Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

SUMUR PATI (Part 36) - Kembali Ke Kedhung Jati


JEJAKMISTERI - "Wulaaaannnn...!!! Ah! Sial!" sadar tak punya kesempatan untuk menghindar, Lintang menggerutu panjang pendek. Pemuda itu hanya bisa pasrah menerima tubuh Wulan yang melesat ke arahnya dengan kobaran api yang masih menyala nyala, lalu memeluk tubuhnya dengan erat.

Dan demi menghindari cidera fatal akibat kobaran api itu, Lintang terpaksa harus kembali menekan keluar energi dinginnya, untuk menetralisir hawa panas dari kobaran api yang menyelimuti tubuh Wulan. Sengaja ia menekan keluar energinya sedikit demi sedikit, demi menghindari benturan energi yang bisa saja berakibat fatal.

"Edan kamu Lan! Kau sengaja mau membunuhku ya?! Kira kira dong kalau mau...., eh, Lan? Kau...?" Lintang tercekat, saat samar samar ia mendengar isakan pelan dari Wulan yang sedang memeluknya. Kobaran api yang menyelimuti tubuh gadis itu kini sedikit demi sedikit mulai mereda, untuk akhirnya padam dengan sendirinya.

"Kau menangis lagi he?!" desis Lintang sambil mengusap pelan punggung Wulan.

"Ah, ini..., ini tangis bahagia Mbul," Wulan melepas pelukannya lalu menyusut dua bulir bening yang mengalir dari kedua sudut matanya. "Kau..., kau benar benar malaikat penyelamatku Mbul. Karena engkau, kini kekuatanku telah kembali! Meski sebenarnya aku tak menginginkan kekuatan ini, tapi demi desa, aku rela menerima ini semua. Dengan kembalinya kekuatanku ini, mudah mudahan kita bisa segera mengatasi pageblug yang terjadi di desa kita. Terimakasih Mbul! Terimakasih! Aku tak tau dengan apa aku harus..."

"Sudahlah, tak perlu terlalu kau pikirkan. Yang penting sekarang, kita harus secepatnya kembali ke desa. Para warga sudah menunggu kita Lan!"

"Ya! Kita harus segera kembali. Tapi sebelumnya...., ah, andai saja..., andai saja kita masih diberi sedikit kesempatan untuk bertemu kembali dengan kakek yang tadi. Kita harus mengucapkan terimakasih kepadanya Mbul. Karena kakek itu, kekuatan kita kini semakin bertambah. Tapi sayang, sepertinya kakek itu tak memberi kita kesempatan ya!"

"Yach, apa boleh buat! Sepertinya kakek itu sudah enggan untuk bertemu kita lagi Lan! Mudah mudahan, dilain waktu dan kesempatan, kita bisa kembali berkunjung kesini, dan bertemu dengan kakek itu."

"Ya. Aku juga berharap begitu Mbul! Aku baru ingat sekarang, kakek cebol itu, dialah yang selama ini sering datang kedalam mimpiku dan membimbingku untuk mendapatkan ilmu ilmu yang kini kumiliki. Pantas saja kalau almarhum Pak Dul Modin menyuruh kita datang kemari. Secara tidak langsung, kita disuruh mengasah kemampuan kita disini, sebelum menuntaskan masalah yang menimpa desa kita."

"Jadi?!" Lintang menatap lekat lekat wajah Wulan. "Seperti itu ya. Pantas saja! Sepertinya benar desas desus yang beredar selama ini Lan! Kakekmu, beliau masih hidup dan menyepi di gunung ini. Kakek cebol itu, aku yakin dia adalah..."

"Yach, aku nggak mau berspekulasi sampai sejauh itu Mbul. Kakekku, mungkin usianya sudah hampir satu setengah abad kalau masih hidup sampai sekarang. Suatu hal yang nyaris mustahil menurutku. Tapi..., sudahlah! Siapapun kakek itu, anggap saja kalau dia adalah guru kita sekarang!"

"Ya. Kau benar Lan! Dan itu berarti, nantinya kita akan semakin sering berkunjung kesini! Sekarang, ayo kita pulang, warga sudah menunggu kita."

"Ya! Ayo kita pulang Mbul! Dan kita habisi dhemit dhemit pengacau itu!"

Keduanya lalu saling berpegangan tangan, memejamkan kedua mata mereka, lalu....

"Zaaappp...!!!" dalam waktu sekejap, keduanyapun lenyap dari pandangan sepasang mata yang secara diam diam mengawasi mereka dari kejauhan.

****

Sementara itu di desa Kedhung Jati, Ramadhan yang masih duduk diam bersila didalam lingkaran yang dibuat oleh Lintang mulai merasa jengah. Hampir dua jam ia duduk dalam posisi seperti itu. Kedua kakinya mulai terasa pegal dan kesemutan. Ditambah dengan rasa sepi karena semua orang kini sibuk di ruang tengah, membuat Ramadhan berniat untuk sebentar saja berdiri dan melemaskan urat urat di kakinya.

Setelah melirik kesana kemari dan tak mendapati seorangpun yang melihatnya, Ramadhan pelan pelan beringsut dari duduknya, berusaha berdiri pelan pelan. Namun baru saja ia meluruskan kedua kakinya, sebuah suara mengejutkan pemuda itu.

"Kan sudah kubilang untuk tidak keluar dari lingkaran!"

Ramadhan yang terkejut sontak menoleh kebelakang. Dan ia semakin terkejut saat mendapati Wulan dan Lintang yang telah berdiri dibelakangnya.

"Kalian...?! Sejak kapan kalian...?"

"Kami baru nyampai Mas," Lintang mendekat ke arah Ramadhan, melepas kalung benang lawe yang melingkar di leher Ramadhan, lalu mengalungkannya di lehernya sendiri. "Sudah, sekarang Mas Rom sudah bebas. Dimana Bu Ratih?"

"Di ruang tengah," jawab Ramadhan lega. "Cepat sekali kalian, belum juga dua jam sudah kembali."

"Dua jam?" Lintang dan Wulan saling pandang.

"Iya! Kalian beneran ke Lawu kan? Atau..."

"Iya! Nih, kami sudah dapat hasilnya," Wulan memamerkan kendi aneh yang dibawanya

"Baguslah kalau begitu! Ayo, kita temui Mbak Ratih sekarang. Semakin cepat semakin baik! Aku sudah tak sabar ingin membalas kematian Wak Dul!" ujar Ramadhan antusias.

"Cih! Mau membalas? Lihat dhemit aja udah gemetar ketakutan!" decih Wulan sambil mengikuti langkah Ramadhan menuju ke ruang tengah.

Kedatangan Wulan dan Lintang, disambut antusias oleh para warga. Apalagi saat mereka mengetahui bahwa Wulan dan Lintang telah berhasil mendapatkan dua buah kendi yang sama dengan kendi yang beberapa hari yang lalu ditemukan didalam galian sumur di ladang Pak Jarwo.

Bu Ratih yang ternyata telah mengumpulkan para sesepuh dari desa desa tetangga yang juga terkena dampak dari pageblug ini, segera mengajak mereka untuk berembug. Dari salah satu sesepuh yang kebetulan dulu punya hubungan dekat dengan Mbah Kendhillah akhirnya mereka semua tau, bahwa memang benar dulu Mbah Kendhil yang mengurung dhemit dhemit itu di dalam kendhi dan menguburnya dalam dalam di salah satu bagian ladangnya. Ladang yang akhirnya dijual oleh Mas Joko dan dibeli oleh Pak Jarwo. Dan sebagai cucu pertama Mbah Kendhil yang mewarisi kemampuan orang tua itu, Wulan merasa sangat berkewajiban untuk membereskan semua kekacauan yang diakibatkan oleh keteledoran sang ayah.

"Bukan salah ayahmu Nduk kalau ia sampai menjual ladang itu, karena aku yakin ayahmu benar benar benar tidak mengetahui bahwa ladang yang ia jual itu ternyata menyimpan sesuatu yang sangat berbahaya. Andai aku tau tentang niat Pak Jarwo untuk menggali sumur di ladang itu, tentu dari awal aku sudah mencegahnya," ujar sesepuh itu.

"Ya. Saya mengerti Mbah," sahut Wulan. "Tapi tetap saja, saya merasa berkewajiban untuk melanjutkan apa yang dulu telah dilakukan oleh kakek saya. Apa yang telah kakek saya titipkan kepada saya, saya anggap itu sebagai suatu amanah, agar saya bisa melanjutkan perjuangan beliau dalam menjaga dan melindungi desa ini."

"Bagus Wulan! Ibu bangga kalau ternyata kamu punya pemikiran yang seperti itu. tapi apa kau dan Lintang sudah benar benar siap? maksud ibu, ini bukan masalah yang sepele. Kalau kita tidak punya rencana yang benar benar matang, dan usaha kita ternyata tidak berhasil, bisa saja itu justru akan semakin memperkeruh suasana," Bu Ratih ikut bicara, sambil menoleh ke arah Wulan dan Lintang.

"Kapanpun kami siap Bu," jawab Wulan tegas. "Tapi kami juga butuh bantuan dari Bu Guru, dan juga semua sesepuh yang ada disini."

"Soal itu, jangan khawatir. Kami semua siap untuk membantu, sesuai dengan kemampuan kami. Jadi, rencana apa yang telah kalian buat untuk memyelesaikan masalah ini?" tanya Bu Ratih.

"Mengembalikan dhemit dhemit itu ke tempat asalnya Bu! Mengurung mereka kembali kedalam kendi ini, lalu menguburnya kembali didalam sumur itu!" jawab Lintang.

"Itu berarti kita harus menggali kembali sumur itu, karena kemarin sudah ditutup kembali oleh warga," Komandan Bambang ikut bersuara. "Sepertinya itu butuh waktu dan tenaga yang tidak sedikit."

"Kita kerahkan saja semua warga untuk menggali kembali sumur itu," sesepuh dari desa Ngantiyan menyahut. "Jumlah warga yang tersisa masih cukup banyak. Saya yakin, sebelum pagi menjelang, sumur itu akan selesai digali."

"Tidak!" Lintang menukas tegas. "Itu terlalu beresiko Mbah! Dhemit dhemit itu masih bebas berkeliaran. Kalau sampai warga kita biarkan keluar dari pagar yang kita buat di sekitar rumah ini, saya khawatir kejadian kesurupan massal akan kembali terjadi."

"Lho, katanya kamu sudah memagari desa ini dari empat penjuru?" tanya sesepuh desa Patrolan.

"Eh, itu...., saya telah menarik kembali pagar itu, karena memang saya belum bisa terlalu lama mempertahankannya," jawab Lintang malu malu.

"Lalu, bagaimana caranya...."

"Soal urusan diluar pagar rumah ini," Wulan berujar tegas. "Serahkan saja kepada kami! Simbah simbah para sesepuh desa, cukup membantu dengan doa dari dalam rumah ini, sambil memperkuat pagar yang melindungi rumah ini!"

"Kalian yakin?" Bu Ratih kembali menatap kedua muridnya itu.

"Yakin Bu! Tentu dengan bantuan Bu Guru juga. Saya, Gembul, dan Bu Guru, kita bertiga sepertinya cukup untuk mengurus yang diluar sana!" jawab Wulan.

"Aku ikut!" Ramadhan yang sepertinya masih geram dengan para dhemit yang menyebabkan tewasnya sang uwak, tak mau ketinggalan.

"Tidak!" Bu Ratih menatap tegas ke arah adik tirnya itu. "Bukan maksud Mbak ingin meremehkanmu Rom! Tapi yang akan kita hadapi kali ini bukan lawan sebarangan. Mbak takut kehadiranmu bersama kami justru akan merepotkan kami. Lagipula, sebagai kakakmu, aku punya tanggung jawab penuh untuk melindungi dan menjagamu. Mbak tak ingin terjadi sesuatu yang buruk terhadapmu."

"Aku tau Mbak!" Ramadhan menukas tak kalah tegas. "Tapi, kemarian Wak Dul, secara tidak langsung terjadi karena keteledoranku. Jadi ijinkan aku untuk menebus kesalahanku itu. Lagipula, aku sudah bukan anak kecil lagi Mbak. Aku bisa menjaga diriku sendiri. Sedikit banyak Wak Dul telah memberikan sedikit bekal kepadaku, jadi....."

"Jangan membantah Rom!" suara Bu Ratih Meninggi. "Kau satu satu satunya keluarga yang kumiliki sekarang, setelah meninggalnya bapak dan ibu dulu. Mbak tak mau kalau sampai..."

"Tak apa Bu," Wulan menengahi perdebatan kedua kakak beradik itu. "Biarkan Mas Ramadhan ikut. Siapa tau nanti kita juga butuh bantuannya. Diantara kita, cuma Mas Ramadhan yang tau sarang dari pemimpin para dedhemit itu."

"Tapi Lan...."

"Percaya sama Wulan Bu, kita membutuhkan kehadiran Mas Ramadhan di luar sana."

"Baiklah kalau begitu, kita berempat yang keluar! Yang lain, tetap didalam rumah ini! Dan ingat Rom, diluar nanti, jangan pernah jauh jauh dari Mbak," ujar Bu Ratih akhirnya.

"Bagus! Kalau begitu, tunggu apa lagi! Ayo kita beraksi!" ujar Ramadhan penuh semangat.

BERSAMBUNG

*****
Selanjutnya

*****
Sebelumnya
close