HARIMAU SUMATERA HEWAN BERADAT (Part 6)
Usai salat magrib, nenek Kam dan Bapakku bincang-bincang di beranda rumah. Seperti biasa, secangkir kopi dan kotak sirih ada di sampingnya. Sesekali aku mendengar obrolan mereka seputar dusun, kebun, sawah, dan keluhan-keluhan masyarakat dusun yang resah karena sapi dan kerbau penduduk sengaja diliarkan dan kerapkali merusak ladang, kebun dan sawah.
Kerbau dan sapi milik warga itu tidak sedikit. Pernah satu hektar sawah warga hancur tak berbentuk. Padahal padi mereka tengah bekudung. Padi-padi yang baru hendak berbuah itu menyatu dengan tanah belicak, pelang sawah yang dengan susah dibentuk pun rata jadi satu. Dari jauh sawah yang semula hijau berpelang-pelang berubah menjadi kubangan kerbau. Padahal usia padi sudah dua bulan. Bayangkan gagal panen akibat kerbau penduduk yang diliarkan.
Herannya ketika dikonfirmasi pada pemilik kerbau yang punya malah marah dan mengatakan yang merusak itu kan hewan, binatang tidak berakal. Maka manusialah yang harus cerdas. Agar tidak dimasuki hewan sebaiknya sawah dan kebun itu dipagar rapat sekeliling. Jangankan kerbau, babi hutan pun tidak akan masuk. Lalu siapa yang bisa memastikan jika kerbau yang masuk ke sawah warga itu milik saya? Jika kerbau-kerbau itu milik saya, kalian mau apa? Minta ganti? Bukankah kerbau yang berkeliaran di ataghan kita ini jumlahnya ratusan? Jangan asal nuduh. Itu jawaban salah satu pemilik kerbau terbanyak di dusun kita. Tutur Nenek Kam.
Bahkan ada salah satu mereka sengaja keliling masuk-masuk ke kebun-kebun dan ladang orang, guna menelusuri perjalanan kerbau-kerbaunya. Kadang-kadang sengaja diputuskannya pagar kawat pebatas di kebun-kebun itu memberi jalan agar kerbaunya bisa masuk. Akibatnya kerbau-kerbau itu tidur di kebun-kebun orang maka pohon-pohon kopi itu akan roboh dan rusak akibat kerabau-kerbau itu menggesek-gesekan tubuhnya yang besar. Bayangkan saja pohon kopi yang baru berbunga maupun yang berbuah rusak semuanya. Tak sedikit masyarakat mengeluh karena ternak-ternak liar itu.
Aku mendengar Bapak berdecak-decak sembari menggeleng-geleng menyebut nama seseorang yang menurut nenek Kam diam-diam suka merusak pagar-pagar kebun penduduk lalu menggiring kerbau-kerbaunya masuk ke kebun orang. Dia buat seolah-olah kerbaulah yang merusak pagar. Padahal isi kampeknya ada tang, gunting, martil, gergaji dan gerahang besar di pingang. Demi mendengar itu aku yang menyimak obrolona mereka ikutan geram dalam hati. Jahat sekali wak Tupai itu. Tupai itu julukan yang kami berikan karena kelicikannya.
“Nek, kenapa tidak Nenek lepaskan nenek gunung untuk menyerang dan memakan kerbau-kerbau milik wak Tupai itu?” Timpalku seakan menantang nenek Kam. Nenek Kam tertawa sambil mengamit aku dengan ujung kakinya.
“Kamu ini tahu saja, baru saja nenek hendak bercerita tentang hal ini, kamu dah nyamber duluan” Jawabnya. Aku merapat duduk dekat nenek Kam.
“Suatu malam, turunlah tujuh ekor nenek gunung dari rimba ulu Bukit Selepah. Mereka sengaja nenek panggil. Karena sudah terlalu banyak warga yang mengeluh dan tidak ada penyelesaian bahkan si empunya kerbau menantang siapa saja yang datang minta ganti rugi padanya atau mengganggu kerbau-kerbaunya maka akan berhadapan dengan parangnya. Dia tantang warga dusun. Padahal tahu sendiri meski dusun-dusun kita luas namun tiap dusun penghuninya bisa dihitung dengan jari. Yang membuat nenek miris yang ditantang rata-rata masih ada hubungan saudara dengannya. Bukan orang lain. Akhirnya, Nenek tidak bisa tinggal diam. Ini harus diselesaikan.
Suatu malam nenek turun tangan. Nenek pimpin pasukan nenek gunung itu mulai dari hilir dusun. Alhasil, malam itu dua ekor kerbau menjadi santapan nenek gunung. Satu diantaranya adalah kerbau yang paling besar pemimpinan rombongan milik wak Tupai.
Keesokan hari penduduk gempar. Pasalnya ketika mereka hendak ke kebun mendapati banyak sekali jejak kaki nenek gunung. Ada yang mengurungkan niatnya untuk pergi ke kebun, sawah dan ladang mereka. Terutama yang berkebun jauh masuk ke rimba. Di pancuran, para emak membicarakan hal yang sama.
Matinya kerbau si anu menjadi gossip yang paling manis menyebar hingga ke dusun tetangga. Yang lebih menyeramkan adalah penyebab kematiaan hewan itu milik si anu karena dipajoh nenek gunung” Nenek Kam tertawa kecil sambil menumbuk sirih.
“Tapi setahu saya tidak hanya dua kerbau yang mati malam itu?” Ujar Bapakku.
“Iya, benar sekali. Malam yang sama di padangan ulu dusun Tebat Langsat juga ada satu ekor kerbau yang mati dimakan nenek gunung. Tapi itu dari nenek gunung kelompok lain. Bukan yang saya pimpin” Ujar nenek Kam santai.
“Tapi yang memerintahkan mereka memburu kerbau-kerbau itu tetap Nenek kan?” Ujarku kagum.
“Iyalah, sebelum mereka memburu kerbau-kerbau itu, mereka minta izin terlebih dahulu dengan nenek.” Sambung nenek Kam lagi. Selanjutnya aku kembali menyimak penuturannya. Malam ini aku membayangkan nenek Kam seperti pendekar dalam buku komik silat yang pernah kubaca. Terbayang nenek Kam berdiri sambil mengerahkan tujuh ekor nenek gunung menyerang kerbau ganas di padangan. Yang note bene binatang itu pasti akan berjuang mati-matian untuk melawan penyerangnya dengan tanduknya yang besar, runcing, dan tajam.
Tapi penyerangan malam hari, suasana hutan dan padang ilalang dalam keadaan gelap tanpa ada pencahayaan sama sekali. Jelas kerbau-kerbau itu kalah. Mereka hanya akan mengandalkan insting dan penciumannya saja.
“Dua malam berikutnya, Nenek panggil lagi kawan-kawan nenek itu. Kali ini jumlah mereka lebih dari sepuluh. Nenek bagi tiga kelompok. Namun nenek tetap berpesan agar mereka tetap waspada. Meski saat ini belum terdengar kalau penduduk dusun ada yang memiliki senjata api tapi bisa jadi ada saja penduduk memiliki senampan warisan Belanda itu lalu menembaki para nenek gunung. Ini ancaman bagi para nenek-nenek gunung. Bisa dibayangkan jika mereka ada yang mati atau terluka, nenek gunung-nenek gunung itu akan mengamuk. Aku tidak akan mampu menghambat kemarahan mereka kalau banyak jumlahnya. Mereka akan menyerang manusia untuk balas dendam” Ujar nenek Kam lagi.
“Tapi kan nenek yang nyuruh mereka. Kalau mereka tertangkap atau terluka maka neneklah yang bertanggujawab.” Ujarku.
“Untung para empunya ternak itu tidak ada yang berani melukai para nenek gunung. Dan tidak ada satu pun di antara mereka yang berani menemui nenek. Padahal sedikit banyak mereka tahu kalau nenek ikut andil atas kematian ternak-ternak mereka” Ujar nenek lagi.
“Paling juga nenek suruh para nenek gunung menghadapi mereka kalau mereka macam-macam” Sambung Bapakku.
“Lalu sejak malam itu bagaimana, Nek? Ada berapa ekor lagi kerbau yang mati?” Sambungku.
“Ada empat ekor kerbau dan satu ekor sapi yang tewas di tempat yang berbeda malam itu juga. Penduduk makin gempar. Rasa cemas dan was-was rata-rata menghantui mereka. Nenek biarkan kondisi itu. Nenek hanya ingin memberi pelajaran pada para penduduk agar jangan semena-mena. Toh hingga saat ini belum ada manusia yang diterkam harimau lagi kecuali orang dusun ulu beberapa tahun lalu. Itu pun karena beliau membunuh anak nenek gunung.” Tutur nenek Kam kembali.
Akhirnya, setelah peristiwa banyak ternak yang mati dimakan nenek gunung itu, lima dusun di ulu Endikat itu menjadi waspada. Mereka heran, biasanya dusun aman-aman saja. Tidak pernah sampai didekati makhluk rimba itu. Apalagi masuk ke dalam kebun-kebun yang rata-rata ada pondok pemiliknya, dan bermalam di sana” Lanjut nenek Kam lagi. Aku tak bisa bayangkan bagaimana rasa ketakutan penduduk siang malam merasa diri mereka terancam.
Bagaimanapun nenek gunung tetap dianggap hewan yang menyeramkan.
“Akhirnya, jurai tue menemui nenek juga untuk bertanya dan sekaligus mohon bantuan untuk menjinakkan para nenek gunung agar tidak memakan ternak mereka. Apalagi berkeliaran tidak jauh dari pemukiman warga, mereka takut. Kemudian ke dua, beliau bertanya apakah ada kesalahan yang dilakukan penduduk dusun, sehingga nenek gunung itu menyerang ternak-ternak manusia?” Ujar Wak Iram sebagai jurai tue.
“Kesalahan yang paling besar adalah para pemilik hewan ternak itu. Harusnya kerbau dan sapi itu dipadangkan di tempat yang sudah ditentukan. Bukan di suruh liar masuk ke sawah dan kebun penduduk. Kebun dan sawah warga rusak parah dan membuat mereka gagal panen. Sementara yang punya ternak enggan bertanggung jawab. Malah sebaliknya mengancam hendak membunuh penduduk yang berani protes atau menyakiti ternak mereka. Bahkan yang punya ternak-ternak ini sengaja merusak pagar kebun, ladang dan sawah penduduk. Dimana otak mereka?
Saya harap kamu jurai tue harus tegas. Sampaikan dengan mereka dan siapa pun yang punya ternak, jangn biarkan ternak-ternak mereka liar. Jika merusak lahan penduduk maka wajib ganti kerugian mereka. Selanjutnya siapapun pemilik ternak itu jika merusak kebun dan sawah warga maka mereka wajib ganti rugi. Bagaimana mereka mau makan jika sumber mata pencahrian mereka dirusak?” Ujar nenek Kam ketika itu.
“Suruh si anu..si anu…si anu menghadap saya. Biar saya ajarkan bagaimana cara memiliki dan beternak yang baik. Sampaikan pula dengan mereka, sayalah yang telah menyuruh nenek gunung-nenek gunung itu turun dan memangsa ternak mereka. Dan saya tidak akan berhenti memerintahkan nenek gunung-nenek gunung itu kalau ternak-ternak mereka masih dibiarkan berkeliaran dan merusak kebun, sawah, ladang penduduk.
Sampaikan juga dengan si Tupai dan kawan-kawannya itu, saya akan hadapi kuduk , geraham, bedil mereka. Jika mereka berani menantang dan menakut-nakuti penduduk lagi maka hadapi saya. Dan jika mereka tidak terima karena ternaknya di mangsa nenek gunung, suruh mereka temui saya secepatnya. Jangan sesumbar hendak membunuh dan mengajak duel penduduk untuk bertarung adu kekuatan kuntau dan lainya. Sampaikan pada mereka, Relingin yang menantang mereka untuk bertarung di tengah dusun. Saya akan sumpal mulut mereka agar tidak sesumbar lagi” Ujar nenek Kam ketika itu.
Akhirnya Wak Badil sebagai jurai tue mohon diri. Sebelumnya ada kesepakatan jika kerbau-kerbau itu masih dibiarkan berkeliaran merusak kebun penduduk maka jangan salahkan jika nenek gunung akan turun kembali dengan pasukan melebih dari yang sudah turun malam kemarin. Ujar Nenek Kam sedikit mengancam. Sebagai orang yang dituakan, akhirnya Wak Badil memahami apa yang dimaksud nenek Kam. Beliau minta maaf dan siap menjadi perantara kepada pemilik ternak tersebut. Akhirnya dibantu penduduk dusun, mereka bergotong-royong menggiring sapi maupun kerbau milik beberapa warga tersebut masuk wilayah padangan yang telah disediakan. Hingga sekarang, si pemilik ternak tidak pernah berani menemui nenek Kam. Sejak itu, kebun dan warga kembali aman dari kerusakan, dan nenek gunung kembali ke alam liar mereka, yaitu rimba-rimba sepanjang bukit.
Demi mendengar cerita itu, aku tepuk tangan gembira. Bagiku nenek Kam memang pahlawan. Perempuan tua ini ternyata tidak hanya memiliki kemampuan yang tidak dimiliki oleh orang pada umumnya namun hatinya seperti emas. Beliau paham betul kesulitan yang dialami penduduk dusun pada umumnya. Insting keperempuanannya, kepekaannya dan keberaniannya, patut mendapat acungan jempol.
“Nenek memang hebat! Nenek pahlawan!” Ujarku sembari memeluknya. Rasa kagumku kulampiaskan dengan memeluknya erat-erat lalu menciumnya berulang kali. Nenek Kam pun membalas ciumanku dan pelukanku. Dari lantai satu, ibu memanggil-manggil untuk mengajak seisi rumah santap malam bersama. Aku segera membimbing nenek Kam untuk segera turun. Kali ini aku benar-benar melihat langkah nenek Kam turun tangga satu-satu. Nenek Kam tersenyum melihat tingkahku yang mengamatinya dari atas hingga bawah. Sekedar untuk memastikan jika yang berjalan ini adalah nenek Kam bukan Relingin manusia harimau.
Bersambung…