Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

SUMUR PATI (Part 34) - Masih Ada Harapan


JEJAKMISTERI - "Byuuurrrr...!!!" sesuatu seolah dilempar dan jatuh tepat di depan wajah Lintang, membuat air sendang tempatnya berendam menyiprat mengenai wajah pemuda itu. Hanya sedikit, namun itu sudah cukup untuk membuyarkan konsentrasi Lintang, karena cipratan air yang hanya sedikit itu terasa bagai tamparan keras dari sebuah telapak tangan besar yang menghajar tepat di wajahnya.

Terkejut, Lintang membuka matanya. Dan ia lebih terkejut lagi saat mendapati sebuah kendi yang terapung apung di depan wajahnya. Kendi, yang sama persis seperti yang dimiliki oleh si kakek tua misterius di lereng gunung yang semalam bertarung dengannya. Kendi, yang juga sama persis dengan foto kendi yang ditemukan didalam galian sumur di ladang Pak Jarwo.

Pelan, dan sedikit gemetar, tangan Lintang bergerak meraih kendi itu, mengangkatnya tepat di depan matanya, lalu mengamatinya dengan nanar. Benar benar sama persis, baik bentuk, ukuran, sumbat dari kayu yang menutupi lubang lubangnya, serta guratan guratan aneh yang terukir di leher kendi itu, semua sama persis dengan foto yang diberikan oleh komandan Bambang kemarin.

"Hmmm, ternyata benar, ini tujuan alamrhum Pak Dul Modin menyuruh aku dan Wulan datang kemari. Dan sepertinya, tugasku di gunung ini telah selesai. Sudah saatnya aku..."

"Gembuuullll...!!! Bangun Woy! Jangan keasyikan berendam sampai membuat kau ketiduran di dalam sendang!" seruan Wulan dari luar bilik sendang mengejutkan Lintang. Gadis itu rupanya sudah terlebih dahulu menyudahi semedinya dan keluar dari sendang.

"Iya! Sebentar, aku pakai baju dulu, awas! Jangan ngintip!" seru Lintang.

"Cih! Siapa juga yang sudi mengintip pantat gosongmu!" dengus Wulan di luar bilik sendang.

"Jadi..." Lintang keluar dari bilik sendang sambil merapikan pakaiannya. Dan pemuda itu tercekat, manakala melihat benda yang berada di tangan Wulan. "Hey, kau juga dapat?"

"Ya," Wulan mengangkat dan menunjukkan sebuah kendi yang berada dalam genggaman tangannya. Kendi yang juga sama dengan kendi yang ditemukan oleh Lintang.

"Baguslah kalau begitu," ujar Lintang sambil mendekat ke arah Wulan. "Tapi kenapa dua? Seingatku, kendi yang ditemukan oleh bapakmu di dalam galian sumur itu cuma satu?"

"Entahlah!" Wulan mengangkat bahunya, tanda bahwa ia juga tak mengerti. "Mungkin nanti Bu Ratih bisa menjelaskan."

"Bu Ratih ya?" Lintang menatap jauh ke selatan dengan mata menerawang, seolah berusaha melihat desa Kedhung Jati yang jelas tak akan bisa terlihat dari lereng gunung ini. "Apa itu berarti sudah waktunya kita pulang?"

"Ya. Sepertinya begitu, tapi...." Wulan menengadah, menatap matahari pagi yang mulai mengintip dari punggung bukit di bagian timur sana.

"Tapi apa?" tanya Lintang.

"Tapi bagaimana cara kita pulang?"

"Bagaimana? Tentu dengan cara yang sama seperti saat kita datang kesini kemarin kan?"

"Kau lupa kalau semua kemampuan kita telah diambil oleh kakek itu?"

"Tunggu, apa itu berarti...., jangan bilang kalau kemampuanmu belum kembali setelah kita semedi semalaman Lan!"

"Yang kurasakan seperti itu. Kau lihat sendiri kan?" Wulan menunjukkan leher putih jenjangnya itu kepada Lintang. Rajah aneh yang dulu dibuat oleh Bu Ratih di leher itu, memang sudah hilang, seiring dengan hilangnya kekuatan Wulan yang semalam disedot oleh si kakek misterius itu. "Tadi, sebelum kau keluar dari bilik sendang, aku sudah mencoba menerapkan semua kemampuan yang selama ini telah kumiliki, tapi hasilnya nol Mbul! Aku sekarang sudah menjadi manusia normal seperti orang kebanyakan."

"Ini aneh," gumam Lintang sambil meletakkan kendi yang dibawanya diatas tanah. "Aku justru merasa kalau semua kemampuanku telah kembali, bahkan bertambah berkali kali lipat. Coba kau lihat ini," Lintang mengibaskan sebelah tangannya ke depan. Pelan saja, seolah tanpa menggunakan tenaga sama sekali. Tapi kibasan tangan yang lemah itu ternyata mampu menghasilkan sebuah serangan yang luar biasa hebat. Sebentuk angin berhawa dingin berkesiur seiring dengan kibasan tangan Lintang, lalu menerpa sebuah batu besar yang berada tak jauh dari tempat mereka berdiri.

"Whuusss...!!!"

"Blaammmm...!!!"

Batu sebesar perut kerbau itu terpental hingga beberapa tombak, lalu jatuh menggelinding memporak porandakan semak belukar yang dilandanya.

"Kau lihat itu?" Lintang menoleh ke arah Wulan yang masih mengikuti gerak menggelinding batu itu dengan ekor matanya. "Aku bahkan nyaris tak menggunakan tenaga, tapi batu sebesar itu bisa kupindahkan dengan sangat mudahnya."

"Pamer!" dengus Wulan kesal.

"Haha, bukan pamer Lan, tapi aku cuma ingin menunjukkan kalau kekuatanku telah kembali dan bertambah. Aneh kalau ternyata kekuatanmu justru..."

"Jangan meledekku Mbul!" sungut Wulan.

"Iya iya, maaf, tapi,sungguh Lan. Aku masih belum percaya kalau kekuatanmu belum kembali. Coba kau terapkan lagi, siapa tau...."

"Mbul! Sudah kubilang kalau tadi aku sudah beberapa kali mencobanya! Kenapa kau masih saja...."

"Eh, iya, maaf," Lintang buru buru meralat ucapannya, karena menyadari kalau nada suara Wulan mulai meninggi. "Kalau begitu, sini, duduk sini dulu, kita ngobrol ngobrol sebentar."

"Ngobrol?!" Wulan mendelik ke arah Lintang.

"Emmm, maksudku, kita bicara dulu, siapa tau bisa menemukan solusi untuk mengembalikan kemampuanmu."

"Ah, ini menyebalkan!" kembali Wulan merungut. Namun mau tak mau gadis itu akhirnya ikut duduk juga disamping Lintang yang sudah terlebih dahulu mengelesot diatas hamparan rerumputan yang masih basah oleh embun itu.

"Coba kau lihat kesana Lan," Lintang menunjuk ke kejauhan, tepat ke arah selatan.

"Lihat apaan?" mata Wulan menerawang mengikuti arah telunjuk Lintang.

"Jauh disana, itu tempat desa kita berada."

"Nggak kelihatan dari sini dodol!"

"Iya. Aku tau," Lintang tersenyum. "Memang desa kita nggak kelihatan dari sini. Tapi aku tau persis, disana, di desa kita, saat ini puluhan atau bahkan mungkin ratusan warga sedang menggantungkan nasib mereka kepada kita."

"Dan kita justru asyik berpacaran berdua disini?" Wulan terkekeh. "Ini konyol sekali Mbul!"

"Kau yang konyol! Siapa juga yang niat pacaran sama..."

"Hmmm...?" Wulan menatap wajah Lintang lekat lekat, membuat Lintang jadi salah tingkah.

"Maksudku...," Lintang buru buru kembali mengalihkan pandangannya ke selatan, dan menghindari tatapan Wulan yang sedikit aneh itu. "Mereka sudah berharap banyak kepada kita. Tapi dengan hilangnya kekuatanmu, harapan mereka sepertinya akan sia sia. Dan nasib mereka...."

"Jangan membuatku merasa bersalah Mbul! Kekuatanku hilang itu bukan atas kemauanku! Ya meskipun aku merasa senang karena kini aku telah menjadi manusia normal seperti orang orang kebanyakan, tapi membayangkan nasib warga desa yang...."

"Bagaimana selama ini kamu menerapkan semua ilmu ilmu yang kau miliki Lan?"

"Eh...???"

"Ya, bagaimana caramu mengeluarkan...."

"Entahlah," Wulan mendesah. "Aku sendiri tak paham Mbul. Semuanya keluar begitu saja saat aku sedang merasa kesal atau marah."

"Jadi kau tak bisa mengeluarkannya dengan sengaja?"

"Ya. Kira kira seperti itu."

"Hmmm, aku tau sekarang! Dan mungkin aku punya solusi untuk mengembalikan kemampuanmu Lan."

"Bagaimana caranya?"

"Yach, intinya sih, kita ini sama Lan. Kita sama sama memiliki kemampuan yang kita dapatkan semenjak kita dilahirkan dulu. Tapi bedanya, selama ini aku telah berusaha mengasah dan mengontrol kemampuan yang kumiliki, dengan mengikuti berbagai pelatihan olah pernafasan dan bela diri. Sedangkan kamu, kamu hanya membiarkan kemampuanmu itu berkembang dengan sendirinya di dalam tubuhmu, hingga tanpa sadar, selama ini bukan kau yang mengontrol kekuatan yang kau miliki, tapu justru kekuatan itu yang mengontrol dirimu."

"Aku masih belum mengerti," gumam Wulan.

"Intinya, masih ada harapan!" Lintang bangkit dari duduknya. "Aku merasa, kekuatanmu sebenarnya telah kembali, tapi kamunya saja yang belum bisa menyadarinya. Semedi yang kita lakukan semalam, kini aku tau apa tujuannya Lan. Ayo! Bangkitlah! Biar kuajarkan caranya mengontrol dan menguasai kekuatan terpendam yang berada di dalam tubuhmu itu!"

"Jangan ngaco Mbul! Kau..."

"Kau percaya padaku kan Lan? Selama ini, hanya aku satu satunya orang yang bisa memahamimu. Demikian juga saat ini, hanya aku yang benar benar bisa memahami apa yang sebenarnya telah terjadi padamu. Jadi, percayalah! Akulah yang akan menjadi dewa penyelamatmu saat ini!"

"Konyol!" Wulan mendengus. Namun lagi lagi ia tak kuasa menolak ucapan Lintang. Semua yang dikatakan oleh pemuda itu, Wulan sadar kalau itu adalah suatu kebenaran. Hanya Lintang satu satunya orang yang bisa ia harapkan kini. Meski sebenarnya ia tak ingin semua kekuatan terkutuk yang selama ini bersarang di tubuhnya itu kembali, tapi demi warga desa, ia tak punya pilihan lain.

Maka, pelan pelan gadis itupun bangkit, lalu berdiri berhadap hadapan dengan Lintang. "Baiklah! Aku siap Mbul!"

BERSAMBUNG

*****
Selanjutnya

*****
Sebelumnya
close