Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

SUMUR PATI (Part 37) - Operasi Pembersihan


JEJAKMISTERI - Malam belum terlalu larut saat keempat orang itu keluar dari rumah Pak Dul Modin. Namun suasana di desa itu sudah seperti desa mati. Sunyi, gelap, dan mencekam. Tak terdengar suara nyanyian binatang malam yang biasanya menyemarakkan suasana malam di desa itu. Tak terlihat kerumunan pemuda desa yang biasanya nongkrong di poskamling. Bahkan suara gesekan dedaunan yang tertiup anginpun sama sekali tak terdengar, hingga suara langkah keempat orang itu terdengar jelas menggema ke seantero penjuru desa.

Hanya kelebatan kelebatan samar yang terlihat, berterbangan diatas langit desa Kedhung Jati, bergerak dari segala penjuru, menuju ke satu titik yang berada di tengah tengah desa. Rumah Pak Dul Modin. Sosok sosok samar itu adalah para iblis yang kini telah kembali leluasa masuk ke desa itu, setelah Lintang mencabut kembali pagar benteng yang dibuatnya sebelum berangkat ke lereng Lawu sore tadi.

Jelas! Makhluk makhluk itu mengincar para warga yang tengah berlindung disana. Anehnya, makhluk makhluk itu justru mengacuhkan keempat orang yang tengah berjalan beriringan ke arah selatan itu. Entah karena kehadiran Lintang dan Wulan yang kini telah memiliki kekuatan baru, atau karena sebab lain. Keempat orang itu juga seolah tak peduli. Sudah ada para sesepuh yang menjaga para warga di rumah itu. Mereka cukup bisa untuk diandalkan sementara waktu, paling tidak sampai keempat orang itu tiba di lokasi yang mereka tuju dan memulai operasi pembersihan.

Keempat orang itu terus berjalan dalam diam, menuju ke arah selatan, melintasi turunan dan tanjakan jalan Tegal Salahan, berbelok ke kanan melintasi halaman pondok kayu tempat dulu Wulan dilahirkan dan dibesarkan, hingga akhirnya mereka tiba di tempat yang mereka tuju, bekas galian sumur di ladang Pak Jarwo yang kini telah ditimbun kembali.

"Kita sudah sampai! Apa yang akan kalian lakukan selanjutnya?" Tanya Bu Ratih kepada Wulan dan Lintang.

"Seperti yang sudah saya bilang tadi Bu, kita gali kembali sumur ini, lalu kita kubur iblis iblis itu didalamnya." Wulan menjawab.

"Bagaimana caranya?" Tanya Bu Ratih lagi. Wulan dan Lintang saling tatap sejenak, seolah tengah berunding dalam diam.

"Kalian masih menganggap Ibu sebagai guru kalian kan?" Ujar Bu Ratih saat menyadari bahwa Wulan dan Lintang hanya saling tatap dalam diam.

"Tentu saja Bu," hampir serempak Wulan dan Lintang menjawab.

"Kalau begitu, ijinkan ibu untuk sedikit memberi nasehat untuk kalian, murid murid kebanggan ibu."

"Silahkan Bu," lagi lagi Wulan dan Lintang serempak menjawab.

"Kalian, sudah dewasa kini. Ibu harap, kalian juga bisa berpikir dan berbuat selayaknya orang yang sudah dewasa. Apalagi setelah lawatan yang kalian lakukan ke lereng Lawu sore tadi. Ibu tak tau pasti apa saja yang kalian dapat dan temui disana. Tapi ibu yakin, apapun itu, pasti sesuatu yang baik, yang pastinya telah membuat kalian menjadi orang yang lebih baik lagi. Karena itu, mari kita selesaikan masalah ini dengan cara yang baik pula. Tanpa keributan, tanpa harus jatuh korban, dan yang jelas tanpa ada rasa dendam di hati kalian. Lakukan pembersihan ini dengan niat untuk menyelamatkan warga desa kita, juga warga di desa desa yang lainnya, bukan karena ingin membalas apa yang sebelumnya telah dilakukan oleh iblis iblis itu kepada para warga. Kalian paham?"

Kembali Wulan dan Lintang saling pandang, sebelum akhirnya keduanya mengangguk pelan.

"Ya! Kami paham Bu."

"Baiklah! Kalau begitu, kalian boleh memulai apa yang harus kalian mulai. Jangan lupa minta petunjuk kepada Dia Yang Pantas Untuk Dimintai Petunjuk. Ibu dan Ramadhan, akan mengawasi kalian dari kejauhan, dan akan membantu kalau memang sekiranya bantuan kami masih dibutuhkan."

"Baik Bu!"

Bu Ratih lalu mengajak Ramadhan menjauh dari tempat itu, sementara Wulan dan Lintang segera duduk bersila dengan mata terpejam dan kedua tangan diletakkan diatas lutut masing masing. Sejenak suasana kembali hening. Mulut Wulan dan Lintang berkomat kamit mengucap doa tanpa suara, lalu seolah dikomando, keduanya menepuk keras tanah bekas galian sumur itu dengan telapak tangan kanan mereka sambil berseru keras.

"BENGKAAAHHH!!!" (Terbelah!!!)

Seketika bumi terasa bergetar. Dan pelan namun pasti, tanah bekas galian sumur itu bergerak membuka, hingga menampakkan lubang gelap yang dalam. Ramadhan sampai terpekik menyaksikan fenomena yang sangat luar biasa itu. Sementara Bu Ratih melipat kedua tangannya di depan dada, menatap puas ke arah kedua murid kebanggaannya itu.

"Edan! Ilmu apa yang mereka terapkan itu?" Gumam Ramadhan takjub. Dan rasa takjub pemuda itu semakin bertambah tambah, manakala melihat tubuh Wulan yang berpendar mengeluarkan cahaya kekuningan yang mwnyelubungi tubuhnya. Semakin lama cahaya itu semakin terang, melebar membentuk sepasang sayap yang membentang di punggung gadis itu, lalu...

"Whuuuusssss....!!!" Sayap itu mengepak, membawa tubuh Wulan naik keatas, lalu melesat terbang kearah utara, bersamaan dengan berubahnya cahaya kekuningan itu menjadi kobaran api yang menyala nyala.

"Luar biasa!" Gumam Ramadhan semakin takjub. Matanya lalu beralih menatap Lintang yang kini juga telah berdiri dengan sebelah tangan menenteng kendhi dan sebelah tangan lagi diangkat tinggi tinggi. Ramadhan merasakan udara disekitarnya mulai bergerak, berhembus pelan lalu semakin cepat, menderu ke satu titik. Tangan Lintang yang teracung ke atas.

"Kalau aku jadi kamu Rom, aku akan mencari tempat berpegangan yang benar benar kuat," desis Bu Ratih yang juga tengah menatap ke arah Lintang.

"Memangnya kenapa Mbak?" Tanya Ramadhan tak mengerti. Namun sebelum Bu Ratih menjawab pertanyaannya, Ramadhan telah tanggap dengan apa yang dimaksud oleh sang kakak barusan.

Deru angin semakin kencang, membuat ranting dan dahan dahan pepohonan meliuk liuk kesana kemari. Udara di sekitar tempat itu seolah semua tersedot dengan cepat ke arah tangan Lintang yang masih teracung ke atas, membentuk angin tornado yang berputar cepat menyedot apa saja yang diterpanya.

"Gila! Ini benar benar gila!" Seru Ramadhan sambil menoleh kesana kemari mencari tempat untuk berpegangan. Sebatang pohon besar dipilihnya. Dipeluknya batang pohon itu erat erat. Namun hati kecilnya mengatakan, batang pohon itu belum tentu mampu untuk melindunginya. Karena itu, ia segera melepaskan kembali pelukannya pada batang pohon itu, lalu dengan langkah tertatih karena tertahan oleh tiupan angin yang semakin kencang, pemuda itu mendekat ke arah sang kakak yang masih berdiri diam, lalu merangkul lengan sang kakak erat erat.

"Apapun yang terjadi Mbak, tolong jangan lepaskan aku!" Seru Ramadhan disela deru angin yang semakin kencang.

Bu Ratih hanya tersenyum samar, sambil terus memandangi badai tornado ciptaan Lintang yang terus membesar dan membesar, berputar semakin cepat, dengan bagian ujung bawahnya yang meruncing berpusat pada lengan Lintang yang masih teracung keatas.

Sementara di kejauhan sana, diatas desa Kedhung Jati, Wulan nampak berterbangan kian kemari, mengepak ngepakkan sayap apinya, menghalau iblis iblis yang masih berkeliaran itu dan menggiring mereka kearah badai tornado ciptaan Lintang. Sementara kedua tangan gadis itu yang kini telah memegang sepasang cambuk api, melecutkan kedua cambuk itu, menyambar dan melilit iblis iblis yang berusaha untuk kabur dan melemparkannya ke tengah badai tornado yang semakin menggila itu.

Seolah tak mau memberi ampun, Lintang terus saja memperkuat badai tornado ciptaannya, menggulung dan menyedot iblis iblis yang digiring Wulan kedalam pusaran badai itu. Pelan pelan tangannya yang teracung keatas bergerak turun dan memindahkan ujung runcing dari badai ciptaannya itu ke mulut kendi yang dibawanya, lalu tanpa diduga duga, pemuda itu segera melompat terjun kedalam lubang galian sumur yang menganga dihadapannya, membawa serta kendhi dan angin badai yang diciptakannya itu.

Pelan namun pasti, satu persatu iblis iblis itu tersedot kedalam sumur, hingga akhirnya habis tak tesisa sama sekali. Wulan lalu mengepakkan sayap apinya, melesat kembali ke arah selatan, lalu mendarat tepat didepan lubang sumur yang telah ia ciptakan, bersamaan dengan munculnya tubuh Lintang yang melesat keluar dari dalam sumur.

"Sekarang Lan!" Teriak Lintang keras, sambil bersalto di udara dan mendarat di samping Wulan. Serempak kedua remaja itu kembali menepuk keras permukaan tanah sambil berteriak lantang.

"Tertutuplah wahai bumi yang telah terbuka!" Kembali bumi bergetar, seiring dengan permukaan tanah yang bergerak menutup di bagian lubang sumur itu. Pelan pelan badai ciptaan Lintangpun mereda. Demikian juga dengan kobaran api yang menyelimuti tubuh Wulan yang semakin meredup, untuk akhirnya padam.

Suasana kembali hening. Tak terdengar lagi suara gemuruh angin ribut. Tak terdengar lagi deru kepalan sayap api. Iblis iblis yang tadi berseliweran diatas desapun kini sudah tak terlihat lagi. Bu Ratih tersenyum puas, sambil menepis tangan Ramadhan yang masih mencengkeram erat lengannya. Wulan dan Lintang saling pandang. Dari kejauhan terdengar sorak sorai para warga yang menyambut kemenangan mereka.

"Mbul!"

"Lan!"

"Kita berhasil!"

Kedua remaja itu lalu saling berpelukan. Erat dan hangat. Disertai dengan mengalirnya air mata yang tanpa sengaja meleleh membasahi pipi mereka. Bu Ratih, dengan masih tersenyum melangkah pelan mendekati kedua murid kebanggannya itu, lalu ikut memeluk keduanya.

Tinggal Ramadhan yang masih berdiri diam, terpaku di tempatnya, sambil berusaha mencerna kejadian yang baru saja dilihatnya tadi. Semua terjadi begitu cepat, hingga ia merasa belum bisa untuk mempercayainya.

BERSAMBUNG

*****
Selanjutnya

*****
Sebelumnya
close