntah jika tidak kuat.

Selalu berdoa dan patuhi arahan yang tertera di awal cerita.
***

“Kowe kabeh mau jagongan opo ngger? Kok koyo sepaneng ngono tak delok soko adoh” (kalian semua tadi berbincang apa nak? Kok kaya serius begitu aku lihat daru kejauhan) Tanya beliau pada kami.

“Mm..mmm.. mboten buk, mung jagongan biasa niki wau” (mm..mmm.. tidak buk, Cuma ngobrol biasa ini tadi) Jawab deno dengan gugup.

“Wes den, ojo seneng goroh, ngomong jujur wae” (sudah den, jangan suka berbohong, bicara jujur saja) ucap bu tini menampik ucapan deno.

“Saestu buk wau mung…” (serius buk tadi Cuma…)

Namun…
Tiba-tiba ucapan deno di putus oleh bu tini seraya kesal akan ucapan deno yang dirasa tidak jujur.

“Ssssttt rasah goroh meneh, aku krungu awakmu nyebut jenenge mbok darsinah den! Ora ilok mudeng ora!” (Sssssttt tidak usah berbohong lagi, aku dengar kamu menyebut namanya mbok darsinah den! Tidak baik tau tidak!) bentak pelan bu tini pada deno.

“Ngapunten buk, ngapunten menawi kulo mboten sopan…” (maaf buk, maaf jika aku tidak sopan…) ucap deno dengan menangis. Lalu dimas tiba-tiba memberanikan bicara dengan sopan…

“Ngapunten sak derenge buk, sepindah kulo badhe pirso kalih panjenengan, menawi kerso panjenengan badhe njawab” (Mohon maaf sebelumnya buk, sebelumnya saya mau Tanya, jika berkenan ibu menjawabnya” Ucap logat jawa halus dimas pada bu tini.

Bu tini pun mengangguk dan mempersilahkan dimas melanjutkan ucapan akan pertanyaa-nya. “kulo badhe mireng criyos panjenengan bab mbok darsinah niku, mbok bilih saking criyos pajenengan kulo kalian rencang saget pikantuk petunjuk kangge bab perkoro niku buk” (saya mau dengar ceritamu tentang mbok darsinah, siapa tau dai ceritamu saya dan teman-teman dapat sebuah jawaban untuk permasahan itu buk) ucap logat halus dimas lagi pada bu tini.

“Iyo ngger sak jujure aku ngerti karepmu kabeh opo, nanging iki ora bab sepele, iki bab cerito kang pengen di kubur soko keluargaku, mergo nek kelingan atiku dadi cidro, perkoro cerito iki gawe keluargaku urip kepati-pati mergo salah, arep urip nelongso mati yo ora wani ngger, aku wedi nek mbukak cerito iki meneh” (iya nak sejujurnya aku paham maksudmu semua apa, tapi iki bukan hal sepele, ini sebuah cerita yang ingin dikubur dari keluargaku, karena kalau teringat hatiku jadi lara dan sakit, perkara cerita ini membuat keluargaku hidup seperti penuh penyesalan karena salah, mau hidup nelangsa mau mati tidak berani nak, aku takut kalau membuka cerita ini lagi) ucap panjang bu tini pada kami.

“Tulung buk, niki kahanan penting. Mbok menawi wonten petunjuk kangge kahanan putrine panjenengan menawi panjengan criyos bab mbok darsinah kanthi cekap, tulung kulo nyuwun sanget kalih panjengan buk..” (tolong buk, ini masalah penting. Siapa tau ada petunjuk untuk masalah putri ibu kalau ibu cerita tentang mbok darsinah dengan lengkap, tolong saya minta tolong sekali denganmu buk) bujuk rayuku dan dimas pada bu tini.

Bu tini hanya terdiam seperti ketakutan, sesekali ia melihat deno yang menangis tersedu. Bu tini serasa iba dan akhirnya beliau meng-iyakan bercerita tentang “mbok darsinah” secara lengkap.

“Den tekan ngendi awakmu cerito?” (den sampai mana kamu bercerita?) Tanya bu tini pada deno. “Waa..wwaaa..wau pun kulo cerito duginipun santet brojo ten griyo buk” (taa..tttaa..tadi sudah saya ceritakan sampai datangnya santet brojo di rumah buk) jawab deno.

Beliaupun mengangguk dan mulai bercerita “Dadi ngene ngger..” (jadi begini nak..) bu tini menceritakan…

***

Di dalam rumah muk terjadi sebuah perdebatan pembicaraan serius. Antara mbok darsinah dan mbah sambung.

“Kang awake dewe kudu piye nek ngeneki?” (kang kita harus bagaimana kalau begini?) Tanya mbok darsinah pada mbah sambung.

“Nyai sek tenang, iki kudu dipikir kanthi setiti ngati-ati menowo ora pengen marani pati marang awake dewe kabeh” (nyai yang tenang, ini harus dipikir dengan penuh hati-hati jika tidak ingin menjemput kematian pada kita semua) ucap bijak meneduhkan mbah sambung.

“Sek tak piker kanthi sak jerone atiku guno bab perkoro abot iki” (sebentar aku pikir dengan sedalamnya hatiku guna permasalahan berat ini) ucap lagi mbah sambung.

Cukup lama dua orang sakti ini berfikir memecahkan masalah guna mendapat jalan agar keluarga kecil muk dan tini terbebas dari jerat santet yang dikirim orang biadab entah siapa mereka belum di ketahui.

“Aku mudeng corone nyai…” (aku tau caranya nyai…) ucap mbah sambung yang sedikitnya membuat semua yang ada disana merasa lega, namun ketika mbah sambung melanjutkan ucapannya cukup membuat muk dan tini menelan ludah.

“Corone mung iki menowo gelem, nanging kudu bener-bener kuat lan niat. Muk kudu ngelakoni topo pati geni lan ora mangan 3 dino 3 wengi. Siap ora muk?” (caranya Cuma ini jika mau, tapi harus benar-benar kuat dan niat. Muk harus bertapa pati geni dan tidak makan 3 hari 3 malam. Siap tidak muk?”

Tanya mbah sambung pada muk. Tidak ada jalan lain dan tidak bisa menawar ucap tambah mbah sambung, muk pun dengan legawa/sepenuh hati menerima cara satu-satunya yang di sarankan mbah sambung.

Singkat cerita mbah sambung dan mbok darsinah mengantar muk menuju sendang waringin, muk sebenarnya sudah sedikitnya melampaui manusia awam, bahkan ajian serat jiwo muk sudah menguasai meski hanya tingkat satu. Kembang/bunga 7 rupa, sesajen ayam cemani dan dupa sudah tersedia.

Kini saatnya muk memulai prosesi topo pati geni demi menyelamatkan keluarganya dari santet brojo yang bersarang di buah hati yang ia dambakan sekian lama.

Terlihat tangis kecil di mulut muk, begitu berat, bagai diberi madu kemudian disiram racun di mulutnya, pahit dan menyakitkan.

Prosesi awal pun dilakukan, muk harus menyulut dupa, kemudian menyembelih ayam cemani dengan menggigit leher ayam cemani itu sampai mati.

Mual pasti dengan darah amis ayam cemani yang pasti akan ia hisap secara sengaja atau tidak sengaja, darah ayam cemani itupun di teteskan di sebuah gelas, baru di geletakkan di nampan yang berisi kembang/bunga 7 rupa di atasnya.

“Condro mowo condro geni, ilatku sak ademe bayu, bayu ne bethoro bayu. Rogoku wesi kalungan, kalungane hanoman. Topo broto ku kanggo lebur pati geniku sak piturutku, jupuken sek kudu mbok jupuk lan panganen sek kudu mbok pangan nanging ojo gawe soro lan ciloko jabang bayiku lan sak piturutku. Puja lan puji Gusti Pengeran.”

Selepas mantra dibaca dengan lantang oleh muk, muk harus bertahan di guyuran air terjun sendang waringin sampai 3 hari kedepan. Mau tak mau harus dilakukan karena ini menyangkut nyawa semua keluarganya.

Muk sekuat tenaga agar keberhasilan pertapaannya mampu membalikkan balak pada santet brojo yang ditujukan pada keluarganya, khususnya buah hati yang ia sayangi.

Begitu kasih seorang bapak/ayah begitu besar pengobanannya.

Masihkah kalian berani melawan bapakmu, ayahmu. Padahal demi apapun bapakmu, ayahmu rela mempertaruhkan segalanya agar engkau tetap bahagia.

Dosalah kita yang masih berani membangkang seorang bapak/ayah yang selalu mengesampingkan kebahagiannya demi melihat anaknya tumbuh dewasa.

***

Muk mulai fokus, dengan posisi "silo mukti" (bersila dengan posisi sempurna) pun sudah lakukan. Doa semua terpanjat agar muk berhasil akan pertapaannya.

Namun...

“Wes kang, ayo bali. Ben muk isoh fokus karo topone” (Sudah kang, ayo kembali. Biar muk bisa fokus dengan pertapaannya) ucap mbok darsinah pada mbah sambung.

“Nyai bali dhisek wae ngancani tini, karo jogo-jogo neng omahe muk karo tini yo…” (Nyai kembali duluan saja temani tini, sekalian jaga-jaga di rumahnya muk dan tini ya…) Ucap mbah sambung pada mbok darsinah.

“Yowes kang, tak tinggal iki yo?” (yasudah kang, aku tingggal ini ya?) Tanya mbok darsinah pada mbah sambung.

“Iyo nyai, aku tak neng kene ngawasi muk sekalian yo jogo-jogo” (iya nyai, aku disini saja mengawasi muk sekalian ya jaga-jaga) jawab mbah sambung.

Mbok darsinah pun perlahan meninggalkan sendang waringin, meninggalkan muk bertapa dan membiarkan pula mbah sambung menemani muk disana. Langkah mbok darsinah mengarah ke arah rumah tini.

Namun... belum sampai juga di dekat rumah tini, mata mbok darsinah melihat ada seseuatu yang bergelayutan diantara pohon beringin di sebrang obor poskamling desa.

Namun lagi-lagi aneh. Poskamling yang biasanya ramai pemuda dan bapak-bapak terlihat sepi bahkan tidak ada sebatang hidung manusia satupun.

Sepi….

Tenang…

Wussss… wusss.. wusss...

Suara sepoi angin malam menambah romansa klenik di kampung malam ini...


Perlahan dan perlahan mbok darsinah mendekati poskamling dan dari apa yang ia lihat kejauhan kini Nampak jelas ia cerna dengan kedua bola matanya.

Bukan sesuatu, namun sosok mengerikan berborok yang memenuhi seluruh tubuhnya. Tapi sosok itu hanya diam dan bergelayutan di pohon beringin itu.

“Wah ciloko! Ojo sampek aku kecolongan!” (Wah celaka! Jangan sampai aku kecolongan!) ucap mbok darsinah dan mulai mempercepat langkahnya menuju rumah tini...

Sreekk… srekk… srekk…

Suara daun kering nampak nyaring terdengar terinjak kaki mbok darsinah…

Krukk…krukk..krukkk hrrmmm…

Suara aneh pun tersaji mengikuti tiap langkah mbok darsinah…

Srekkk!!!

Langkah mbok darsinah terhenti.

Dan…

Perlahan dan perlahan, mbok darsinah membalikkan tubuhnya. Terlihat sosok yang sudah ada didepan pandangan bola matanya.

Sosok itu berambut panjang, seluruh tubuhnya dipenuhi borok. Nampak kulit luarnya juga berlendir dan bernanah.

Sosok itu hanya terdiam, sambil bergerak lunglai ditempat sosok itu berdiri.

Tiba-tiba...

"Sopo kowe!?" (Siapa kamu!?) Tanya mbok darsinah.

Diam hanya diam sosok itu.

"Jawaben aku, sopo sejatine awakmu!!!?" (Jawab saja aku, siapa sejatinya dirimu!!!?) Tanya mbok darsinah lagi.

Dua kali pertanyaaan yang sama dan yang kedua kalinya dengan nada keras dan tinggi. Namun, tetap saja sosok itu hanya diam.

Lalu....

Jagat demit lan wingit, ojo wani-wani ngganggu urip katentremane manungso. Panggonmu lan panggonku asale cipro rosone gustiku, cipto roso kang biso kudu urip berbrayan lan sesandingan. Ojo podo ngganggu lan gawe ciloko siji lan sijine, balio tekan panggonmu lan asalmu.

Entah ucapan apa yang keluar dari mulut mbok darsinah. Namun, tetap saja sosok itu hanya diam... 

Namun...

Tiba-tiba....

HAHAHA...
HiHiHi.........
HAHAHA..........
HiHiHi.......................

Tawanya menggema, bahkan hewan malam seperti codot/kalong (kelelawar buah) yang dari sembari tadi berterbangan pun pergi serasa takut lari ketakutan berhamburan dan menghilang...

Mbok darsinah pun bergidik, langsung balik badan dan berjalan meninggalkan sosok itu yang sudah sudah melotot ke arahnya...

Ngeri dan penuh dendam tatapan sosok itu...

"Opo iku wujud asli santet brojo?" (Apa itu wujud asli santet brojo?) Gumam dalam hati mbok darsinah, sembari tetap berjalan cepat menuju rumah tini.

Pelataran tini sudah terlihat, mbok darsinah memberanikan diri melihat ke belakang lagi...

Dan...

Dan, sudah tidak terlihat sosok itu di belakangnya.

Namun...

Krukkk... krukkk... hrmmmm....

Terdengar suara yang sama tapi dimana?

Mbok darsinah perlahan perlahan mendekati teras tini...

Perlahan dan perlahan...

Terlihat seseorang yang duduk diteras tini.

Siapa itu?

Langkah mbok darsinah semakin dekat, dekat dan semakin dekat dengan teras dan penasaran siapa yang duduk di teras itu...

Namun...

Krompyang!!!! Ngekk!!!

Miao!!!

Suara kucing hitam mengagetkan mbok darsinah yang entah dari mana tiba-tiba melompat ke arahnya...

Mbok darsinah pun mendekati pintu, ia melihat untuk memastika..

Aneh yang duduk disitu kenapa hilang?

Mbok darsinah pun mengetuk pintu...

Tok!! Tok!!! Tokkk!!!!

"Tin.. tini.. bukaken lawange ngger..." (Tin.. tini.. bukakan pintunya nak..) Ucap mbok darsinah...

Namun...

Krukk... krukkkk... hrmmmm... Ahkkkk....

(suara seperti tercekik)

Suara yang bersumber dari samping kanan mbok darsinah di sudut remang kursi yang ada orangnya tadi.

Lalu...

Perlahan... mbok darsinah melihat kearah itu...

Dan...

HAHAHA.... HiHiHiHi.....

Sosok itu sudah duduk disitu dengan tatapan melotot dan tubuhnya yang penuh borok....

"Tinn!!! Tini!!! Tinnn!!!" 

Tok!!! Tokkkk!! Tokkk!!!! 

Teriak mbok darsinah... 

Sosok itu tiba-tiba berdiri...

"Tinnnn!!! Tiniii!!!!"

Tokkk!!! Dorrr!!! Dorrr!!!!

Teriak lagi mbok darsinah dan menggedor pintu...

Akhhhhh... akhhhhh.....

(Suara tercekik) Langkah sosok itu kian mendekati mbok darsinah dan...

Ceklekkkk!!!! (Pintu terbuka) 

"Nopo..nopo... mbok???" (Kenapa..kenapa... mbok???) Tanya tini keheranan...

"Nopa nopo nopa nopo, kupingmu budeg to? Tak celuki kat mau ora semaur!" (Kenapa kenapa, kupingmu tuli ya? Aku panggil dari tadi tidak menjawab!) Ucap kesal mbok darsinah...

Diliat keluar.....

Tikk... tiikkk.. tikk... wusshhhhhh....

Sosok itu berjalan cepat dan melayang entah kemana....

"Opo kui mbok?" (Apa itu mbok?) Tanya tini keheranan...

"Wes wess... ora usah di pikir. Kabeh lawang karo jendelo dinepne kabeh cepet!" (Sudah sudahh... tidak usah dipikirkan. Semua pintu dan jendela ditutup semua cepat!) Perintah mbok darsinah pada tini.

Tini pun segera menutup jendela samping, sekarang tinggal pintu depan...

Krekkkkk....

Jleng!!!!

HiHiHiHi.....

Tiba-tiba sosok itu sudah menggantung terbalik di pintu luar...

Sontak tini kaget dan menutup pintunya dengan membantingnya... 

Namun....

Duk!!! Dukk!!! Duukk!!!

Terdengar suara dari atas genteng, bagai ada yang berjalan diatasnya...

"Tin, ayo mlebu kamarmu cepet!" (Tin, ayo masuk kamarmu cepat!) Ucap mbok darsinah pada tini dan hanya dibalas anggukan kepala..

"Saiki ayo ndongo yo tin, ojo sampek pedot dongomu" (Sekarang ayo berdoa ya tin, jangan sampai putus doamu) Ucap mbok darsinah lagi.

Mereka pun berdoa dengan khusyuk...

Namun suara ribut itu kian menjadi diatas genteng sana...

"Pripun niki mbok..." (bagaimana ini mbok....) ucap tini ketakutan.

"Wes to tin, ndongo wae bakal selamet pokoke" (sudah ya tin, berdoa saja pasti selamat pokoknya) Ucap mbok darsinah menenangkan.

***

Gangguan itu terjadi selama hampir 2 hari berturut-turut lamanya dan hanya terjadi diwaktu yang sama yaitu menjelang malam hari ketika sandya kala, hampir gila tini dibuatnya...

Yang paling membuat tini ketakutan adalah ketika menutup setiap jendela dan pintu..

Terkadang...

Sosok itu tersenyum di depan jendela saat tini hendak menutupnya.

***

2 hari berlalu dan teror terakhir hari ke 3 namun sosok itu menangis. Entah karena apa.

Sosok itu hanya berjalan mengitari rumah tini di malam ke 3. Sampai bunyi suara Brakk!! Brukk!! Brakk!! Brukk!!! Terdengar terasa amat keras.

Namun tempat lama sosok itu adalah kursi teras.

Di kursi teras sosok itu diam tapi.. jika ada yang memperhatikan ia akan menolehkan kepalanya sembari tersenyum terseringai mengerikan...

Di malam itu pun terjadi sebuah tragedi yang takkan dilupa tini bahkan penduduk desa...

Karena peristiwa tak nalar yang akan membuat semua orang akan bertanya-tanya "kenapa bisa sampai sebengis dan sebrutal itu"

Pagi di hari ke 4 muk pulang bersama mbah sambung, muk tak sabar melihat apakah prosesi berat saat bertapa itu berhasil dan menjadikan keluarganya selamat dari santet brojo.

"Tin, tini.. aku balek tin" (Tin, tini.. aku kembali tin) Ucap muk yang masih kotor dengan lumpur yang menempel di sekujur tubuhnya.

"Mas, sampun balek. Pripun mas? Lancar?" (Mas, sudah kembali. Bagaimana mas? Lancar?) Ucap tanya tini sembari mencium tangan suaminya.

"Hloo kok malah takon, aku iki balik pengen weruh jabang bayine awake dewe kok, kepiye tin wes mari to boroke?" (Hloo kok malah tanya, aku ini kembali ingin tau bayi kita kok, bagaimana tin sudah sembuhkan boroknya?) Tanya balik muk pada tini.

Bukan jawaban "nggih/iya" melainkan tangisan yang ia suguhkan pada suaminya muk.

Tangis yang menjadi dan membuat hancur hati muk, muk menerka dan berpikiran kemana-mana dibuatnya.

Apa pengorbanannya hanya sia-sia? Kata yang tersirat dihati muk.

Dan...

"Tin!!! Nopo?!!! Jawab aku ojo mung nangis ngono!!!" (Tin!!! Kenapa?!!! Jawab aku jangan cuma nangis begitu!!!) Bentak muk pada tini.

"Jabang bayine awake dewe iseh boroken mas!!! Hwa!!! Huhuhu" (Bayi kita masih borokan mas!!! Hwa!!! Huhuhu) Ucap tini tak kalah kerasnya.

Tini menangis sejadinya, muk pun berlari ke kamar ingin melihat buah hatinya.

Betapa hancur hati muk, buah hatinya masih berborok.

Tapi mbok darsinah malah tersenyum dan berkata...
"Muk ora usah kuwatir, anakmu wes mari. Boroke suwe-suwe ilang gilo deloken muk" (Muk jangan khawatir, anakmu sudah sembuh. Boroknya lama-la hilang ini lihat muk) Ucap mbok darsinah sambil menunjukkannya pada muk.

"Alhamdulillah gusti"

Puja puji syukur muk panjatkan tak lupa muk bersujud syukur. Semua tersenyum dan bahagia akhirnya..

Namun.. mereka dikagetkan dengan suara ribut diluar...

Tungg!!! Tungg!!! Tungg!!!

Suara kentongan rojo pati begitu menampar pagi yang baru saja membuka mata.

Muk dan mbah sambung pun keluar dan melihat sebenarnya ada peristiwa apa sehingga membuat gempar penduduk desa...

Tiba-tiba ada yang berlari, tukimin namanya tetangga muk.

"Min, ono opo kok rame ngono kae?" (Min, ada apa kok ramai begitu?) Tanya muk pada tukimin.

"Aaa..anuu..anuu" Jawab tukimin...

"Anu anu, anumu iseh neng njero sarung kuwi.." (Anu anu, anumu masih di dalam sarung itu..) Ucap muk pada tukimin.

"Ora kuwi mas muk, anu mas kae.." (Bukan itu mas muk, anu mas itu..) Ucap muk lagi masih anu-anu.

"Ngomong ona anu ona anu meneh lakan, sek bener to sek omong. Kalem dhisik min kelem" (Bicara ona anu ona anu lagi malahan, yang benar kalau bicara. Kalem dulu min kalem) Ucap muk lagi menenangkan tukimin.

"Anu mas muk, keluargane pak broto modyar kabeh, ehh.. mati kabeh mas" (Anu mas muk, keluarganya pak broto mati semua, ehh.. meninggal semua mas) Ucap tukimin sedikit gelagapan takut.

"Ahh tenane (serius) min?" Ucap muk.

"Iyo (iya) mas muk tenan (serius)" Jawab tukimin.

"Nggih pun mbah sambung, mas muk kulo nyuwun pamit..." (Yaudah mbah sambung, mas muk aku mohon pamit...) Ucap tukimin tergesa-gesa.

Muk pun bergegas masuk kerumah dan hendak berganti baju, namun terdengar percakapan dua orang tua di kamar muk dan tini. Terdengar sebuah bisikan...

"Iki mesti broto pelakune nyai.." (Ini pasti broto pelakunya nyai..) Bisik mbah sambung pada mbok darsinah.

"Ketoke iyo kang" (Sepertinya iya kang) Bisik mbok darsinah pada mbah sambung.

Bisik membisik itu terkesan lama namun ucapan selanjutnya tak bisa didengar muk.

Muk pun bergegas berangkat mengecek rumah pak broto ingin mengetahui apa yang terjadi.

"Tin, aku metu dhisik yo?" (Tin, aku keluar dulu ya?) Teriak muk meminta ijin pada tini dan dengan buru-buru pergi.

Dengan langkah tergesa-gesa muk berjalan menuju rumah keluarga broto. Rumah paling besar dan megah dari rumah penduduk lain. Maklum broto adalah tuan tanah dan rentenir di dusun itu.

Terlihat banyak kerumunan penduduk yang sudah mengitari rumah keluarga broto. Riuh bisikan dan percakapan sangat kentara disana. Muk pun mendekat...

"Nyuwun sewu (permisi)" ucap muk sembari meminta jalan pada kerumunan didepannya..

Kerumunan itu pun memberikan jalan guna muk lewat dan masuk ke dalam rumah, sudah ada pak karto selaku kepala desa yang ada di ruang tamu sedang berunding sesuatu.

"Kulonuwun (permisi)" ucap muk meminta ijin masuk.

"Sopo kuwi?" (Siapa itu) ucap tanya dari dalam ruang tamu.

"Niki kulo mukidi pak" (Ini saya mukidi pak) Jawab muk.

"Owalah mlebu langsung wae mas muk" (Owalah masuk langsung aja mas muk) Ucap pak karto dan yang lainnya.

"Niki pripun pak, ket wau kulo mboten ningali pak broto. Nopo kito nenggo mawon tiyange wangsul rumiyin pak?" (Ini bagaimana pak, dari tadi saya tidak melihat pak broto. Apa kita tunggu saja orangnya pulang dulu pak?) Tanya tukimin dan bapak-bapak lain.

"Sek.. sek tak mikir sik penake piye" (Sebentar.. sebentar aku berpikir dulu enaknya bagaimana) Ucap pak karto dengan serius.

Muk pun bertanya karena belum mengerti bidik masalahnya apa.

"Sakjane niki wonten nopo?" (Sebenarnya ini ada apa?) Tanya muk.

"Jelasno kono min, aku lagi bingung iki" (Jelaskan sana min, aku lagi bingung ini) Ucap pak karto pada tukimin.

Tukimin pun hanya mengangguk,

"Mas muk ayo melu aku mas tak duduhi.." (Mas muk ayo ikut aku mas aku perlihatkan..) Tukimin pun mengajak muk menuju beberapa kamar.

Dan...

Setiap kamar dihiasi dengan pamandangan tragis.

Sudah terbujur mengenaskan beberapa manusia yang sudah membusuk dengan mata yang masih melotot dan mulut terbuka.

Bau busuk dan belatung yang menggerogoti tiap jasad di tempat tidur masing-masing.

Bahkan ada jasad sang pembantu yang membusuk di kolam renang, bagai bangkai tikus yang direndam di air dengan banyaknya belatung di sekujur tubuhnya.

Ngilu... Mual...

Bahkan muk serasa ingin memuntahkan semua isi perutnya tatkala melihat semua itu.

Baik istri pak broto yang mati dikamarnya, kedua anaknya pak broto yang mati dikamarnya juga.

Semua yang ada dirumah itu mati membusuk tapi hanya pak broto yang tidak ada...

"Hla iki piye min?" (Hla ini bagaimana min?) Ucap muk pada tukimin.

"Mbuh mas..." Ucap tukimin pasrah dan bingung.

"Pripun pak? Wes ngene, mending ayo dikuburke wae. Ora apik nek di jarne ngene. Mesakke pak" (Bagaimana pak? Sudah begini, mending ayo dikubur saja. Tidak baik kalau dibiarkan begini. Kasihan pak)

Iyo pak iyo.... (iya pak iya...) Ucap bapak-bapak lain berbarengan...

"Yowes, nek mathuke ngono. Ayo ndang disiapne kabeh gage di kuburke" (Yasudah, kalau bagusnya begitu. Ayo cepat disiapkan semua segera dikuburkan) Ucap pak karto pada bapak-bapak.

Proses pengangkatan jasad satu persatu pun cukup sulit. Apalagi rupa dan bentuk tiap jasad sudah benar-benar dalam proses pembusukan...

Ngeri... Jijik... Mual...

Itu yang dirasakan semua orang disana.

Singkat cerita semua prosesi pemakaman berjalan lancar dan semua kembali ke rumah pak broto untuk bersama membersihkan sisa-sisa tragedi mengerikan itu di rumah pak broto.

Tiba-tiba...

Wushhh..

Muk melihat sekelebat ada yang berjalan menuju lantai atas. Muk pun penasaran dan berjalan menyusuri anak tangga menuju lantai atas.

Krekkk!!! Krekkk!! Krekkk!!!

Suara kayu tua anak tangga begitu ngilu terdengar di telinga..

Muk mengamati sekitar...

Wushhhhh....

Tikkk... tik... tikk....

Seseorang terlihat berjalan dengan cepat menuju suatu ruangan...

Muk perlahan mendekati ruangan itu...

Pintunya nampak tertutup...

Krekk... Krekkk.... Kreekkk.....

Suara lantai kayu masih menjadi nada mistis nan mengiris.....

Ceklekkk..... Kriekkkkkk!!!!

Suara pintu terbuka....

Terlihat seorang wanita sedang melakukan sesuatu....

Krukkk... krukkk... krukk...

Suara kuku yang mencakar tembok kayu....

Baru satu langkah muk berjalan ingin mendekat...

Tiba-tiba.....

Whaaaa!!!!

Dia menampakkan mukanya pada muk...

Muk pun berjalan mundur keluar dari ruangan itu, seseorang yang dilihat muk masih memeloti muk dan masih mencakar-cakar tembok.

Setelah muk keluar dari ruangan itu, ia bergegas turun ke lantai bawah lagi.

Dan...

Terdengar suara ribut-ribut disana....

"Opo iki! Ono opo?!!!" (Apa ini! Ada apa?!!!) Teriak seorang lelaki, dialah pak broto. Lelaki dengan perawakan gempal, kumis tebal dan terkenal sebagai tuan tanah dan rentenir kejam.

"Sabar pak broto, seng tenang..." (Sabar pak broto, yang tenang...) Ucap pak karto menenangkan pak broto.

"Asu! Arep ngopo do neng kene?!!!" (Anjing! Sedang apa kalian disini?!!!) Teriak dan umpat kasar pak broto.

"Mas broto, sabar mas..." Ucap muk dari tangga berjalan turun...

"Bajingan kowe muk!, ngopo kowe wani ngorak-arik omahku he asu?!!!" (Bajingan kau muk!, kenapa kamu berani mengobrak-abrik rumahku he anjing?!!!) Ucap pak broto dengan kasar tanpa sopan santun sedikitpun..

Memang sudah seperti anjing dan kucing, pak broto dan muk memang berprofesi yang sama sebagai tuan tanah.

Terkadang muk dengan kebaikan hatinya meminjamkan uang tanpa bunga dan bertolak belakang dengan pak broto yang meminjamkan uang dengan bunga yang besar.

Awalnya tanah pak broto hanya beberapa petak saja. Malah muk yang lebih banyak tanah di dusun itu. Namun dengan kelicikan pak broto meminjamkan uang dengan jaminan surat tanah maka banyak tanah yang dirampas oleh pak broto, itupun di dukung oleh alm. Bu broto yang sama kejinya.

Layaknya rentenir dan tuan tanah yang bengis, pak broto pun beranggapan muk adalah musuhnya karena selalu membuat pak broto gagal merampas tanah penduduk dusun...

"Minggat kabeh soko omahku, bajingan kabeh ndlogok asu!!!!" (Minggat semua dari rumahku, bajingan semua *umpatan kasar jawa*) Teriak dan mengusir semua penduduk desa.

Semua penduduk pun pergi, namun muk tidak pergi. Muk masih menunggu di dekat rumah pak broto, muk ingin memastikan pak broto baik-baik saja... 

Namun...

Muk malah melihat ada seseorang berpakaian serba hitam sedang berbicara dengan broto.

Muk mencoba mendekat dan mencoba mendengarkan apa yang mereka bincangkan....

"Kowe kudu sabar yo broto, wes tak welingi to? Tapi kowe malah ngelanggar. Yowes mbalik mateni kabeh keluargamu." (Kamu harus sabar ya broto, sudah aku berpesan kan? Tapi kamu malah melanggar. Yasudah berbalik membunuh semua keluargamu.) Ucap pria tua serba pakaian hitam itu.

"Nggih mbah pangapurane, nanging loro ati kulo saget dibaleske mboten?" (Iya mbah mohon maaf, tapi sakit hatiku bisa dibalakan tidak?)

"Rodok abot le.." (Sedikit berat nak..) Ucap pria tua itu...

"Abot pripun mbah?" (Berat bagaimana mbah?) Tanya broto.

"Iku mergo..." (Itu karena...) Ucap pria itu dan...

***

Dalam perasaan kaget dan tak percaya muk pun berangsur meinggalkan rumah pak broto, meninggalkan orang tua dengan pakaian serba hitam dan pak broto.

Nampak bingung, kesal, marah, dan tidak percaya. Dengan langkah layu ia berjalan pulang menuju kediamannya.

Muk pun akhirnya tiba di rumahnya.

“Hahh!!! Salahku opo?! Salahku ki opo to mas broto karo awakmu!” (hahh!!! Salahku itu apa?! Salahku itu apa mas broto dengan dirimu!)

Teriak muk kesal dan marah, sambil memukul pohon kelapa di depan rumahnya.

Sampai buah kelapa berjatuhan karena pukulan muk yang begitu kerasnya…

“Ono opo to ngger?” (ada apa nak?) ucap mbok darsinah yang keluar dari pintu karena mendengar muk berteriak. Tapi, muk pun hanya bersedih dan terdiam.

“Yowes ayo mlebu, cerito neng njero wae, ora apik nek disawang tonggo opo maneh krungu mengko, ayo ngger mlebu dhisik.” (yasudah ayo masuk, cerita di dalam saja, tidak baik dilihat tetangga apalagi terdengar nanti, ayo nak masuk dulu.” Pinta dan ajak mbok darsinah pada muk, muk pun mengangguk dan mengikuti beliau ke dalam rumah.

Didalam rumah muk langsung diam di kursi ruang tamu, seperti menyimpan beban yang amat berat.

“Muk.. cerito wae ono opo ngger…” (Muk… cerita saja ada apa nak…) Pinta mbok darsinah.

Awalnya muk diam tertegun dan membisu namun bujukan demi bujukan mbok darsinah akhirnya meluluhkan hati muk untuk bercerita...

“Mbok, wau kulo teng nggone mas broto nanging kulo dadi loro ati saestu mbok.” (mbok, tadi saya ke tempatnya mas broto tapi saya jadi sakit hati sekali mbok) Ucap muk penuh kesedihan.

“loro ati mergo opo ngger?” (sakit hati karena apa nak?) Tanya mbok darsinah.

“Dadi seng ngirim santet brojo iku mas broto mbok!” (jadi yang mengirim santet brojo itu mas broto mbok!) Jawab muk dengan penuh kesal dan sedih.

“Wes tak bathin muk, polahe broto ki wes ora bener pas ngerti-ngerti dadi sugih, wes keblinger karo nafsu ndonyo. Edan pangkat, edan bondo lan wes nyekutu karo demit lan setan” (sudah ku duga muk, kelakuan broto sudah tidak benar ketika tiba-tiba jadi kaya raya, sudah mabuk dengan nafsu duniawi. Gila pangkat, gila harta dan sudah bersekutu dengan demit dan setan) ucap mbok darsinah.

“Salahku jane opo to mbok? Nyelakakke opo maneh gawe susahe mas broto lan keluargane mawon mboten pernah mbok” (Salahku sebenarnya apa sih mbok? Mencelakakan apalagi membuat susah mas broto dan keluarganya saja tidak pernah mbok) ucap muk sedih..

"Watu item lungguhe ing janggut ingwang, untuku rajeg wesi, lidah wesi abang, aran wesi mangangkang, iduku tawa sakalir, lambeku iya, sela matangkep kalih."

"Asta criga epek-epek ingsun cakra, cakar wok jempol kalih, panuduh trisula, panunggulku musala, mamanisku supit wesi, jentikku iya, ingaran pasopati."

Ucap pelan entah kata apa dari mbok darsinah.

“Ono loro perkoro muk, ngopo broto ngincer kelurgamu. Seng kapisan kui mergo awakmu marai angel anggone broto pengen ngerampas lemah wong ndeso lan iku wong cilik. Kapindo anakmu iku sekar pangadeg suropati, bayi wedok sing lair pilihan siji banding sewu, bayi-

-seng rencanane broto bakale mateni kowe lan bojomu banjur bakal diopeni broto mergo bayimu kuwi, mergo bayimu kuwi nggawe rejekine lan opo sing dilakoni sing ngopeni bayi iku oleh lancer sukses ora ono alangan. Nek santet brojo wingi ora mbalik kowe mudeng to bakale kepiye?-

-Iku mergane keluargane broto kabeh modyar! mergo mbalik nggrogoti lan mateni opo wae sing ono neng omahe broto. Iku ganjaran nggo wong koyo asu ngono kae.”

(Ada dua perkara muk, kenapa broto mengincarmu. Yang pertama itu Karena kamu membuat susah ketika broto ingin merampas tanah warga dusun dan itu rakyat kecil/orang miskin. Kedua anakmu itu sekar pangadeg suropati, bayi perempuan yang lahir secara pilihan satu banding seribu, bayi-

-yang rencana broto akan membunuh kamu dan istrimu lalu bayimu akan di asuh broto, itu busa membuat rejekinya dan apa yang dilakukan selalu mendapat dan sukses tidak ada halangan. Kalau santet brojo itu tidak berbalik tau kan akan jadi apa?-

-Itulah kenapa keluarganya broto semuanya mati! Karena berbalik menggerogoti dan membunuh apa saja yang ada di rumahnya broto. Itu ganjaran untuk orang yang seperti anjing seperti itu) Ucap mbok darsinah panjang lebar.

“Nanging mbok, nopo niku sekar pangadeg suropati? Kulo mboten ngertos nopo niku..” (tapi mbok, apa itu sekar pangadeg suropati? Saya tidak tau apa itu..) Tanya muk penasaran.

“Kuwi bayi kang lahir ing sasi suro nanging bayi iku mung lahir sewu taun pisan lan iku pilihan. Intine, bayi iku gawe rejekimu lancar lan bayi iku bakal dadi juru selametmu lan keluargamu” (itu adalah bayi yang lahir dibulan suro tapi bayi itu hanya lahir seribu tahun sekali dan itu pilihan. Intinya bayi itu membuat rejekimu lancar dan menjadi juru selamatmu dan keluargamu.) Ucap mbok darsinah menjelaskan lagi.

***

Kehidupan pun berjalan seperti biasa, melakukan rutinitas seperti biasa sambil melihat tumbuh kembang buah hatinya.

Buah hati mereka yang momong (yang merawat/mengasuh) adalah mbok darsinah.

Ya masa kecil bayi itu pun berlalu sampai menginjak balita, gadis perawan bernama siska purnama sari. Tumbuh layaknya anak gadis pada umumnya, setiap hari dititipkan di gubuk mbok darsinah.

Kehidupan sederhana anak desa yang masih asik nan menyenangkan. Bermain : jilungan (petak umpet), pasaran (masak-masakan), dokter-dokteran dll.

Semua itu terkesan umum dan wajar namun, menginjak usia genap 7 tahun siska gadis kecil yang cantik nan lugu buah hati dari muk dan tini dirasakan mbok darsinah mulai berbeda.

Tempat favorit siska adalah pohon asem besar di sekitaran desa, entah perasaan simbok atau apa. Mbok darsinah sering melihat siska bermain sendiri, terlihat asyik namun hanya sendiri.

Apakah itu wajar?

Di waktu menjelang maghrib siska tiba-tiba berucap lirih.

”Sun amatek ajiku, wayahipun tumuruna, ngaubi awak mami, tur tinuting bala, pinacak suji kembar, pipitu jajar maripit, asri yen siyang, angker kalane wengi.”

Mendengar itupun kaget, mbok darsinah dibuat tercengang. Bocah berumur 7 tahun fasih sekali merapalkan mantra padahal tak ada yang mengajarinya, dimana mantra itu juga tergolong mantra tingkat tinggi.

Namun....

Namun dengan seksama mbok darsinah mengamati lagi...

Ada… Ada…

Ada sosok itu lagi, sosok wujud demit santet brojo di samping siska seolah sedang berbincang dengan siska.

Tiba-tiba…

Sosok itu melirik kearah mbok darsinah dengan tatapan dan senyuman menyeringai…

Tatapan dan lirikan mata yang sangat tajam....

Tapi sosok itu kembali berbincang dengan siska sambil bermain dengan kiciran/kincir-kincir yang terbuat dari daun singkong...

Hari-hari berlalu siska senang sekali duduk di bawah pohon asem besar itu, terkadang juga siksa bercerita bahwa ia punya teman, dan temannya selalu mengajarkan doa-doa yang membuat perasaan siska merasa nampak berbeda tatkala membacanya.

“Mbok… mbok.. aku nduwe konco hlo…" (mbok..mbokk aku punya teman hlo..) Ucap siska.

“Sinten niku nduk?” (siapa itu nak?) Tanya simbok.

Namun tanpa aba-aba dan siska tidak menjawab pertanyaan mbok darsinah...

Melainkan menarik mbok darsinah menuju ke pohon asem besar itu sambil berkata ketika sampai disana.

“Iku hloo mbok… lungguh neng nduwur kuwi hehehe” (itu hloo mbok… duduk di atas situ hehehe) Ucap siska penuh senyum kenaifan pada mbok darsinah…

Siapa yang tak merasa ngeri?

Siapa yang tak merasa khawatir?

Betapa kagetnya mbok darsinah kala itu, yang ditunjuk adalah sosok demit wanita perwujudan dari santet brojo yang hampir membunuh keluarga muk dan tini.

Bahkan sudah menjadi maut bagi keturunan keluarga broto.

Krukkk…. Krukkk… hrmmm…

Ekhhhh (suara cekikan)

Suara yang membuat semua bagian tubuh mbok darsinah bergetar begitu hebatnya..

“Kang.. kang… kang sambung….” Teriak pelan mbok darsinah…

“Opo nyai? Ono opo?” (Apa nyai? Ada apa?) Tanya mbah sambung…

“Kae deloken kuwi neng nduwur wit asem kang..” (itu lihatlah di atas poho asem kang..) Jawab mbok darsinah..

“Duh gusti, demit setan alas!” (duh gusti, demit setan hutan!) Ucap mbah sambung kaget.

[BERSAMBUNG]

*****
Selanjutnya
close