Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

SUMUR PATI (Part 33) - Penyucian Diri


JEJAKMISTERI - Senja kian merambat. Mentari di ufuk barat, pelan namun pasti mulai beranjak pulang ke peraduannya. Gelappun mulai menyelimuti area di sekitar sendang kembar itu. Wulan dan Lintang yang telah tenggelam dalam henengdan heningnya semedi mereka, tak merasakan lagi perubahan suasana alam di sekitar mereka.

Sementara dari balik semak semak tak jauh dari kedua sendang itu, sosok bermata merah yang sejak tadi mengintai mereka, mulai menggeleser keluar dari tempat persembunyiannya. Nampak jelas kini wujud dari sosok itu. Dua ekor ular besar sebesar bonggol pohon kelapa dengan sisik keemasan yang berkilauan tertimpa sinar rembulan yang mulai menggantikan tugas sang mentari menerangi bumi.

Kedua sosok itu mendesis desis sambil sesekali menjulur julurkan lidah bercabangnya, merayap pelan menuju ke arah sendang, dengan kedua mata mereka yang terus menatap ke arah Wulan dan Lintang secara bergantian.

"Mereka berdua anak keturunanku!" sebuah suara menghentikan gerakan kedua ular raksasa itu. Kepala keduanya mendongak dan menoleh kesana kemari, mencari si pemilik suara.

"Ssssssshhhhh...!!!" kedua ular itu mendesis keras, manakala mendapati sesosok laki laki tua bertubuh cebol telah berdiri tak jauh dari tempatnya. Kesua ular itu lalu kembali menurunkan kepalanya, lalu melingkarkan tubuhnya sedemikian rupa, hingga menyerupai lingkaran obat nyamuk bakar berukuran besar. Samar cahaya kuning keemasan terpancar dari kedua sosok ular itu, semakin lama semakin terang, berpendar menyilaukan mata, menyelimuti sekujur tubuh keduanya yang melingkar hingga sulit untuk dilihat oleh mata telanjang. Dan saat cahaya itu padam, kedua sosok ular raksasa bersisik emas itu telah lenyap, digantikan oleh sesosok lelaki tampan dan perempuan jelita berpakaian layaknya seorang pangeran dan putri dari kerajaan masa silam.

"Jadi kau yang menyuruh mereka untuk menyepi di istanaku?" sosok lelaki tampan itu mendekat ke arah si laki laki tua cebol.

"Ya!" si laki laki tua cebol menjawab singkat.

"Dengan tujuan apa?" si perempuan jelita ikut mendekat.

"Aku ingin kalian menyucikan mereka!"

"Menyucikan?!" si lelaki tampan melengak. "Menyucikan dari apa?"

"Dari kesalahan masa lampau yang pernah kulakukan kepada mereka! Terutama kepada si anak perempuan itu!"

"Kesalahan yang seperti apa?!"

"Dulu, aku sempat menitipkan sebagian kekuatanku kepada anak perempuan itu, tanpa memikirkan akibat buruk yang akan menimpanya!"

"Akibat buruk?"

"Ya! Kau tau kan, sebagian ilmu yang kumiliki adalah dari golongan hitam. Ilmu yang kudapat dari para iblis penghuni gunung ini. Dan kau juga pasti tau, semua ilmu hitam, memiliki pengaruh buruk yang akan mempengaruhi sikap dan perilaku penggunanya. Aku mau kau menghilangkan pengaruh itu, tanpa harus menghilangkan ilmu yang ada dalam tubuh mereka."

"Kau gila kakek tua!" lelaki tampan itu menukas. "Kau menyuruh kami menyucikan mereka, sementara di dalam tubuh mereka masih bersemayam ilmu warisan leluhur penghuni gunung ini? Itu sama saja kau mau membunuh kami berdua!"

"Jangan khawatir!" si kakek tua cebol menyela. "Sebagian besar ilmu di dalam tubuh mereka, untuk sementara telah kucabut. Tinggal sebagian kecil yang tersisa, yang tentunya tidak akan berbahaya untukmu. Nanti begitu kalian telah berhasil menyucikan mereka, baru aku akan mengembalikan ilmu ilmu itu."

"Hmmm, seperti itu ya," si laki laki tampan bergumam. "Apa yang akan kudapat kalau aku berhasil menyucikan mereka?"

"Akan kubiarkan kepala kalian tetap menempel di tubuhmu!"

"Hehehe! Kau mengancam kami kakek tua?"

"Bukan mengancam! Tapi kalau kalian gagal, aku tak yakin kalau besok pagi kalian masih bisa merasakan hangatnya sinar mentari!"

"Hahaha! Baiklah! Demi kau sahabatku! Akan kami lakukan tugas ini! Tapi yang namanya ingin meraih sebuah kesempurnaan, dibutuhkan ujian dan perjuangan! Jadi, sebelum kami menyucikan mereka, ijinkan kami untuk menguji mereka terlebih dahulu!"

"Itu terserah kamu! Tapi waktu mereka tak banyak! Hanya sampai saat matahari terbit besok pagi, karena ada banyak nyawa yang mesti mereka selamatkan besok hari."

"Baiklah! Kami mengerti! Akan segera kami lakukan tugas itu sekarang!" sosok lelaki tampan dan perempuan jelita itu lalu kembali berubah wujud menjadi sosok ular bersisik emas yang kini ukurannya lebih kecil, hanya sebesar betis orang dewasa. Kedua ular itu lalu dengan cepat menggeleser masuk kedalam sendang, lalu berenang mengitari tubuh Lintang dan Wulan yang tengah duduk bersila di sendang lanang.

Lintang masih teguh dengan semedinya, membuat ular itu semakin berani. Mendekat dan merayap di tubuh Lintang yang telanjang tanpa tertutup sehelai benangpun, lalu menjelajahi setiap lekuk tubuh Lintang dengan tubuh panjang bersisiknya. Tak hanya itu, makhluk itu juga sesekali menjilati bagian bagian tertentu dari tubuh Lintang dengan lidah panjang bercabangnya.

Namun Lintang tetap teguh dengan semedinya, tak memperdulikan godaan godaan yang dilancarkan oleh sosok ular bersisik emas itu. Demikian juga di sendang wadon, Wulan yang tengah hening dalam semedinya, juga mengalami godaan yang sama. Tubuh gadis yang juga telanjang bulat itu dijelajahi oleh sosok si ular dengan tubuh panjang bersisiknya, sambil sesekali dijilati dengan menggunakan lidah panjang bercabangnya.

Dan sama dengan Lintang, Wulanpun tak terpengaruh dengan segala godaan itu. Ia tetap teguh mempertahankan posisi semedinya, membuat si ular lalu berenang keluar dari sendang itu.

Godaan dan ujian dari si ular sepertinya tak berhenti sampai disitu. Begitu keluar dari sendang, mereka lalu merubah wujudnya menjadi sesosok kepala tanpa badan. Dengan wajah yang menyeramkan dan organ dalam yang menggelantung berayun ayun, sosok itu lalu terbang melayang, mengitari kepala Wulan dan Lintang secara bergantian sambil tertawa mengikik bersahut sahutan. Sangat menyeramkan.

Namun lagi lagi Wulan dan Lintang tak terpengaruh oleh godaan godaan dari makhluk itu. Sosok sosok kepala buntung itu lalu melesat terbang menjauh dari sendang itu, digantikan oleh sosok nenek tua berambut gimbal dengan sepasang payudara besar yang menggelantung nyaris menyentuh tanah.

Sosok nenek itu lalu menari nari mengelilingi Wulan dan Lintang secara bergantian, sambil tertawa tawa dan memamerkan payudara besarnya yang tak tertutup oleh sehelai benangpun itu. Sesekali sosok nenek itu bahkan menyentuh nyentuhkan 'barang menjijikkannya' itu di wajah Wulan dan Lintang secara bergantian. Namun usaha dari si nenek itu juga sepertinya tak membuahkan hasil. Wulan dan Lintang tetap kukuh dengan tekad mereka.

Sosok nenek itupun menghilang, digantikan dengan kemunculan seorang kakek tua yang berjalan tertatih tatih dengan tongkat kayu yang menyangga tubuhnya. Sosok Pak Dul Modin, yang mendekat ke arah Wulan dan Lintang sambil merintih dan mengiba dengan suara yang sangat memilukan.

"Wulaaaaannn...!!! Lintaaaannnggg...!!! Tolong aku! Aku tersesat! Jiwaku terkurung di gunung ini! Tolong bebaskan aku! Bantu aku untuk menemukan jalanku ke tempat seharusnya aku berada! Aku tersiksa disini Wulaaannn...!!! Lintaanngggg...!!!"

Suara itu terdengar sangat menyayat hati, menelusup ke relung hati Wulan dan Lintang, membuat kedua remaja itu ragu untuk sejenak. Benarkah yang datang ini adalah arwah Pak Dul Modin? Kenapa bisa sampai tersesat di gunung ini? Apa karena ilmu yang dulu juga didapat dari Mbah Kendhil?

"Kenapa kalian hanya diam saja? Tidakkah kalian merasa kasihan kepada orang tua yang malang ini? Dulu, aku yang selalu membimbing dan mengajari kalian hingga bisa seperti sekarang ini, dan sekarang saat aku menderita seperti ini, kalian hanya diam saja tak mau membantu? Anak anak macam apa kalian ini, yang sama sekali tak tau membalas budi! Percuma aku dulu membimbing kalian, kalau akhirnya sekarang kalian menjadi seperti ini! Anak anak tak tau diuntung! Anak anak tak tau berterimakasih! Hiks...!!! Hiks...!!! Hiks...!!!" sosok renta menyerupai Pak Dul Modin itu menangis sesenggukan sambil berjalan tertatih menjauh dari sendang.

Lintang dan Wulan kembali tenggelam dalam keheningan semedi mereka. Keduanya sadar, sosok itu hanyalah sosok yang berusaha menggoda mereka. Pak Dul Modin, beliau orang baik. Tak mungkin arwahnya sampai penasaran dan bergentayangan di gunung ini. Apalagi sampai mengungkit ungkit segala kebaikan yang dulu pernah ia lakukan kepada mereka. Itu jelas bukan sifat Pak Dul Modin.

Sosok kakek renta menyerupai Pak Dul Modin itupun lalu menghilang dalam kegelapan, digantikan oleh sosok sosok aneh yang datang silih berganti untuk menggoda mereka. Namun dari sekian banyak sosok astral yang berusaha menggagalkan ssmedi Wulan dan Lintang, tak satupun yang berhasil menggoyahkan tekat kedua anak itu.

Hingga saat pagi menjelang, muncul dua sosok perempuan yang mendekat ke arah sendang sambil menenteng gayung kecil yang terbuat dari batok kelapa dan bungkusan daun jati yang entah apa isinya. Semakin dekat kedua sosok itu, maka semakin jelas juga wujud mereka.

"Emak?!" tanpa sadar Wulan dan Lintang berseru dalam hati. Bagaimana bisa Mbak Patmi dan Mbak Romlah bisa sampai di gunung ini? Ini jelas hanya sebuah ujian. Wulan dan Lintangpun semakin memperteguh niat semedi mereka.

"Wulan putriku! Lintang putraku! Sudah cukup semedi kalian malam ini! Hari hampir pagi Nak! Sudah saatnya kalian kembali ke desa untuk menuntaskan semua tugas kalian. Namun sebelum itu, ijinkan kami untuk menyucikan jiwa dan raga kalian! Membuang segala sukerta yang masih menempel didalam jiwa dan raga kalian dengan air suci dari sendang ini!"

Kedua perempuan itu lalu membuka bungkusan daun jati yang mereka bawa, lalu menaburkan isinya kedalam sendang. Kembang setaman! Yang segera menyebar memenuhi hampir semua permukaan kedua sendang itu. Kedua sosok yang menyerupai Mbak Patmi dan Mbak Romlah itu lalu pelan pelan ikut masuk kedalam sendang, menciduk air sendang yang telah dipenuhi oleh taburan kembang setaman dengan gayung batok kelapa yang mereka bawa, lalu mengguyurkannya keatas kepala Wulan dan Lintang.

Kidung tolak bala disenandungkan dengan suara lirih yang mendayu dayu oleh kedua sosok perempuan itu, sambil terus mengguyur kepala Wulan dan Lintang dengan air sendang yang telah ditaburi dengan kembang setaman.

Pelan namun pasti, hawa sejuk yang sangat menenangkan jiwa dirasakan oleh Wulan dan Lintang, merasuk kedalam tubuh mereka, menjalar disetiap sendi dan urat nadi di tubuh mereka, merambat dan berkumpul di bagian ulu hati mereka, bersamaan dengan sinar rembulan yang tiba tiba terbagi menjadi dua bagian dan berkumpul menyinari bagian kepala Wulan dan Lintang.

Kesiur angin sepoi nan sejuk menyapa kedua wajah pemuda pemudi itu, meningkahi alunan kidung yang terus ditembangkan oleh kedua sosok perempuan itu, mendatangkan rasa kantuk yang begitu melenakan jiwa Wulan dan Lintang, membuat keduanya nyaris saja terlelap kalau saja tidak tiba tiba mereka dikejutkan oleh suara serak menggelegar yang mengejutkan mereka, yang disusul dengan jatuhnya sebuah benda di hadapan mereka.

"BANGUN!!! SUDAHI SEMEDI KALIAN!!! SUDAH SAATNYA BAGI KALIAN UNTUK MENGAKHIRI PAGEBLUG YANG MELANDA DESA KALIAN!!!"

"BYUUUUURRRR....!!!"

BERSAMBUNG

*****
Selanjutnya

*****
Sebelumnya
close