Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

SANTET PRING SEDAPUR (Part 2)


"Al... Al.... " suara ibu memanggil dari depan pintu.

Beliau seakan-akan sudah tau apa yang aku temukan, dari pintu dapur ibu berjalan menghampiriku, mukanya terlihat sangat serius saat menatap ke arahku.

"Njih bu!" (Ya bu) jawabku

"Langsung dilarung wae barang iku, ojo nunggu beboyo teko maneh!" (Langsung hanyutkan saja benda itu, jangan menunggu bahaya datang lagi) suruh beliau.

Aku mengangguk pertanda setuju perintah ibu. Untuk menghindari penemuan benda ini diketahui banyak orang dan meminimalisir ramainya pembicaraan mengenai santet klenik kesakten ini di masyarakat, akhirnya aku memutuskan secepatnya mencari letak sungai besar itu,-

agar bisa melarung (menghanyutkan/pemusnahan) benda yang menjadi sarana santet yang ditujukan kekorbannya.

Tak terasa hari sudah menjelang malam, alam yang bercahaya terang, kini mulai samar meremang. Aku berjalan melewati kebun salak yang lebat. Rimbunnya hutan bambu yang tumbuh di lereng jurang yang berseberangan dengan perkebunan salak membuat suasana semakin terasa angker.

Pantas saja, sebagian warga setempat menghindari area ini, yang ternyata merupakan sarang kuntilanak.

Perlahan berjalan menuruni jalan setapak dengan anak tangga batu yang terbentuk secara alami, suara gemuruh derasnya air sungai mulai terdengar. Tidak beberapa lama kemudian,

ak sudah sampai di sebuah sungai dengan air yang berarus deras, bebatuan Hitam berlumut pun menghampar di sebagian permukaan sungai. Di tengah gelapnya malam terdengar riuhnya suara serangga liar. Aku mulai menapaki bebatuan sungai dengan hati-hati karena batu-batuan itu sangat-

licin. Saat sampai di sebuah batu besar, aku berdiri di atasnya dan mengeluarkan benda yang terbungkus sapu tangan.

Hii... hii... hii...

Belum sempat aku menghanyutkan semua benda-bensa ini ke sungai. Terdengar ramainya suara cekikan kuntilanak menyambutku, menandakan saat ini yang muncul lebih dari satu kuntilanak. Saat ini Aku merasa sedang dikepung lelembut.

"Bismillah, dunung dumadi, kramating samubarang, sirno tanpo tinapak, lebur kanti kersonging pengeran. Penjalin sak brayat tanpo tinukul kalahiraken, prawilo wangsul marang jagad lembut!"

Aku menghanyutkan benda-benda itu ke sungai, tak lama kemudian, derasnya arus air langsung membuat benda itu sirna dari pandangan. Semilir angin berhembus menyapu kesunyian malam yang terasa mistis. Aroma wewangian tercium.

Beberapa sosok mulai bermunculan menunjukan wujud-wujud mereka, meski hanya diam tanpa mendekat.

Aku memutuskan bergegas meninggalkan tempat ini, agar tidak lagi merasakan aura mistis yang buat bulu kuduk berdiri dan merinding!
...

Dalam perjalanan pulang, aku singgah salat di sebuah masjid sebelum kembali ke rumah pak Samsi. Hanya beberapa jamaah saja mengisi tempat indah ini. Para penduduk sepertinya lebih memilih berdiam diri dalam rumah masing-masing.

Sepanjang jalan perkampungan sangat sepi. Di pertengahan kampung, terdapat jalan dengan tatanan bebatuan kecil yang letaknya lurus dengan turunan jalan yang menukik tajam. Sebenarnya lampu-lampu penerangan jalan terdapat di setiap tiang listrik,-

tetapi tidak semuanya menyala sehingga menyebabkan cahaya yang muncul hanya remang-remang. Suasana memang terasa aneh di sini, selain jauh dari keramaian para penduduk pun nggak ada yang berada di luar rumah.

Bahkan para remaja pun tidak tampak berada di luar meski hanya sekedar duduk nongkrong menikmati malam.
...

"Mas, tadi ibunya Mas Al bilang kalo mas Al menunggu di rumah saja karena ibu sedang melihat rumahnya kakek Darmadi dengan bapak juga ibu," ujar Wahyu putra tertua bu Laras memberitahuku setibanya aku di rumah.

"Ohh iya, Mas. Maaf, saya numpang mandi dulu ya,"

"Sudah gelap kok mandi mas, disini dingin, nanti masuk angin."

"Ahh, ga papa, Mas. Masalahnya saya belum mandi seharian," ujarku.

Mungkin saja bagi Wahyu malam ini terasa dingin, tetapi bagiku dan tubuhku, terasa panas! Walaupun aku sudah beribadah, tetapi energi benda sarana santet itu masih saja terasa, membuat tubuhku terasa panas dan tenaga seakan-akan berlahan-lahan terserap oleh kekuatan asing.

Usai mandi kami duduk sambil ngopi, membicarakan perihal keganjilan semua ini.

"Mas kenapa tahlilan malam ini warga tidak ada yang hadir kemari?" tanyaku dengan memberanikan diri.

"Saya juga tidak tau Mas Al, mungkin pada takut karena rumor santet yang menimpa kedua eyang saya, jadi tidak ada yang datang!" Wahyu menjawab dengan wajah yang terlihat sedih.

"Bukannya tahlilan digelar sampai tujuh hari ya?"

"Iya, Mas, biasanya juga begitu!" katanya sambil menghela nafas.

Prangg !

Saat kami asyik ngobrol, tiba-tiba terdengar dari arah belakang terdengar suara seperti panci dibanting dengan sangat keras.Tepatnya berasal dari tempat memandikan jenazah mertuanya bu Laras siang tadi.

Kami beranjak untuk mengecek apa yang tengah terjadi di sana, takut ada maling atau orang jahat yang mau memasang tenung kembali.

Sesampainya ke tempat itu, kami terkejut karena melihat sosok pocong yang berlumuran darah berdiri di samping meja yang digunakan untuk memandikan mayat. Wajahnya terbungkus mori yang memerah karena darah sehingga kami tidak bisa melihat wajah dari dedemit ini.

"Astagfirullah...!" teriak Wahyu sebelum jatuh pingsan.

"Mas... Mas... Mas Wahyu, bangun mas!" Aku mencoba membangunkan dengan menepuk pelan pipinya.

Aku sama sekali tidak mempedulikan perwujudan setan yang masih tetap berdiri itu. Aku justru sibuk berusaha mengangkat tubuh besar Wahyu yang terjatuh tidak sadarkan diri karena ketakutan menyaksikan pocong tersebut.

Aku berusaha sekuat tenaga membangunkannya karena selain aku tidak sanggup mengangkat tubuhnya, tubuhku kalah besar dibandingkan dengan tubuh Wahyu.

Aku berlari keluar, berharap menemukan orang yg bisa di mintai pertolongan. Namun jalanan tetap saja sepi. Aku bertanya-tanya dengan diriku sendiri. Entah ada apa dengan desa ini, kenapa semua penduduk masih sangat pendek pola berpikirnya, mrk ketakutan dengan bayangan kematian.

Aku oleskan balsem yang aku temukan di tas ibuku, mengoleskannya di telapak tangan, kaki, juga bawah hidung, aromanya membuat Wahyu perlahan-lahan membuka mata, ia terperanjat, sontak terbangun, duduk dan berteriak ketakutan.

"Pocong... pocong...!" teriaknya histeris.

"Istigfar, Mas, sudah tidak ada setan itu."

Setelah sejenak mengatur nafasnya yang tersengal-sengal, dia mulai merasa tenang. Wajahnya masih terlihat pucat ketakutan. Aku mengajaknya kembali duduk di depan dan menyuruhnya minum air putih. Wahyu tertunduk dengan tatapan kosong,-

sepertinya dia sedang menahan gejolak yang muncul di dalam dirinya, membuatku terus berusaha menenangkannya.

Wajar saja jika Wahyu merasa panik dan ketakutan. Ini pertama kali di dalam sejarah hidupnya menyaksikan wujud hantu secara jelas dan nyata.

Selama ini dia hanya mempercayai jika lelembut itu ada, tetapi sama sekali belum pernah melihat. Sekalinya melihat lelembut dengan wujud seperti itu membuat mentalnya down, dan jatuh tanpa sanggup menahan ketakutan.

"Istigfar, Mas. Semua baik-baik saja."

"Astagfirullah, Mas saya baru pertama kali melihat pocong seperti itu, sangat menyeramkan ternyata!" ujarnya sambil bergidik.

"Nggak papa, memang seperti itu wujudnya!" ucapku berusaha menenangkan dirinya.

"Aduh Mas, saya tidak bisa membayangkan bagai mana jadi seperti Mas Al."

"Jadi seperti saya, bagaimana maksudnya, Mas?" tanyaku karena tidak paham maksud ucapannya.

"Ibu sudah sering cerita mengenai keluarga Mas yang biasa menangani seperti ilmu hitam dan bersinggungan langsung dengan lelembut!"

"Itu ibu saya yang bisa, Mas, kalau saya tidak tau apa-apa, tidak bisa melihat apapun!" terangku padanya.

Prang! Prang! Prang!

Suara benda jatuh itu mulai terdengar lagi, tidak hanya sekali, tetapi berulang kali. Spontan Aku melihat ke arah Wahyu, tubuhnya terlihat tegang dan berkeringat, mimik wajahnya panik dan semakin pucat.

Aku menyuruhnya diam saja di sini, aku masuk ke belakang untuk mengecek suara tidak lazim itu. Aku yakin pasti ada yang akan disampaikan oleh sosok pocong itu, ia seperti ingin memberitahukan sesuatu atau meminta pertolongan.

Saat tiba di tempat pemandian jenazah tadi siang, persis di tempat yang sama, berdiri sosok ibu tua mertua bu Laras, dengan tatapan mata berair, ia menangis, mulutnya terus mengeluarkan darah yang menghitam. Rintihannya terdengar pelan menggambarkan kesakitan dari jasadnya.

***

Sak klebating piweruh iku anggowo makno ugo siratan kang alus tanpo zdhohir suoro! Anamung kang julung, kang dumadi tinuju, biso ngrekso pawujud alus.

Aku terpaku memandangi pocong itu. Saat kuperhatikan dengan seksama, wujud pocong yang menyerupai almarhumah nenek Wahyu itu terus-menerus menangis, sementara mulutnya tiada henti memuntahkan darah.

Tiba-tiba seperti ada bisikan dan panggilan lirih yang mendorongku agar lebih mendekati lelembut itu, tetapi aku memilih mengabaikannya. Aku tetap saja fokus terpaku menatapnya.

"Le... reneo..." (Nak ke sinilah)

Panggilan itu diulang sampai tiga kali seakan-akan untuk menyakinkan indra pendengaranku. Setelah panggilan yang ketiga baru kakiku melangkah, mendekat dengan sendirinya tanpa perlu diperintah oleh pikiranku.

"Aku titip Wahyu, Le. Jogonen putu ku... aku titip Tari... tulung jogonen putuku..." (Aku titip wahyu, jagakan cucu ku... aku titip Tari, jagakan cucu ku..), ucapan lirih itu terdengar dari setan pocong yang berdiri di hadapanku.

Aku mengangguk perlahan, pertanda menyetujui permintaannya, karena aku memperkirakan, bisa saja korban selanjutnya yang menjadi incaran ilmu ini adalah mereka berdua; kedua anak bu Laras. Dan kedatangan pocong ini bukan untuk menakut-nakuti,-

tetapi lebih memberikan pesan atau meminta pertolongan, agar aku dapat melindungi Wahyu dan adiknya, Tari.

"Mas... Mas...!" suara wahyu memanggil dari ruang tengah.

"Iya, Mas!" jawabku menyahut panggilan Wahyu.

Wusshh....!

Tiba-tiba angin berhembus dengan sedikit kencang.

Lapp....

Mendengar suara panggilan Wahyu, sosok di hadapanku tiba-tiba lenyap menghilang tanpa meninggalkan tanda apa pun, hanya masih tercium aroma bau amis darah saja.

Aku sejenak menghela nafas, lalu meninggalkan area tempat pemandian jenazah, masuk ke dalam rumah menghampiri Wahyu.

"Ba... bagaimana, Mas? masih ada pocong itu masih ada?" tanyanya dengan badan gemetar.

"Sudah tidak ada, Mas, sudah pergi, bagusnya mas Wahyu salat terus istirahat saja!" Suruh ku padanya, agar lebih tenang.

"Iya, Mas. Saya pamit sholat dulu ya!"

"Iya, Mas, silahkan."

Dengan kepala tertunduk seakan menyembunyikan kecemasannya, Wahyu berlalu masuk ke dalam kamar. Sementara aku hanya duduk menunggu kepulangan ibu dan keluarga bu Laras. Sambil menunggu kepulangan mereka, aku kembali berusaha memahami permintaan dari setan pocong tadi,-

agar aku menjaga kedua cucunya. Apakah ini artinya mereka berdua kini juga sudah diincar oleh ilmu penebar maut ini? Sejenak aku memanjatkan doa dalam hati, semoga Tuhan selalu menjaga keluarga ini dan semua baik-baik saja.

Tidak beberapa lama kemudian, Wahyu keluar dari kamar, dengan wajah yang sudah mulai tenang ia menghampiriku, lalu kami duduk saling berhadapan. Dia berusaha menceritakan apa yang terpendam di dalam benaknya.

"Sebelum kejadian ini, Mas, sebenarnya kami semua sudah tau, awal mula peristiwa ini hanya dikarenakan warisan rumah eyang yang jatuh ke tangan ibu. Membuat malapetaka bagi keluarga kami!" Wahyu mengawali obrolan.

"Jadi siapakah dalang di balik semua peristiwa ini?" tanyaku.

"Itu yang belum kami ketahui, ibu sendiri juga tidak yakin jika saudaranya sendiri ada yang setega ini. Makanya, beliau antara percaya dan tidak percaya jika antara saudara sedarah sampai tega berbuat demikian!" ucapnya terisak dan mata berkaca-kaca menahan kesedihan.

"Jadi sebenarnya, seperti apa awal kejadian itu, Mas Wahyu?"

"Awal mulanya, eyang kakung (kakek) terserang santet itu sehari setelah kami semua melayat di rumahnya Pak De Miko, waktu itu putranya meninggal dunia. Setelah takziah ke sana, eyang tiba-tiba sakit, badannya tidak bisa digerakkan sama sekali.

Sempat kami berpikir kalo eyang terkena struk, tetapi dokter mengatakan jika sebenarnya beliau sehat wal-afiat. Sampai berminggu-minggu kemudian beliau dirawat, tetapi tidak membuahkan hasil yang mengembirakan, perutnya semakin membengkak, sampai yang terparah, kesadaran diri eyang hilang!" Imbuh Wahyu.

Aku hanya termangu melihatnya menyeka air mata berkali-kali saat menceritakan ulang semua peristiwa itu. Hingga kami dikejutkan dengan suara kedatangan mobil yang ditumpangi rombongan orang tua Wahyu dan ibu ku yang sudah datang.

Aura mereka terlihat lain, ada raut resah juga lelah di semua wajah-wajah yang baru saja tiba, terlebih lagi ibuku sangat terlihat kecapekan, dengan tatapannya yang sedikit ada kekosongan seperti memikirkan sesuatu.

Obrolanku dan Wahyu terputus dengan kedatangan mereka. Selanjutnya kami berkumpul mendengar penjelasan ibuku jika benang hitam itu sudah banyak tertanam di rumah yang menjadi sengketa itu.

Ibu juga menerangkan jika BOLOSEWU sudah bertengger di sana menanti darah, hingga tulang belulang penumbalan berikutnya.

BOLO SEWU ini adalah jin dengan arti nama seribu pasukan, wujud mereka berbadan ular dan wajahnya menyeramkan menyerupai Denowo atau Buto Cakil yang taringnya lebih panjang, keluar dari barisan gigi tajam dari rahang bawah.

Mulutnya memanjang ke depan seperti mulut buaya atau serigala. Dalam dunia klenik atau perdukunan, jenis Bolo Sewu ini menjadi sosok jin paling di waspadai karena keganasan dalam memangsa jasad-jasad manusia yang menjadi tumbal.

Dengan raut wajah tidak biasa dan menyimpan sesuatu ibu berbicara lemah lembut kepada Bu Laras.

"Mbak, saya mau mengungkapkan gambaran yang terlihat oleh mata saya, hanya saja Mbaknya harus ikhlas menerima ini semua, harus berusaha memahami jika semua ini bisa berhenti hanya melalui pertolongan Allah Swt semata!" ucap ibu, dengan genggaman jemarinya yang terlihat menahan genjolak jiwanya.

"Insa Allah, Mbak Nah, saya siap mendengar pernyataan itu, semoga Allah memberikan keikhlasan kepada saya dan keluarga, Mbak!" jawab Bu Laras dan anggukan suaminya yang duduk bersebelahan.

Huuffttt

Sebelum melanjutkan apa yg hendak diucapkan, tarikan nafas panjang juga berat terlihat dari ibuku, bibirnya masih bergetar ingin menyampaikan semua ini tetapi masih sangat terasa berat untuk beliau. Hingga tarikan nafas kedua yg terdengar lebih panjang, baru dimulai pembicaraan.

"Ini jenis santet dengan penumbalan, mengorbankan jiwa, baru bisa diikuti oleh pengambilan jiwa berikutnya! Ilmu seribu jin ini merupakan pencabut nyawa sampai semua keturunan habis tak bersisa, jika manusia sudah terkena ilmu ini semua akan mati sampai anak keturunannya.

Ini yang selalu di sebut santet BAMBU SERUMPUN (Pring Sedapur)," kata ibu menjelaskan.

"Jadi bagai mana menghentikan semua ini, Mbak?" tanya Pak Samsi suami Bu Laras.

"Perang! Mau tidak mau kita harus perang melawan mereka, tidak ada jalan lain! Perang ini yang harus menuai kata ikhlas itu, karena yang menjadi musuh kalian adalah keluarga kalian sendiri. Apa kamu siap, Jeng?" tanya beliau kepada Bu Larasati yang terlihat sangat tegang.

"Maksudnya keluarga sendiri bagai mana, Mbak Nah?" Bu Laras bertanya dengan nada yang semakin menunjukan ketakutan.

"Iya, karena rumah itu yang menjadi pangkal persoalannya. Kakakmu menjadi iri hati dan tertutup mata kebaikannya. Apa kamu tau, Jeng? Ilmu ini bisa terjadi dengan beliau terlebih dahulu menumbalkan anak nya sendiri!" Lanjut ibu menjelaskan.

"Astagfirullah! Apa kematian Lingga itu karena penumbalan bapaknya bukan karena kecelakaan?" tanya Bu Laras dengan sangat heran.

"Sudah aku duga, Eyang sakit juga sehabis melayat di rumahnya Pak De Miko kan, Bu!" Wahyu membuka suara, yang sedari tadi hanya menyimak sama denganku.

"Iya itu benar sekali, Mas, jatuhnya eyang terjadi setelah beliau melayat!" imbuh Tari sang adik.

Mendengar perbincangan itu, suasana menjadi hening. Semua yang hadir kini terdiam, menelisik pertanyaan dalam hati masing-masing, mengungkap tudingan dengan logika mereka sendiri. Hanya kini Bu Laras, sahabat ibuku itu terlihat terisak dalam tangisnya,-

tidak menyangka jika kakak kandungnya sendiri memiliki pemikiran picik seperti itu, menghalalkan segala cara bahkan tega membunuh darah dagingnya sendiri hanya untuk suatu tujuan.

Pembicaraan malam ini sangat berat, dan pasti melukai semua hati seluruh keluarga ini. Kerena itu butuh keikhlasan, jika semakin terbawa dengan suasana emosi kekuatan ini justru akan mudah menyelimuti mereka. Bahkan tanpa mereka lihat jika sosok di rumah ini juga sangat banyak.

Banas pati sedari tadi juga sudah berputar-putar mengelilingi rumah ini!

Akhirnya ibu meminta semua penghuni rumah untuk beribadah dan berdoa meminta perlindungan Nya sebelum beranjak istirahat. Aku yang masih mencium bebauan yang berganti-ganti antara amis juga bau bakaran, mencoba duduk di teras rumah. Menunggu apa yang akan muncul setelah ini!

Wusshhh...!

Tiba-tiba muncul wujud hitam berperawakan besar dengan api yg menjadi kepalanya, terlihat semakin jelas dan nyata muncul di hadapanku!

***

Amung pinembah kanti sumelehing keikhlasan ati. Tanpo leno ing pandungo, sumeleh marang dzat sejati kang dumadi wojoning jiwo klawan rogo.

Sesaat aku hanya bisa tertegun saat menyadari bahwa ternyata sekarang aku telah berdiri berhadapan dengan sosok berkepala api itu. Badannya kekar, hitam dan legam, ruas jemari yang panjang dengan kuku hitamnya terlihat mencengkeram bagai cakar siluman yang mengerikan.

Setan atau jin ini selalu disebut oleh warga di sini dengan nama #KEMAMANG, jika mata telanjang yang melihatnya, ia hanya berbentuk bola api yang melayang, sangat mirip dengan banaspati, tetapi sosok ini lebih besar dan menyeramkan.

Kemampuan mahluk ini cukup membuat bergidik karena ia dapat menyeret manusia lalu menyembunyikannya di balik pepohonan yang angker, seperti pohon waru, randu, beringin, sengon, dll. Menghadapi mahluk ini sama dengan halnya ketika bertemu atau berhadapan dengan wewe gombel.

Apapun yang terjadi, kita harus berpura-pura tidak melihatnya, meski dicekik, digerayangi, Bahkan jika dijilat pakai lidah apinya pun, kita harus tetap diam. Jika sampai sosok ini melihat ketakutan kita, maka selesailah langkah kehidupan korbannya.

Wusshhh!

Deru angin sesaat menerpaku saat tanpa bersuara jin ini perlahan mendekatiku tanpa jarak. Sesaat jin itu hanya berdiri di depanku, aku merasa ia mengamatiku. Karena jarak kami terlalu dekat aku mencoba menggeser langkah, tanpa memperdulikan keberadaannya.

Wush...! Wush...!

Angin kembali menderu kencang saat setan KEMAMANG ini terbang beberapa kali mengitariku, lalu naik ke atas langit, semakin lama semakin tinggi dan terlihat semakin samar.

Duuuarrr...!

Sebelum jin itu benar-benar sirna, terlihat sebuah api yang meledak di atas sana. Ledakan itu megeluarkan percikan cahaya api yang terang.

Wusshh...!

Hembusan angin kencang tiba-tiba muncul kembali. Ternyata semua ini belum selesai, baru sesaat saja aku bisa menarik nafas lega dengan kepergian setan itu, sekarang muncul lagi sosok WEDON yang berwujud nenek tua memegang tongkat, dan berselempang selendang warna merah di leher

"Astagfirullah, wedon!" teriakku secara tiba-tiba saat melihat wujud nenek itu.

Awalnya hanya terlihat satu, lalu menjadi dua, bertambah lagi tiga, empat, lima, dan seterusnya. Sampai tak terhitung lagi jumlah si nenek dengan rupa dan wujud yang sama. Sosok itu terus bertambah dan berdiri menatap ke arahku yang sedang sendirian di halaman rumah Bu Laras ini.

Secara bersamaan mulutnya juga terbuka sangat lebar, andai kepala ku masuk kedalam mulut yang menganga itu akan sangat mudah untuk di lumatnya! Lidahnya yang berwarna merah itu perlahan menjulur keluar semakin lama semakin memanjang dan meliuk-liuk.

"Sengkolo minggat, raip soko adepan ku!" suara ibu terdengar berteriak dan mengacungkan telunjuknya ke arah wedon itu.

Laaapp....!

Secara bersamaan angin meniupkan bau bakaran kemenyan dan semua sosok lelembut itu menghilang seketika!

"Kamu tuh kenapa malah diluar malam-malam begini, Al?" tanya ibu.

"Saya cuma memastikan saja semua aman, Bu! Karena Al belum bisa tidur." jawabku memberikan alasan.

"Aman dari apa? Ini sudah nggak aman, lebih baik kamu berdoa atau istirahat saja!"

"Inggih, Bu!"

Akhirnya aku pun kembali masuk ke dalam rumah.
...

Aku menghabiskan sisa malam ini dengan merebahkan tubuh di pembaringan, mencoba menutup mata dan menyandarkan segala rasa resah. Aku sejenak berdoa, mengharap jika esok pagi semua benar-benar menghilang tanpa adanya peperangan atau pun ada klenik yang dikirimkan lagi.

Namun, rasanya itu mustahil terjadi, karena pada kenyataannya semua peperangan ini baru saja di mulai. Nyawa yang sudah ditumbalkan dimaksudkan untuk menjemput rentetan nyawa berikutnya!

Dalam lelap tidurku, aku bermimpi didatangi seorang laki-laki seumuran abangku dengan rambutnya yang gondrong sebahu, mengenakan kalung berbandul taring harimau. Orang ini menemui ibuku, menyalami beliau, menoleh sejenak lalu tersenyum ke arahku.

Aku mencoba mengingat-ingat wajah laki-laki itu. Namun, aku belum bisa memastikan siapa orang itu dan kenapa datang dalam mimpiku padahal seingatku sebelumnya kami belum pernah bertemu.

Selesai salat Subuh, aku menceritakan mimpiku kepada ibu.

"Bu tadi malam saya di datangi sesosok laki-laki, setelah saya berusaha mengingat-ngingat siapa orang itu saya nggak bisa menemukan jawabannya, Bu. Sepertinya kami memang tidak pernah bertemu sebelumnya."

Ibuku hanya tersenyum ke arahku dan menanyakan bagaimana cerita dalam mimpiku.

"Sosok laki-laki berkalung dengan taring harimau sebagai bandulnya. Dia menyalami ibu dan tersenyum saat melihat ke arah Al!" kataku menjelaskan.

"Alhamdulillah, doa ibu sudah di dengar Allah, dan dia itu murid ibu yang tinggal di Kalimantan, Insa Allah akan datang untuk menangani masalah ini."

"Murid ibu? Siapa?" tanyaku dengan rasa penasaran.

"Namanya Dvirgo, jauh sebelum kamu lahir dulu dia sudah belajar dengan ibu juga almarhum abahmu."

"Bagaimana ibu bisa tau kalau itu memang benar-benar dia, Bu?" Aku masih belum berhenti penasaran mengenai sosok laki-laki ini.

"Kalung itu, dia dapat saat tirakat dalam bimbingan ibu!" ucapnya memungkasi obrolan. Dan aku hanya terdiam mendengar penjelasan ibu.
...

Pagi harinya, aku pergi ke pasar tradisional mengantar ibu dan juga bu Laras untuk membeli beberapa barang yang diperlukan sebagai sarana keperluan yang ibu butuhkan. Klenik harus ditumpas dengan ilmu serupa, hanya perbedaannya, kami cukup membalikkan tenung juga mantra hitam yang mereka kirim.

Namun ada juga beberapa barang kebutuhan yang tidak di jual di sini, seperti daun awar-awar, akar bidara, klembak putih dan lain-nya.

Semua yang berasal dari tumbuhan harus di cari dalam hutan atau meminta kepada yang memiliki semua itu.

"Al coba kamu cari dimana disini yang jual minyak misik, tetapi ibu butuhnya minyak apel jin yang murni!"

"Dimana ya mencarinya, Bu? Al mana tau daerah sini!" Aku menjawab.

Ibu diam tidak menjawab, tetapi sorot mata itu mengharuskan pergi tanpa mau mendengar kata bantahan dari anaknya. Melihat itu aku mengelilingi area pasar, mencari yang dibutuhkan, tetapi aku tak menemukannya.

Aku mutuskan untuk bertanya kepada toko-toko yang menjual parfum atau minyak wangi. Mereka hanya menjual minyak yafaron saja, tidak ada yang menjual minyak yang ibu mau. Akhirnya menjelang sore hari aku baru tiba di rumah tanpa hasil yang beliau mau.

"Sekarang kamu jemput Dvirgo di terminal sama mas Wahyu, dia sudah sampai dan menunggu di sana!" suruh ibu kembali.

"Iya, Bu!" jawab ku, aku langsung berpamitan dan menyalaminya.

Semua orang terlihat sibuk. Tidak ada waktu untuk santai, semua sibuk mempersiapkan segala hal, bahkan pak Samsi sendiri pun sedari pagi sudah keluar mencari beberapa bahan. Namun, hal yang membuat lega adalah dengan datangnya salah seorang murid ibu dari Kalimantan.

Seandainya di nalar, hal ini terasa sangat tidak masuk akal, tidak mungkin dalam waktu sehari perjalanan laki-laki itu sudah tiba di sini.

Setelah menjemputnya di terminal dan kembali pulang ke rumah bu Larasati, aku membiarkan ibu, Bu Laras dan laki-laki itu berdiskusi membicarakan semua peristiwa ini. Aku yang tidak paham hanya duduk diam menunggu apa yang akan nanti mereka perintahkan.
...

Aku, ibu, Dvirgo, bu Laras dan suaminya, malam ini mendatangi rumah yang sangat mewah itu. Rumah yang besarnya bak istana ini adalah sumber semua malapetaka yang terjadi. Rumah itu terlihat sepi, hanya terlihat satu orang penjaga.

Dengan adanya Bolo Sewu dan banyaknya Denowo jin berbagai rupa menyeramkan itu, membuat semuanya terlihat singup lebih menyeramkan daripada kuburan atau tempat angker. Mata mereka serasa melihat dengan tajam kearah kami berlima saat memasuki pekarangan.

Saat pintu putih yang tinggi dan besar itu dibuka, hantaman aura setan langsung menyambar. Dada serasa panas juga sesak, seluruh badan berat, merinding, kepala pun pusing tiba-tiba! Uluk salam juga tameng ghaib sudah di rapal untuk perlindungan kami semua.

Bau pengap dari rumah sebesar ini tercium, bagai masuk kedalam sebuah gua tanpa adanya sirkulasi udara! Jin, Setan, mewujud, bersliweran menunjukkan rupa mereka yang aneh, bahkan banyak juga yang merayap di dinding, dari atas kebawah, mengepung kami semua saat ini.

Sambutan mereka sungguh membuat diriku merinding, terlebih menyaksikan bentuk-bentuk yang menjijikan dan menyeramkan itu.

"Bunga ini tolong sebarkan di depan rumah, Al!" Ibu memberikan plastik yang berisikan bunga mawar dua warna yang sudah di campur dengan minyak.

Aku menerima bungkusan itu dan kembali jalan ke luar rumah, bagai sebuah daya tarik dengan membawa bunga ini, semua lelembut dengan berbagai bentuk itu berjalan mengikuti langkahku.

Suara berisik mereka mengomelkan kata yang tidak jelas terdengar. Ketika aku tebarkan kelopak-kelopak mawar itu semua seakan seperti anak ayam yang berebut makanan, melahap bunga-bunga itu.

Laapp...! Laapp...! Laapp...!

Tanpa jarak waktu lama semua sosok itu langsung sirna, setiap selesai memasukan bunga mawar itu kedalam mulut mereka tiba-tiba saja satu persatu dedemit itu menghilang entah kemana! Mungkin mereka lebur mati, atau pun dikembalikan ke alam astral,-

bisa juga di kembalikan ke sang pengirim, sama sekali aku tidak tau. Semua mahluk yang tadi terlihat di hadapanku kini telah hilang, lenyap tanpa bekas, hanya menyisakan bunga berwarna merah dan putih yang berserakan di tanah.

Walaupun puluhan setan itu sudah menghilang, tetapi masih banyak lagi jin berwujud menakutkan yang bertengger di seluruh rumah. Diperlukan cara lain melenyapkan semua bolo sewu dan buto ini.

Tiba-tiba muncul gerimis yg di ikuti suara dan kilatan petir. Perubahan cuaca yang tiba-tiba ini tentu saja ada kaitannya dengan semua ini, karena menjadi hujan lokal di area ini saja.

Wussh...! Wussh...! Wussh...!

Angin pun berhembus kencang dan secara tiba-tiba menerpa serta memutari tubuhku yang masih berdiri di depan rumah. Tubuhku sedikit terhuyung dan limbung, untung aku tidak terjatuh. Tiba-tiba dari kejauhan aku melihat cahaya dengan jelas, seperti ada lilin yang sangat banyak terbang mendekat.

"Mundur, Dek, itu kiriman santet!" teriak Dvirgo.

Kemudian dia berjalan di luasnya halaman, berdiri dibawah rintikan gerimis yang disertai hembusan angin. Perlahan ia mengeluarkan sebuah benda, kujang kuningan kecil yang ia tempelkan ke arah kepalanya. Beberapa saat terlihat dia hening membaca doa.

"Allahhu Akbar!"

Ia berteriak seraya menancapkan benda itu ke tanah!

Duaaarrrr...!

Api kecil yang berterbangan itu meledak secara bersamaan bagai petasan. Serpihan api berjatuhan, lenyap sebelum menyentuh tanah.

Santet itu tertangkal oleh kekuatan yang dimiliki laki-laki ini. Namun, angin berhembus semakin kencang dan gerimis juga mendadak berhenti dengan sendirinya. Murid dari ibuku itu masih berdiri dengan kepala menengadah ke atas langit.

Rupanya belum selesai dirinya mampu menghalangi berbagai santet yang akan di kirim kembali.

Tiba-tiba muncul sosok genderuwo besar dengan tatapan mata merah, berjalan mendekati Dvirgo yang tidak bergeming sama sekali. Aku coba mendekatinya untuk memberitahu kan kedatangan barisan Setan Hitam berbulu itu, tetapi terlebih dahulu tangannya terangkat dan memberi tanda peringatan padaku untuk tetap ditempat tanpa mendekat padanya!

BERSAMBUNG

*****
Selanjutnya

*****
Sebelumnya
close