Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

SUMUR PATI (Part 38) - Pertarungan Terakhir


JEJAKMISTERI - "Wulan! Lintang! Kalian berhasil Nak! Kalian berhasil! Ibu bangga pada kalian! Ibu bangga memiliki murid murid seperti kalian! Kalian..., kalian menjadi pahlawan hari ini! Kalian pahlawan bagi desa ini! Ibu bangga pada kalian!" Bu Ratih berseru sambil memeluk Wulan dan Lintang yang juga sedang berpelukan. Isak tsngispun pecah dari ketiga anak manusia itu.

"Ya Bu! Kami berhasil! Kita berhasil! Ini semua juga berkat bantuan dan bimbingan Bu Ratih! Tanpa Ibu, kami bukan apa apa! Ibulah pahlawan yang sebenarnya! Bu Ratihlah yang pantas mendapat gelar pahlawan hari ini!" ujar Lintang disela isak tangisnya.

"Ya! Ini semua berkat hasil kerja keras kita," Bu Ratih melepaskan pelukannya, lalu menyusut dua butir bening yang mengalir dari balik lensa kacamatanya. "Tanpa kerjasama kita, mustahil kita bisa mengatasi pageblug yang melanda desa kita ini! Sekarang, semua telah berhasil! Mari kita kembali ke desa. Masih banyak yang perlu kita bereskan disana!"

"Tidak!" Ramadhan yang sejak tadi hanya berdiri diam mematung, kini menyela. "Ini semua belumlah berakhir! Makhluk makhluk yang barusan telah berhasil kalian basmi itu, mereka hanyalah pion pion kecil yang sama sekali tak asa artinya! Masih ada makhluk makhluk lain yang lebih hebat disana! Makhluk makhluk yang semalam telah dengan kejinya menghabisi Wak Dul! Makhluk makhluk yang bisa saja akan segera datang untuk menuntut balas atas apa yang baru saja kalian lakukan! Dan sebelum itu semua terjadi, lebih baik kita menyerang dan melumpuhkan mereka terlebih dahulu! Agar tak sampai kembali jatuh korban dari orang orang yang tak berdosa!"

Ramadhan mengucapkan kata kata itu dengan nada penuh kegeraman. Rasa dendam dan bersalah jelas tergambar dari kata kata itu. Wulan, Lintang, dan Bu Ratih sejenak menatap ke arah pemuda itu. Bu Ratih yang bisa memahami perasaan sang adik, segera mendekat ke arah Ramadhan dan mengusap bahunya dengan lembut.

"Rom! Mbak tau apa yang sedang kamu rasakan sekarang. Tapi keinginanmu untuk menyerbu ke sarang para dedhemit itu, terlalu beresiko Rom! Kalau Wak Dul saja tak mampu mengatasi mereka, apalagi kita. Sudahlah! Lupakan semua dendam dan rasa bersalahmu itu. Bukan hanya kau Rom! Tapi kita semua juga merasa kehilangan atas kepergian Wak Dul! Tapi, kita juga harus bisa berpikir jernih disaat saat seperti ini. Makhluk makhluk itu, yang sebelumnya telah berurusan dengan Wak Dul, Mbak yakin mereka tak akan mampu lagi menyentuh desa ini. Wak Dul orang yang bijaksana Rom! Mbak yakin sebelum...., sebelum dia pergi, dia pasti sudah melakukan sesuatu agar makhluk makhluk itu tak mampu kembali ke desa ini! Jadi cukup sampai disini saja perjuangan kita. Jangan nekat dan bertindak konyol! Kau adikku satu satunya Rom! Mbak tak ingin terjadi sesuatu yang buruk terhadapmu!" ujar Bu Ratih pelan.

"Benar kata Bu Ratih Mas!" Lintang ikut mendekat ke arah Ramadhan. "Aku yakin sebelum melepas ajalnya, Wak Modin pasti telah memasang segel agar makhluk makhluk itu tak bisa keluar dari sarangnya. Lagipula, menghadapi makhluk makhluk yang Mas Rom sebut hanyalah pion itu saja kita sudah kerepotan, apalagi menghadapi mereka yang kata Mas Rom jauh lebih hebat itu?"

"Tidak! Kalian semua tak mengerti! Ini bukan semata mata soal membalas dendam atas kematian Wak Dul! Tapi lebih dari itu! Ini semua kulakukan untuk menebus rasa bersalahku yang tak bisa mencegah kematian Wak Dul! Kalian tak tau apa yang kurasakan saat Wak Dul tewas tepat di depan mataku, tanpa aku bisa berbuat apa apa! Wak Dul tewas karena ingin melindungiku Mbak! Beliau tewas karena berusaha menyelamatkan Ndaru dan Ratri! Apa kalian semua tak menyadari semua pengorbanan beliau? Apa...."

"Aku setuju dengan Mas Rom!" Wulan yang sejak tadi diam ikut bicara.

"Apa apaan kau Lan?" Lintang mendelik ke arah gadis itu. "Baru juga sebentar kau bisa bertindak benar, sekarang kau sudah kambuh lagi heh?!"

"Ish! Dengar dulu sampai selesai kalau ada orang ngomong! Jangan menyela!" dengus Wulan sambil mendekat kearah ketiga orang itu. "Aku setuju dengan Mas Rom! Kita harus menyelesaikan masalah ini sampai tuntas! Kita basmi para dedhemit itu sampai ke akar akanya! Ini bukan semata mata soal dendam kesumat atau rasa bersalah yang dirasakan Mas Rom! Bukan! Bukannya aku tak merasa kehilangan atas kepergian Wak Dul! Beliau juga guruku! Sama seperti kalian, aku juga merasa kehilangan! Tapi, saat ini, aku yakin Wak Dul sudah tenang di alam sana dan sama sekali tak mengharapkan pembalasan atas kematiannya. Aku juga yakin beliau tidak menyalahkan siapapun, termasuk dirimu Mas Rom! Beliau tewas, karena itu sudah menjadi pilihannya, demi melindungi desa ini! Karena itu, jangan nodai pengorbanan beliau dengan segala rasa dendam atau sakit hati! Meski begitu...."

Wulan diam sejenak, sambil menatap kearah ketiga orang dihadapannya yang juga meatap ke arahnya dengan mulut melongo! Bagaimana tidak, mereka sama sekali tak menyangka kalau Wulan yang biasanya ceplas ceplos dalam berbicara itu, bisa berkata bijak sampai sepanjang itu.

"Kenapa kalian menatapku seperti itu?" desis Wulan.

"Ah, tidak," Lintang buru buru mengalihkan pandangannya. Demikian juga dengan Bu Ratih dan Ramadhan. "Lanjutkan! Apa maksudmu yang sebenarnya!"

"Seperti yang kukatakan tadi, kita harus menuntaskan masalah ini sampai tuntas. Kita basmi para dedhemit itu sampai ke akar akarnya. Wak Dul Modin telah menyegel mereka atau tidak, itu baru dugaan! Dan meskipun benar Wak Dul telah menyegel mereka, ada kemungkinan suatu saat mereka tanpa sengaja akan terlepas dan menuntut balas kepada kita! Itu berarti pageblug seperti ini akan kembali terjadi. Kalian lihat sendiri kan, kurang dalam apa kakekku mengubur dhemit dhemit itu, tapi karena sebuah ketidak sengajaan mereka bisa terlepas?"

"Ya! Benar juga apa yang kau katakan itu Lan! Tapi rencanamu itu terlalu beresiko. Melihat bahwa Wak Dul saja tak mampu menghadapi mereka, apalagi kita yang...."

"Kita harus yakin Mbul!" Wulan menukas ucapan Lintang. "Kau pikir untuk apa kakek cebol di lereng Lawu itu memberi kita dua kendhi, kalau bukan untuk menuntaskan tugas kita sampai benar benar selesai? Sudah cukup selama ini desa kita dikuasai oleh para dedhemit itu! Pencerahan yang kudapatkan di lereng Lawu tadi, membuatku sadar, bahwa aku memang ditakdirkan untuk meneruskan tugas kakekku! Malam ini juga, aku, Ratih Wulansari, cucu dari Mbah Sadiyo Kendhil bersumpah, akan mengakhiri dan menyelesaikan apa yang dulu telah dimulai oleh kakekku! Akan kubersihkan desa Kedhung Jati dari pengaruh buruk para dedhemit itu!"

"Cih! Lebay!" Lintang menahan tawa mendengar ucapan Wulan yang berapi api itu. "Bagaimana dengan makhluk makhluk yang telah kita kubur tadi? Bukannya kelak juga ada kemungkinan mereka akan terbebaskan lagi tanpa sengaja?"

"Soal itu, jangan khawatir Mbul!" Wulan melangkah ke arah ssbuah batu sebesar kerbau yang teronggok di ladang itu, lalu tanpa diduga segera menendangnya hingga terlempar dan jatuh tepat diatas bekas sumur yang kini telah tertutup rapat itu. Gadis itu lalu menyentakkan tangan kanannya. Sebentuk tombak api muncul di tangan gadis itu, yang segera ia gunakan untuk menggores gores permukaan batu itu, menorehkan rajah segel, juga tulisan peringatan agar tak seorangpun berani berani mengusik batu itu, lengkap dengan tanda tangan dan nama lengkapnya di bagian akhir.

"Dengan begini, tak akan ada orang yang berani mengusik batu itu. Dan para dhemit yang terkurung dibawahnya, juga tak akan bertahan lama. Dalam waktu beberapa tahun, mereka akan benar benar lenyap oleh segel yang aku buat itu!"

"Luar biasa! Kuharap apa yang kau ucapkan itu bukan sekedar bualan belaka Lan," ujar Lintang. "Dan, bagaimana Bu? Maksudku, soal apa yang dikatakan oleh Wulan tadi? Haruskah kita menyerbu ke sarang dedhemit itu, atau..."

"Yach, kalian sekarang yang memimpin. Jadi, apa yang kalian putuskan, ibu hanya bisa mendukung!" jawab Bu Ratih tegas.

"Bagaimana Mbul? Kau berani, atau akan mundur sampai disini saja?" Wulan mengedip ngedipkan matanya ke arah Lintang.

"Yach, apa boleh buat! Kularang pun kau pasti tak akan mau! Dan aku juga tak akan tega membiarkanmu berjuang seorang diri."

"Jadi?" kembali Wulan mengerling genit ke arah Lintang.

"Kalau kau berani nekat, kenapa aku enggak?"

"Bagus! Kalau begitu, tunggu apa lagi, ayo kita berangkat!" tanpa peringatan Wulan menjejakkan sebelah kakinya ke tanah dengan keras, lalu...

"Zlaaapppp...!!!" keempat orang itupun lenyap dalam sekejap.

*****

Keempat anak manusia itu berjalan mengendap endap ditengah kegelapan, menyelinap diantara lebatnya pepohonan dan bebatuan yang banyak berada di tempat itu. Tempat yang sangat asing dengan mereka, dengan suasana yang juga tak kalah asing. Sisa sisa pertarungan Wak Dul Modin dengan para dedhemit itu masih jelas terlihat. Pohon pohon besar bertumbangan. Pecahan pecahan bebatuan berserakan. Bahkan di beberapa tempat masih jelas terlihat kobaran api yang menyala nyala membakar apa saja yang dilahapnya. Namun suasana terasa sangat sunyi. Tak nampak sesosokpun dari para dedhemit yang berada di tempat itu.

"Haruskah kita mengendap endap seperti maling begini?" bisik Wulan.

"Ssssttttt....! Jangan berisik! Kita harus mengintai dan mengukur kekuatan mereka terlebih dahulu sebelum menyerang," sahut Ramadhan, juga sambil berbisik.

"Apanya yang mau diintai, seekor makhlukpun tak terlihat disini! Kau yakin ini tempatnya Mas?" tanya Wulan.

"Yakin! Kau lihat sendiri kan, bekas bekas pertarungan Wak Dul semalam masih terlihat jelas! Aku yakin kalau..., nah! Itu dia disana!" Ramadhan menunjuk ke salah satu sudut tempat itu. Wulan, Lintang, dan Bu Ratih segera mengikuti arah telunjuk Ramadhan dengan mata mereka. Dan mereka terbelalak seketika, saat menyaksikan segerombolan makhluk makhluk tinggi besar berjubah hitam dengan tudung yang menutupi hampir seluruh bagian kepala mereka nampak berkerumun mengelilingi sebuah batu besar berpermukaan rata mirip sebuah batu persembahan. Gumaman gumaman tak jelas samar terdengar dari arah kerumunan makhluk makhluk itu.

"Apa yang sedang mereka lakukan?" desis Lintang.

"Sepertinya mereka sedang melakukan semacam ritual," bisik Bu Ratih.

"Mustahil! Ini tidak mungkin! Menurut Wak Dul, untuk membangkitkan pemimpin mereka, mereka butuh darah dari Ndaru dan Ratri. Dan aku ingat betul, semalam mereka belum berhasil mendapatkan darah kedua anak itu, karena aku keburu membwa mereka kabur!" bisik Ramadhan.

"Darah ya?" Bu Ratih bergumam lirih. "Rom, apa semalam Ndaru dan Ratri sempat mengalami semacam luka di tubuh mereka?"

"Kurasa tidak Mbak! Kecuali lecet lecet kecil di kulit mereka akibat bergesekan dengan permukaan batu saat aku menyambar mereka dan membawanya lari." jawab Ramadhan.

"Gawat! Kalau benar begitu, ini benar benar gawat! Setitik saja darah kedua anak itu tertinggal di permukaan batu tempat ritual itu, itu sudah cukup untuk menggenapi syarat ritual mereka! Kita harus segera menggagalkan ritual mereka itu, sebelum..., Ah! Sial! Sepertinya terlambat! Lihat baik baik ke arah sana!" seru Bu Ratih.

Serempak mereka kembali menatap batu besar ditengah tengah kerumunan makhluk makhluk berjubah hitam itu. Dan mereka tercekat, saat menyaksikan sebentuk kabut tipis mulai keluar dari permukaan batu itu. Kabut yang semakin lama semakin menebal, menggumpal membentuk sosok samar yang semakin lama semakin jelas terlihat, lalu...

"GROAAAAAARRRRRRR.....!!!" geraman keras terdengar menggema, menggetarkan seluruh penjuru tempat itu, bersamaan dengan terbentuknya dua sosok yang sangat menyeramkan diatas batu persembahan itu. makhluk makhuk tinggi besar berjubah hitam itupun serempak bersujud ke arah kedua makhluk yang baru saja muncul itu.

"Ma..., makhluk a...pa itu?" desis Ramadhan tergagap.

"Seperinya itulah pemimpin atau raja dan ratu mereka!" jawab Bu Ratih, juga dengan suara bergetar.

Bagaimana tidak, dua makhluk yang mereka lihat itu, benar benar sangat menyeramkan. Bertubuh tinggi besar hampir setinggi pokok pohon kelapa, dengan kulit bersisik berwarna kemerahan, wajah seram dengan sepasang mata merah sebesar pantat baskom, hidung pesek lebar dengan lubang hidung sebesar pantat botol kecap, mulut lebar dengan bibir tebal kehitaman yang dihiasi dengan sepasang taring yang panjang dan berkilat tajam. Sepasang tangan mereka yang hampir sebesar tiang listrik itu dilengkapi dengan cakar cakar tajam di ujung ujung jari mereka. Ada mahkota keemasan diatas kepala kedua makhluk itu, menandakan bahwa benar mereka adalah raja dan ratu dari segala dedhemit yang ada di tempat itu. Dan yang paling menyeramkan, salah satu dari kedua makhuk itu memiliki payudara yang sangat sangat besar, menggelantung bebas tanpa penutup hingga nyaris menyentuk tanah.

"Ini diluar dugaan! Mereka telah berhasil membangkitkan raja dan ratu mereka! Itu berarti usaha kita tidak akan mudah! Kita harus...., Awaaaaasssss....!!!" Wulan berteriak keras, saat sepasang makhluk itu menoleh ke arah tempat mereka bersembunyi. Sinar kemerahan melesat dari kedua pasang mata makhluk makhluk itu, tepat mengarah ke mereka berempat.

"BLUAAAAARRRRRRR...!!!"

*****

"Awaaaassss....!!!"

"Bluaaaarrrrr...!!!"

Wulan berteriak keras, manakala dua larik sinar kemerahan melesat dari kedua pasang mata makhluk raksasa itu. Serempak keempat pendekar dari Kedhung Jati (kita sebut saja mereka begitu) itu melompat keluar dari balik batu besar tempat mereka mengintai. Hanya sepersekian detik sebelum dua pasang sinar kemerahan itu menghantam batu besar itu hingga tidak hanya hancur berkeping keping, tapi lumat menjadi abu.

Wulan melejit keatas hingga beberapa tombak. Lintang berjumpalitan mundur beberapa kali, sementara Bu Ratih setengah menyeret mundur Ramadhan yang justru bengong karena serangan yang maha dahsyat itu.

"Sial! Ini sudah diluar rencana kita! Mereka berhasil membangkitkan raja dan ratu mereka, dan kekuatannya ternyata juga jauh diatas dugaan kita," seru Wulan yang melayang turun dan mendarat diantara Lintang dan Bu Ratih yang berdiri bersebelahan.

"Nasi telah menjadi bubur! Kita sudah terlanjur mengusik mereka! Mau tak mau kita harus menghadapinya!" Tegas Bu Ratih.

"Ya!" Kita hadapi mereka! Gunakan kekuatan penuh!" Lintang menyahut sambil mulai merapal mantra untuk memanggil keempat saudara kembarnya. Wulanpun melakukan hal yang sama. Sebentuk cambuk dan tombak api telah tergenggam di kedua tangannya. Sementara Bu Ratih, mulai melepas rajah segel di punggungnya. Ramadhan, pemuda itu menatap nanar pada makhluk makhluk berjubah hitam yang juga telah merangsek maju untuk menyerang.

"Mereka bagianku! Merekalah makhluk makhluk yang telah membunuh Wak Dul!" Desis Ramadhan.

"Jangan gegabah Rom! Mereka...!"

"Tak apa Bu Ratih!" Lintang menyela ucapan Bu Ratih. "Kita beri kesempatan kepada Mas Rom untuk membalas kematian Wak Dul! Biar keempat saudaraku ini yang membantunya, sementara kita bertiga mengurus dua makhluk raksasa itu."

"Terimakasih Tang! Kau memang saudaraku yang paling bisa mengerti aku," ujar Ramadhan.

"Ini. Kupinjamkan kembali kalungku padamu Mas! Pakailah, maka keempat saudaraku ini akan bisa terhubung denganmu. Ingat! Jaga baik baik kalung ini, jangan sampai rusak, apalagi hilang!" Lintang melepas kalung benang lawe berbandul bungkusan kain kumal yang dikenakannya dan menyerahkannya kepada Ramadhan. Ramadhan segera mengenakannya.

"Sekali lagi terimakasih Tang! Akan kujaga baik baik kalung ini. Saudara saudaraku, ayo kita habisi makhluk makhluk berjubah hitam itu!" Ramadhan berseru, lalu melesat dan menerjang ke arah pasukan makhluk berjubah hitam itu, diikuti oleh keempat saudara kembar Lintang.

"Kau yakin Ramadhan bisa mengatasi mereka Tang?" Tanya Bu Ratih dengan nada khawatir.

"Mudah mudahan Bu! Paling tidak Mas Rom bisa menghalangi mereka agar tak mengganggu pertarungan kita dengan kedua makhluk raksasa itu!" Jawab Lintang.

"Baiklah kalau begitu! Jangan buang buang waktu lagi! Ayo kita akhiri semua pageblug ini!"

Bertiga, merekapun melesat ke arah kedua makhluk raksasa itu. Pertempuran dahsyatpun tak terelakkan lagi. Ketiga pendekar dari Kedhung Jati itu menyerang kedua lawan mereka dari segala arah. Kilatan kilatan cahaya dan deru angin ribut serta semburan semburan api yang seolah tiada henti menghujani kedua makhluk besar itu, yang segera disambut dengan serangan serangan yang juga tak kalah dahsyat oleh kedua makhluk raksasa itu. Dentuman dentuman keras sesekali terdengar saat serangan serangan mereka saling beradu. Para pendekar dari Kedhung Jati itu kini sepertinya mendapatkan lawan yang seimbang, bahkan lebih kuat dari mereka. Terbukti, serangan serangan yang mereka lancarkan secara bertubi tubi itu tak kunjung membuahkan hasil. Justru mereka bertiga yang sesekali terkena serangan telak yang dilancarkan oleh kedua makhluk raksasa itu.

"Mundur!" Teriak Bu Ratih saat menyadari bahwa mereka bertiga sudah mulai terdesak. Lintang dan Wulanpun melompat mundur menyusul Bu Ratih.

"Mereka terlalu kuat! Serangan fisik yang kita lancarkan seolah tak ada artinya! Kalau terus terusan begini, justru kita yang akan hancur!" Seru Bu Ratih disela nafasnya yang memburu.

"Ya! Bahkan tombak dan cambuk api milikku sama sekali tak sanggup untuk sekedar menggores kulit mereka! Mereka seolah olah kebal senjata!" Sahut Wulan.

"Badai Bayu Segoro ciptaanku juga seolah tak ada artinya! Mereka terlalu besar untuk kutumbangkan!" Sambung Lintang.

"Andai ada cara lain," gumam Bu Ratih.

"Bagaimana kalau kita lumpuhkan mereka dengan ajian Jalasutra?" Celetuk Wulan tiba tiba.

"Ajian Jalasutra? Ajian apa itu?" Tanya Lintang.

"Entahlah! Semacam ajian yang mampu menjerat dan melumpuhkan lawan kalau nggak salah," jawab Wulan.

"Kalau nggak salah? Apa maksudmu? Kau mengusulkan untuk menggunakan sebuah ajian yang bahkan sama sekali tak kau ketahui?"

"Ah, iya. Ibu pernah mendengar tentang ajian itu. Apa kau juga menguasainya Wulan?" Bu Ratih menyela.

"Entahlah Bu, cuma tiba tiba terlintas begitu saja di pikiranku!" Jawab Wulan.

"Konyol! Disaat saat seperti ini, bisa bisanya kamu malah berkhayal yang tidak tidak!" Dengus Lintang kesal.

"Sebentar!" Wulan menunduk dan memejamkan matanya. Entah apa yang dilakukan oleh gadis itu. Namun sekejap kemudian, ia kembali menengadah dan memamerkan wajah sumringahnya.

"Ya! Aku bisa menerapkan ajian Jalasutra! Tapi karena lawan kita sangatlah kuat, aku butuh bantuan kalian!"

"Kau serius Lan?" Tanya Lintang tak yakin. Bagaimana bisa tiba tiba Wulan bisa menguasai sebuah ajian yang bahkan nama ajiannya saja baru sekali ini ia dengar.

"Tentu saja aku serius! Aku baru saja mendapatkan bisikan tentang bagaimana cara menerapkan ajian itu. Sekarang, begini rencananya! Aku akan menerapkan ajian itu dengan bantuan Bu Ratih, karena lawan kita yang begitu besar dan kuat, aku butuh tenaga dan energi lebih. Bu bisa kan menyalurkan energi ibu ke tubuhku?"

"Akan ibu coba Lan!"

"Baiklah kalau begitu. Dan kau Mbul! Siapkan kendhi itu. Begitu nanti aku berhasil menjerat dan melumpuhkan kedua raksasa itu, cepat kau sedot mereka kedalam kendhi dengan Bayu Segoro milikmu!"

"Oke! Akan kucoba!"

"Bagus! Kalau begitu, ayo kita mulai!" Wulan lalu duduk bersila diatas tanah dengan mata terpejam rapat. Bu Ratih pun melakukan hal yang sama, bersimpuh dibelakang gadis itu sambil menempelkan kedua telapak tangannya ke punggung Wulan, mwnyalurkan energi dan kekuatannya kedalam tubuh gadis itu. Sementara Lintang, beranjak menjauh ke arah yang berlawanan dari tempat Wulan dan menyiapkan kendhi yang dibawanya.

Suasana hening sejenak, sampai beberapa saat kemudian, terdengar sentakan suara Wulan disertai dengan guncangan kecil di bumi tempat mereka berpijak, manakala Wulan menepuk permukaan tanah di hadapannya dengan keras.

"JALASUTRA!" teriak Wulan keras sambil menepuk permukaan tanah dihadapannya. Garis garis cahaya muncul dari sela sela jemari tangan Wulan, merambat dan menyebar ke segala arah diatas permukaan tanah, saling bertautan membentuk jalinan jalinan aneh yang terus melebar dan melebar hingga mencapai tempat kedua makhluk raksasa itu berdiri. Dan begitu jalinan jalinan cahaya itu menyentuh kedua pasang kaki raksasa itu, Wulan kembali menepuk permukaan tanah dan berseru.

"LUMPUH!!!"

"GROOOOAAARRRR....!!!" kedua makhluk raksasa itu menggeram dahsyat, manakala menyadari bahwa mereka tiba tiba tak mampu bergerak bebas. Sekuat apapun keduanya meronta untuk beranjak dari tempat mereka berdiri, usaha mereka sia sia belaka. Kaki kaki mereka seolah terpaku kedalam bumi.

"Grrrrrrrrrr....!!!"

Groooaarrrr...!!!"

"Haaaarrrgghhhhh...!!!"

Kedua makhluk raksasa itu terus meronta ronta. Wulan semakin kuat menekan permukaan bumi di hadapannya dengan telapak tangannya, mencoba menahan gerakan kedua makhluk raksasa itu. Sebuah usaha yang begitu keras. Urat urat di lengan dan wajah gadis itu sampai menonjol keluar. Keringat sebesar biji biji jagung mengalir deras dari sekujur tubuhnya. Demikian juga dengan Bu Ratih. Kedua perempuan itu mengerahkan segenap kekuatan mereka demi menahan pergerakan kedua raksasa itu.

"I...ni, ter..nyata tidak mudah! A..ku, uhuk!!! Aku tak boleh menyerah!" Wulan tersengal dan terbatuk. Darah kental muncrat dari mulutnya. Juga dari kedua lubang hidungnya. Bu Ratih yang menyadari bahwa Wulan telah hampir sampai pada batasnya berusaha sekuat tenaga untuk membantu murid kesayangannya itu.

"A...ku, uhuk! Juga tak bo...leh me...nyerah!" Bu Ratih mengalami nasib yang sama dengan Wulan, terbatuk dan memuntahkan darah kental kehitaman.

"Ja..la...sutra! NGGEBLAK!" Wulan mendesis dan kembali menepuk permukaan bumi di hadapannya, dan...

"GABUUUUUUMMMMM....!!!"

"GROAAAARRRR...!!!"

Kedua makhluk raksasa itupun jatuh terjengkang menimpa bumi, menimbulkan suara dentuman keras dan guncangan yang maha dahsyat.

"Gem...bul! Se...karang! Segel mereka!" Dengan sisa sisa tenaga yang dimilikinya Wulan berseru. Lintang yang tanggap akan keadaan segera mempersiapkan diri. Kedua lengannya ia acungkan kedepan. Sebelah tangan menciptakan badai tornado super besar yang mengarah tepat ke kedua makhluk raksasa itu, sementara tangan yang lain menempatkan mulut kendhi yang dibawanya ke ujung runcing badai tornado di tangan yang satunya.

"BAYU SEGOROOOOO...!!!"

"WHUUUUUUSSSSSS...!!!"

Deru angin dahsyat memporak porandakan seluruh tempat itu. Pelan namun pasti kedua makhluk raksasa itu mulai tersedot masuk kedalam pusaran badai ciptaan Lintang.

"Grrrrrrrrr...!!! Groooaaarrrr...!!! Arrrggghhhh...!!!" Kedua makhluk raksasa itu menggeram geram dan meronta ronta, berusaha bertahan agar tak sampai tersedot kedalam pusaran badai itu, sementara Lintang terus menambah dan menambah kekuatan badainya hingga sampai pada titik maksimal. Seluruh kekuatan yang ia miliki ia kerahkan, hingga iapun mengalami nasib yang sama dengan Wulan dan Bu Ratih. Darah kental mulai mengalir dari kedua susut bibir dan lubang hidungnya.

"Pa...yaaaaahhhhhh...!!!" Wulan menggeram. Sadar bahwa usaha mereka tak boleh sampai gagal, Wulan mengerahkan sisa sisa tenaga yang dimilikinya dan kembali menepuk permukaan tanah untuk terakhir kalinya.

"Ja...la...su...tra..!!!"

Pendar garis garis cahaya yang merambat diatas permukaan tanah itu semakin terang berpendar, merambat ke sekujur tubuh kedua makhluk raksasa itu, seolah sedang berusaha untuk mengikat mereka. Kedua makhluk raksasa itupun semakin sulit untuk bergerak, hingga sedikit demi sedikit mulai terseret masuk kedalam pusaran badai ciptaan Lintang.

"Ayoooo...!!! Cepat..lah! Aku su...dah nyaris..." Lintang mendesis. Usahanya untuk menyegel kedua makhluk raksasa itu sepertinya nyaris berhasil, kalau saja ia tidak tiba tiba mendengar suara bisikan yang menelusup kedalam relung batinnya.

Deg! Jantung Lintang berdegub keras. Ia kenal betul dengan suara bisikan itu. Suara keempat saudara kembarnya yang sedang bertarung bersama Ramadhan melawan pasukan makhluk berjubah hitam itu. Dan jika mereka sampai melakukan kontak komunikasi batin di saat saat seperti ini, itu bukanlah pertanda baik.

"TIDAAAAAAKKKKK....!!!" Lintang menjerit keras. Lewat mata batinnya ia bisa melihat, keempat saudaranya itu telah memulai ritual penyegelan kedalam kalung yang dikenakan oleh Ramadhan. Dan bersamaan dengan tersegelnya makhluk makhluk berjubah hitam itu kedalam bandul kalung, bayangan keempat saudara gaibnya itu juga semakin memudar, untuk akhirnya lenyap sama sekali bersamaan dengan tersegelnya seluruh makhluk berjubah hitam itu kedalam bandul kalung yang dikenakan oleh Ramadhan.

"Bedebah! Terkutuk! Kalian para ibis...!!!" Konsentrasi Lintang terpecah akibat emosinya yang membuncah, membuat angin badai yang dibuatnya juga sedikit melemah. Wulan yang menyadari bahwa sesuatu telah terjadi dengan Lintang, berusaha memperkuat jalasutra ciptaannya. Namun tenaganya benar benar terkuras habis. Alih alih semakin kuat, pendaran cahaya jalasutra itu justru semakin melemah. Kesempatan itu tak disia siakan oleh kedua makhluk raksasa itu. Mereka memberontak dan berusaha untuk membebaskan diri.

"Grooooaaarrrrr...!!!" Kedua makhluk raksasa itu menggeliat dengan gerakan yang tiba tiba, membuat Wulan yang masih terhubung dengan mereka melalui jaring jalasutra terlempar tumbang.

"Grrrrrrrrr...!!!" Kedua raksasa itu telah terbebas kini, dan langsung melancarkan serangan ke arah Lintang, mengincar kendhi yang sedang dipegang oleh pemuda itu.

"Gembuuulll...!!! Fokus!" Wulan berteriak dengan sisa sisa tenaga yang dimilikinya. Lintang yang tersadar oleh teriakan Wulan, mencoba memperkuat kembali badai ciptaannya. Namun terlambat. Empat buah lengan yang masing masing seukuran pokok pohon kelapa itu telah mengayun deras ke arahnya, siap menghancurkan kendhi yang dipegangnya sekaligus juga melumatkan tubuhnya.

"Sial!" Lintang kembali mengumpat, saat sadar bahwa ia sudah tak punya kesempatan untuk menghindar dan hanya bisa pasrah menunggu kematian. Pemuda itu pelan memejamkan matanya sambil bergumam lirih, "selamat tinggal Wulan! Selamat tinggal Bu Ratih! Selamat tinggal Kedhung Jati dan Kedhungsono! Mak Yatmi, maafkan anakmu ini Mak, yang telah gagal...."

"@(##&&@+@"+%@$@$@...!!!" suara teriakan keras terdengar menyapa indera pendengaran Lintang.

"Gawat!" Lintang yang mengenali rapalan mantra yang diucapkan dengan keras itu terkejut bulan kepalang. Ia kembali membuka matanya. Dan benar saja! Di kejauhan sana, nampak Bu Ratih yang tadi juga telah tumbang bersama Wulan, kini telah kembali berdiri dengan tubuh berpendar dipenuhi oleh garis garis cahaya hitam pekat yang melilit tubuhnya. Kedua makhluk raksasa yang tadi nyaris menghabisinya, dengan cepat tersedot masuk kedalam mulut perempuan itu.

"Bu Ratih! Jangaaaannnn....!" Terlambat! Kedua makhluk raksasa itu kini telah musnah ditelan oleh Bu Ratih yang entah kenapa kini memiliki aura yang sangat berbeda. Hitam pekat dan sangat tebal.

"Wulan! Cepat menjauh dari Bu Ratih!" Lintang berteriak memperingatkan Wulan. Wulan yang juga menyadari perubahan pada diri Bu Ratih segera mencoba bangkit dan berjalan terhuyung ke arah Lintang. Aura yang keluar dari tubuh Bu Ratih terasa begitu pekat, membuat Wulan nyaris saja kehilangan kesadarannya.

"Apa yang sebenarnya terjadi dengan Bu Ratih Mbul?"

"Sial! Wedhus! As*! Jaran!" Lintang mengumpat sejadi jadinya sambil memukuli kepalanya sendiri. "Bu Ratih..., arrggghhhh...!!! Kenapa sampai jadi begini sih?! Ini semua salahku! Kalau saja aku tak lengah tadi, ini semua tak mungkin terjadi! Bu Ratih....!"

"Gembul! Apa yang terjadi?" Bentak Wulan keras.

"Bu Ratih Lan! Bu Ratih....!!! Arrrgghhhhh...! Buwadjingan tenan aku!"

"Plaaaakkk...!!!" Wulan menampar Lintang keras! "Katakan apa yang sebenarnya terjadi! Jangan misuh misuh kayak orang kesurupan gitu!"

"Bu Ratih Lan! Dia.., dia nekat menggunakan ajian terlarang itu!"

"Ajian terlarang? Apa maksudnya?"

"Ajian terlarang! Ajian teekutuk itu, kenapa harus..."

"Plaaakkk...!!!" Kembali Wulan menapar Lintang keras. "Ngomong yang jelas! Dan katakan apa yang harus kita lakukan sekarang!"

"Ajian terlarang itu, dulu diciptakan oleh kakekmu! Ajian yang mampu menyegel iblis paling terkutuk sekalipun kedalam tubuh si pemakai ajian itu. Dan ajian itu dulu ikut ditirpkan kedalam tubuhmu, sampai saat Bu Ratih yang dulu menyegel kekuatanmu menyadari bahwa ada ajian berbahaya yang ada didalam tubuhmu..., Bu Ratih mengambilnya demi keselamatanmu. Kukira dulu Bu Ratih memusnahkannya. Aku sama sekali tak menyangka kalau beliau justru menyimpan ajian itu di dalam tubuhnya. Dan sekarang beliau telah menggunakan ajian itu untuk menyegel kedua makhluk raksasa itu tadi, yang artinya....'

"Apa?"

"Kita harus membunuh Bu Ratih!"

"APAAAA....?!"

"PLAAAKKKK....!!! PLAAAKKKK...!!! PLAAAKKKK..!!!" Wulan kembali menampar Lintang berulang kali. "Apa maksud perkataanmu itu hah?!"

"Tak ada pilihan lain Lan! Bu Ratih sengaja menyegel kedua makhluk tadi dalam tubuhnya untuk melemahkan mereka, dan memberi kesempatan kepada kita untuk menghabisinya. Serang jantung si pemakai ajian itu, maka makhluk yang disegel dalam tubuh si pemakai ajian itu juga akan musnah. Jika tidak kita lakukan, maka lambat laun Bu Ratih justru akan berubah menjadi seperti mereka. Begitu cara kerja ajian itu!"

"Brengsek! Tidak ada....."

"Wu..lan! Lin...tang! Ce...pat lakukan! Wak...tu ka..lian tidak ba...nyak! Aku mu...lai ke...hilangan kesa...daran!" Bu Ratih merintih pelan, sambil menggeliat geliat menahan gejolak hebat didalam tubuhnya. Lintang tau, ada pertarungan hebat di dalam tubuh itu, antara Bu Ratih yang berusaha melemahkan kedua makhluk yang disegelnya dengam kedua makhluk yang berusaha menguasai jiwa Bu Ratih.

"WULAAAANNNN...!!!! CEPAAATTTT!!! AMBIL TOMBAK APIMU DAN TUSUKKAN DI JANTUNGKU!!! ATAU...., atau aku yang akan menghabisi kalian semua! Hahahaha....!!!"

Lintang tercekat, saat menyadari bahwa suara Bu Ratih mulai berubah serak dan besar. Kedua mata perempuan itu juga mulai menyala merah, dengan urat urat yang mulai bertonjolan di wajahnya. Sementara Wulan yang telah menggengam tombak api di tangannya, justru diam mematung dengan mata tak berkedip menatap ke arah sang guru.

"Ka....lian! Kalian terlambat! Kali...an! Cepat lakukan! Atau..., Huahahaha....! Kubunuh kalian semuaaaaaaa....!!!" Tawa menyeramkan Bu Ratih menggema, seiring dengan tubuhnya yang melesat cepat ke arah Wulan dan Lintang.

"Matilah kaliaaaannnn.....!!! Hahahaha...!!!"

"Bu Ratih! Maafkan Wulan!" Wulan berbisik lirih sambil memejamkan matanya. Tombak api di tangannya ia lemparkan ke depan dengan tenaga lemah, meluncur pelan menyambut tubuh Bu Ratih yang melesat cepat ke depan, lalu....

"Jrrreeeeebbbb...!!! Tombak itu menancap tepat di jantung Bu Ratih.

"Heeeegghhhh.....!!!" Bu Ratih melenguh pendek. Tubuhnya yang melesat cepat kedepan kembali terlempar mundur, melayang beberapa jengkal diatas tanah. Darah segar muncrat dari mulut perempuan itu. Kacamata yang selama ini selalu menghiasi wajah cantiknya terlepas dan jatuh, bersamaan dengan jatuhnya tubuh guru perempuan itu terhempas menimpa bumi.

"BU RATIIIIIIHHHHH....!!!" serempak Wulan, Lintang, dan juga Ramadhan yang baru sampai di tempat itu menjerit histeris sambil berlari memburu ke arah sang guru yang kini telah tergeletak tak berdaya itu.

BERSAMBUNG

*****
Selanjutnya

*****
Sebelumnya
close