Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

HARIMAU SUMATERA HEWAN BERADAT (Part 22)


Beberapa kali aku melompat dari batu satu ke batu lainnya yang menonjol di jalan setapak yang lembab. Sesekali aku terpaksa menunduk menghindarkan dahan kayu yang menguntai menutupi jalan. Ternyata untuk sampai ke sungai Endikat masih cukup jauh. Suara gemuruhnya saja yang menderu seolah-olah sudah di depan hidung.

Semakin mendekati sungai,  deru air dan batu yang beradu  lama-lama iramanya seperti musik memenuhi lembah. Kadang gemericik, kadang mendesah, kadang berdentam-dentum seperti suara dram tiada henti.

Angin yang berhembus dari hulu membawa lembab air  terasa dingin menerpa wajah.   Rambutku yang tergerai sedikit meriap meski masih masih basah. Dari sela-sela daun, batu-batu besar yang menonjol di sisi sungai, dan air yang berwarna perak sudah mulai tampak seakan memanggil-manggil. Meski terhalang dengan rumpun bambu dan perdu liar, justru menghadirkan pemandangan sangat indah.

Aku melihat pohon-pohon bambu itu seperti tirai alam yang justru mempercantik pemandangan dari jauh. Semuanya tampak asri. Kuhirup udara dalam-dalam. Kubiarkan memenuhi ruang dada. Dadaku terasa sangat lapang. Kaki yang sebelumnya terasa penat hilang sama sekali.

Aku kembali berlari. Nyaris aku tergelincir ketika kakiku tersandung akar kopi yang menjalar hingga ke jalan. Untung ada yang menangkap tubuhku. Kalau tidak aku sudah masuk ke dalam jurang sisi kiri jalan.

“Hati-hati, Cung. Di jalan setapak ini banyak sekali akar pohon yang melintang di jalan. Sudah banyak orang terjerembab karenanya. Sayang belum ada kesadaran, manusia untuk menyingkirkan akar-akar ini agar tidak mengait kaki” Ujar sosok berupa nenek gunung. Dialah yang telah menangkap tubuhku ketika aku merasakan  seolah-olah ada yang mendorongku dan aku nyaris masuk jurang.

“Terimakasih Kek. Kalau tidak kekek sambar tubuhku, mungkin aku sudah terkapar di jurang itu” Ujarku kaget. 

Aku menyalami dan mencium punggung tangannya. Melihat sosoknya yang gagah, aku mengira-ngira usia nenek gunung satu ini. Nampaknya belum terlalu tua. Dia mengibas-ngibaskan bulunya yang basah di hadapanku. Beberapa kali menyiprat ke wajah dan masuk mata.

“Kakek siapa dan dari mana?” Tanyaku.

Melihat pembawaanya yang cuek membuatku penasaran. Nenek gunung satu ini tidak mau bertatapan mata. Jauh beda dengan kakek Bujang Kuning dan kakek Andun yang pernah kutemui sebelumnya. Mereka berwajah lembut, ramah dan penyanyang. Sedangkan yang satu ini tidak terlalu antusias untuk berkenalan atau ingin tahu banyak tentangku. Mau dibilang sombong juga tidak. Kalau beliau ini sombong tidak mungkin dia berkenan menolongku seperti tadi.

“Kek, asal kakek dari mana. Nama kakek siapa?”  Tanyaku berulang.

“Di sinilah” Jawabnya singkat tanpa mempedulikan pertanyaan keduaku. Aku mulai berpikir bagaimana cara menghadapi orang tua satu ini. Nampaknya dia nenek gunung yang tak pandai basa-basi. Gayanya mengibas-ngibaskan bulunya yang basah saja, tanpa peduli akan memercik dengan orang lain sudah menampakkan jika beliau memang tidak peduli.

Tak lama dia membalikkan badan, lalu berjalan pelan-pelan menyisir jalan setapak. Aku mengikutinya dari belakang.

“Kek, sudah lama tinggal di sini?” Ujarku kembali membuka percakapan. Namun sekian detik menunggu, nenek gunung satu ini tidak menjawab. Lalu kembali kuulangi agak kencang pertanyaan yang sama. Mungkin beliau tidak mendengar karena gemuruh sungai Endikat. Kutunggu beberapa saat masih juga tidak dijawab. Akhirmya aku memilih berhenti membiarkannya dia berjalan sediri.

Aku  mulai tidak sabar dan berpikir macam-macam terhadapnya. Kulihat saja tubuh besarnya berjalan menuju bibir sungai di balik semak-semak yang tinggi. Setelah bayangannya hilang aku kembali melanjutkan perjalanan. Tapi aku tidak seatusias seperti tadi. Sikap nenek gunung satu itu cukup membuatku bingung. Aku memilih jalan yang biasa dilalui manusia untuk mencapai bibir sungai.

Di atara gemuruh deras sungai, suara siamang masih juga terdengar menggisi lembah. Aku mendongakan kepala ke arah rimba di seberang sungai Endikat, persis  di hadapanku. Berharap ada siamang-siamang bergantung di sana. Sebab suaranya yang memekakan terasa sangat dekat. Tapi sejauh memandang, menyisir rimba dengan rentenaku, tak satupun aku melihat pohon-pohon itu bergoyang.

Aku memilih  berdiri di atas batu yang menonjol di sisi sungai. Air yang mengalir  dekat bibir sungai ini tidak sederas yang di tengah. Ini terlihat dari gelombangnya kadang memercik tinggi menghantam batu-batu yang besar. Aku segera mencelupkan tangan ke air. Seketika rasa dingin menjalar cepat ke seluruh tubuh. Jari-jariku terasa kaku. Airnya dingin sekali. Entah berapa derajad.

Di hulu aku melihat ada orang memancing. Dalam hati aku berpikir, apakah mungkin air sederas ini ada ikannya? Bagaimana ikan-ikan itu berenang di arus yang deras? Kali ini aku duduk di atas batu, kucelupkan kakiku pelan-pelan. Matahari yang mulai muncul sinarnya belum terlalu membantu untuk sekadar menghangatkan. Seketika aku menggigil kedinginan. Kuangkat kaki dan tanganku. Aku puas merasakan gigil seperti ini. Ini baru terasa kalau aku benar-benar telah berada di dusunku.

Tak lama aku melihat rombongan ibu dan kakekku. Mereka ramai-ramai mencari sisi jalan yang tanahnya  datar agar bisa meletakkan dan menyandarkan bawaan mereka yang berat, sembari melonjorkan kaki yang terasa berat.  

“Kakek!!” aku melambaikan tangan pada kakek Haji Majani yang sedikit terburu-buru menyusulku. Senyum beliau mengembang ketika melihat aku duduk di atas batu. Aku yakin beliau lega melihatku duduk santai.

Tampaknya di area tempatku duduk-duduk ini sering dijadikan orang untuk istirahat sembari menikmati aliran sungai. Tempat ini memang tempat paling aman menurutku. Karena bagian tikungan air, sehingga beberapa bagian nampak kering karena air sungai meski deras namun berbelok.

Kali ini aku mendongak ke sisi kanan Endikat. Dinding cadas di sisi sungai seperti sengaja di susun rapi dan datar mirip dinding beton raksasa. Sebagian nampak beberapa rumput menjuntai namun sebagian besar nampak bersih tidak ada tumbuhan sama sekali. Suatu kali aku pernah bertanya pada Bapakku, siapa yang menembok sisi sungai hingga tinggi membentuk bukit batu. Terus jawab Bapakku waktu itu, Allah yang menemboknya.

Kali ini aku mendongak lebih jauh ke atas dan memperkirakan tinggi cadas. Di pucak cadas ada   beberapa pohon kecil nampak menjorok ke arah sungai. Selebihnya rumput serupa ilalang dan semak belukar yang kuperkirakan membentuk sabana hingga ke tebing Sekip. Aku mengira-ngira jalan yang kami lalui tadi hingga menurun ke lembah sungai. Cukup jauh menikung dan turun. Sampai sedemikian rupa nenek moyangku merintis jalan ini?

Ketika aku melempar pandanganku Ke hulu, mataku mentok pada aliran sungai yang berliku. Ulu sungai yang menikung  membuat pandanganku terbatas. Aliran sungai yang deras seakan menyembul dari cadas yang tertutup pohon-pohon yang rimbun. Beberapa unggas dengan damai terbang ke sana kemari. Mereka tidak merasa terusik  dengan kehadiran orang yang sedang memancing di bawah sarang mereka.

Sementara siamang masih saja berteriak-teriak seakan mengabarkan sekaligus melampiaskan kegembiraan mereka masih bisa bertemu dengan matahari. Atau mereka tengah pesta menikmati buah hutan yang ranum?

“Mereka tengah bertasbih” Ujar Putri Selasih sedikit pelan.

“Bertasabih apa berzikir?” Tanyaku.

“Mereka bertasbih, memanjatkan puji-pujian kepada Allah. Sedangkan zikir merupakan salah satu amalan untuk mendekat diri kepada Allah SWT” Ujar Selasih lagi. Dalam hati aku mengaguminya. Ternyata  Putri Selasih paham juga agama.

Mendengar penjelasan Putri Selasih membuat aku berpikir, jika air sungai yang buncah, batu yang beradu sehingga suaranya memenuhi ruang lembah ini, burung yang mengepakkan sayap, kera dan tupai asyik melompat dari dahan satu ke dahan lainnya, berarti  mereka tengah bertasbih juga. Di sela batu, beberapa anak ketam berjalan ke sana kemari, ikan kecil  kepala timah itu pun bebas berenang dan tidak merasa terusik meski aku sudah berdiri di sini sejak tadi. Apalagi  air sungai sangat bening. Nyaris isi sungai nampak dari sini jika airnya tenang dan tidak beriak. Aku kembali mencelupkan tangan dan kaki. Kali ini aku mencoba mencuci muka. Tiba-tiba serasa semua pori-poriku tertutup rapat demi mendapat sentuhan air serupa es.

Rombongan pejalan kaki bersama ibuku, ikut-ikutan juga ke sisi sungai. Ada yang kebelet mau buang hajat kecil, ada yang mau buang air besar, ada hanya sekadar cuci kaki, cuci tangan. Mereka menyebar mencari tempat yang dianggap paling nyaman. Aku teringat kakek Haji Majani.

Aku segera mencari beliau. Oh! Ternyata di bawah rumpun bambu yang menguntai ke sungai itu ada batu yang berbetuk ceper agak lebar, kira-kira muat dua tiga orang  jika duduk di atasnya. Kakek Haji Majani tengah melaksanakan solat duha di sana. Kulihat di samping kakek Haji Majani ada sosok  lain yang tengah solat juga. Perawakannya yang besar tinggi membuat tubuh kakek Haji Majani seperti kecil. Dalam hati aku bertanya siapa lelaki besar tinggi itu? Tidak ada dalam rombongan kami orang yang seperti itu. Sebenarnya aku ingin bertanya pada Ibu tentang lelaki yang salat di samping  kakek Haji Majani. Namun berhubung ibu asyik bercerita dengan para perempuan itu, akhirnya kuurungkan niatku.

Mataku masih tertarik  mengawasi lelaki aneh itu. Akhirnya aku mendekati area batu ceper.

Instingku mulai berbicara jika kakek itu bukan manusia. Tapi yang jadi masalah, apakah yang lain melihatnya?

“Wak, Wak melihat ada orang tidak di samping Kakek solat?” Tanyaku pada salah satu lelaki rombongan kami..

“Tidak, hanya kakekmu” jawabnya sambil mengeryit sedikit bingung dengan pertanyaanku.

“Hmmmm… iya ya Wak” aku tersenyum padanya. Tepat sekali, kakek yang salat itu bukan manusia. Aku mencium aroma nenek gunung. Saking penasaran aku langsung duduk diam mencoba menembus alam lain. Ah! Rupanya kakek itu,  nenek gunung yang menolongku tadi.

Aku langsung melompat di atas batu ceper itu. Kali ini aku ingin tahu lebih dekat nenek gunung yang salat duha bersama kakek Haji Majani. Kekek Haji Majani sudah selesai berdoa. Sorban yang biasa dipakainya dilipatnya kembali. Lalu aku sujud, menyalami kakek dan mencium tangannya. Kakek langsung melompat kembali bergabung dengan rombongan.

Aku melihat para kerbai sibuk mengeluarkan kopi, gula, dan makanan ringan. Lelakinya sibuk menyalakan api, menjerang air. Rupanya di balik rumpun bambu yang menguntai  ke sungai ini, ada cerek untuk menjerang air. Entah siapa yang punya. Namun cerek itu selalu dipakai oleh pejalan kaki maupun pemancing.

Aku melanjutkan perhatian. menunggu nenek gunung yang masih duduk bersila. Mulutnya komat-kamit seperti berzikir. Matanya terpejam. Sepertinya beliau sangat menghayati zikirnya. Kadang kepalanya menggeleng-geleng seirama komat-kamitnya. Entah sudah berapa menit aku menunggunya. Namun beliau belum juga hendak membuka mata.

“Dedek, kemari. Ini minummu” Ibu memanggilku mengajak minum kopi sama-sama. Aku hanya mengangguk. Aku kembali duduk menghadap nenek gunung. Aku tahu sebenarnya beliau menyadari kehadiranku. Tapi mengapa beliau diam saja? Apa beliau benci padaku? Benci? Apa alasannya harus benci padaku. Aku kembali membatin.

Ibu dan rombongan minum kopi sambil ngobrol . Suara mereka teriak-teriak seperti sedang olah vokal. Kadang tertawa, kadang hening, entah apa yang mereka obrolkan. Sesekali menjulurkan tangan mengambil makanan yang dihidangkan di atas hamparan kerikil.

“Assalamualaikum Warrahmatullahi Wabarrakatuh, kakek” Sapaku pelan.

“Aku tahu, kakek tidak tidur. Kakek mengetahui kegadiranku” sambungku kembali.

“Izinkan aku mengenal kakek. Maafkan kalau aku lancang.” lanjutku kembali. Aku sudah tak sabar melihat beliau seperti tidak peduli.

“Walaikum salam Warrahmatullahi Wabarrakatuh.” Jawabnya tanpa membuka mata. Lalu beliau diam kembali tetap seperti posisi semula. Melihat gelagat seperti ini muncul perasaan tidak suka dari hatiku. Dalam hati aku menggerutu. Hmmm…orang tua tidak sopan. Masa diam saja sama orang yang sudah membuka peluang untuk berbicara, berusaha bersikap ramah? Akhirnya tanpa pamit aku bangkit hendak meninggalkannya.

Ketika aku hendak melangkah, kakiku seperti dipegang. Aku tidak bisa mengangkat kakiku. Kucoba menarik-nariknya. Namun tetap juga tidak bisa. Aku berusaha tenang. Aku tidak ingin kakek, ibu, dan lainnya tahu kalau aku tidak bisa berjalan. Aku hanya diam saja sambil menoleh pada nenek gunung. Beliau masih duduk diam dengan mata terpejam. Tapi aku tahu, beliaulah yang menahan kakiku.

“Lepaskan kakiku, Kek. Aku tidak ingin cerita dengan mereka kalau ada kakek di sini. Aku tahu kakek tidak suka kehadiranku. Maafkan kalau aku lancang. Terimakasih sudah menolongku nyaris jatuh ke jurang itu tadi. Kalau  tidak ada kakek, mungkin sudah mati” Ujarku masih tenang.

“Kamu mau kemana” Tanyanya.

“Aku ingin bergabung dengan ibuku”  Jawabku singkat.

“Tapi katamu mau berkenalan denganku” Sambungnya lagi. Aku langsung menjawab tidak jadi.

“Bagaimana mau kenalan sementara kakek tidak menggubris pertanyaanku” Jawabku  sambil mencoba menarik kaki.

Aku semakin bingung, si kakek tetap duduk diam tidak melakukan aktivitas apa-apa tapi kakiku tidak bisa digerakkan.

“Kek, mohon lepaskan kakiku. Aku tidak akan bertanya dan mendekati kakek lagi” Ujarku menekan amarah. Selintas ingin memanggil kakek Andun, Macan Kumbang, atau nenek Kam. Tapi kembali aku menahan diri. Masak sekadar kaki terikat seperti ini aku harus memanggil mereka? Malu ah. Manja betul.

Kudengar kakek nenek gunung  tertawa kecil. Entah menertawakan apa. Aku menatapnya sekilas. Mungkin juga menertawakan aku. Ah, apa peduliku. Yang jadi urusan adalah kakiku. Mengapa tidak bisa digerakkan.

“Ini kopimu biar hangat, turunlah biar bisa ambil kue di sana” Kakek Haji Majani menyodorkan secangkir kecil kopi hangat. Aku menyambar kopi yang disodorkannya, berusaha pura-pura tidak terjadi apa-apa.

Untung kakek hanya mengantarkan kopi. Kalau beliau berusaha menarik atau menggendongku bisa kubayangkan beliau pasti panik melihat aku tidak bisa menggerakkan kaki.

Lagi-lagi aku mendengar nenek gunung ini tertawa kecil. Aku kehabisan akal harus berbicara apa. Aku hanya khawatir, ketika rombongan merasa sudah cukup istirahat lalu hendak melanjutkan perjalanan sementara aku masih kaku seperti ini. Bisa terhambat perjalanan hari ini hanya akibat ada yang iseng mengikat kakiku. Aku membatin.

Akhirnya aku diam saja. Aku tidak berbicara dan berpikir apa-apa. Aku hanya pasrah. Apa yang akan terjadi beberapa detik, menit atau mungkin beberapa jam ke depan, sungguh aku tidak tahu. Jadi ingat kata guruku, setiap langkah kita adalah pembelajaran, maka nikmati dan syukuri. Benar sekali apa yang disampaikan guruku tersebut. Suka tidak suka perjalanan hidup tetap harus dijalani. Ambil hikmahnya. Begitu juga dengan apa yang kualami saat ini. Aku sangat yakin pasti ada hikmahnya.

“Putri Selasih…Putri Selasih..” Suara nenek gunung lagi. Aku hanya mendengarkannya saja. Dalam hati aku bertanya-tanya,  mengapa beliau tahu namaku?  Kenal saja tidak!  Pikirku. Kupalingkan wajah. Aku enggan menatap nenek gunung yang sombong ini. Aku menatap ke bukit seberang Endikat. Hutan yang lebat, pohon-pohon besar seakan-akan sengaja memagar tebing agar tanah yang julang tidak terebis.

Selanjutnya aku melempar pandang ke sungai. Entahlah, tiba-tiba aku merasakan air yang bergejolak seperti tawa manusia. Riuh sekali. Apa mungkin air dan batu yang berlomba ke hilir ini mentertawakan aku. Akhirnya aku tidak tahan. Aku tutup telinga sekuat-kuatnya.

Kakiku kubiarkan mati rasa. Aku berusaha tidak merasakan kakiku kaku. Biarlah daripada panik. Jika  nenek gunung ini merasa puas nanti juga dilepasnya. Pikirku.

“Sini Selasih, duduk kembali ke sini” Suara nenek gunung pelan. Aku setengah tak peduli. Dalam hati kembali aku menggerutu, apa beliau tidak lihat kalau kakiku kaku? Jangankan duduk, ditekuk saja tidak bisa.

“Sini, duduklah sebentar seperti tadi. Kakek akan cerita siapa kakek” Ujarnya lagi.

“Kek, aku enggan becanda!  Kakek tahu kan kalau aku tidak bisa bergerak?” Sambungku yang disambutnya dengan tertawa lebar. Kali ini aku benar-benar mangkel. Aku kepalkan tangan dengan maksud menghantam batu di sampingnya dari jarak jauh. Kesabaranku  habis. Apa maunya kakek ini akan kulawan. Darahku mulai mendidih. Apa si maunya orang tua ini? Aku sudah bersopan santun tapi tidak  beliau gubris, aku sudah bersikap lemah lembut, mengalah, mengaku salah dan minta maaf pun tidak  dilayani. Giliran aku tidak peduli, baru keluar suaranya. Aku sudah tidak mau kenal dia malah dipaksa untuk dekat?

“Hiiiiiaaaat” Aku mencoba menghantam batu di sampingnya demi melampiasankan emosiku. Tidak disangka, pukulanku ditangkapnya. Akibatnya pukulan itu  hanya sebatas tangannya. Lagi-lagi aku kaku. Kini giliran tanganku  tidak bisa digerakan. Sementara kakiku, ternyata sudah bisa digerakkan. Tapi tangan terjulur. Oh!

“Jangan hantam batu itu dengan emosi Selasih. Batu itu sedang berzikir. Dia sedang khusuk menyebut nama Allah. Apa kau tega mengusiknya” Ujarnya. Aku terperanjat. Hal sama pernah disampaikan oleh Mualim guru ngajiku. Ampunkan aku. Aku lupa. Mengapa aku harus marah dengan menghantam batu itu. Apa salahnya? Hatiku merasa berdosa. Untung  nenek gunung ini mampu menghalangiku. Kalau tidak, Bukankah aku telah menghentikan batu itu  berzikir meski sejenak? Aku menarik nafas panjang.

Pelan-pelan tanganku seakan diturunkan oleh Kakek aneh ini. Aku pasrah saja. Lalu aku merasakan ada energi yang menarik tubuhku untuk berjalan beberapa langkah, di hadapannya.  Aku tak mampu menolak sedikitpun. Semakin aku bertahan atau melawannya, semakin tersedot. Tidak saja tubuh, tapi juga energiku. Melihat gelagat baiknya, akhirnya kubiarkan seluruh tubuhku pasrah. Dan aku duduk persis di hadapannya. Nyaris cangkir kopiku jatuh saking lemahnya.

“Kakek sudah tahu namamu sejak beberapa minggu yang lalu, Selasih. Kakek juga sudah tahu siapa dirimu. Kakeklah yang mendorong kamu hampir masuk jurang dan menangkapmu kembali tadi. Kakek hanya becanda” Ujarnya sambil tersenyum. Sungguh berbeda sekali dengan yang kukenal awal tadi. Aku hanya diam memerhatikannya.

“Saya sering dipanggil  Njajau. Orang-orang sering menyebut saya nenek gunung penjaga Endikat. Ya, saya memang berdiam di Endikat ini. Menjaga Endikat dari hulu hingga ke hilir. Biasanya saya ada di hulu. Berhubung kamu mau lewat sini makanya saya ke hilir” Ujarnya. Dalam hati aku bertanya, betapa pentingnya aku sampai beliau turun dari hulu Endikat cuma untuk bertemu denganku? Memang aku siapa?

“Bertemu denganku, Kek?” keningku berkerut.

“Iya, kamu itu gadis kecil lucu yang disayang oleh banyak nenek gunung. Banyak sekali yang mengasuhmu.” lanjutnya lagi.

“Lantas kakek kenal saya dari siapa?” Desakku.

“Dari orang -orang yang dekat denganmu” jawabnya.

“Oh, kakek kenal dengan dengan nenek Kam juga?’ tanyaku lagi. Sang kakek tertawa lebar.

“Hampir setiap hari kami bertemu, berjalan dan ngobrol tentang banyak hal.” Ujarnya masih tertawa. Sungguh terlihat sembilan puluh derajad dari awal aku bertemu dengannya. Berbeda sekali.

“Tadi ketika aku baru datang, kakek sepertinya tidak suka denganku” aku kembali protes.  

“Memang saya sengaja untuk melihat hatimu. Ternyata kamu memang berbeda dengan anak kecil pada umumnya. Kamu lebih agak dewasa. Benarlah kata sahabatku Andun, dia mengagumimu karena sikapmu yang cermat, cerdas dan berhati bersih” Lanjutnya lagi.

Lagi-lagi aku bangga karena kakek satu ini mengatakan kenal juga dengan kakek Andun. Alangkah kecilnya dunia ini. Nyaris orang yang baru kukenal, tahu nenek Kam, tahu pula Kakek Andun. Tadi kakek Bujang Kuning mengaku sepupu kakek Andun. Yang ini tidak hanya kenal tapi bersahabat kental dengan  nenek Kam dan Kakek Andun juga. Aku manggut-manggut  berusaha untuk paham.

“Kakek bahagia sudah bisa membuatmu marah. Lain kali, harus mampu mengembalikan emosi. Tangan kananmu itu, jangan digunakan untuk hal-hal yang tidak penting. Saya tahu, kamu diberi sahabatku Andun senjata. Hampir saja senjata itu mencelakai batu di sampingku. Saya paham, maksudmu tidak ingin mencederai saya. Tapi kamu harus tahu ada kehidupan lain di batu itu. Tidak semua batu itu benda mati.”  ujar kakek Njajau panjang. Tak lama berselang kuperhatikan tangannya menari di hadapanku.

“Lihat ke sana. Apa yang kamu lihat” ujarnya. Aku terperangah. Di dalam batu itu ada rumah tua yang dihuni oleh sepasang kakek nenek yang sedang duduk seperti salat berjamaah. Keduanya sangat khusuk sekali. Aku menatap kakek Njajau dengan perasaan tidak karuan. Aku sangat berterimakasih karena beliau telah menggingatkan aku tadi. Sungguh, aku tidak punya kepekaan sejauh itu. Aku langsung sujud pada kakek Njajau.

Selanjutnya kakek Njajau mengusap mata dan keningku. Lalu jarinya berhenti persis di dahiku. Aku merasakan jari kakek seperti bor berputar cepat sekali. Namun aku tidak merasakan sakit sedikitpun. Makin lama makin pelan. Lalu berhenti.

“Gunakan mata batinmu untuk melihat kehidupan benda-benda yang kau anggap mati, Selasih. Agar kau lebih hati-hati dan dapat menghargai sesama makhluk.” Suara kakek Njajau lembut. Aku hanya mengangguk pelan.

Rupanya yang dikatakan kakek Bujang Kuning ketika jumpa dengannya tadi mengatakan aku akan bertemu dan ditunggu seseorang, maksudnya kakek Njajau inilah. Aku menarik nafas lega. Allah maha baik padaku. Aku selalu ditemukan dengan orang-orang baik. Orang-orang yang selalu membimbing ke jalan kebaikan.

“Sekarang, kita sudah berkenalan, bukan? Kamu akan melanjutkan perjalanan. Lanjutkan. Cepat temui kakek dan ibumu. Nanti mereka heran melihat dirimu kelamaan di sini”. Aku menggangguk dan mencium tangannya. Heran aku merasakan tubuhku lebih ringan. Ketika aku berdiri dan melangkah, dengan mudah aku melompat dari batu satu ke batu lainnya tanpa takut tergelincir. Aku melompat sambil senyum-senyum sendiri.

“Ayo Dek, kita mau siap-siap melanjutkan perjalanan” suara Ibu mengagetkanku.  Aku segera mengangkat kepala. Wow! Aku melihat beberapa ekor nenek gunung di tengah-tengah arus Endikat yang deras. Mereka tengah beghikan (menangkap ikan) tanpa takut terbawa arus yang buncah. Aku terkesima dibuatnya. Ternyata, benar kata nenek Kam, bahwa nenek gunung tidak saja jago di rimba tapi juga jago berenang di sungai. Beberapa kali aku melihat nenek gunung sedikit mendongak ketika memakan ikan sema tangkapannya. Mereka lahap sekali.

“Ayo Dek, jalan duluan” Kakek Haji Majani mengagetkanku. Aku segera berjalan dan   melompat ke bibir sungai mendahului rombongan. Aku mulai berjalan. Kakek Njajau melambaikan tangan. Beliau berdiri sambil memandang nenek gunung-nenek gunung yang masih asyik beghikan.

“Mereka ingunanku (ternak), Selasih” bisik Kakek Njajau dari jauh. Oh, jadi yang kulihat tadi nenek gunung berupa harimau. Bukan bangsa manusia harimau seperti kakek Njajau, kakek Bujang Kuning, dan Kakek Andun? Aku membatin. Untung Ibu, Kekek Haji Majani dan rombongan tidak menyadari kalau di dekat mereka banyak nenek gunung, harimau beneran. Kalau mereka melihat dengan mata dan kepala sendiri, aku yakin ada saja kerbai yang pingsan. Terutama ibuku.

Aku berjalan mendahului rombongan yang masih siap-siap saling bantu mengangkatkan bawaan masing-masing. Sejenak aku berhenti di jembatan. Kembali kulemparkan pandangan ke hulu. Kakek Njajau sudah berubah menjadi nenek gunung. Beliau berjalan pelan  ke hulu. Sementara di sungai masih saja beberapa ekor  nenek gunung mencari ikan, sebagian lagi naik ke darat mengeringkan badan sambil baring-baring di atas batu.

Aku mulai menyusuri jalan kecil berbatu dan basah. Dulu ketika Bapakku masih menjadi riye  dan berdomisili di dusun, kerap kali Bapak mengajak warga dusun gotong-royong membersihkan jalan menebas rumput yang menguntai ke jalan. Apalagi jika panen kopi sudah tiba, demi kelancaran petani membawa hasil bumi dari sekitar Endikat atau dari bukit-bukit nyaris setiap Minggu gotong royong.  Melihat jalan setapak seperti ini, aku yakin para emak-emak berpikir dua kali untuk menembus belantara. Tampak sekali  jalan setapak ini tidak terawat. Andai tiba-tiba ada ular di bawah rumput yang tebal ini, siapa yang tahu. Aku saja seperti berjalan di bawah rumput saking tingginya.

“Hhhmmm… hmmmm…puuuup..pup..puuup…..puuup” suara siamang makin dekat. Aku terus melangkah mengikuti jalan yang mendaki dan berliku. Jika sebelumnya dari tebing Sekip jalan menurun ke lembah, kini kami dihadapkan dengan tebing berliku. Makin lama makin menanjak. Mata air yang keluar dari dinding-dinding cadas melimpah hingga ke badan jalan. Terkadang ada juga bagian yang licin.

Aroma lembab tanah dan daun sedikit menyengat. Aku menahan nafas meski terasa sedikit memburu karena jalan terus menanjak. Saking lebatnya pohon yang berdiri kokoh serupa pagar sisi kiri kanan jurang, membuat cahaya matahari tidak tembus sampai ke tanah. Jalan setapak sedikit gelap. Meski tengah hari sekalipun. Aku merasakan sesuatu yang aneh.

Di hadapanku jalan menanjak dan menikung tajam. Orang dusun menyebutnya liku semen. Liku penuh mitos yang membuat sebagian masyarakat dusunku agak takut tiap kali melintas di sini. Entahlah, aku tidak tahu apa yang menyebabkan mereka takut. Seperti sekarang, kakek Haji Majani memanggil-manggil aku agar aku serempak mereka saja melintas di liku semen itu. Akhirnya aku patuh. Aku mencari tempat yang tidak terlalu basah. Lalu duduk sembari menunggu rombongan Ibu dan kekekku. Untung di pangkal liku semen ini kelihatan lebih luas karena tidak ada rumput yang tumbuh. Aku hanya mendengar air gemericik jatuh ke parit-parit kecil di dinding cadas.

Aku mendongak. Rimbun daun memang seperti kelambu berwarna hitam. Lebat sekali. Udaranya yang lembab dan dingin terasa sekali. Hmmm wajar saja banyak yang takut tiap kali lewat sini. Aku mengira yang berdiri kiri kanan di sisi jurang itu pohon. Lama kelamaan bentuknya seperti tubuh manusia. Ya, ternyata sepasang raksasa dengan rambut tergerai sama panjang, bertaring dan mata besar bundar menatap tajam ke arahku. Lalu di belakangku duduk, batu-batu cadas yang tiap selanya mengeluarkan air, tenyata di dalamnya juga ada kehidupan.

“Kakek Njajau, inikah yang kakek berikan padaku?  Kepekaanku jadi sempurna, seratus persen. Tapi aku takut Kek” Bisikku pelan. Aku berharap kakek Njajau datang menemaniku. Aku menyesal berhenti di sini. Tiba-tiba banyak sekali yang datang. Aku merasakan dari segala penjuru. Lagi-lagi aku membatin.

“Kek Njajau,  mengapa makhluk-makhluk ini semua ke luar dari sarangnya. Semua mendekati aku. Mereka ramai sekali Kek. Dan raksasa itu, sedikit saja dia bergerak aku merasakan bumi bergetar” Aku mulai merinding. Kukuatkan batinku. Aku kecewa mengapa kakek Njajau tidak segera hadir.

Semula aku membaca dan mendengar tentang raksasa di buku-buku komik, cerita dongeng, maupun cerita daerah yang dituturkan guruku. Ternyata makhluk raksasa itu benar adanya. Kulihat tubuh raksasa yang laki-laki seperti lumut. Hijau gelap. Melihat tubuh besarnya, aku mungkin hanya sebesar kelingkingnya. Sementara mereka mungkin melihat tubuh kecilku, sama halnya melihat tungau atau mungkin lebih kecil lagi.

Rombongan kakek Haji Majani dan ibuku berjalannya sangat pelan. Langkah mereka satu-satu tidak bisa cepat. Selain jalan licin dan menanjak, sempit pula. Sesekali aku melihat kepala-kepala mereka menyembul di antara rumput pinggir jalan yang tinggi, kadang hilang sama sekali. Aku hanya melihat daun-daun yang bergerak. Aku tidak tahan menunggu mereka lama-lama. Sementara makhluk-makhluk ini seperti air makin mendekat.

Akhirnya aku tidak bisa berpikir panjang lagi. Aku harus lawan mereka jika mereka menggangguku. Mataku mulai awas melihat gerak-gerik mereka. Aku mulai memusatkan tenaga di tangan. Ini akan kujadikan senjata. Lama aku menunggu, tidak ada di antara mereka yang bergerak hendak menyerangku. Mungkin mereka hanya sekadar hadir untuk memperlihatkan eksestensi mereka. Entahlah. Aku seperti makhluk aneh menjadi tontonan mereka. Semua mata memandangku. Ketika rombongan Kakek sudah dekat, aku segera berdiri. Kuawasi mereka. Apakah ada makhluk-makhluk ini mencoba mengganggu? Oh! Sekali lagi tidak. Aku mulai menyesal berprasangka.

“Assalamualaikum, maafkan nenek kakek, kami izin melalui jalan ini” aku membatin. Satu persatu makhluk-makhluk aneh ini membuka jalan seakan mempersilakan kami lewat. Kembali aku berjalan lebih dulu. Seluruh tubuhku masih merinding. Aku mencoba menguatkan diri agar  tidak takut. Akhirnya lolos juga melalui liku semen hingga ke sisi jurang atas yang lebih lantang. Langit terbuka lebar. Pohon-pohon tidak lagi menutupi jalan.

Melihat barisan kami yang panjang, sekelompok siamang yang bergelantungan di pohon seperti terusik. Teriakan peringatan keluar dari siamang jantan yang lebih besar. Sebagain mereka pergi menjauh ke pohon-pohon puncak bukit. Sementara beberapa ekor mengawasi kami dengan tatapan marah. Aku tersenyum pada mereka. Kulambaikan tangan.

“Paman siamang, kami hanya lewat. Tidak bermaksud mengganggu kalian” jeritku. Siamang yang paling besar hanya menatapku sambil menggaruk-ngaruk kepala. Sekali lagi aku melambaikan tangan. Dalam hati ingin sekali memeluknya. Apalagi melihat anaknya yang bergelayut di pelukan induknya. Sungguh lucu.

Aku berhenti sejenak. Melihat gelagat kami tidak membahayakan mereka, para siamang yang semula menjauh, mendekat kembali. Aku melihat puluhan siamang bergembira. Melompat dari satu pohon ke pohon lainnya. Mereka seperti melakukan akrobat bergelantungan dengan satu tangan, kadang hanya dengan satu kaki. Beberapa ekor melempari kami dengan kulit buah yang mereka petik di pohon-pohon. Aku merasa beruntung sekali melihat mereka. Jika semula suara mereka seperti orkestra menyanyikan lagu alam yang unik, kali ini aku hanya mendengar sesekali saja mereka berteriak sekadar ungkapan gembira.

“Paman siamang, jaga anakmu baik-baik ya” ujarku masih terus mendongak. Aku serasa aneh bisa bertatapan langsung dengan pemimpinnya. Meski jarak kami hanya sekitar sepuluh  meter, tapi cukup membuatku berdegup. Anggapan orang binatang liar ini ganas kalau melihat manusia, bohong sama sekali. Mereka tidak akan menyerang manusia jika tidak merasa terancam. Rombongan kami berkomentar tidak jelas melihat tingkahku seakan ngobrol dengan hewan langka itu. Ada yang tertawa ketika mendengar salah satu kerbai  berbicara “Iya Dek, itu yang ngendong anak kenapa tidak di panggil ibung si anu” aku  hanya tersenyum menanggapi pembicaraan mereka pada akhirnya sambung menyambung dari depan ke belakang. Obrolan tanpa isi menjadi hiburan mereka untuk mengusir rasa penat. Aku kembali melanjutkan perjalanan. Sesekali aku menoleh dan melambaikan tangan pada rombongan siamang yang masih menatapku dari jauh. Sebagian seperti sengaja hendak menyusul melompat di pohon yang mengarah ke hulu jalan.

“Nah, Dek! Siamang menyusul. Nampaknya ingin ikut denganmu” Ujar Mang Cakok salah satu rombongan.

“Tidak Mang, dia hanya ingin melihat kita berjalan, sampai hilang dari pandangan mereka. Mereka baik kok” Ujarku kembali melambai.

“Betul, pada dasarnya mereka baik. Kalau pun ganas karena ada penduduk kita yang nakal suka menembaki para induk untuk mengambil anaknya” Ujar seorang perempuan separuh baya yang berjalan di belakangku. Dalam hati aku membenarkan. Manusia memang banyak yang tidak punya perasaan.

Aku berusaha menahan nafas. Jalan kecil yang menebing cukup melelahkan. Sisi kiri jalan jurang mengaga  dalam dan luas. Di seberang, setapak yang akan kami lalui seperti dekat sekali. Padahal untuk sampai ke sana mungkin masih butuh waktu satu jam lagi. Jika tadi jalan yang kami lalui berbatu, berpasir dan berair, kali ini tanah berwarna kuning dan berbatu kasar dan tajam. Beberapa orang yang semula berjalan dengan kaki telanjang, kali ini memakai sandal dan sepatu. Termasuk aku. Akhirnya aku pakai juga sepatu yang semula kutenteng.

Nyawa kami serasa datang kembali setelah melihat pucuk-pucuk daun kopi yang menghiasi  bibir bukit. Pertanda kami sudah mendekati pemukiman. Meski jalan masih mendaki namun serasa sudah sampai ketika melihat bubungan atap pondok seperti  cahaya bintang  tertimpa matahari.

Suara siamang sudah tidak terdengar lagi bersamaan dengan naiknya matahari. Yang ada suara ramai burung kutilang memberi makan anak-anaknya di pokok-pokok kerinyu semak belukar. Sesekali melintas burung pipit membawa batang rumput. Nampaknya sibuk membuat sarang.  Ya, wajar saja. Sebentar lagi nampaknya sawah-sawah itu siap dituai. Petani akan panen padi. Di ujung selatan dataran dusun Bandar terlihat hamparan sawah yang telah  menguning. Burung-burung akan mempersiapkan sarang untuk bertelur, lalu akan megeraminya menjelang musim panen. Ketika padi-padi itu masak telur akan menetas, pakan untuk pipit kecil tentu banyak sumbernya. Hebat betul sang Maha mengatur siklus kehidupan.

Aku menyekah peluh yang membasahi kening dengan ujung baju. Sebagian masuk mata terasa perih. Nafasku pun sedikit memburu. Berjalan di jalan yang menajak membuat tubuh terbungkuk-bungkuk. Dan ini cukup meletihkan.

“Coba kalau merigankan tubuh, tidak akan basah karena peluh” Bisik Putri Selasih agak malas. Aku hanya mendengarkannya saja. Pasti Selasih  ingin aku  memanfaatkan kepandaiannya yang sempurna itu. Aku tidak mau. Selasih mendengus marah. Aku hanya senyum sambil menghempaskan nafasku yang memburu.

“Syukurin, capek kan. Nafas aja tinggal satu-satu” Ejeknya. Aku hanya tersenyum mendengar Selasih yang menggerutu. Sampai sekarang masih juga tak paham  dengan keinginanku.

“Apa batinmu tidak puas kuajak begini? Ini cara manusia sayang” Ujarku  lagi.

“Puas…puaaaass…. sangaaaat puaaasss!” Ujarnya cepat. Membuat tawaku meledak. Aku lupa kalau aku tidak sendiri. Melihat aku tertawa lepas, semua  jadi heran.

“Haduuuh…Dedek, semua orang kelelahan tiada kepalang naik tebing ini. Kamu masih bisa tertawa lepas seperti itu” Kata mang Cakok dengan nada terputus-putus. Dadanya kembang kempis cepat sekali.

“Maafkan aku… aku kelepasan teringat hal yang lucu-lucu” Jawabku.

Tinggal beberapa meter lagi, jalan tebing ini akan berakhir. Selebihnya kami akan menemui jalan yang datar, sisi kiri dan kanan ditumbuhi pohon kopi, lalu tak seberapa jauh akan bertemu dengan perkampungan  pertama, yaitu dusun Danau. Dan semua akan bernafas lega, biasanya akan memgasoh sejenak di pangkal tebing sebelum melanjutkan perjalanan lagi.

Aku melempar pandang jauh ke Selatan. Di sini aku dapat melihat bubungan masjid di dusun Bandar. Kecil sekali. Atap-atap rumah seperti seberkas cahaya memantul ke angkasa. Aku mengira-ngira posisi jalan setapak yang kami lalui tadi. Namun meski terlihat kecil nampaknya dekat sekali. Tapi ternyata untuk bisa sampai ke sini dibutuhkan waktu berjam-jam. Dan medannya luar biasa.

Aku menarik nafas panjang. Sesekali kuhirup dalam-dalam udara beraroma bunga kopi. Matahari mulai terasa terik meski menurutku masih pagi. Udara lembab dan dingin, membuat matahari terasa sangat menyengat. Capung dengan aneka warna terbang ke sana kemari mirip seperti helikopter kadang terbang, kadang berhenti, kadang hinggap di ujung daun atau ranting.

Di dekat semak, sekelompok kupu-kupu berwarna kuning hinggap di rerumputan seolah memamerkan  keindahan sayapnya. Menari-nari sejenak lalu hinggap lagi. Kumbang jantan dan betina hilir mudik menghisap nektar bunga kopi. Sayap mereka seperti baling-baling yang berputar menimbulkan suara berdengung. Aku tersenyum melihatnya.

Dulu aku pernah menangkap kumbang sampai demam gara-gara salah tangkap kumbang yang sedang menghisap madu. Kukira kumbang betina, ternyata jantan. Alhasil tanganku disengatnya dan bengkak seketika. Sejak itu aku kapok. Aku tak ingin menangkap kumbang lagi. Cukup sekali itu aku merasakan sengatan beracunnya.

Melihat rombongan pejalan kaki sudah mulai siap-siap berangkat aku berlari lebih dulu. Jalan datar dan lurus membuat semangatku makin membara. Kembang kopi yang rindang berbaris teratur hingga  ke sisi danau Puyang. Bunga kopi yang mekar seperti  hamparan salju, putih memukau. pantas saja aromanya kadang menyisir tebing ketika angin berhembus dari puncak bukit.

Beberapa rumah dusun Danau sudah mulai kelihatan. Mungkin karena di sini ada danau Puyang maka dusun di hulunya di sebut dusun Danau. Dusun yang hanya berdiri sekitar sepuluh rumah ini memang terlihat lengang. Apalagi pagi hari. Sulit sekali untuk bisa berjumpa dengan manusia. Mereka sibuk pergi ke kebun, sawah, atau ladang. Dusun seperti kampung tanpa huni. Konon rumah di dusun Danau ini tidak akan lebih dari Sepuluh. Jika lebih, pasti akan pindah.

Aku sengaja berjalan melalui jalan setapak di tengah dusun. Hanya sekadar memastikan apakah ada kehidupan di dusun ini. Nyaris semua rumah tertutup rapat. Aku berhenti di pangkal tangga rumah mang Yahok, saudara sepupu ibuku. Berharap bertemu dengan pamanku satu ini. Percuma juga, hening. Lalu aku ke sebelahnya, rumah sepupuku Uli, aku menemukan  hal yang sama, pintu tangga terkunci. Beberapa kambing ternak mereka naik ke atas beranda rumah panggung. Bahkan berak di sana.

“Orangnya sedang menunggu pipit di sawah, Dek. Kalau mau ketemu sore nanti. Kalau sudah musim mau ngetan, biasanya kebanyakan mereka bermalam di sawah” Ujar Wak salah satu rombongan kami.  Aku hanya mengangguk kecil. Rumah Umak tue Irawan, saudara sepupu ibuku juga tutup. Wah. Semuanya tutup. Sekilas aku melihat pohon mangga, bacang, manggis, tanaman nenekku di tepi paok, berbuah lebat. Konon di dekat pohon itu rumah nenek dari Ibu. Tapi akhirnya pindah ke dusun Singepure. Apa sebabnya aku tidak tahu. Namun rumor yang muncul adalah, dusun Danau tetap akan ada, namun jumlah warganya tidak akan bertambah. Jika lebih, pasti akan ada yang pindah dusun tanpa diminta. Walahh alam.

Akhirnya, aku sejenak cuci tangan di pancuran pinggir jalan. Pancuran yang digunakan warga dusun untuk mandi, mencuci dan keperluan keseharian lainnya. Airnya yang deras jatuh dari lubang buluh betung, menimpa sisi batu ceper di bawahnya. Di sinilah biasanya aku dan saudara-saudara sepupuku mandi jika aku kebetulan nginap di sini.

Akhirnya, kami melanjutkan perjalanan kembali. Masih butuh waktu sekitar tiga puluh menit sampai satu jam lagi untuk bisa sampai ke dusun Singepure. Ingin rasanya berlari saja agar bisa segera bertemu Kakek Haji Yasir dan Nenek Kam. Tapi mengingat rombongan berjalan santai, akhirnya kutahan keinginanku. Aku berusaha untuk sabar.

Waktu salat zuhur sudah tiba. Sayup-sayup suara azan dari dusun Bandar sampai juga ke mari. Artinya hampir setengah hari kami melakukan perjalanan. Telapak kaki sudah terasa panas dan melepuh. Betis juga sudah terasa sakit dan pegal. Baru separuh jalan melintasi dusun Danau, aku melihat tubuh besar tinggi melenggang santai  di jalan berbatu ke arah kami.  Nenek gunung! Aku menoleh, apakah rombongan pejalan kaki melihatnya atau tidak? Atau hanya aku sendiri? Ternyata hanya aku sendiri yang melihatnya. Yang lain tidak. Hal ini terlihat dari bahasa tubuh mereka. Tidak ada yang merasa kaget atau takut. Akhirnya aku berjalan mendahului mereka.

“Assalamualaikum, Nek”. Aku menyapa lebih dulu. Nenek gunung yang sudah sangat sepuh menatapku dengan mata agak redup.

“Walaikum salam… Balek dusun Cung? Nampaknya sudah sangat rindu dengan nenek Kam dan Yasir?” Ujarnya.

Aku kaget mengapa beliau tahu kalau aku rindu dengan nenek Kam dan kakekku? Aku langsung mengiyakan. Dari obrolan sekilas beliau mengaku penjaga lawang dusun Danau dan Singapure. Beliau sering berdiam di pangkal dusun. Akhirnya aku pamit melanjutkan perjalanan. Untung kakek Haji Majani, Ibu dan rombongan tidak curiga melihat aku berhenti dan bicara sendiri. Kakek gunung melintas di sisi para pejalan kaki. Bahkan nyaris menyenggol mereka, tapi tak satupun mereka menyadarinya. Aku tersenyum sendiri sembari mempercepat langkah agar cepat riba di dusun Singepure.

“Nek Kam, Kakek Haji Yasir, aku rindu” aku membatin sambil iseng menghitung setiap ayunan kaki
Bersambung...
close