Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

SERAT JIWO (Part 1)


JEJAKMISTERI - Jalanan di kota "S" memang tergolong padat lancar sore hari, senada dengan detik jam saat aku menunggu dijemput deno.

Tepatnya di dekat stasiun kami janjian bertemu.

Suasana hati adem ayem tentrem wayah sonten (hati segar aman tentram di waktu petang)

Jarang aku merasakan perasaan setenang ini Karena biasanya menjelang petang suasana lebih was-was dan kalang kabut.

Dudd..duuudd....duddd (Suara klakson mobil bukan suara blekping)

Deno menjemputku dengan kapal perang darat jaman kolonial nya.

"Ayo mlebu" (ayo masuk)
"Iyo den" jawabku tersenyum.
"Sory yo kowe dadi nunggu suwe (sory ya kamu jadi nunggu lama)
"Halah rapopo" (halah nggapapa) jawabku tenang karena memang suasana hati senang bahagia.

Deno pun memutar kemudi kapal perangnya dengan buru-buru.

Ada sedikit curiga tapi ahh biarlah, barangkali deno ingin perjalanan lebih singkat karena sudah mulai petang.

Diperjalanan kita berbincang tentang outlet outdoornya juga, maklum deno juga buka rental outdoor, kadang juga aku suka becanda minta di endors karena dia tahu peralatanku sudah banyak yang usang. (Curhat)

1 jam lebih kita lewati dengan asik dan tertawa terbahak-bahak.

Namun ada yang aneh saat kita mulai masuk di hutan "C"

Dia banyak diam, ngomongnya sedikit berbeda tidak seperti tadi yang asik dan nyambung.

Jauh dari kata nyambung, cuma ngedumel ngga jelas dengan bibir komat-kamit.

Masih sebatas heran, ini anak kenapa kaya orang stres.

Tapi aku diemin biarin lah, yang penting tetep fokus-fokus trulala.

Tapi aku mulai tidak tenang dengan sikap itu.

Bahkan was-was kian bercengkrama di otakku.

Terlebih ketika dia melihat lama ke hutan dalam tanpa melihat jalan, astagfirullah berulang kali kita ingin menabrak mobil lain. 

Aku sempat menasehati "Den tulung fokuso ngarep, fokus dalan!" (den tolong fokus aja ke depan, fokus jalan!) Dia menurut karena aku pakai nada menekan.

Keadaan semakin kacau ketika ada bus dengan kecepatan tinggi, aku jantungan dengan kata ceplosan (mohon maaf) as* baj****

Deno banting stir, sedikit saja aku tak menepuk kepalanya untuk menyadarkan-nya untuk fokus ke jalan mungkin saat ini kami udah menghadap illahi.

"Den as* lon** baj**** mandek pinggir" (den *bhasa umpatan jawa* berhenti di pinggir)

Tak kuasa aku mengelus dada dan mengucap astagfirullah. Sedetik saja lewat mungkin nyawa sudah tak selamat.

Setelah berhenti aku langsung keluar dan membanting pintu mobil, tak kuasa mengeluarkan ucapan umpatan dalam bahasa jawa.

Kulihat ada sedikit baret di samping, mungkin menyerempet bus tadi.

Tak heran sebenarnya aku selalu memperingatkan deno, karena jalan menuju hutan "C" terkenal juga dengan bus lokal yang gass poll!! Ugal-ugalan.

Makanya aku selalu minta untuk fokus.

Terlebih ini hutan yang cukup keramat, karena sering terjadi lakalantas disini.

Deno sedikit menangis kecil, tak henti deno mengucapkan maaf "Sory tenan bro, sory tenan sepurane aku lagi mbuh iki" (sory banget bro, sory banget, mohon maafkan aku lagi tidak tau kenapa sekarang)

Aku jadi tak enak hati memarahinya dengan kata kasar. Tapi mau bagaimana ini masalah nyawa, bukan hal yang sepele.

Aku masuk mobil mencari daypack usangku, aku ambil tumbler (botol air) dan aku ucapkan bismillah, aku berikan pada deno.

Aneh, biasanya temanku lain mengatakan "ahh seger iki banyune" (ahh segar ini airnya)

Berbeda dengan deno "Ehh opo iki banyu rasane pait" (ehh apa ini air kok rasane pahit)

Kowe ngopo jane!?, cerito neng aku (kamu kenapa sebenernya!?, cerita sama aku)

Aku mengatakan itu karena ada yang tidak beres dengan deno, dan gelagatnya yang semakin aneh saja.

Ora popo ayo lanjut aku wes ayem kok (Tidak apa-apa, ayo lanjut aku udah tenang kok) deno menampik pertanyaanku.

Aku biarkan saja, biarlah nanti kutanyakan lagi setelah sampai kedainya.

***

Sampailah di kedai deno.

Kedainya terkesan klasik dan tradisional, dengan banyak lukisan lama dan patung ogol-ogol kecil dan topeng-topeng kalau dibilang ya cukup seram tapi artistik.

Lampu remang, cahaya rata-rata berlampu orange, dan letaknya pun tak jauh dari belantara rimbunan pohon.

Di sebelah kiri ada pohon beringin besar yang di beri kain hitam putih, kucium samar-samar bau menyan juga di pohon itu.

Tapi mencium bau dupa dan menyan sudah biasa bagiku. Karena kamarku pun menggunakan wewangian tersebut.

(Dupa dan menyan tidak ada sangkut pautnya dengan mistis, tapi dupa dan menyan bisa menjadi mistis jika ada niat mengundang maka akan hadirlah sesuatu yang tidak kita sadari)

[BERSAMBUNG]

*****
Selanjutnya
close