Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

SANTET PRING SEDAPUR (Part 3 END)

Tanpo tedeng aling-aling, anamung iman kang dumadi tamenging jiwo rogo, nembah marang kasunyatan bilih sawiji pengeran ta'ala kang anggadahi piwelas ugo panulung manungso!


Suasana malam ini tidak hanya mencekam, tetapi juga menegangkan. Tampak laki-laki itu menggeram dan merunduk bagai harimau. Kini beberapa kali terlihat jemarinya yang berkuku panjang mencakar-cakar tanah yang ditumbuhi rerumputan,-

sehingga membuat percikan tanah berumput terlempar ke udara. Para genderuwo yang berbadan kekar itu juga sama, tak mau kalah untuk menunjukkan kegarangan wajahnya. Terlihat sangat menyeramkan dengan taring panjangnya!

Makhluk-makhluk itu kemudian mengelilingi Dvirgo, mengepung dan siap menyerangnya. Mata mereka tajam memerah. Tangan berkuku panjang itu mengapai-gapai udara siap menyerang. Dvirgo, terlihat agresif. Ia mengambil posisi siap siaga menerima serangan.

Tak terbersit sedikit pun rasa takut di raut wajahnya. Ia tetap tenang walau berada di dalam kepungan sosok berbulu lebat itu, siap menghadapi pertarungan yang terlihat sama sekali tidak seimbang.

Saat aku fokus melihat Dvirgo yang sedang terkepung, tiba-tiba terdengar teriakan yang memekakkan telinga yang berasal dari dalam rumah. Teriakan Pak Samsi.

"Aaaaaaa...!"

Aku berpaling, menoleh ke arah arah rumah, sumber asal suara. Teriakan Pak Samsi menandakan sesuatu sedang terjadi di dalam rumah. Aku berlari masuk ke dalam untuk memastikan apa yang sedang terjadi, meninggalkan Dvirgo bertarung dengan kawanan astral seorang diri.

Saat aku masuk ke dalam rumah, aku menyaksikan di ruangan ini sedang terjadi interaksi, energi yang memancar sangat kuat. Aku berjalan ke belakang ibu. Dan pukulan itu sangat terasa ketika aku sudah berdiri di belakang ibuku yang tengah berdiri.

Ia menatap tajam ke depan, ke arah satu sosok berjubah hitam. Namun, hanya lengkungan bayangan saja yang dapat terlihat karena terhalang oleh kekuatan yang terus keluar dari mahluk itu.

Pak Samsi dan Bu Laras mencoba untuk bertahan menghadapi serangan yang menghantam mereka. Mahluk itu terus saja secara membabi buta menyerang mereka berdua.

Hoeekkks!

Akhirnya, kedua orang itu tersungkur dan memuntahkan sesuatu yang tidak bisa mereka tahan lagi. Hanya hitungan menit bu Laras jatuh terkulai tak sadarkan diri. Sementara suaminya masih mencoba untuk melawan dan kini ia hanya merunduk tersujud, menekan dadanya sendiri yang terasa panas terbakar!

"Pak, jangan di lawan! Kekuatan ini sangat besar, justru bapak akan kuwalahan sendiri jika terus berusaha melawannya!" ujarku ketika berusaha merangkulnya untuk berdiri.

"To... to... tolong istri saya, Mas!" suaranya terdengar terbata-bata dan nafas yang tersengal-sengal. Tangannya terlihat gemetar saat dia menunjuk istrinya yang tergeletak tak berdaya di lantai.

"Pak, tenang, istigfar, jangan dilawan aura ini, yang ada bapak akan terkuras tenaganya!" aku mencoba memberi pengertian kepada Pak Samsi bahwa jika diteruskan usahanya akan sia-sia.

"Abaikan sa... saya..." suara itu terdengar kesakitan. Tolong istri saya, Mas."

Mendengar permintaannya, aku langsung menghampiri bu Laras, mencoba mengangkatnya dari lantai. Namun, dengan keterbatasan tenagaku aku tak mampu mengangkatnya, jangankan untuk menggendong tubuh Bu Laras yang sedang pingsan ini, hendak mendudukkannya saja aku tidak sanggup.

"Tolongg! Tolong!

Akhirnya, aku menarik kedua tangannya, menyeret sebisanya keluar dari ruangan ini sambil teriak meminta pertolongan!

Tampak pak tua si penjaga rumah lari tergopoh-gopoh menghampiri kami.

"Mas, kenapa, Mas, ada apa dengan Bu Laras?" tampak raut kepanikan muncul wajah tuanya.

"Sudah nanti saja bertanyannya, Pak, bantu saja saya mengangkat Bu Laras!" teriakkku seraya menyadarkan lelaki tua itu yang masih berdiri tertegun keheranan.

Mendengar permintaanku dia langsung mengangkat bagian kaki, kami menggotong Bu Laras secara tidak wajar. Bagai mengangkat mayat, tenaga kami terkuras untuk memindahkannya. Akhirnya dengan susah payah kami berhasil membawanya ke depan teras, lalu membaringkan tubuhnya di kursi panjang.

"Aaaakkkkk...!

Baru saja selesai meletakkan tubuh Bu Laras, saat berdiri dan ingin menarik nafas, suara jerit kesakitan kembali terdengar. Pak Samsi terdengar memekik dengan sangat keras.

"Bapak tunggui Bu Laras saja!" tanpa menunggu jawabannya, secepat kilat aku berlari masuk ke dalam rumah.

Saat di dalam rumah kulihat Pak Samsi tengah berguling-guling kesakitan, darah sudah keluar dari hidung dan mulutnya. Sejenak aku melihat ke arah ibu ku yang masih tegak berhadapan dengan sosok itu.

Mereka saling berpandangan mengeluarkan ilmu kebatinan masing-masing untuk saling menyerang. Perang sukma ibu yang meninggalkan raganya menjadi benturan dan terus menciptakan kekuatan yang beradu antara keduanya.

Wussshh!

Angin dengan hawa sangat panas mengelilingi tempat ini, gempa kecil mengetarkan lantai juga dinding rumah yang sangat megah ini.

Setiap kali angin itu menerpaku, tubuhku mundur selangkah Hampir saja aku tak mampu menahannya karena mendapat dorongan kekuatan yang begitu kuat menghantamku. Aku mendekati Pak Samsi, menarik bahu pak Samsi, lalu membawanya berjalan berlahan meninggalkan ruang yang tengah mencekam ini.

Setibanya kami di teras, Pak Samsi terkejut dan histeris melihat kondisi Bu Laras.

"Ya Allah, Bu!" jerit Pak Samsi ketika melihat istrinya masih terkulai di atas kursi.

Ubuukk! uhukk! uhuukk!

Dia hanya menangis, mencoba menenangkan dirinya sambil berulang kali terbatuk-batuk.

Perlahan Pak Samsi menghampiri Bu Laras, duduk di dekatnya dan dengan beristigfar dia mengelus lembut kepala sang istri penuh rasa kesedihan.

Ia sama sekali tak menyangka jika semua musibah ini menimpa istri, keluarga, bahkan dirinya. Air matanya terus keluar di sudut kedua mata yang kini berubah menatap penuh amarah.

"Setan laknat, ya Allah berikan hukuman setimpal utk manusia yg telah membuat semua ini trjdi pd keluarga kami!" teriak Pak Samsi penuh emosi yg tidak bisa ia tahan lagi.

"Sabar, Pak, istighfar dan banyak berdoa!" Lelaki tua penjaga rumahnya itu mencoba menenangkan majikannya.

Suasana menjadi haru biru, di dalam rumah nampak suasana ketengangan karena terjadi perang batin antara ibu dan mahluk ibu, sementara di sini, kondisi Bu laras dan suaminya sangat memprihatinkan.
...

Dvirgo yang sudah membereskan kawanan genderuwo, mulai berjalan menghampiri kami.

"Ada apa, Al" tanyanya kepadaku.

"Ehh... Pak Samsi... Bu Laras..." belum sempat aku menyelesaikan ucapanku, Dvirgo memintaku untuk menyingkir, menjauh dari mereka berdua.

Perlahan ia mendekati mereka. Terlihat, sejenak ia khusuk berdoa, kemudian meniupkannya ke telapak tangannya, lalu mengusapkannya secara perlahan ke tubuh Pak Samsi dari ujung rambut sampai ujung kaki, menarik energi negatif dalam tubuh Pak Samsi.

Hoekkss! Hoekss!

Setelah mendapat usapan tangan Dvirgo ke tubuhnya, Pak Samsi memuntahkan seluruh isi perutnya yang hanya tinggal cairan kuning kemerahan.

"Kasih beliau minum!" suruhnya pada kami berdua.

Dengan cekatan pak tua itu berlari menuju dapur dan mengambilkan air untuk Pak Samsi. Tidak seberapa lama juga terlihat ibuku berjalan keluar.

Uhuk! Uhuk!

Beliau batuk-batuk kecil, kemudian mendekati Bu Laras yang belum juga siuman. Ibu duduk di samping Bu Laras dan memeganginya. Tidak begitu lama kemudian, dia bangkit berdiri lagi lalu mengarahkan telunjuknya ke atas. Menunjuk ke arah langit.

"Kini yang datang semakin banyak!" kata ibuku.

Serempak kami mengarahkan pamdangan kami mengikuti di mana jari orang tuaku itu teratah. Tampak di atas sana, sebuah api melesat terbang mendekat.

"Bolo Sewu dikirim lagi!" teriak Dvirgo, dengan rahang yang dia eratkan, menandakan emosinya kini hadir kembali.

"Ini tidak akan pernah selesai, jika empu pengirim tenungnya tidak diatasi. Sebaiknya kita mundur dulu untuk keamanan Mbak Laras juga suaminya!" ibu berteriak sambil memperingatkan muridnya.

"Jadi bagaimana sekarang, Bu?" tanyakuu.

"Bawa pulang dulu Mbak Laras, kalian angkat ke Mobil, segera tinggalkan tempat ini!"
...

Seru dan menegangkan gak?

Meski pun dalam pertempuran kami sudah banyak yang di musnahkan, tetapi sang dukun itu terus mendatangkan pasukan gaibnya dengan jumlah yang semakin banyak.

Tentu pertarungan dengan keilmuan seperti ini akan membahayakan manusia awam seperti dirikuu juga keluarga Bu Laras yang tidak tau atau paham dengan hal klenik juga gaib!

Pagi itu semua masih dalam kesibukannya, ibu yang masih mengobati bu Laras dan pak Samsi dibantu oleh Dvirgo. Sementara aku mencoba menceritakan semua kejadian ini kepada kedua anaknya.

Tari juga Wahyu yang mendengar semua ceritaku berkali-kali terlihat ketakutan dan mengusap tengkuk juga tangan mereka saat merasa merinding terhadap peristiwa yang di hadirkan oleh sosok dalam cerita.

Nafas mereka juga terdengar mulai memberat menandakan bisa dapat merasakan tekanan energi astral itu meski hanya melalui sebuah gambaran ceritaku saja.

"Memang ada ya, Mas Al, manusia sekeji itu, hidup berdarah dingin, membunuh sesama manusia dengan ilmu yang dia miliki?" Tari mengacukan pertanyaan padaku.

"Itu hanya orang-orang tersesat yang berlaku sekeji itu, selain dibutakan oleh duniawi, mereka juga memiliki misi dengan pertarungan gaib itu adalah suatu pembuktian.

Semakin sakti ilmu kanuragan kebatinannya maka akan naik juga pamor dirinya di dunia hitam perdukunan!" aku mencoba menjelaskan perihal dunia kelam para penganut ilmu sesat.

"Kenapa Allah tidak memberikan hukuman bagi manusia-manusia seperti itu, Mas Al?"

tanya Wahyu, melanjutkan pertanyaan sang adik.

"Azab itu dua hal yang di kehendaki Allah, Mas Wahyu, ada yang diturunkan langsung di dunia sebagai bentuk contoh manusia terburuk selama hidup, itu sudah banyak kita dapati dan mendengar dari jaman nabi-nabi terdahulu sampai saat ini!" terang ku.

"Lalu yang kedua apa mas?"

"Yang kedua azab sesudah mati, menerima pembalasan dalam liang kubur, sampai hari kebangkitan di akhirat kelak dera itu abadi, tanpa pernah berakhir!"

"Naudzubillah...!"

Dalam ilmu santet yang menyerang keluarga ini, peperangan ini baru awal, baru akan di mulai meski dua orang sudah meninggal dan imbas ganasnya ilmu santet ini kini dirasa oleh Bu Laras juga Pak Samsi. Sangat mengerikan, demi ambisinya,-

manusia memutuskan bersekutu dengan setan, menandakan ia buta mata hati juga hilangnya nurani kemanusiaan. Gelap akan ketamakan, hingga nyawa menjadi mainan dan suatu tanda kemenangan.

Duarrrr!

Tiba-tiba terdengar bunyi menggelegar dari atas rumah, kembali tenung itu menghantam keberadaan kami semua. Rasa kaget tanpa terelakan pada kami bertiga yang tengah membicarakan keilmuan itu di ruang tamu!
...

Hidup di dunia hanya menanam, alam akhirat di sana masa memanen. Tanam kebajikan akan tumbuh buah kemenangan, jika menanam kebatilan hanya celaka yang akan di tuai.

Saat itu seketika muncul kepanikan di ruang tamu tempat kami berada saat mendengar dentuman suara yang mengagetkan itu. Gelegar suara itu sangat keras terdengar, membuat kami yang tadinya asyik bercerita seketika diam dan refleks menutup mulut masing-masing.

Dalam suasana hening, kami berkutat dengan pikiran masing-masing, berusaha memahami dan menyimak apa yang sebenarnya terjadi.

Tiba-tiba, nampak ibu berjalan keluar dari kamar dan mengecek keadaan kami bertiga, sesaat beliau lekat menatap tajam ke arah diriku.

"Huuhh.... Huuhh.... Huuhh!

Aku berusaha untuk mengapai udara sebanyak-banyaknya, kuhirup dan kulepaskan. Nafasku terasa amat sesak. Suhu tubuhku meningkat, tubuh terasa panas dan kepalaku terasa pusing, saat aku melihat bagian atas rumah,-

serasa gambarnya berputar. Pandanganku pun terasa meredup dan memudar, apapun yang kulihat tak nampak jelas. Ternyata hantaman yang mereka kirimkan tepat mengenai ragaku. Aku yang tanpa tameng kesiapan untuk melawannya, kini justru yang terkena, menjadi sasaran ilmu setan itu.

Semakin lama, aku merasa fisikku semakin lemah.

"Al... Al....!" suara ibu masih terdengar, meski tidak begitu jelas lagi.

"Aaaaa...!"

Aku hanya bisa menjerit lirih, menahan rasa sakit yang luar biasa. Sakit perut yang kuderita terasa sampai ke dada. Rasanya tidak karuan, panas mendidih. Aku hanya mencoba menarik nafas sebisaku, melawan semampuku.

"Hoekss....!

Aku menutup mulutku saat tiba-tiba merasa ingin muntah. Rasa mual ini semakin kuat, ususku bagai di pelintir. Gambaran rasa sakit yang kurasakan tidak lagi bisa tertuliskan, sampai akhirnya tiba-tiba

terasa sebuah tenaga mengalir bagai angin yang cukup kuat dari punggungku. Menjalar perlahan dari dalam perutku terus naik... naik... dan naik sampai ketitik rasa sakit yang kurasakan.

"Hoeeeksss....!

Rasa mual yang begitu hebat kembali menyerangku, kali ini aku tak bisa lagi menahannya, semakin kuat aku menutup mulutku dengan tanganku, semakin perutku bergolak, menuntut agar aku memuntahkan isinya.

"Hoeekss!

"Byuurr!"

Seketika tanganku terlepas dari mulutku. Darah segar disertai dengan benda aneh menyembur keluar dari mulutku. Setelah dilihat dengan seksama ternyata benda itu merupakan remukan tulang belulang, yang sangat kecil dan tajam.

Aku muntah berulang kali, sampai yang tersisa yang keluar dari perutku hanya cairan air berwarna kuning. Hal itu membuat kondisiku lemah, dan akhirnya dalam kondisi lunglai tanpa daya, mataku terpejam, tanpa bisa mengingat apapun lagi.
...

Pagi itu kesadaranku mulai pulih. Perlahan aku membuka mataku, masih terasa berat dan pangandanganku belum terlalu jelas. Sayup-sayup aku mendengar suara yang ramai di rumah ini. Aku ternyata terbangun di hari kedua setelah kejadian itu,-

bertepatan dimana hari itu Pak Samsi meninggal dunia. Pemakaman sudah di laksanakan pagi tadi, otomatis hal ini membuat kedukaan yang mendalam bagi Bu Laras dan kedua anaknya bertambah.

Semakin lama suara riuh warga masih terdengar. Saat aku benar-benar membuka mataku, aku menjumpai wajah ibu tepat di hadapanku.

"Minum ini Al...!"

Ibu menyodorkan segelas air dengan campuran bunga melati. Aroma air itu tercium wangi misik, rasanya sangat pahit, tetapi aku berusaha meminum dan menghabiskannya. Setelah aku meneguk air yang diberikan ibuku. terasa reda panas di perut dan di dadaku perlahan mulai mereda.

Namun walaupun demikian, rasa sakit yang menyerangku masih sangat terasa. Perih luka di pangkal tenggorokan sampai langit-langit mulut ini karena benda berupa tulang-tulang yang tajam itu. Badanku masih serasa lemas, tenagaku benar-benar terkuras habis.

"Pak Samsi meninggal subuh tadi, kamu memikirkan apa sampai bisa terkena sasaran teluh itu?" ibuku bertanya padaku seraya menjelaskan jika suami bu Laras sudah berpulang.

"Aku hanya merasa iba saja melihat keluarga ini, Bu. Aku merasa tidak tega menyaksikan peristiwa yang dialami oleh Bu Laras juga pak Samsi. Di tambah lagi kondisi anak-anaknya juga terlihat sangat ketakutan!" jawabku seraya terus menahan sakit.

"Ibu sudah bilang, jika jangan mengasihani semua ini, setragis apapun itu! Apa kamu tidak ingat orang yang waktu itu kena sasaran teluh? Hal itu terjadi karena ia iba melihat mertua mbak Laras meninggal.

Kamu kan tau, pantangan dari ilmu ini, kita dilarang iba dan berwelas asih, Le!" ucap ibu berusaha mengingatkanku dengan nada suara yang sedikit keras.

'Nggih, Bu. Maaf aku sudah terlarut dengan rasa iba, sampai lupa dengan pantangan itu."

Aku berusaha tersenyum dan mengangguk pertanda bahwa aku mengerti. Tidak beberapa lama kemudian beliau berpamitan keluar untuk menenangkan semua orang, terutama keluarga mendiang, temannya yang saat ini sangat butuh dukungan beliau.

Sementara itu, aku hanya bisa tergeletak lemah, tanpa bisa bangkit, terasa aku bagaikan lumpuh, tak bisa bergerak. Aku hanya bisa bernafas dan berdoa, hanya itu yang bisa aku lakukan saat ini.
...

Tak terasa, dua hari telah berlalu tanpa bisa melihat apa yang telah terjadi. Saat ketika tersadar ternyata korban sudah bertambah lagi. Pagar gaib yang sudah dibuat sebelumnya bisa tembus oleh gempuran setan-setan kiriman dukun itu!

Peperangan yang sangat mengerikan ini belum mencapai akhir. Situasi dan kondisi yang terjadi, menimbul kan rasa takut ketika menyadari bahwa diriku pun tak punya daya untuk membendung ilmu hitam yang sakti.

Kreeekk!

Tiba-tiba pintu kamar terbuka, ketika aku membuka mata, terdengar langkah seseorang yang berjalan mendekatiku. Perlahan aku menoleh ke arah suara itu, tetapi karena kondisiku belum pulih, aku belum bisa melihat secara sempurna dan dengan jelas siapa orang yang masuk ke kamar.

Jarak dipan dengan pintu sebenarnya tidak terlalu jauh, tetapi penglihatanku masih samar-samar menyebabkan aku tak mengenalinya.

Bayangan itu terus mendekat dan perlahan
mulai terlihat jelas. Sosok nenek tua, berkulit keriput datang menghampiriku. Tatapannya terasa tajam walaupun hampir separuh matanya tertutup oleh kantung mata yang mengatup.

"Mbah Sareh!" aku terkejut melihat sosok beliau kembali.

"Hiiihiiii! Nih ... makan biar sehat bagas waras, Le!" beliau memberikan potongan kemenyan sebesar ujung kelingking anak kecil padaku.

Mbah sareh salah satu nenek yang di temuan mas zikra di thread ini 👇

PELUKAN KEMATIAN

Aku hanya bisa bengong dan terdiam karena aku sangat terkejut saat menyadari bahwa mbah Sareh ternyata yang mengunjungiku. Perlahan aku membuka mulutku, lalu Mbah Sareh memasukan benda tersebut. Benda itu sangat mudah masuk tanpa perlu kutelan.

Tiba-tiba badanku serasa sangat dingin, tangan beliau mengusap pelan dahi ku yang membasah karena keringat. Rasa kantuk yang hebat tiba-tiba menyerangku. Sebelum mataku benar-benar kembali terpejam, samar-samar aku melihat sebuah senyuman yang sangat tulus.

"Mbah Sareh...!"

Aku bergumam lirih dan tertidur lagi sampai semua tak terlihat lagi.

Setelah bertahun-tahun lamanya semenjak pertemuan aku dengan Nyai Sembrani di bukit Sepungkruk, kini beliau hadir dengan wujud yang sama persis sebagai Mbah Sareh.

Sosok itu tetap manjing padaku, silaturahmi diantara kami ternyata tidak terputus.

Setelah sekian lama aku tertidur, akhirnya aku terbangun. Namun saat terbangun, seperti ada yang lain di tubuhku. Aku merasa sudah sangat sehat, tenagaku sudah kembali pulih, bahkan terasa seakan tidak pernah terjadi apa-apa sebelumnya.

Setelah aku raba dengan lidahku, ternyata luka di langit-langit mulutku juga telah menghilang. Aku langsung bisa berdiri tegak, berjalan, keluar kamar dan menemui yang lainnya yang tengah bertahlilan di ruang tamu.

Semua mata tertuju melihat ke arah ku, ibuku merasa heran ketika melihatku berjalan menghampirinya. Senyum hangat beliau terlihat menenangkan, seakan memaknai jika dirinya sudah paham apa yang tengah terjadi denganku.

Hanya saja saat kuarahkan pandanganku ke keluarga Bu Laras, raut wajah-wajah kesedihan itu masih terlihat jelas pada mereka yang ditinggalkan oleh Pak Samsi. Saat aku melihat Bu Laras, ada untai senyum terpaksa muncul di sudut bibirnya.

"Gimana, Le, sudah baikan?" ibu bertanya ketika aku sudah duduk di samping beliau.

"Alhamdulillah, Bu, sehat sekali sekarang!"

"Itu qhodam yang datang, memberikan obat buat kamu. Jangan lupa berterimakasih pada beliau yang sudah lama menjaga kamu selama ini!" ujar ibu menjelaskan.

Aku terdiam mendengar perkataan ibuku. Aku hanya merasa heran mendengar jawaban ibu, ternyata aku baru menyadari bahwa begitu banyak penjaga diri ini, tanpa terasa dan terlihat oleh mata. Mereka yang dahulu pernah hadir dalam perjalanan kehidupanku ternyata selama ini menjagaku,-

bagai bayi yang terus mereka asuh dimana pun berada. Aku juga masih belum paham bagai mana cara berterimakasih kepada para penjaga itu, seperti yang diminta oleh ibuku.

Aku bergabung dengan warga, ikut membacakan doa agar arwah mendiang almarhum Pak Samsi, Setelah Isya, para warga berpamitan untuk kembali ke rumah mereka masing-masing. Setelah itu aku ikut duduk untuk ikut berkompromi.

Akhirnya kesepakatan diambil bahwa Bu Laras dan anak-anak nya untuk sementara harus pindah dari rumah ini sampai semua kembali membaik dan normal. Hal ini dilakukan karena sudah saatnya segala santet ini harus segera di akhiri.

Sampai akhirnya pembicaraan kami menemui mufakat jika besok pagi semua harus meninggalkan rumah ini meski mereka masih dlm keadaan berkabung. Duka itu tentu menjadi rasa yg sangat berat untuk mereka. Tanah kuburan masih basah, harus ditinggalkan demi menghindari datangnya maut.

Keluarga Bu Santi, adik kandung dari almarhum Pak Samsi, mau menampung mereka. Meski sanak saudara yang lain justru menolak takut kena imbas dari ilmu sesat ini. Lima bersaudara pak Samsi merupakan anak paling tua dari keempat adiknya,

Bu Santi adik paling kecil yang sudah berkeluarga terketuk hatinya, merasa iba melihat kakak ipar dan anak-anaknya terkatung-katung larut dalam duka juga hidup dengan merangkul ketakutan oleh kematian yang kapan pun dapat menghampiri mereka kembali.

"Mbak Nah, yakin tidak mau ikut kami, Mbak?" kata Bu Laras pada ibu.

"Doa kan saja, Mbak Laras, kalau saya ikut mendampingi mbak di sana, semua masalah ini tidak akan pernah selesai!" jawab ibuku, pada sahabatnya itu.

"Semoga semua dalam lindungan Allah ya, Mbak Nah, saya dan anak-anak tidak tau harus bagai mana lagi berterimakasih untuk semua ini." Bu Laras berucap sambil memeluk ibu ku.

Ibu ku hanya memeluk, menguatkan sahabatnya itu. "Kamu harus kuat dengan semua ini, Mbak, kita sama-sama berdoa ya, semoga semua ini segera selesai dan membaik. Bismillah saja, Mbak!"

Keesokan harinya mereka pergi menuju kediaman adik iparnya, sementara itu. kami bertiga masih di sini dengan segudang misteri yang akan di hadapi nanti, seraya kembali mempersiapkan diri, iman, untuk kembali menghadapi dukun dengan seribu jin kirimannya.

***

Sematkan dalam diri, jika dengan keyakinan, maka akan di dapati kemenangan. Halangan itu tidak akan usai tanpa berani menghadapi. Melangkah meski harus mati di jalan yang menjadi ketentuan kebenaran.

Karena cerita ini baru di mulai.
close