Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

HARIMAU SUMATERA HEWAN BERADAT (Part 8)


Tidak perlu menunggu lama, perihal kejadian di pasar tradisional Proyek Pagaralam menjadi buah bibir satu kota. Bahkan sampai pula ke kecamatan tetangga dan ibu kota kabupaten Lahat. Nenek Kam menjadi buah bibir disebut-sebut perempuan tua yang sakti, perempuan harimau, perempuan damai, dukun besar dan sebagainya. Tak sedikit yang mencari keberadaan nenek Kam demi sekadar ingin mengenalnya atau sekalian hendak berobat padanya.

Gudang kopi sekaligus kantor Bapakku semula hanya ramai dengan orang yang bekerja memuat, menyutir kopi, menampi dan menampung biji kopi, sekarang berjejal pula orang yang datang menanyakan nenek Kam. Otomatis kejadian di Pasar Proyek sampai juga ke telinga Bapak dan ibuku. “Apa yang terjadi di pasar tadi pagi, Nek?” Tanya Bapak setelah banyak orang yang datang ingin bertemu dengan nenek Kam. “Biasa, namanya juga di pasar jadi segala macam kejadian ada, San” Ujar nenek Kam. “Kabarnya Nenek menghantam tukang daging? Merusak tempat jualannya. Bagaimana kalau dia mengadu ke Polisi? Apa Nenek tidak takut dipenjara? Lagi pula apa pasalnya sampai menghancurkan tempat jualan penjual daging, Nek.

Nenek tahu, rata-rata penjual daging itu gerantangan! Jangan cari masalah. Untung Nenek tidak dikapaknya .” Nada Bapak agak menyesalkan. Nenek Kam hanya tertawa melihat Bapak berbicara panjang lebar. “Hmm…Kalau Polisi menangkap saya akan saya bongkar habis kenakalan di pasar itu. Kamu tidak tahu persoalan, San. Tukang daging itu diam-diam menjual daging setue jabalan dari Bukit Bengkulu. Meski setue jabalan, bukan berarti seenaknya saja manusia menjerat dan membunuhnya. Dia punya hak untuk hidup bebas selagi tidak mengganggu kehidupan manusia. Kamu tahu, San? Beberapa polisi itu terlibat, dia tahu perihal penjualan daging setue itu. Tapi karena disumpal dengan uang, dia legalkan.” Demi mendengar itu Bapakku terkejut bukan main. Meski nenek Kam tidak pernah bergaul dengan Polisi atau sejenisnya namun Bapak percaya apa yang dikatakan nenek Kam benar adanya.

Bapak jadi merinding. Untung nenek Kam hanya sekadar mematahkan tiang atap kedai dan mematahkan meja satu orang pedagang. Kalau dia mengamuk lalu mengobrak-abrik seisi pasar bakal jadi urusan besar. Dapat dipastikan mereka akan menuntut ganti rugi dengan Bapak. “Menjual daging setue?” Bapak meminta penegasan. “Iya, daging setue! Semula dia bilang daging kaput, pesanan Cina Pagaralam dan Lahat. Dia tidak tahu, dalam jarak puluhan kilometer lebih, aku masih dapat mencium aroma daging kawanku itu” Sambung nenek Kam kembali. “Bagaimana ciri-ciri penjual dagingnya?” Sambung Bapak. “Perawakannya gendut. Perutnya buncit, berkumis agak putih. Rambutnya agak lurus dan keras. ” Ujarku menjelaskan. “ Ada tato?” Sambung ayahku lagi. “Iya, di lengannya ada tato bunga setangkai” Jelasku.

Demi mendengar itu, Bapak langsung bangkit dari tempat duduk menuju loket kantornya lalu memutar tilpon, meminta sentral menghubungkannya ke Kompi Karang Dale. Tidak lama berselang, aku mendengar Bapak berbicara dengan komandan Kompi, anak angkatnya yang kerap kupanggil Kak Yudikat. Dari obrolan itu kuketahui, Bapak bercerita kalau di pasar daging Proyek ada pedagang nakal diam-diam menjual daging setue. “Ini bahaya, Yudikat. Untung nenek gunung Dempu tidak turun gunung semua. Jika mereka marah, bisa hancur kota kecil kita ini” Ujar Bapak meyakinkan. Lalu aku mendengar Bapak bilang iya, iya berulang kali.

Tidak berselang lama hanya hitungan beberapa jam, aku melihat satu pleton tentara lengkap dengan senjata didampingi pejabat kecamatan berhenti di depan ruko Bapakku. Mereka berbicara sesaat. Bapak menjelaskan beberapa hal yang berkaitan dengan kejadian pagi tadi. Melihat pasukan berpakaian loreng masuk ke dalam pasar dengan senjata lengkap, membuat beberapa pedagang tegang. Malah ada yang berlari ketakutan. Mungkin mereka mengira akan terjadi tembak-menembak seperti perang di film-film laga. Tidak sedikit yang menutup kedainya mendadak. Padahal waktu baru menunjukan tengah hari. Kak Yudikat dan pak Camat langsung masuk ke pasar daging. Rupanya beberapa anak muda berpakain putih bersih ikut masuk ke tengah pasar. Pak Camat mengamati kedai yang rusak parah. Tanpa bertanya, beliau tahu siapa yang merusak kedai itu sampai patah mematah seperti ini. Cerita lengkap tentang Nenek Kam sudah sampai juga kepada beliau. Pasukan loreng dengan sigap memeriksa pasar daging hingga ke tempat penyimpanan daging beku. Beberapa petugas memakai baju putih yang kuketahui adalah dokter hewan dibantu beberapa orang dari Dinas Kesehatan tak kalah cepatnya memeriksa daging-daging yang dijual. Baik yang dibekukan maupun yang masih segar. Dengan cermat mereka mendata daging untuk memastikan daging sapi, daging kerbau atau ada daging hewan lainnya. Daging harimau misalnya. Tidak berapa lama, pemerikasaan di pasar daging selesai. Tidak ditemukan daging lain selain daging sapi dan daging kerbau. Aku melihat bapak penjual daging yang bertubuh tanbun digiring tentara masuk ke dalam mobil dinas TNI. Pasukan tentara mulai berkemas naik ke dalam mobil.

Aku berniat hendak pulang mengiring di belakang Kak Yudikat dan bapak Camat. Tiba-tiba hidungku mencium bau nenek gunung sangat dekat. Kusapu kerumunan orang yang nampak heran melihat banyak pasukan tentara tidak seperti biasanya. Berulangkali kuamati tapi aku tidak menemukan sosok nenek gunung di sini. Hidungku mengendus-endus. Aroma nenek gunung semakin jelas. Tiba-tiba mataku tertuju pada seorang lelaki bermata cipit berdiri di antara kerumunan lalu turut melongokkan kepala ke dalam mobil TNI. Rupanya dia tengah mengamati lelaki tambun yang digiring tentara ke atas mobil. Kugamit tangannya. Dia menoleh. Tanganku ditepisnya pertanda tidak suka digamit. Kuulangi sekali lagi. Kembali tangannya menepis. Bahkan kali ini lebih kasar setengah membalas menepuk. Rupanya dia mulai marah. Apalagi yang menggamitnya anak kecil. Tidak salah lagi. Dari tubuhnya aku mencium aroma daging dan darah nenek gunung.

Bau anyir darah dan daging nenek gunung membuat aku ingin mencabik-cabik tubuhnya. Lelaki ini pasti pernah memakan daging nenek gunung, batinku. Tapi aku tidak bisa memastikan apakah nenek gunung berasal dari rimba yang sama dengan yang di dalam karung lelaki tambun itu? Nenek gunung dari Bengkulu? Aku tidak peduli. Nenek gunung darimana pun dia, bagiku dia adalah saudara. Tidak akan kubiarkan darah dan daging saudaraku itu bersemayam di tubuh manusia. Aku mulai naik darah. Demi melihat mataku yang nanar seperti hendak menerkam, lelaki itu menjerit takut. Ternyata jeritannya memancing kak Yudikat yang masih memberi komando pada anak buahnya. Kak Yudikat langsung berlari dan mendekatiku. “Adek, ada apa? Dek, ini kakak. Lihat sini..ini kakak Yudi. Tatap mata Kakak” Kak Yudikat meraih tubuhku. Kedua telapak tanganku sudah mengembang hendak mencakar. Dengan cepat kak Yudikat memeluk tubuhku dari depan. Lalu menutup wajahku dengan badannya yang kekar. Aku berusaha untuk tidak memberontak. Aku khawatir akan melukai kak Yudikat. Kurasakan tubuhku bergetar hebat. Darahku serasa mendidih. Niat membunuh serasa sudah di ubun-ubun.“Kak, di dalam tubuh lelaki ini ada daging dan darah nenek gunung. Aromanya menyengat. Aku harus mengambilnya!” Ujarku geram. Degan gerakan ringan, kak Yudikat memerintahkan anak buahnya menangkap lelaki keturunan itu. Lalu menggiringnya ke atas mobil bersama tukang daging yang tambun.

Akhirnya aku digendong Kak Yudikat sambil berjalan menuju rumah. Sesekali kak Yudikat menatap wajahku. Sementara aku merasakan wajahku sudah kembali biasa. Sebenarnya aku ingin minta turun. Aku malu ditonton orang karena digendong seorang tentara. Apalagi yang menggendong adalah komandan Batalyon. Dari atas gendongan aku melihat beberapa orang mengiring di belakang mobil dinas TNI yang membawa lelaki tambun dan lelaki keturunan. Perawakannya berbeda dengan orang suku Besemah pada umumnya. Beberapa orang di antara mereka memakai ikat kepala. Berbaju hitam semua dengan dada terbuka. Mereka seperti pendekar silat. Telapak kaki mereka lebar dan kekar. Cara berjalannya gagah sekali. Saking ramainya aku tak bisa menghitung berapa jumlah mereka.

Aku menepuk-nepuk pundak kak Yudikat. “Kak, kok banyak orang yang pakai baju seragam hitam di belakang mobil dinas TNI itu?” Ujarku menunjuk ke arah mobil. Kak Yudikat berhenti sejenak lalu menoleh. “Pakai seragam apa? Kakak tidak melihat ada orang berpakaian seragam kecuali pasukan tentara” Ujarnya. “Itu kak..di belakang mobil. Masak sebanyak itu kakak tidak lihat? Mereka semua pakai baju hitam kayak rompi ” Ujarku meyakinkan. “Kakak tidak lihat” Sekali lagi kak Yudika menoleh. Kemudian kembali melanjutkan perjalanan. “Turunkan aku, Kak” Aku memohon. Namun kak Yudikay tak juga mengizinkan. “Sampai di rumah” katanya. Aku malah dipanggulnya makin tinggi. Semakin tinggi aku dipanggul, semakin terlihat jelas pasukan berbaju hitam itu. Tiba-tiba aku melihat mereka bergerak cepat melompat ke dalam mobil yang merangkak berjalan. Aku menjerit kaget. Tak lama berselang, kulihat beberapa orang melompat dari mobil sembari membawa bungkusan berwarna hitam. Gerakkan mereka cepat sekali. Nyaris tak terlihat oleh mata.“Kak, lelaki keturunan itu hilang” Ujarku setengah berteriak. “Ada di dalam mobil” Kata kak Yudilat santai. Padahal aku melihat lelaki bermata cipit itu dimasukkan oleh pasukan berbaju hitam itu ke dalam kain. Lalu dipanggulnya dan dibawanya pergi.

“Lapor komandan! Lelaki keturunan yang baru kita masukkan menghilang” Ujar seorang tentara berahang tajam. Kak Yudi kaget bukan main. Tanpa dia sadari aku diturunkannya dari gendongan. Secepat kilat aku berlari ke belakang mobil. Aku ingin memastikan apakah benar lelaki bermata cipit yang hilang? Ketika aku mengintip di sela tubuh TNI, ternyata benar. Lelaki keturunan itu sudah tidak ada di dalam mobil. Padahal mobil padat oleh tentara yang berdiri dan duduk.

Para TNI saling pandang tanpa mampu berbicara. Termasuk juga kak Yudikat menatapku lama, tercengang seakan menunggu penjelasanku. “Dia sudah dibawa pergi jauh Kak, tidak ada yang bisa menghalangi. Pendekar-pendekar yang berbaju hitam tadi adalah datuk dari Sumatera Barat” Tuturku singkat. Kak Yudikat semakin tercengang. Aku tahu dalam benaknya seperti bermimpi. Bagaimana mungkin manusia hilang di atara orang ramai. Dan siapa pula pasukan berbaju hitam itu? Selintas kak Yudikat kembali menguasai diri membuang keheranannya jauh-jauh. Mobil dinas TNI disuruhnya segera berjalan. Pak Camat minta izin untuk berangkat lebih dulu. Kak Yudikat mengangguk sembari memberi hormat. Lalu mempercepat langkah hendak menemui Bapakku segera.

***

Suasana di gudang kopi Bapak masih ramai. Para pekerja masih asyik menggancu, memilah, membersihkan atah, menampi biji kopi sambil bercengkrama. Kak Yudikat dengan beberapa pengawalnya yang semula ramai menjadi diam dan sedikit sekali melakukan gerakan. Kak Yudikat langsung duduk dan telihat sedikit cemas. Maklum, masyarakat Pagaralam pada umumnya sangat menghormati tentara. Rasa kagum terhadap TNI umumnya tertanam pada diri mereka sebagai kesatuan yang berjasa dan paling berani mengahadapi para penjaja.

TNI tidak saja ditakuti oleh masayarakat Pagaralam pada umumnya tapi lebih dari itu TNI sangat disegani. Maka tidak heran ketika melihat Kak Yudikat mereka menjadi tunduk dan hormat. “Bapak, tolong bantu aku. Tolong jelaskan padaku, Pak. Seumur hidupku, baru kali ini aku melihat kejadian aneh di depan mata. Aku sudah berkeliling ke pelosok Nusantara, bahkan pernah ke perkampungan paling primitif di Papua. Tapi baru kali ini, baru di kota ini aku menemukan hal yang tidak masuk akal. Bagaimana tidak, warga keturunan yang jelas-jelas berada di dalam mobil TNI yang terkurung rapat, berjejal dengan pasukan bisa hilang. Lenyap di depan mata manusia Pak. Jelas-jelas manusia. Kita masih hidup di bumi, makhluk bernama manusia kan pak?” Ujar kak Yudikat tidak bisa menahan keherannnya.

“Apa yang harus saya jelaskan jika keluarganya bertanya. Sementara saksinya banyak jika warga keturunan itu dimasukan ke dalam mobil. Kemana kami harus mencarinya?” Ujar kak Yudikat. Bapak mengernyitkan kening. Menurut Bapak luar biasa juga kejadian ini. “Mengapa memasukan keturunan Cina itu ke dalam mobil? Kesalahan apa yang dia lakukannya?” Bapak balik bertanya.

“Semula saya hanya ingin menyelamatkannya dari cengkraman dek Erus, Pak. Saya melihat Dedek berubah beringas ketika melihatnya. Kata dek Erus dia mencium darah dan daging nenek gunung di tubuhnya. Dan Dedek ingin mencabik dan membunuhnya”. Sambung kak Yudikat sembari melihat padaku. Bagiku kak Yudikat semakin tampan jika memakai baju loreng. Tubuhnya yang tegap, besar tinggi dan gagah membuat orang segan padanya. Tapi siang ini, aku melihat sedikit risau di wajah kak Yudikat. Kak Yudikat mirip anak bujang yang manja. Barangkali karena di depan Bapakku, orang tua angkatnya sehingga beliau kelihatan sedikit manja? Entahlah.

“Ada apa dengan Dedek Erus, Pak. Mengapa tiba-tiba Dedek Erus berubah? Tadi yang saya lihat, bukan adik kecil manis seperti ini? Untung saya melihat perubahan dek Erus. Saya langsung memeluk dan mengendongnya terus membawanya pulang. Tapi ketika di gendongan, Dede Erus bilang dia melihat bayak sekali orang berpakaian hitam, menggunakan ikat kepala mengiring di belakang mobil. Sementara saya tidak melihat kecuali orang yang berkerumun heran melihat prajurit yang memenuhi pasar. Pasukan, saya perintahkan kembali naik ke atas mobil untuk menyerahkan tukang daging ke kantor Polisi agar diproses lalu pulang ke Batalyon.” Kak Yudikat nyerocos seperti tidak berhenti. Semua yang mendengar turut memperhatikan dengan wajah takjub dan ekspersi tidak percaya. Sebagian berbisik-bisik entah apa yang mereka bicarakan. Para pekerja itu yang semula bekerja seperti semut tidak ada hentinya kecuai waktu istirahat, tiba-tiba serentak menyimak penuturan Kak Yudikat. Sementara aku tak acuh duduk di pangkuan kak Yudikat sambil memainkan beberapa atribut di bajunya. Kejadian seperti ini bagiku tidak aneh sama sekali. Justu orang-orang disekitarku ini terlihat aneh menatap Kak Yudikat dan menatap aku.

“Padahal Pak, isi mobil selain tentara juga penjual daging dan warga keturunan itu. Tiba-tiba Dek Erus menjerit dan mengatakan warga keturunan itu dibawa pergi oleh pasukan berbaju hitam. Tak lama kemudian, anak buah saya turun dan melapor kalau warga keturunan itu hilang. Setelah dilihat memang lenyap tidak ada bekas” Lanjut Kak Yudikat lagi. Wajah kak Yudikat seperti orang bodoh. Dia garuk-garuk kepalanya yang tidak gatal. Ketika topi baretnya dilepas makin jelas wajah cemasnya. Rambutnya yang cepak, kening yang datar mengkilap, alisnya tebal, semakin terlihat ketampanannya. Bapak menggangguk-angguk demi mendengar penuturan Kak Yudikat. “Oo, warga keturunan itu mungkin salah satu pembeli dan pemakan daging nenek gunung itu. Makanya darah dan dagingnya tercium oleh makhluk gunung” Ujar Bapak meyakinkan. “Dedek yang ngamuk dan mencium aroma nenek gunung di tubuh warga keturunan itu, Pak. Saya tidak melihat nenek gunung di situ. Nenek gunung itu harimau dari gunung Dempu kan Pak?” Lanjut kak Yudikat lagi. Bapak diam sejenak. Sepertinya Bapak juga bingung harus menjelaskan mulai dari mana. Mata bapak sekilas menatapku dalam-dalam. Tangan kak Yudikat mengelus-ngelus kepalaku. Sesekali diciumnya sekadar membuang perasaannya yang risau. Aku merasakan sangat damai di dalam pelukan kakakku yang gagah ini. Meski bukan kakak kandung namun perhatian dan kasih sayangnya memang patut menjadi anak pertama Bapakku.

“Benar Pak, warga keturunan itu pemakan daging nenek gunung. Makanya aku benci dan ingin membunuhnya. Warga keturunan itu dibawa para Datuk, inyiak ke rimba gunung Talang Sumatera Barat. Sepertinya kita tidak akan bisa menemukan dan menyuruhnya pulang. Dia dijaga sangat ketat oleh para inyiak sebagai tahanan kejahatan” Sambungku. Aku sendiri bingung kok menyebut inyiak dan gunung Talang. Sementara aku sendiri tidak tahu dimana gunung Talang tersebut. Termasuk juga kalau di sana orang gunung disebut inyiak. Aku merasakan ada yang berbicara lain dari dalam tubuhku. Dan aku sendiri tidak bisa menghalanginya untuk diam dan tidak turut berbicara. “Nah, Pak. Dari mana Dedek Erus bisa megetahui hal ini?” Kak Yudikat makin heran. Bapak melihat ke arahku. Dari ekspresinya, Bapak tidak melihat sesuatu yang aneh padaku. Aku saja yang merasa aneh tiba-tiba diriku bisa berubah. Apa ini ada pengaruhnya karena kedekatanku dengan Nenek Kam? Tiba-tiba aku teringat beliau. Mana nenek Kam? Aku baru sadar kalau di rumah ini ada perempuan yang sangat dekat dengan kehidupan nenek gunung. Mengapa tidak dari tadi? Beliau pasti tahu perihal hilangnya manusia keturunn cina Pagaralam itu.

“Mana Nenek, Pak?” Tanyaku “Ada di atas, jangan diganggu. Nanti saja kita minta penjelasan beliau. Hanya keluarga korban yang memiliki hubungan darah saja yang berhak bertanya kepada beliau” Ujar Bapak. “Nenek? Nenek yang mana Pak? Lalu apa solusi yang harus saya lakukan demi mempertanggungjawabkan hilangnya warga keturunan itu?” Lanjut Kakak Yudikat lagi. “Nenek Kam, perempuan yang menghebohkan pasar daging tadi. Beliau ada di atas. Nanti akan Bapak tanya dengan beliau perihal kejadian aneh yang kamu alami hari ini. Termasuk menjelaskan kepada keluarga keturunan itu. Insya Allah, Bapak kenal semua warga keturunan se-Pagaralam ini.” Lanjut Bapak melegakan hati kak Yudikat. Tak lama, kak Yudikat mohon diri. Beliau pamit untuk menyerahkan penjual daging dan laporan orang hilang ke kepolisian. Semula aku hendak ikut tapi dilarang kak Yudikat, katanya urusan dinas.

Kembali aku mendengar orang berbisik-bisik. Di kota kecil ini semua kejadian cepat sekali menyebar. Tak urung ruko dan gudang kopi Bapakku didatangi kenalan dan sanak keluarga dari kampung-kampung seputaran kota. Tujuannya hanya sekadar memperlihatkan perhatian sebagai keluarga atau demi meyakinkan kebenaran isu yang menggegerkan itu. Pedagang kecil maupun besar, masyarakat tua muda, sopir angdes, tukang becak, sampai ke dusun-dusun dan talang-talang. Hampir setiap sudut membicarakan peristiwa hari ini. Benar-benar menghebokan. Bahan pembicaraan mereka tetap seputaran peristiwa hari ini. Tak sedikit yang mengatakan mereka melihat peristiwa itu dengan mata dan kepala sendiri. Tentu saja akan ditambah dengan penyedap rasa agar semakin gurih. Di terminal, di warung-warung kopi sampai penumpang angdes tak kalah serunya bertukar informasi.

Di dalam angdes mereka akan berbicara seperti saling kejar kadang mirip seperti orkestra salah arah. Gemuruh tidak jelas. Demikian juga dengan sanak keluargaku, baik yang masih memiliki hubungan darah maupun saudara jauh bahkan hanya sekadar kenal saja, tak sedikit berkunjung ke rumah sekadar menujukkan perhatian mereka. Cara seperti ini memang terpupuk sejak dulu kala pada masayarakat Besemah pada umumnya. Beginilah salah satu cara masyarakat Besemah dalam menjaga kekerabatan lebih tepatnya kekeluargaan. Rasa peduli mereka tunjukkan bukan pada hal yang berkaitan dengan ketika bersenang-senang saja, termasuk masalah kecil pun mereka sangat peduli. Apalagi jika mendengar berita kelayuan, mereka akan memprioritaskannya untuk hadir dan berusaha menghibur keluarga ahli musibah dan betah berlama-lama.

Umumnya masyarakat Besemah merasa bertanggujawab menjaga nama baik keluarga. Bahkan demi mempertahankan nama baik dan harga diri keluarga mereka siap mempertaruhkan nyawa. Meski hubungan kekerabatan sudah jauh sekali pun namun karena didorong rasa kekeluargaan pun mereka siap berkorban. Maka tidak heran sehingga segala hal baik dan buruk mereka akan bersama-sama menanggung dan menyelesaikannya. Termasuk masalah yang siang tadi. Apalagi Bapakku dianggap orang yang dituakan dalam keluarga besar dan kerabatnya.

Disinilah akan terlihat hubungan kekerabatan yang kental dalam keluarga. Tapi kali ini menurutku agak berbeda. Mereka datang pasti karena dorongan rasa ingin tahu peristiwa yang menggemparkan tentang perempuan tua yang mengamuk di pasar daging sampai lenyapnya cina keturuanan secara misterius itu. Kurasa hal itu lebih menarik bagi mereka sehingga berduyun-duyun datang untuk meminta penjelasan Bapakku. “Biarlah, pelan-pelan cerita menggemparkan ini akan menguap dengan sendirinya. Di daerah kecil kita ini peristiwa orang hilang tiba-tiba, entah diambil oleh nenek gunung atau maksumai bukan suatu yang baru. Sejak beabad-abad lalu kehidupan seperti ini sudah biasa.” Ujar Bapak ketika beberapa kerabatnya berkunjung ke rumah dan bertanya.

Bersambung….
close