Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

HARIMAU SUMATERA HEWAN BERADAT (Part 3)


Hidup berdampingan dengan Nenek Kam, memang ngeri-ngeri sedap. Ketika beliau menjadi manusia normal maka aktivitas beliau seperti penduduk dusun pada umumnya. Pergi ke kebun, mencari kayu bakar di hutan. Mucung kemiling (memungut buah kemiri yang jatuh karena sudah masak). Mucung kemang atau bacang ketika musim buah. Menutuk (menumbuk) kopi dengan lesung. Berkumpul dengan para emak di bawah rumah panggung atau berderet duduk di tangga. Bercengkrama sambil kerokan, mencari kutu atau mencabut uban. Ke sawah milik warga, bergotong-royong bersama emak-emak se-dusun menanam padi atau ngetam bersama ketika padi telah masak.

Tapi ada saatnya nenek Kam akan terlihat aneh. Misalnya ketika beliau ikut warga dusun bergotong-royong menugal, menanam padi atau panen. Dalam waktu bersamaan ada yang mengatakan jika beliau sedang membersihkan rumput di kebunnya atau terlihat beliau tengah menyabun (mencuci) pakaian di pancuran, menyapu halaman rumahnya dan lain sebagainya. Padahal sudah sangat jelas jika beliau bersama emak-emak ikut ke sawah bersama warga lainnya. Maka tidak heran ketika beliau turut serta hendak membantu di sawah ibuku Ia bertanya;

“Yang di hadapanku ini Nenek Kam nian apa kawannya? Yang akan membantu bertanam padi siapa? Nenek Kam apa iringannya? Jangan nakut-nakuti kami Nek. Nanti ada yang melapor, ada dua nenek Kam. Di sini menanam padi, tahunya di dusun sedang masak lemang?” Canda Ibuku.

“Aiii..ngg usah takut. Sama saja. Yang penting kerjaan kita selesai semua” Ujar Nenek Kam sambil tertawa.

Menurut perkiraan ibuku, menanam padi di sawahnya ini tidak akan selesai dalam waktu dua atau tiga hari. Meski tidak kurang sepuluh orang yang akan membantu. Sebagian mereka ada yang bertugas menanak nasi untuk makan siang bersama. Sementara yang lelaki akan mengangkut uni (bibit padi) ke tiap pelang dan petak sawah. Sementara aku bersama paman Arsun (sepupu ibuku yang usianya tidak jauh beda denganku) akan bermain di hutan pinggir sawah, menyisir semak belukar guna memetik daun pakis yang masih muda, atau mencari buah ‘tungperingat’ yang berbuah lebat di semak-semak.

Dari sela pohon dan rerumputan aku memandang ibu-ibu dan bapak, semuanya tertunduk-tunduk menanam padi. Mereka nampak tekun dan cekatan. Suara mereka terdengar sedikit berteriak ketika bercerita. Entah apa yang dibicarakan tapi seluas dataran sawah penuh dengan suara mereka. Bahkan kadang suara mereka menggema. Mungkin karena posisi sawah ibuku persis di kaki bukit ulu dusun Bangke. Kadang terdengar tawa mereka berderai bersamaan.

Batang padi yang baru ditanam terlihat tersusun rapi seperti ribuan prajurit. Tanpa menggunakan penggaris tetapi terlihat rapi dan lurus. Hampir separuh sawah yang luas sudah ditanami padi. Dalam hati aku bertanya kok cepat sekali? Aku mengamati orang-orang yang membantu menanam padi. Tapi mengapa jumlah kerbai (emak-emak) sepertinya dua kali lipat dari yang kulihat sebelumnya? Ah, mungkin mereka baru datang, batinku. Tidak pakai acara minum kopi lagi seperti yang lainnya, tapi langsung turun ke tengah sawah. Pakaian kebaya dan kain mereka terlihat lebih mencolok dari yang lainnya. Ada yang kuning terang, merah cerah, biru terang, berbunga-bunga. Sungguh berbeda dengan uwak, makwo, nenek dan kerbai lainnya. Bahkan dengan nenek Kam sendiri. Selain memakai kain dan kebaya, tengkulok (selendang panjang) mereka ikat erat di kepala baru ditutup dengan serindak (caping) untuk melindungi dari sengatan panas matahari.

Aku hanya mendengar suara-suara orang yang kukenal saja bercengkrama. Tidak mendengar suara-suara kerbai yang berbaju terang itu. Kutanyakan dengan Paman Arsun, siapa mereka yang baru datang membantu menanam padi di sawah Ibu. Paman Arsun bilang tidak megenal mereka. Mungkin kerbai Semende yang membuka kebun di ulu bukit itu. Aku percaya saja. Berhubung nenek dari Ibuku berasal dari Pajar Bulan Semende. Hubungan kekerabatan kami dengan orang Semende, meski hanya puyang yang bersaudara, namun sangat kental seperti saudara kandung. Bisa jadi mereka turun membantu. Apalagi meski Bapakku lebih banyak melakukan usaha bisnisnya di Kota Pagaralam, namun statusnya sebagai ‘rie’ (Kepala Desa) Singepure belum tergantikan.

Ketika tiba waktunya makan siang, aku heran mengapa orangnya menjadi sedikit? Aku hanya melihat ada sepuluhan emak-emak seperti tadi pagi. Lalu kemana emak-emak yang berbaju terang itu? Sebenarnya aku ingin bertanya. Tapi seketika mataku bertatapan dengan nenek Kam. Beliau seakan tahu apa yang ada di benakku.

“Sini Cung (cucu), duduk dekat Nenek” Beliau meraih tanganku menyuruhku duduk di pangkuannya. Sambil mengelus rambutku yang berpeluh beliau berbisik.

“Nanek tahu apa yang hendak kau tanyakan. Kamu ingin bertanya tentang perempuan-perempuan yang berbaju terang itu bukan?” Aku tidak menggangguk, tidak juga menggeleng. Tapi menatap matanya yang kecil. Berusaha menyelidik sesuatu di sana dan minta jawabannya.

“Iya Nek, mana mereka? Siapa mereka? Mengapa mereka tidak ikut duduk bersama kita menghadapi hidangan makan siang? Mereka pulang kemana?” Tanyaku balas berbisik.

“Mereka kawan Nenek. Mereka sengaja nenek ajak untuk membantu menanam padi di sawahmu. Biar sawahmu yang luas cepat selesai ditanam padi. Kamu bisa lihat mereka di paok (kolam) sebelah dangau (rumah di tengah sawah). Lihatlah. Tapi jangan berbicara ya…diam saja” Ujarnya.

Aku langsung bangkit dari pangkuannya menuju garang dangau. Belum sempat aku mengijakkan kaki ke tangga, kutongolkan kepala dari dinding garang. Masya Allah, aku kaget. Mataku terbelalak. Yang kulihat adalah segerombolan nenek gunung tengah berenang sembari menangkap ikan dan memakannya di kolam yang tidak seberapa besar itu. Herannya, bibiku yang tengah mencuci piring di pancuran di atas kolam lalu beberapa orang lelaki asik bercengkrama sembari mengeringkan peluh sambil merokok di bawah dangau, tidak merasa takut dan terganggu oleh gerombolan nenek gunung yang bergembira itu.

Lama aku terpaku memandang aktivitas mereka. Kolam yang tidak seberapa besar itu nampak keruh. Namun aku tidak berani berkata apa-apa. Aku ingat pesan nenek Kam diam, jangan berbicara. Aku memilih diam. Aku terperanjat tatkala ibuku memanggil, menyuruhku mengambil makan sementara paman Arsun sudah makan lebih dulu.

Akhirnya aku beranjak dari sisi garang. Meski hatiku tetap ingin melihat ativitas nenek gunung itu. Sebelum makan, kuhampiri nenek Kam yang sedang menyendok nasi ke pinggan. Aku berbisik menempelkan mulut ke telinganya. Takut sekali jika yang lain mendengar.

“Nek, yang di bawah itu nenek gunung. Bukan kerbai yang kulihat di tengah sawah tadi”. Bisikku dengan dada agak gemuruh. Nenek Kam mengedipkan matanya sambil tersenyum. Lalu memberi isyarat agar aku mendekatkan telingaku ke mulutnya.

“Merekalah kerbai-kerbai di sawah tadi yang kamu lihat memakai baju warna-warni. Mereka kawan nenek. Hanya kamu yang bisa melihat wujud asli dan ketika dia menyerupai manusia. Jangan cerita dengan siapa-siapa ya Cung. Cukup kita berdua saja” Ujarnya lagi. Dan aku menepati janji itu. Padahal banyak sekali yang ingin kutanyakan pada nenek Kam. Aku ingin penjelasannya sedetil mungkin, mengapa nenek gunung itu bisa berubah wujudnya? Kadang seperti manusia kadang seperti raja rimba pada umumnya. Sekali lagi mengapa hanya aku yang dapat melihatnya?

Waktu libur sekolah terasa begitu singkat. Belum terjawab rasa ingin tahuku, aku sudah harus pulang ke Pagaralam. Aku harus menunggu waktu libur panjang tahun depan untuk bisa bertanya lebih detil pada nenek Kam. Duh alangkah lamanya? Pengalaman menakjubkan itu kusimpan sendiri. Bahkan untuk menuliskannya di buku harianku aku tak berani. Tiap kali ingin menulisnya, serasa nenek Kam ada di belakangku.

Ketika aku duduk di kelas 5 SD, Nenek Kam datang ke Pagaralam. Beliau segaja tandang (menginap) ke rumah kami. Entah dalam rangka apa aku tidak tahu. Namun yang jelas bekali-kali beliau berkata minta supaya bisa meninggal di rumah Hasan, beliau sebut nama ayahku. Melihat beliau berkenan menginap di rumah kami. Tentu saja yang paling bahagia adalah aku. Aku dapat bertanya tentang banyak hal padanya. Berharap beliau tidur berdua denganku saja.

Bayangan perempuan berbaju terang yang membantu di sawah ayahku dulu belum hilang dalam benak. Malam ini aku harus dapat jawabannya, tekadku.

“Sudah kau ceritakan dengan siapa saja cerita di sawah dulu, Cung?” Tanya nenek Kam sambil menjulurkan kakinya untuk kupijit ketika aku berbisik menanyakan peristiwa dua tahun lalu. Aku segera menggeleng. Langsung kujawab jika aku tidak bercerita dengan siapa-siapa. Sesuai pesan nenek dulu, cukup kita berdua saja yang tahu. Nenek Kam tersenyum. Wajah keriputnya berubah menjadi sangat manis. Meski giginya tinggal beberapa, namun ketika beliau tersenyum padaku, menjadi berubah. Aku seperti melihat perempuan muda belia berkulit kuning langsat cantik jelita.

“Nek, Nek…kenapa wajah nenek berubah menjadi cantik” Tanyaku heran. Kuraih tangannya yang semula coklat tua, kurus dan keriput. Kemana kerutan itu? Mengapa menjadi mulus dan berwarna kuning langsat? Aku terperangah.

“Hanya dirimu yang dapat melihat wajah gaibku. Inilah aku Cung, nenek Relingin. Sungutan jeme gunung (manusia yang sangat berdekatan dengan orang gunung). Sebentar lagi Nenek akan pulang ke kampung Nenek di puncak Dempu. Tugas Nenek sudah hampir selesai.” Ujarnya.

Aku terperangah ketika beliau menyebut nama aslinya Relingin. Aku tidak mengerti mengapa beliau mengatakan akan pulang ke Gunug Dempu? Bukankah kampungnya ada di Seberang Endikat? Dusun Gunung Liwat?

“Kalau nenek lihat, kamu anak yang cerdas berhati tulus ikhlas dan setia. Kamu hebat. Kamu anak baik. Jaga dirimu baik-baik ya Cung. Dalam perjalanan hidupmu, banyak hal yang akan kau temui. Kau akan merasakan ada orang-orang yang sengaja menghadang langkahmu. Hadapi itu. Jangan takut. Jalani saja dengan ikhlas ya. Tapi nenek kagum padamu. Nenek lihat kamu sangat tegar. Cung, suatu saat jika ada orang minta tolong padamu, jangan pernah menolak. Bantulah semampumu”.

Aku mendengarkan dengan hikmat. Entahlah aku seperti terpaku. Semua yang disampaikan Nenek Kam serasa meresap dalam jiwa. Meski beberapa kata dan maksud yang disampaikan nenek Kam tak semuanya bisa kucerna. Aku mencium ada beberapa hal ghaib yang sengaja beliau pesankan padaku…

***

Ingatanku kembali ke peristiwa dua tahun lalu ketika melihat para kerbai berbaju cerah di sawah. Kali ini aku tidak ingin melewatkan kesempatan untuk minta penjelasan nek Kam sedetil mungkin.

Aku langsung bertanya mengapa para kerbai yang berbaju cerah waktu itu menjadi nenek gunung semua? Lalu mengapa bibi Masilah dan beberapa lelaki yang duduk di bawah dangau tidak merasa takut ketika itu? Tidak diganggunya? Padahal mereka ramai sekali di paok sawah yang sempit? Apa mereka tidak melihatnya?

Mendengar pertanyaanku seperti air pancur di dusunnya nenek Kam tertawa terpingkal-pingkal sampai matanya yang kecil terkatup. Kali ini yang kulihat Nenek Kam asli. Perempuan ringkih berkulit coklat tua kurus dan keriput.

“Cung…Cung…sudah kukatakan kamu itu istimewa. Cuma kamu yang dapat melihat wujud asli kawan nenek. Ketika di tengah sawah kamu melihat banyak kerbai berbaju waran-warni, kerbai yang lain tak satupun melihat mereka. Mereka tidak menyadari jika banyak kawanku yang membantu menanam padi. Bayangkan, sawah kamu yang dua hektar lebih itu, selesai ditanami sebelum matahari terbenam, bukan?” Aku menggangguk membenarkan. “Mereka itu adalah nenek gunung, yang bisa mengubah wujud menjadi manusia.” Ujar Nenek Kam.

“Lalu Nek, bagaimana membedakan yang mana nenek gunung, yang mana setue ketika wujudnya sama-sama berbetuk harimau. Lalu yang pernah aku lihat di kebun kopi dulu, nenek gunung atau harimau beneran?” Ujarku ingin tahu.

“Harimau adalah binatang liar yang habitatnya di hutan belantara. Mereka sering disebut raja hutan. Mereka adalah penguasa rimba.” Jawab Nenek Kam sambil memetik-metik daun sirih yang baru dibeli ibuku petang tadi. “Jika bertemu dengan harimau di hutan, tatapan matanya berbeda dengan nenek gunung. Harimau akan menatapmu lama dan tajam. Karena saat itu ia mengawasi gerak-gerikmu, dia akan mempertimbangkan apakah dihadapannya ini patut dimangsa atau tidak. Bisa jadi dia akan berkeliling mengitarimu untuk melihat tengkukmu. Tengkukmu terbuka atau tidak. Sebab harimau menakhlukan mangsanya, bukan menerkam dari depan. Tapi mematahkan leher atau menerkam tengkuk terlebih dahulu. Makanya jika kamu berambut panjang lalu masuk hutan ke kebun dan lain-lain dilarang rambut tergerai. Sebab khawatir harimau akan salah lihat. Dikiranya rambutmu yang meriap-riap adalah rambut kuda. Dan itu mangsanya. ” lanjut nenek Kam.

“Kalau sekiranya bertemu tiba-tiba dengan harimau di hutan, maka sebaiknya kamu berdiri diam. Ucapkanlah salam, sapalah dengan sopan, dan angkat tangamu sebatas dada dengan telapak mengembang ke depan seperti menyerah. Harimau itu tahu, paham dengan manusia. Dia tidak akan menyerang manusia kalau sekiranya tidak mengancam baginya” Ujar nenek Kam panjang lebar.

Aku menggangguk paham. Akan kuingat-ingat pesannya ini. “Sedangkan yang kau sebut nenek gunung adalah penghuni kerajaan gaib di puncak Dempu, kampung-kampung kecil di dataran Puncak dan lereng-lereng antara Merapi dan Dempu. Mereka punya kebudayaan yang tinggi. Punya kehidupan seperti manusia. Mereka bertani, punya sawah dan berkebun juga. Pada tingkat-tingkat tertentu sebagian mereka bisa mengubah dirinya menjadi manusia.” Ujar Nenek Kam. Dalam hati aku terkagum-kagum mendengarkan cerita nenek Kam, aku jadi ingat kata Mualin guru ngajiku. Sungguh Sang Khalik Maha Kaya. Tak ada Sesuatu yang tidak mungkin ketika Ia berkehendak. Bahkan sesuatu yang tidak masuk akal pun harus tetap kita baca agar kita berpikir.

“Kau tahu Cung, sampaikan pada semesta bahwa Nenek gunung sangat menjaga kelestarian harimau-harimau yang hidup di bumi ini. Apalagi sepanjang bukit Barisan yang melintang dari pangkal Lampung sampai ke ujung Banda. Harimau-harimau itu adalah peliharaan kesayangan para nenek gunung. Dua makhluk yang berbeda namun saling memahami satu sama lain, mereka bertugas menjaga keseimbangan alam” Suara nenek Kam sudah mulai pelan. Nampaknya beliau sudah mengantuk. Aku hanya manggut-manggut mendengarkan penuturannya.

“Jika harimau-harimau itu menyerang manusia atau pernah memakan manusia maka dia akan diusir dan tidak boleh kembali ke kelompoknya. Dan ciri jika harimau itu telah memakan manusia maka salah satu taringnya akan patah. Harimau-harimau itu tidak akan menyerang manusia Cung kalau dirinya tidak terancam atau diganggu ketentramannya.” Sambung Nenek Kam kembali.

Aku seperti mendengar wejangan dari guru di sekolahku. Apa yang diceritakan nenek Kam merupakan pengetahuan baru bagiku. Pikiranku berkeliling ke masa lalu ketika aku beberapa kali melihat mahkluk yang menurut sebagian orang mengerikan itu. Aku mengira-ngira apakah pada waktu itu yang bertemu denganku harimau Sumatera betulan atau nenek gunung yang menyerupai harimau Sumatera? “Nek, jangan tidur dulu. Aku belum selesai bertanya. Bagaimana caranya kok nenek bisa berkawan dengan nenek gunung itu. Baik yang terlihat oleh manusia maupun yang tidak? Bahkan Nenek punya tunggangan nenek gunung berwarna kumbang? Mengapa mereka begitu patuh dengan nenek?” Ujarku meraih tangannya. Kali ini tenagaku agak kukuatkan agar nenek Kam terjaga kembali.

“Panjang ceritanya Cung. Nenek tidak pernah meminta. Dulu sebelum Nenek berusia 40 tahun, anak nenek yang kamu panggil Wak dan paman itu masih kecil-kecil. Nenek beberapa kali ditemui oleh puyang kita dan meminta agar Nenek siap untuk menerima warisan leluhur itu. Di antara sekian banyak anak cucu puyang kita hanya nenek yang dipilih. Pernah nenek menolak, tapi akhirnya Nenek tersiksa sendiri. Orang awam akan melihat nenek seperti orang gila. Padahal nenek sedang digembleng di alam sana. Nenek di bawa ke suatu kampung di sisi puncak Dempu. Bermalam di sana. Di sana ada berdiam adik, kakak, keluarga besar nenek dari bangsa gaib itu. Nenek diago’kah (dipestakan). Nenek dianggun-dipakaikan pakaian kebesaran Besemah. Nenek dikenalkan dengan semua sesepuh jagad Besemah ini. Seluruh puyang berkumpul di sana. Nenek dibekali berbagai macam pengetahuan dan ditugaskan untuk menolong siapa saja yang minta tolong, dan semata-mata untuk menolong manusia, yaitu ilmu pengobatan” Ujar nenek Kam duduk meraih selembar sirih lalu dilipat-lipatnya diselipkannya di besi yang berlubang terbuat dari tembaga lalu menumbuknya.

“Lalu sejak itu Nenek padai mengobati?” Tanyaku. Nenek Kam mengganguk. “Tapi satu kendala besar yang membuat Nenek tidak bisa berbuat apa-apa. Dan itu bertahun-tahun. Nenek lanangmu (suami nenek Kam) tidak menyetujui Nenek pandai mengobati. Alasannya sederhana, katanya kalau kerjaan Nenek mengobati maka siapa yang akan membantunya merawat sawah dan kebun. Mengurus anak dan dirinya. Dia meremehkan nenek. Berkali-kali menyatakan berhentilah jadi dukun, tidak boleh!” Ujarnya seperti mengenang masa lalu.

“Benar” Tiba-tiba Ibuku ikut nimbrung. “Aku masih ingat, bagaimana keluarga besar kita panik hingga berdusun-dusun mencari nenek Kam yang hilang gegera ribut dengan nenek lanang (kakek). Siang malam para lelaki beberapa dusun itu mencari nenek Kam ke rimba-rimba, berharap bisa menemukan nenek Kam. Berbagai macam ritual dilakukan. Termasuk juga memanggil nenek gunung. Tapi usaha itu sia-sia. Lebih seminggu nenek Kam hilang. Dan itu bukan kali pertama menek Kam membuat gempar berdusun-dusun” Ujar Ibuku. “Wah, nenek Kam nakal juga ya, menghilang sampai berminggu-minggu” Ujarku menggodanya. “Padahal nenek Kam ada di sekitaran rumah? Nenek duduk di bawah rumpun serai. Nenek tahu orang-orang kampung sibuk siang malam mencari nenek?” Lanjutku lagi. Kembali nenek Kam tertawa terpingkal-pingkal. Matanya sampai berair. Ibu melirik padaku. “Darimana kamu tahu kalau nenek Kam tidak jauh dari rumahnya?” Tanya Ibuku menyelidik. Aku hanya menggeleng. Aku tidak tahu mengapa aku berbicara seperti itu. “Lalu akhirnya nenek Lanang mengizinkan nenek Kam mengobati orang setelah dibujuk oleh penduduk dan tetua kampung. Peran Kakekku pada waktu itu ternyata didengar nenek Lanang. Kata Kakek, apa yang terjadi dengan Nenek Kam, adalah takdir yang harus beliau jalani. Nenek Kam tidak pernah meminta tapi dia tidak juga bisa menolak.

Ketika keluar ucapan dari Kakek, akhirnya nenek lanang berlembut hati. Beliau minta ampun pada yang Maha Kuasa minta maaf kepada alam semesta kepada leluhur jagad Besemah kepada Nenek penguasa gunung Dempu dan sepajang bukit Barisan kepada penduduk dusun laman. Lalu beliau menyatakan dengan ikhlas mengizinkan jika Relingin ditakdirkan untuk membantu orang yang butuh bantuannya asal untuk jalan kebaikan” Ujarku lagi.

Aku sendiri heran mengapa selacar itu aku berbicara? Ada dorongan lain yang aku sendiri tidak dapat mencegah untuk menghentikannya. Bukankah aku tadi bertanya dengan Nenek Kam perihal asal mula dirinya bisa mengobati orang? Mengapa tiba-tiba aku seperti melihat sebuah tanyangan film di hadapanku? Lalu menjawab pertanyaanku sendiri. Belum pulih keherananku nenek Kam berkata. “Nah, Luhai! Lihatlah gadis kecilmu satu ini jangan heran kalau dia agak berbeda dengan yang lain. Dia ini kesayangan Puyang Ulu. Dia bergelar Putri Selasih“ Ujar Nenek Kam dengan lidah cedalnya menyebut nama ibuku, Ruhaibah menjadi Luhai.

“Sudah Nek, jangan. Biarlah gadis kecil ini normal seperti anak lainnya” Kata Ibuku sedikit khawatir. Padahal aku tahu, beliau berkata begitu untuk menepis rasa ketakutannya sendiri. Sejak aku ceritakan bertemu dengan Nenek Gunung yang tubuhnya besar melompat di hadapanku di kebun kopi dulu, Ibu rada-rada merinding mengenangnya. Apalagi ketika nenek Kam berkata begitu. Aku sangat yakin perasaan was-was itu pasti dibuangnya jauh-jauh.

“Lalu Nek, ketika nenek lanang mengakui kesalahannya di depan orang se-dusun tiba-tiba nenek muncul dari balik selembar daun, mengagetkan orang sekampung. Padahal mereka sudah banyak yang menyimpulkan nenek pulang ke gunung Dempu dan tidak akan kembali ke alam nyata lagi. Bahkan tidak sedikit yang menduga jika nenek Kam sudah meninggal.” Lanjutku lagi. “Iya, Nenek tahu sedusun lamam sibuk mencariku sampai ke Bukit Mutung, ke Bukit Patah. Bahkan aku ingin mengamit Yasir ketika dia melintas dihadapanku. Aku kasihan melihatnya berhari-hari ke luar masuk hutan mencariku. Aku tahu tiap malam orang dusun membacakan Yasin untukku. Aku melihat orang-orang sibuk makan, minum, turun naik di rumah panggung kita yang kecil bergantian jaga-jaga dan bertugas mencari ke segala penjuru. Padahal aku ada di dekat rumah kita itulah. Tidak kemana-mana” Nenek Kam kembali tertawa.

Hari semakin larut. Pagaralam yang dingin membuat aku menarik selimut. Nenek Kam turut berbaring setelah membuang ampas sirih dari mulutnya. Kuselimuti beliau serapat mungkin. Malam ini aku lega, pertanyaanku yang bertahun-tahun akhirnya terjawab sudah. Banyak hal yang kuperoleh. Malam ini juga aku bisa tidur nyenyak. Keesokan harinya, ketika aku terjaga, nenek Kam tidak ada di sebelahku. Padahal masih sangat pagi. Hanya suara Badut, burung tekukur Bapak saja yang ramai mendengkur sendiri sejak pukul empat pagi. Di luar masih tampak gelap dan dingin. Aku langsung melompat turun dari ranjang sambil berteriak-teriak memanggil Nenek Kam. Kucari beliau ke belakang, ke kamar mandi, ke ruang makan. Sepi. Ingin membangunkan ibuku atau Bapakku. Tapi niat itu kuurungkan.

Aku mulai berpikir tentang beberapa kemungkinan keberadaan nenek Kam. Akhirnya aku lari naik ke lantai dua. Kunyalakan lampu. Aku menuju beranda depan yang menghadap ke jalan. Pintu luar terbuka sedikit. Dalam hati berharap nenek Kam berada di sini. Benar sekali, ketika kubuka pintu, aku melihat beliau duduk khusuk di atas selembar tikar purun. Aku ke luar pelan-pelan. Dalam hati aku heran mengapa beliau duduk sendiri di teras ini? Apakah beliau shalat? Tapi shalat apa? Di corong masjid agung aku masih mendengar suara mengaji yang diputar melaui tipe recording oleh marbot. Lama aku duduk menahan dingin di belakangnya. Tidak berselang lama aku mendengar desah nafas berat sekali. Di bawah remang cahaya lampu lima watt aku mencari-cari sumber suara. Tidak ada siapa-siapa kecuali nenek Kam. Tapi suara itu dengusan nafas sangat jelas seperti baru saja melakukan perjalanan jauh? Nenek Kam masih duduk diam. Aku berdiri melemparkan pandang ke jalan. Sumber suara itu terasa sedikit menjauh. Di remang cahaya lampu dan kabut, aku melihat sesosok tubuh melesat cepat melintas jalan yang sepi seperti bayangan. “Nenek Gunung berwarna kumbang!” Mataku tak berkedip melihat tubuhnya semakin jauh dan mengecil. Lama kelamaan menghilang.

Puncak gunung Dempu belum terlihat dari beranda rumah. Kabut masih sangat tebal. Aku masih menunggu nenek Kam bangkit dari duduknya. Tidak berselang lama, aku melihat tubuh kurusnya bangkit. Dia menoleh padaku tanpa ekspresi kaget sedikitpun. Sepertinya beliau mengetahui keberadaanku dari tadi.“Mencari-cari nenek kan? Nenek duduk di sini sampai tertidur sambil duduk. Di dalam agak panas” Ujarnya. Tapi aku tahu kalau beliau menyembunyikan sesuatu. Nenek Kam tidak tidur. “Iya, ketika aku bangun tidur, aku kaget Nenek kok tidak ada. Aku mencari Nenek. Akhirnya kutemukan Nenek di sini. Sejak kapan nenek di luar?” Tanyaku. “Sttt…jangan bicara sama orang lain ya. Nenek tahu kamu tadi melihat adik bujang nenek si Kumbang kan? Dia mengantarkan nenek pulang. Sekarang dia balik lagi ke Gunung. Nenek dari sana, mengikuti pengajian” Ujarnya pelan sambil mendorongku masuk kembali. “Pengajian?” Gumamku dalam hati. Nenek Kam memang banyak anehnya. Nyaris semua yang diceritakan sulit dicerna oleh akal sehat. Sama halnya seperti pagi ini. Mendengar nenek Kam pengajian di puncak Gunung Dempu? Alangkah jauhnya? Malam-malam diantar harimau kumbamg pula. Andai kuceritakan dengan orang, pasti mereka akan mengatakan bahwa aku sudah gila. Ah! Bersambung…
close