Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

GETIH BIRU

Bismillah

Kersaning gusti, pangestuning gusti, kulo namung manungso kang kebak duso nyuwun segarane pangapuro.

Demit ora ndulit setan ora doyan.

Cerita ini adalah cerita lama, cerita dari sahabat dekat serta teman masa kecil saya.

Mungkin ini adalah cerita yang bisa membuat saya mati konyol haha, kalau sampai terdengar ke keluarga pangadek sapuluh, salah satu trah paling disegani di seluruh pulau jawa.

Tapi saya akan samarkan, dan trah ini bernama wijoyo adalah trah dari sahabat kami, ia bernama bagaskoro.

Ini adalah cerita masa kecil kami 🙏

Jangan berkecil hati, karena utas ini akan langsung selesai dan tidak ada kata menggantung, selamat membaca, terimakasih, sugeng rahayu memayuning gusti 🙏


JEJAKMISTERI - Dipagi buta dalam lamunan seorang anak belia, ia masih diasuh lembut dalam pelukan Dewi durga, ya seorang anak bernama genta kertaning bumi wijoyo. Ini adalah cerita masa kecilnya, sebut saja namanya genta.

"Genta.. Genta..." teriak lantang suara anak lelaki dari luar bilik seorang keluarga getih biru, ia masih sayu, tangannya masih saja mengusap kedua bola matanya karena belum siap menyapa bathara surya.

Ia berjalan dengan masih di gelayuti rasa kantuknya.

"Genta!" teriak lagi dari luar bilik itu.

"Nggih (iya) kang mas" jawab genta pada seorang pada luar bilik, ia berjalan menuju keluar.

"Suwemen sampeyan iku Dimas genta" (Lama sekali kamu ini dik genta) ucap bocah lelaki jangkung dengan perawakan gagah, ia bernama bagaskoro kertaning wijoyo, kakak dari genta.

"Ngapunten kang mas, kulo wau nembe tangi" (maaf kang mas, aku tadi baru bangun) ucap genta dengan mata masih sayu.

"Yawes, kono ndang adus, iki arep nang kali gede dolanan karo konco-konco, awakmu yo mesti wegah ditinggal kan?"

(yasudah, sana cepat mandi, ini mau ke sungai besar bermain dengan teman-teman, kamu juga pasti tidak mau ditinggal kan?) ucap bagaskoro pada genta, dan di sahut dengan anggukan kepala, genta pun menyegerakan diri untuk mandi dan membasuh tubuhnya dengan air di pagi ini.

Singkat cerita, berkumpullah mereka di lahan luas di pinggir sungai, nama sungai itu kali pelarungan, dan ini kali pertama mereka disana untuk bermain, bukan permainan yang seperti anak kecil lain mainkan namun...

Seorang anak sebaya mereka datang dengan membawa sebuah boneka yang terbuat dari silangan kayu dan kepala berupa batok kelapa, di boneka itu dipakaikan sebuah baju compang-camping dimana kesan seram boneka itu sama sekali tak membuat mereka takut malah mereka nampak senang ketika melihat anak itu membawa boneka itu, boneka bernama jailangkung.

"Bal, dengaren lagi teko, biasane paling dhisik awakmu nek dolanan ngene" (bal, tumben baru datang, biasanya paling awal kamu kalau bermain beginian) ucap bagaskoro pada anak itu.

"Hahaha, sepurane" (hahaha, maaf) ucap anak itu dengan gelak tawa, anak itu bernama bala. Sambil masih memegang jailangkung, matanya mengamati sekitar, lalu nampak ia melihat tempat yang baginya pas untuk bermain, tempat dengan berserakan daun di bawah pohon gayam besar dan beringin tua besar.

"Piye, sido dolanan?" (bagaimana, jadi bermain?) ucapnya pada semua anak disana, bagaskoro yang paling antusias, namun genta malah sebaliknya, ia measang wajah yang sangat was-was, ketakutan seakan menjemputnya, padahal ketakutan belum ada sama sekali.

Bala mulai merapalkan sebuah mantra, mulutnya komat-kamit seirama dengan gerak bibirnya, serta matanya terpejam tanda bahwa ia sedang serius akan prosesi menuju permainan yang biasa bagi mereka namun bagi kebanyakan anak lain cukup mengerikan.

***
Sir eling gusti, sir eling pamuji

Ing ngalam kasunyatan ing ngalam duniawi

Polaho menowo pengen polah

Omongo menowo pengen omong jer basuki mawa gusti.

Semua anak disana sontak bernyanyi, dengan riang mereka mengucapkan nyanyian atau mantra dengan nada.

"Hong hiyang ilaheng ing jagad alusan gentayangan, onone jelangkung jaelengsat, siro wujude ning kene ono bolone. Siro wangsul angslupo yen siro teko gaib wenehono tondo, ing Golek Bubrah hayo enggalo teko pangundango, hayo Ndang angslupo ing rupo golek wujud..wujud..wujud!

-Peringatan!-
Jangan dibaca kata diatas ini, karena ini adalah mantra asli pemanggil arwah, demit, setan bahkan iblis di dimensi jagad lelembut. Skip saja jika kamu parnoan atau penakut!

***

“Kok ora obah sih bal?” (kok tidak bergerak sih bal?) Tanya semua anak-anak disana, bala masih diam serta memandangi jailangkung tersebut.

Tiba-tiba…

Setttt…. (tangan ingin merebut)

“Ndi, kene…” (mana, sini..)

Lalu…

Wusss!!!!

Jailangkung itu tiba-tiba terbang tinggi ke arah pepohonan, dengan sigap…

Settt!!!!

Bala menarik sebuah utas tali kenur, sambil berkata;
“Untunge wes tak cepakno hahaha” (beruntung saja sudah aku siapkan hahaha) Ucap anak yang masih 6 tahun dengan badan mungil namun sedikit terlihat tegap itu.

“Wah malah koyo layangan hahaha” (wah kok seperti layangan hahaha) Ucap genta dan anak lainnya…

Asyik sekali anak-anak itu bermain, ada beberapa yang main disungai mencari; “Sumpil” (kerang sungai), bermain.
 “Jilungan” (petak-umpet), dan tentu saja bermain jailangkung yang mereka malah jadikan mainan seperti layang-layang.

Tak terasa mereka bermain hampir waktu “surop” (petang menjelang maghrib).

“Dolanane uwis wae yo, railok jare simbahku dolanan wayah ngene, mengko ndak di gondol wewe gombel” (bermainnya sudah dulu ya, tidak baik kata simbahku bermain diwaktu seperti ini, nanti biar tidak di culik wewe gombel) Ucap bala pada teman-teman sebayanya.

Bala pun menarik tali kenur agar jailangkung yang masih melayang bak layang-layang itu agar segera turun, setelah turun ia membawa jailangkung itu ke dekat poho gayam dan pohon asam jawa besar, ia sedikit merapalkan sebuah mantra namun aneh, asing bagi teman-temanya akan apa yang dilakukan bala, kecuali bagi bagaskoro dan genta.

“Sampun nggih mbak, matursuwun sampun tumut dolanan kalih kulo kalian rencang-rencang kulo, nyuwun pamit nggih” (sudah ya mbak, terimakasih sudah ikut bermain denganku dan teman-temanku, ijin pamit ya) Ucap bala sambil mencium kening jailangkung yang berupa bathok kelapa, dan ia secara mengejutkan juga melambai kearah atas kedua pohon besar itu...

Memang ada sedikit ketakutan diantara teman-temannya semua yang ada disana melihat dengan jelas apa yang di mintai pamit oleh teman mereka, bala, mereka sampai menggigit jari, namun bala tetap dan tetap hanya menyuguhkan kesan biasa dalam balutan senyum misteriusnya. Suasana yang mencekam dengan sentuhan cahaya remang jingga sang surya yang hendap menutup mata.

Di pagi yang masih menyapa lembut dalam buaian entah dari asura atau dewa, kidung-kidung Jawa bertebaran mengisiri tiap ruang para bangsawan, disana tepat ada beberapa anak-anak yang sudah asyik merencanakan sesuatu.

"Hei ayo dolanan koyo wingi meneh, tapi sek wujud luwih gede" (Hei ayo bermain seperti kemarin lagi, tapi dengan wujud yang lebih besar) Ajak anak tengil sedikit ingusan bernama bala.

"Wedi aku, moh ahhh" (Takut aku, tidak ahhh) Ucap Raya ketakutan karena teringat kejadian kemarin.

Tiba-tiba ada yang datang, seorang anak berkulit sawo matang dengan setelan baju era kolonial. Ia bernama bumi.

"Hlah iki pas ono bumi sisan, rasah wedi hahaha" (Hlah ini pas ada bumi juga, tidak usah takut hahaha) Ucap bagaskoro dengan gelak tawa menggelegar.

"Info mase?" Tanya bumi kepada bala yang sedang duduk bersila, bala malah tertawa melihat setelan baju yang dipakai bumi.

"Kowe ngopo sih? Klambi koyo ngono, koyo urip jaman londho wae hahaha" (Kamu kenapa sih? Baju seperti itu, seperti hidup dijalan Belanda saja hahaha) Ucap bala.

"Hlohhlohhloh... Aku ki wong jowo tapi gaya hidupku plek wong londho" (Hlohhlohhloh... Aku ini orang Jawa tapi gaya hidupku serupa orang Belanda) Jawab bumi.

"Owalah, wong jowo budoyo londho?" (Owalah, orang Jawa budaya Belanda?) Tanya bala pada bumi, masih dengan gelak tawa. Memang tak dipungkiri memang bumi ada keturunan Belanda, bukti menunjukkan ada beberapa saudaranya yang berkebangsaan Belanda.

"Jare simbahku, urip iku luwih apik ngajeni panggonmu, negoromu, sak elek-elek'e negoromu, iku yo melu andil dadi panggon lahirmu. Dadi ojo isin ngakoni negoromu" (Kata simbahku, hidup itu lebih baik menghormati tempatmu, negaramu, sejelek-jeleknya negaramu, itu juga ikut turit andil menjadi tempat lahirmu. Jadi jangan malu mengakui negaramu) Ucap bala.

Memang dijaman itu banyak sekali yang membangga-banggakan budaya eropa, padahal ia pribumi nusantara, lalu untuk apa membanggakan negara orang lain sedang kita lahir tak dinegara itu. Bagai duri dinegara yang sopan.

Singkat cerita obrolan mereka terhenti dan melanjutkan rencana mereka yang akan dilakukan di malam Purnama nanti, malam tanpa lampu hanya bercahaya rembulan di kegelapan malam.

Awal dari kisah masa kecil kami, bermula disini, cerita yang hanya kami simpan menjadi ingatan masa kecil. Cerita lama akan rasa penasaran yang berubah menjadi mala petaka.

***

Pernahkan kalian kalian bermain jailangkung?

Namun ini bukanlah jailangkung, ini adalah nini thowok atau nini thowong. Ini bukanlah permainan namun ini adalah ritual dengan resiko tingkat tinggi yang pernah di lakukan oleh keluarga pangadek sepuluh, trah wijoyo.

~SEKIAN~
close