HARIMAU SUMATERA HEWAN BERADAT (Part 2)
Lama aku menyimpan pertanyaan itu. Bahkan bertahun-tahun. Jawaban ibu, kakek dan bapakku belum membuatku puas dan menerima begitu saja.
Ketika sudah aktif sekolah di SD Xaverius Pagaralam, aku semakin jarang ikut ibu atau kakek ke kebun kopi. Hanya sesekali saja aku ke ke sana. Itupun kalau ada yang ngantar dan sedikit memaksa agar aku diizinkan nginap bersama kakekku. Maka biasanya aku akan dititip dengan kakek Yunus, saudara jauh yang kerap datang menemui ibu atau Bapakku sekadar minta bekal karena hidupnya sebatangkara. Kebetulan beliau tinggal di kebun orang, tidak seberapa jauh dari kebun kopi Bapakku. Bermalam di kebun kopi, hening dan sepi dengan hanya penerangan lampu yang terbuat dari kaleng susu (lampu cubok; Bahasa Besemah), bagiku nikmat luar biasa. Apalagi bersama kakekku satu-satunya, yang selalu menolak istirahat atau berdiam saja di rumah. seperti biasa usai magrib sampai isya aku akan mendengarkan suara Kakek mengaji. Sementara aku akan tidur-tiduran di sampingnya bergulung dengan selimut membuang rasa dingin.
Gawatnya, udara pegunungan yang gigil, membuatku selalu ingin buang air kecil. Resikonya aku harus turun dari pondok melawan rasa dingin, keluar dari selimut ‘bente’ (selimut dari karung goni yang dibalut dengan kain tebal) kakekku. Dan ini perjuangan. Biasanya, jika aku hendak buang air kecil, Kakek akan bantu aku memberikan pencahayaan dengan senter. Tapi karena beliau masih mengaji, aku berniat turun sendiri. Kubawa senter Kekek. Sejenak sebelum turun aku akan melemparkan cahaya senter ke seluruh penjuru. Kata kakekku kalau ada binatang buas, maka dia akan menjauh melihat sorot senter.
Aku mulai menuruni anak tangga pondok yang terbuat dari bambu. Di luar tidak saja dingin, tapi gelapnya sangat pekat. Apalagi sekeliling pondok ditumbuhi petai cina yang sudah tua berdaun rindang, lalu labu siam menjalar hampir menutupi semua halaman, bahkan hingga ke beranda. Setengah terburu-buru aku segera buang hajat kecil. Usai buang air kecil, kembali aku buru-buru naik tangga. Baru sampai pertengahan tangga, aku mendengar suara ranting kopi gemeretak seperti ada yang menginjak. Aku sedikit terkesiap. Namun rasa ingin tahu membuatku melempar pandang ke arah suara. Spontanitas kuarahkan senter ke arah sumber suara. Masya Allah, seekor nenek gunung tengah berbalik badan membelakangiku. Jarak kami mungkin hanya sekitar sepuluh meter. Tak lama bunyi gemeretak ranting lagi. Kembali kucoba melemparkan pandang ke arah sumber suara. Aku melihat dua cahaya biru bersinar terang di kegelapan. Batinku kembali terkesiap. Aku buru-buru naik dan menutup pintu. Dadaku masih terasa bergemuruh. Entah rasa takut atau udara yang dingin membuat bibirku gemelutuk aku tidak tahu. Yang jelas aku menggigil di bawah selimut ‘bente’ kakekku sambil bertanya dalam hati, mata apa itu? Apakah mata hantu?
Usai kakek salat isya, kuceritakan jika ada nenek gunung memunggungi aku ketika aku buang air kecil. Lalu aku melihat sepasang cahaya berwarna biru menyala di kegelapan. Belum usai aku bercerita, kembali suara ranting bederak-derak. Kali ini sangat ramai. Aku semakin menggigil. Lalu kakek meraih lampu cubok, menuju tungku perapian. Dengan sigap kakek menyalahkan api sehingga ruangan pondok menjadi terang benderang.
Malam ini aku merasa sedikit mencekam. “Oiii nek gunung, di sini ade anak cucung. Dide nak tunggui ige, amu kah ngibal, ngiballah jejauh. Make anak cucung dek takut (Oii nenek gunung, di sini ada anak cucu. Tidak usah dijaga. Jika hendak jalan-jalan, pergilah jauh-jauh. Supaya anak cucu tidak rakut)” Kakek berbicara sedikit berteriak sambil menghangatkan tangan ke arah api.
Tak lama berselang suasana hening kembali, aku tidak mendengar suara ranting yang diinjak lagi. Tinggallah suara jangkrik dan burung hantu yang mendengkur bergantian. Perapian dikecilkan. Namun tetap dibiarkan baranya menyalah. Malam itu aku tidur sambil memeluk Kakek. Keesokan harinya, aku bertanya dengan Kakek. Mengapa nenek gunung datang ke pondok kita tadi malam? Apa maksudnya Kakek menghidupkan api? Kata Kakek, mereka hanya sekadar lewat mungkin tengah mengejar mangsanya, babi hutan, kancil, atau rusa. “Lalu mengapa harus menyalahkan api?” Tanyaku. “Api pertanda kehidupan. Jika kita menyalahkan api maka nenek gunung tidak mau mendekat, apalagi mengganggu. Dia tahu ada anak manusia di sekitar sini. Makanya, dianjurkan jika kita berada di tengah kebun, atau bermalam di hutan buatlah sumber api meski hanya mengepulkan asap kecil. Hal itu bukan saja untuk mengusir nyamuk atau serangga lainnya, tapi juga binatang buas. Asap pertanda ada kehidupan manusia. Nenek gunung tahu itu, maka dia tidak akan mendekat apalagi mengganggu.” “Hmmm…sopan sekali mereka, Kek?’ ujarku. “Ia. Nenek gunung adalah raja hutan yang paling beradat. Dia tidak sembarangan menampakan diri, dan dilihat oleh manusia. Karena dia tahu manusia akan takut. Kecuali jika manusia memiliki pegangan penakhluk misalnya mempunyai simpanan besi angkus, maka hewan itu akan tunduk pada orang yang mempunyai besi angkus itu” lanjut Kakekku.
Aku pun semakin penasaran. Seperti apa besi angkus penakhluk nenek gunung itu? Mengapa nenek gunung akan seperti orang yang menyembah seolah minta ampun pada orang yang memilikinya? Lalu kutanya lagi ‘Mengapa Kakek bicara-bicara sendiri?” Kata Kakek, makhluk itu paham bahasa manusia. Ini adalah bentuk interaksi kita sesama makhluk meski berbeda bentuk . Nenek gunung makhluk cerdas dan beretika. Sambung Kakekku lagi. “Tapi kalau dia tidak mudah menampakan diri sembarangan, mengapa aku sering melihatnya, Kek.’ Tanyaku ulang.
Lama Kakekku terdiam. Beliau seperti berpikir sembari menggulung rokok nipahnya. Aku pun turut menggulung dan menghisapnya, memainkan asapnya ke udara. Mungkin sesuai dengan pesan Nenekku dulu. Berarti maksud Kakek adalah puyangku. Beliau berkata “Kelak ada anak cucuku akan menjadi manusia damai”.
Aku semakin bingung. Apa maksudnya manusia damai? Rupanya yang dimaksud beliau manusia damai itu, seseorang yang tidak merasa takut ketika bersua dengan raja hutan, bahkan mereka akan menjadi sahabat dan bisa berinteraksi. “Mungkin maksud Nenekku manusia damai itu kamu” tambah Kakekku. Aku langsung protes. “Aku tidak mau Kek. Aku tidak mau bersahabat dengan nenek gunung. Aku takut. Nanti aku dibawa ke puncak gunung Dempu. Aku tidak bisa pulang lagi. Enggak, aku tidak mau jadi manusia damai” Teriakku waktu itu setengah menangis.
Bayanganku aku akan dibawa oleh nenek gunung, terpisah dengan Bapak Ibuku, saudara-saudaraku, Kakekku. Kakekku terkekeh sembari menyeruput secangkir kopi. Sejak itu ada rasa ketakutan tersendiri dalam hati. Takut bertemu dengan nenek gunung lalu dibawanya ke puncak Dempu. Mungkin juga Kakekku hanya bercanda. Tapi aku sungguh serius menangapinya. Sejak itu aku tidak mau lagi ikut Kakekku ke kebun kopinya. Meski rasa rindu pada Kakek kerap kali melanda.
Sampai akhirnya kuketahui jika kebun kopi itu dijual Bapakku entah apa alasannya. Aku belum paham ketika itu. Sejak itu Kakekku berpindah kebun ke Talang Petani -Mingkek yang cukup jauh dari Pagaralam. Akhirnya aku semakin jarang bertemu Kakek. Untung tidak lama. Selanjutnya Kakek kembali pulang ke kampung halamannya, dusun Singepure. Akhirnya aku beralih ingin pulang kampung tiap kali libur sekolah. Libur sekolah adalah waktu yang sangat kutunggu. Untuk pulang ke kampung Kakek, Bapak dan Ibuku (dusun Singepure dan Tebat Langsat) yang biasa disebut Seberang Endikat, tidaklah mudah.
Perjalanan ditempuh lebih kurang tiga jam menyisir jalan setapak di sisi tebing dan turun naik dipunggung bukit. Sisi kiri kanan hutan belantara. Tantangan pertama adalah harus meniti jalan pintas yang terkenal curam memiliki kemiringan 85° bernama Tebing Sekip. Tebing curam bertanah kuning dan licin. Hanya kaki-kaki kekar para pendaki saja yang mampu melewati tebing Sekip dengan mudah. Tebing terjal yang kurang lebih panjang (tingginya) sekitar lima ratus meter ini memang tantangan berat. Di tebing Sekip ini pulalah aku kerap mendengar cerita orang kampung sering melihat bekas kaki nenek gunung. Bahkan pernah melihat nenek gunung berdiri di puncak tebing. Penduduk kampung meyakini jika raja hutan itu penunggu Tebing Sekip.
Di dalam perjalanan aku mendengar cerita beberapa orang yang mengatakan jika jalan ini baru dilalui kembali beberapa hari ini. Lalu kutanyakan pada Kakekku, mengapa jalan setapak yang menghubungkan dusun Badar dan dusun kita lama tidak dilalui? Rupanya berapa bulan lalu, kata Kakekku ditemukan mayat lelaki dengan dada koyak di dekat Tebing Sekip. Semua isi dadaya, jantung dan hatinya hilang. Ususnya terburai, tubuhnya koyak-moyak. Usut punya usut lelaki itu mati karena diterkam nenek gunung. Karena takut diserang makhluk hutan itu, penduduk memilih tidak melalui jalan itu beberapa lama, menunggu suasana tidak mencekam lagi. Pantas rumput sisi jalan semakin tinggi hingga menutupi jalan setapak. Padahal jalan ini adalah jalan pintas yang paling mudah dan dekat jika hendak ke Pagaralam. Sejak jaman nenek moyang, jalan ini digunakan untuk mengangkut berbagai hasil bumi sebelum kenal kendaraan roda dua maupun roda empat. Paling banter gerobak yg diseret sapi dan kerbau melintas susah di jalan ini. Sebab tidak saja kecil berbatu, namun naik turun bergelombang adalah medan sulit yang telah dilakoni nenek moyangku sejak dulu.
Sejak kematian lelaki di Tebing Sekip itu, orang sering kali melihat baik siang maupun malam, nenek gunung berkeliaran masuk dusun. Bahkan berkeliling di halaman rumah penduduk siang hari. Hal ini sedikit banyak merisaukan penduduk. Mereka tidak ada yang berani pergi ke kebun. Bahkan untuk sekadar ke pancuran saja mereka harus berombongan, saling berjaga-jaga. Dusun menjadi mencekam. Kecil besar tua muda kamana-mana menyelipkan pisau di pinggang untuk berjaga-jaga jika ada serangan mendadak dari nenek gunung. Sebenarnya masyarakat sudah tahu mengapa nenek gunung berkeliaran sampai masuk dusun bahkan menyerang manusia. Pasti ada kesalahan yang telah dilakukan oleh manusia. Namun sebagian besar tidak tahu apa yang harus dilakukan. Akhirnya, menurut Kakekku, sebagai orang yang dituakan, beliau mewakili warga dusun menemui ‘manusia damai’ yaitu Nenek Kam sepupunya. Beliau memiliki kemampuan berinteraksi dengan segala macam makhluk ghaib. Meski saudara sendiri, ketika hendak meminta tolong menyampaikan aspirasi warga dusun, Kakek memakai cara formal dan penuh penghormatan.
Tidak lama berselang, suara Nenek Kam berubah menjadi suara perempuan yang sangat menyayat. Terjadilah interaksi antara Kakek dengan Nenek Kam. “Kami tidak akan berkeliaran masuk dusun, kalau bukan karena kejahatan manusia. Siapa yang tidak marah? Anak bujangku satu-satunya mati dibunuh. Dagingnya dimakan sebagian lagi daging dan kulitnya diawetkan dan hendak dijual. Kami hendak mengambil daging dan kulit anakku!” suara yang masuk ke dalam tubuh Nenek Kam menumpahkan amarah dan kesedihannya.”Siapa yang telah membunuh anak bujangmu, Nek?” sambung Kakekku lagi. Lalu disebutnyalah nama orang yang mayatnya ditemukan di Tebing Sekip itu. “Nyawa harus dibalas dengan nyawa. Saya tidak ikhlas anak bujangku satu-satunya diperlakukan seperti itu. Padahal anak bujangku sudah menunduk dan minta ampun. Tapi masih juga dibunuh” Suara Nenek Kam sedih sekali. Nampak sekali jika yang masuk ke dalam dirinya sangat marah.
***
Suasana di rumah nenek Kam menjadi mencekam. Semua terhanyut dengan perasaan ibu nenek gunung yang sukmanya masuk ke dalam diri Nenek Kam.
Ini adalah cara agar bisa berinteraksi dengan makhluk itu. Sebagian ibu-ibu yang mendengarkan turut terisak. Tak sedikit lelaki turut berair mata. Sangat terasa sekali bagaimana sedihnya kehilangan anak lelaki satu-satunya. Dibantai, dikuliti lalu kulit dan dagingnya dimakan dan diperjualbelikan.
“Kami tidak akan pernah mengganggu kehidupan manusia. Bukankah dari dulu kita selalu hidup berdampingan tidak saling mengganggu meski kita sangat berdekatan? Meski kami bukan manusia, tapi kami memiliki aturan. Tidak mudah kami menyerang manusia. Sebab kami pun akan dihukum jika melakukan kesalahan. Bagaimana dengan kalian? Bujang itu anakku satu-satunya, sedang berjalan-jalan mencari mangsa. Terjerat oleh perangkap yang sengaja kalian pasang di rimba. Anakku tidak masuk ke wilayah perkebunan kalian. Rimba itu rumah kami. Tetapi anakku kalian bunuh di situ. Padahal anakku sudah minta ampun, dia tundukkan kepala mohon untuk tidak dibunuh. Tapi masih juga kalian dibantai. Bahkan dengan bangganya sesumbar dengan warga dusun seakan ingin menunjukkan jika dirinya hebat, gagah, bisa menakhlukan raja rimba”
Suara itu semakin menyayat. Perasaan perihnya seperti menggali lubang telinga hingga ke liang dada. “Lelaki yang jenazahnya di Tebing Sekip itu memang bangsa kami yang bunuh sebagai bentuk pembalasan. Nyawa memang harus dibalas dengan nyawa. Dendam kami belum akan terbalas apabila dia masih hidup” Ujar ibu nenek gunung kembali.
Kakek mengangguk-angguk. Apa yang disampaikannya benar adanya. “Kami mengakui kesalahan kami Nek, nyawa telah dibayar dengan nyawa. Yang membunuh anakmu telah mati. Kami inginkan kita kembali hidup bersama tanpa gesekan. Kami ingin kita kembali damai di dusun kita masing-masing. Sekali lagi kami manusia mengakui kesalahan kami. Kami memang serakah, tidak beradat, tidak mampu menjaga kehidupan damai yang telah diwariskan oleh nenek moyang kami. Nenek, ibarat nasi telah jadi bubur, buluh sebatang telah hilang buku. Hal yang sudah terjadi tidak bisa diulang kembali. Anak bujang Nenek tak bisa hidup kembali. Demikian juga yang membunuh anakmu telah mendapat ganjarannya. Selanjutnya, bagaimana dengan kita agar bisa kembali hidup damai seperti sebelumnya. Kami semua penduduk dusun di Seberang Endikat ini, minta nyawa, dan akan kami pesankan ke anak cucu, agar jangan pernah mengusik kehidupan kalian. Kira-kira, apa yang harus kami lakukan untuk menebus kesalahan kami, Nenek?” lanjut Kakek penuh kesungguhan.
“Aku tidak bisa memutuskan, kami masih harus musyawara dengan junjungan kami, tuanku Panglime Raje Nyawe, di puncak Dempu (Dempo)” Tak lama berselang, Nenek Kam bersedekap, diam sejenak. Nampaknya sukma Ibu nenek gunung tengah menghadap Panglime Raje Nyawe. Konon Panglime Raje Nyawe adalah pemimpin kerajaan nenek gunung di Besemah Libagh berdiam di puncak Gunung Dempo. Beliau sering juga disebut Macan Kumbang.Tidak menunggu lama, nenek Kam kembali menggeram. Tangannya seperti mencengkram. Otot-otonya terlihat kencang. Sementara matanya, tajam nanar dan menyalah.
“Assalamualaikum Warahmatullahi wabarokatuh. Aku sudah tahu maksud pertemuan ini Yasir” Panglime Raje Nyawe menyebut nama Kakekku. “Aku telah mendengar semuanya. Apa yang disampaikan cucuku benar adanya. Hati siapa yang tidak akan marah melihat anaknya dibantai. Kalau bukan karena kami masih bisa menahan diri, sudah lama dusun ulu itu kami ratakan. Kami bisa saja membuat kehidupan anak manusia dusun ulu itu tidak tentram selamanya. Kami seret penduduk dusun itu ke rimba. Kami bunuh di sana. Apakah kalian bisa mencegahnya? Tidak! Kami bisa saja mengerahkan semua pasukan bangsa kami yang berdiam di sepanjang Bukit Barisan ini untuk menyerang kalian. Tapi kami tidak melakukannya. Karena pada dasarnya kita sama. Yasir. Kita ingin anak cucu kita berkembang dan hidup damai. Semua sudah terjadi, semoga kejadian ini tidak terulang lagi” Ujar Panglime Raje Nyawe dengan suara sangat berwibawa.
“Benar Puyang Panglime Raje Nyawe. Gara-gara perbuatan bodoh satu orang, telah merusak banyak hal. Kehidupan kita jadi terganggu, hubungan kita pun jadi terganggu. Kami minta maaf Puyang Pangling. Aku mewakili ‘jurai tue’ dusun seberang Endikat ini, minta ‘nyawa’ nian. Selanjutnya, apa yang harus kami lakukan untuk mengembalikan dusun menjadi damai kembali Puyang Panglime? Agar hubungan kita tidak terjadi gesekan lagi, kami akan patuhi, Puyang Panglime” Ujar Kakek penuh takzim.
Pendek kata, Puyang Panglime Raje Nyawe menyampaikan agar semua kembali seperti sedia kala ada beberapa syarat yang harus dipenuhi bangsa manusia. Pertama, kembalikan semua organ tubuh anak bujang cucunya. Tidak boleh ada seujung kukupun yang tertinggal. Lalu letakkan semuanya petang ini juga di pinggir dusun.Selanjutnya taburkan beras kunyit. Dan bangsa manusia, utamanya dari dusun ulu itu harus nepung. Iringan nepung menyembelih seekor kerbau, lalu “sedekah bubugh’ dan sekapur sirih di tempat anak cucunnya dibantai. “Baiklah Puyang Panglime Raje Nyawe. Terima kasih. Insya Allah akan kami laksanakan segera.” Ujar Kakekku. ‘Untuk selanjutnya, sampaikan dengan anak cucu kalian agar jangan membunuh bangsa kami jika tidak terpaksa” Suara Puyang Panglime Raje Nyawe tegas.Kakek mengiyakan dan siap menyampaikannya pada anak cucu.
Tak lama berselang Puyang Panglime Raje Nyawe mohon diri dan mengucapkan salam. Akhirnya ketika nenek Kam sadar kembali, disampaikanlah apa yang barusan terjadi. Selebihnya kakek minta Nenek Kam untuk mengatur segalanya, yaitu nepung, nyembelih kerbau, dan sedekah bubugh. Selanjutnya, para kepala dusun dikumpulkan untuk berembuk, utamanya dusun Danau, Singepure, Bangke, Gunung Liwat, dan Tebat Langsat. Rangkaian ritual itu dilaksanakan sesuai pesan Puyang Panglime Raje Nyawe. “Ini salah kita. Si Anu memang keras kepala! Tidak bisa dicegah. Beberapa kali aku merusak jeratnya dengan harapan agar kawan-kawanku tidak terperangkap jeratnya. Tapi kembalo dipasangnya. Sudah kuperingatkan, tapi masih juga tidak percaya. Nah inilah akibatnya. Aku juga marah. Makanya tidak kucegah nenek gunung berkeliling dusun. Agar kalian tahu” Ujar nenek Kam ketika itu.
Akhirnya lima dusun Ulu Endikat sepakat nepung, dan bayar denda dengan cara menyembelih kerbau dan sedekah bubugh. Sejak itu dusun aman kembali. Nenek Kam menjadi mediator perdamaian itu. Keluarga yang membunuh, tidak saja sedih karena kepala keluarga mereka meninggal dalam keadaan mengenaskan, namun juga malu dengan penduduk kampung karena ketahuan sumber onar. Dalam hati, aku mengagumi Nenek Kam. Perempuan separuh baya bertubuh ringkih namun memiliki kemampuan luar biasa ini kata-katanya selalu didengar. Menurut Kakek beliau bisa begitu turun menurun dari leluhurnya. Banyak pengalaman yang tidak masuk akal bersama beliau. Misalnya saja ketika di rumah panjang Bapakku mengadakan hajatan (aku tidak ingat hajatan apa) seperti biasa semua sanak keluarga dari dusun tetangga akan datang. Bahkan banyak yang bermalam.
Di dusunku, sejak bulan September, curah hujan sangat tinggi. Otomatis, jalan jadi licin, untuk sampai ke dusun Kakekku pasti siapapun akan basah kuyup. Tapi tidak bagi Nenek Kam. Beliau tiba di rumahku usai shalat maghrib. Hujan masih sangat lebat. Antara kampung Nenek Kam dengan Dusunku kurang lebih 1,5 km dan itu harus ditempuh dengan berjalan kaki. Ketika beliau masuk, semua heran. Biasanya yang datang akan mencuci kaki di garang, dan sedikit banyak pasti akan basah. Tapi nenek Kam santai saja masuk rumah, tidak basah sama sekali bahkan kakinya kering.
Melihat nenek Kam tidak basah ibuku penasaran. Di senter dan dipegangnya kaki Nenek Kam. Benar saja kering, hangat, dan bersih. “Kenapa Nenek Kam tidak kotor, bahkan tidak basah sedikitpun. Bagaimana caranya Nek?” ujar Ibuku yang disambut Nenek Kam dengan tawa. Setelah terus didesak barulah beliau menjawab dengan lidah cedalnya.”Aku tadi diantar sama adik bujangku” katanya. “Adik bujang? Setahu kami nenek Kam tidak punya adik bujang? Adek Bujang yang mana?” Sambung ibuku lagi semakin heran. “Ai..kamu mau tahu saja. Aku punya adik bujang. Itu dia ada di luar”.
Ibuku langsung menongolkan kepala ke luar jendela cahaya lampu petromak membantu penerangan. Betapa terkejutnya ternyata di bawah ada seekor nenek gunung berwarna kumbang sedang duduk menikmati sisa hujan. Itukah yang disebut nenek Kam adik bujangnya? Nenek Kam hanya terkekeh ringan. Ibuku semakin yakin jika beliau memang manusia damai yang selalu dikelilingi oleh makhluk rimba itu yaitu nenek gunung. Bersambung…