Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

PELUKAN KEMATIAN (Part 2)


Aku mengikuti arah cahaya senter yang berasal dari atas dengan penuh kelegaan. Sejauh ini aku sudah dibuat bingung oleh lelembut Sepungkruk.

Namun ternyata semua itu baru awal.

Sekarang aku sudah berdiri bukan ditenda yang ditunjukan nenek tadi tapi disebuah gubuk atau rumah yang reyot hampir roboh, dengan dua buah obor di halaman rumah.

"Hufttt...," perlahan refleks aku melepaskan nafas. kutarik nafas bukan sebagai tanda lega, tapi sebagai menghirup kembali kemistisan alam lain yang belum mencapai ujung.

"Kreeeekkk..." pintu kayu itu terbuka dan nenek itu keluar dengan memegang lampu sentir sebagai pelitanya meraba gelap.

"Mbah...," teriakku.

"Hihiiihii.. kamu kenapa kemari?" ucapnya selalu terdengar sama.

"Simbah yang tunjuk saya kesini," jawabku dengan agak jengkel.

"Ya sudah masuk saja, diluar banyak demit,"
imbuhnya sambil tertawa cekikikan.

Aku melangkah malas menuju pelataran rumahnya yang bertanah warna putih, bagai batu padas. Merasa lucu aja, menangkap omongannya, bisa-bisanya si mbah bilang di luar banyak demit, sedangkan dia sendiri sejenis dengan mahluk itu, dedemit juga.

Sesampai didepan pintu aku masih berdiri, lalu menyaksikan sekeliling yang ternyata memang gelap tidak ada rumah lain terlihat. Rumah ini menjadi satu-satunya rumah di alam ini.

"Hah, mau sampai mana ini,"batin ku berbisik.

"Hihihiii, ya sampai sini," nenek di depanku tiba-tiba menjawab.

Tanpa ditanya, tanpa dikeluarkan pertanyaan dalam hati, tapi dia jawab dengan cengengesan.

Sosok ini terlihat normal layaknya wanita tua selayaknya, sekitaran wanita tua berumur delapan puluh tahun jika aku terka. Tatapannya seperti wanita tua yang penuh semangat menjalani sisa kehidupan.

Setelah masuk, aku duduk disebuah lantai tanah yang hanya beralaskan anyaman tikar. Nenek itu meletakan pelita (damar sentir) itu disalah satu dinding kayu nya. Sebuah bumbung bambu dia ambil dan menuangkan disebuah bambu yang jauh lebih kecil.

"Minum dulu, hihiii...." suruhnya sambil menyodorkan gelas bambu itu.

"Makasih mbah," jawabku, menyambut pemberiannya.

"Nginep saja sini, itu nanti tidur sama Joko cucu ku didalam," imbuh sinenek.

"Iya nek," ucapku kembali.

Ternyata nenek ini hidup dengan cucunya yang bernama Joko. Aku hanya bisa mengikuti maunya, karena sejauh ini masuk kedimensi astral bisa ku hanya mengikuti alurnya saja.

Lalu kemana mereka bertiga, mas Pur, kang Armani, kang Sujanto. Apa mereka masih sibuk diluar sana mencariku?

Aku hanya mengesampingkan pikiran awam ini agar terlihat tidak gusar. Membuang rasa was-was agar lelembut tidak mudah memperdaya hati.

Tidak lama dari dalam keluar bocah yang hanya mengenakan celana sebatas lutut berwarna kuning. Usianya sekitar delapan atau sembilan tahunan, belum memasuki masa baliq.

"Nah ini cucuku Joko. Nanti tidur sama dia saja," kata nenek ini namun tanpa dibumbui tertawa nya.

Dengan mengangguk, lalu memandang bocah yang berambut awut-awutan sebahu itu. Mulut kecilnya menguap layaknya bocah yang baru bangun tidur.

"Sopo mbah?" tanya Joko.

"Tamu nang, lungguh kene," ujar si nenek yang disusul bocah itu duduk diantara kami.

Setelah bocah itu ikut duduk rasa kantuk tiba-tiba datang, seperti kena sirep.

"Ajak tamunya istirahat nang!" Nenek itu berkata.

Tanpa ada jawaban bocah itu bangkit dari duduknya, aku langsung mengikutinya masuk kedalam kamar, di atas dipan bambu aku merebahkan badan di samping bocah kecil ini. Tidak seberapa lama aku pun langsung tertidur.

Ditengah-tengah lelapnya tidurku , sayup-sayup terdengar dengkuran yang sangat keras. Masak bocah kecil dibelakang ku yang mendengkur, atau suara sinenek tadi!

Pelan membuka mata, mepertajam pendengaran. Dengkuran itu jelas dari belakang ku, yang bikin heran bocah sekecil joko bisa begitu keras suara nya.
Menoleh kebelakang tapi pandanganku belum sampai, tiba-tiba tangan hitam memelukku.

Ini bukan tangan biasa, ini seperti tangan atau kaki hewan macan kumbang. Khas dengan cakarnya yang belum keluar.

"Astagfirullah, aku tidur sama macan kumbang!" batinku mulai beristigfar.

Saat resah memikirkan itu, dengan degupan jantung yang memburu. Cekikikan sinenek terdengar didepan ku tepat sosok itu berdiri. Entah sedari kapan nenek ini berada disini.

"Nggak nyenyak ya tidurnya. Hihiiihii...." wanita tua itu berkata.

"Ho oh mbah," jawabku singkat.

Lalu menyingkirkan tangan berbulu hitam itu, bangkit dan terduduk. Saat aku menoleh kearah Joko. Ya sama persis seperti dugaan ku seekor macan kumbang tengah tertidur seranjang dengan ku.

Aku mengikuti nenek itu yang berjalan keluar kamar, kembali duduk ditikar yang pertama kali aku masuk ke rumah ini.

Lalu nenek itu berbicara.
"Joko aku ambil dari tangan wewe gombel, bocah malang itu tersesat di alam ini setelah disusui wewe. Jasad nya ditemukan warga di bukit Sepungkruk sudah tinggal tulang.

Namun jiwanya tetap nyangkut disini," kata nenek itu bercerita.

"Terus mbah!" seruku.

"Empat puluh tahun sudah dia disini dengan bentuk sama persis seperti saat kolong wewe itu menyesatkan nya," imbuh sinenek.

"Terus mbah!" kata ku lagi, penasaran.

"Aku asuh dia seperti cucu ku sendiri, sampai dia mendapat mustika macan ireng yang aku berikan, dia jadi bisa mengubah wujud sebagai macan kumbang saat ingin kembali kealam kasunyatan (dunia fana)," kata nenek itu menjelasannya.

"Terus mbah!"
Aku yang semakin penasaran terus ingin mendengar nya.

"Terus, terus, diminum air nya. Hihihiii." Nenek itu menjawab dengan kekeh nya.

Jadi Joko adalah anak yang diculik kolong wewe atau yang kita kenal dengan nama wewe gombel, sekitar empat puluh tahun yang lalu, jadi kalau dia hidup di dunia nyata usianya sekarang hampir lima puluh tahun. Wew..., sudah kakek-kakek pasti.

Terus sekarang kalau dia menapaki alam fana tidak sebagai wujud Joko tetapi sebagai wujud macan kumbang. Jadi yang dilihat orang adanya macan kumbang di Sepungkruk itu wujud Joko yang terlihat.

Aku meneguk air dari gelas bambu yang masih berada di atas tikar ini, air-nya segar, dingin, seperti air kendi pada umumnya. Lalu kembali bertanya.

"Terus nama simbah siapa?" tanyaku.

"Hihiiihiii..., warga sini memanggilku mbah Sareh nang." jawab sosok nenek ini.

Aku hanya diam menelaah sebuah kata SAREH yang berarti kesabaran. Nenek yang Sabar. Pantas dia ramah, baik, juga tenang ditambah sikap bercandanya.

***

Sejatinya makhkuk halus yang berilmu itu, menunjukan jati dirinya untuk makna kehidupan yang sesungguhnya. Tidak menakuti manusia seperti astral tanpa ilmu.

Menyimak cerita mbah Sareh tersirat makna kasih sayang yang hakiki. Meski pun sosok Joko bukan siapa-siapa, hanya karena jiwanya terombang-ambing di belantara alam astral, sosok nenek tua ini dengan welas asih mengasuhnya sampai detik ini. Bahkan sudah dianggap sebagai cucunya sendiri

"Naang... cah bagus, hiduplah dengan hati tulus dan selalu berbuat baik pada sesama. Keselamatan itu... akan kita peroleh jika kita mampu jadi penolong terhadap yang lain, karena itulah tujuan kehidupan yang hakiki," Mbah Sareh memberikan wejangannya.

"Tapi kan kita memiliki agama yang bakal menolong diri kita kelak mbah!" argumentku keluar.

"Hihihii..., agama itu sarana nang..., agama itu komunikasi antara diri dan penciptamu cah bagus. Kalau beragama sudah pasti mengasihi sesama, kuatnya agama dan iman itu karena kasih sayang. Sholatmu tak akan pernah terhitung amalnya, jika belum menemukan kepedulian sesama.

Makanya agamamu mengajarkan untuk berjamaah saling mengenal, bersalaman, menopang satu sama lain menjadi ibadah yang sempurna itulah wujud kasih sayang." imbuhnya.

"Jadi kalau beragama tapi tanpa kepedulian itu salah mbah?" tanyaku kini.

"Ya jelas salah, agama mana yang tidak mengajarkan menjunjung tepo sliro le...." Serunya sambil cekikikan.

Aku merelfeksi diriku sendiri, memaknai ucapannya, ternyata aku menyadari bahwa diri ini masih jauh dalam pemahaman akan keyakinan yang selama ini dipelajari yaitu "Tepo Sliro". Kepedulian terhadap semua mahluk, menghormati perbedaan, saling membantu, mempererat tali silaturahmi, dan semua unsur yang bersumber dari kasih sayang.

Aku baru sadar ternyata jagad ini luas dengan segala isi nya, tidak hanya manusia yang memiliki pemahaman tinggi, mahluk halus jika memang pas ditemukan akan jauh lebih faham sumber inti keselamatan sejati.

"Tidurlah nang, besok Joko akan mengajakmu jalan-jalan... Hihii...." kata mbah Sareh menutup pembicaraan kami.

Orang tua itu bangkit perlahan, berjalan memasuki kamarnya. Hanya aku yang masih terduduk dengan bingung, mau masuk kedalam tidur dengan seekor macan kumbang yang rasanya serem banget. Tak ada pilihan, akhirnya aku rebahkan badan di atas tikar lusuh ini, sampai tertidur.

***

Merdunya Kokokan ayam hutan mulai terdengar, seiring cahaya berwarna keemasan sang surya, yang bangun dari peraduannya memulai tugasnya merengkuh bumi. Perlahan warna redupnya mulai masuk menyusup celah-celah pagar dinding yang terbuat dari anyaman bambu tua ini.

Aku membuka mataku, dan ternyata memang masih berada di dalam alam lain.

"Disini hari juga bisa berganti juga!" batinku berucap.

"Apa hanya aku sendiri yang sudah bangun ya?" tanyaku pada diriku sendiri.

Sedikit pun belum terdengar suara mbah Sareh juga Joko. Namun damar sudah mati, pintu juga sudah terbuka. Yang lebih aneh lagi semua terlihat berbeda dengan tadi malam. Hamparan sawah luas menghijau, beberapa rumah penduduk juga terlihat.

Namun tidak terlihat satu orang pun ketika mata ini terus mencari.

"Kang, sudah bangun?" suara Joko dari belakang.

"Udah Jok, kamu baru bangun," ucapku.

"Ho oh, jangan panggil Jok tok Kang, Joko gitu biar lengkap." imbuh bocah ini.

Aku tertawa mendengar ucapannya. Aku menganggapnya bocah seusianya yang sedang lucu-lucu nya.

Polos pola pikirnya sama seperti anak pada umumnya. Hanya saja perbedaan kalau bocah ini jika benar-benar diamati, pupil matanya tidak selayaknya manusia tapi cenderung seperti mata harimau, yang bisa membesar juga mengecil dengan sendirinya.

Pagi itu, entah dimana keberadaan si nenek tua juga belum terlihat, sampai Joko mengajak ku untuk turun ke sawah. Disana juga ada sungai kecil dengan pancuran bambu yang biasa dibuat orang untuk mandi, seperti di desa-desa dialam nyata.

Batu kali berwarna hitam menjadi pijakan kaki dibawah air yang mengalir dari bumbung bambu.

Aku hanya melihat bocah itu mandi, dengan ketawa cekikikan karena merasakan air mengguyur tubuhnya.

"Ayo mandi," ajak Joko.

"Iya, entar gantian," jawabku.

Tidak lama setelah bocah itu selesai, baru aku turun menuju pancuran itu, mencuci muka. Saat menyiram muka terasa dingin benget air itu, pelan menurunkan kedua telapak tangan ku lalu membuka mata.

Kembali semua berubah gelap gulita seperti malam hari. Semua dikelilingi pohon-pohon besar seperti didalam hutan.

"Astagfirullah." ucapku lirih.

Mataku memandang semua sisi, serangga malam pun terdengar. Pancuran di depan ku juga sudah tidak ada, hanya belukar yang tumbuh disitu.

"Joko, Joko..." teriakku memanggil bocah itu.

Beberapa kali memanggil juga percuma, karena tidak ada sautan dari dia.

Hanya saja, tidak seberapa lama dari atas tiba-tiba sudah berdiri kang Sujanto, sambil menyorotkan senter kearahku.

"Naik," katanya.

"Iya kang." teriakku dari bawah.

Aku terus merayap naik, tebing terjal ini, bergelantungan antara akar belukar.
Padahal awalnya turun tadi jalannya bagus banget, sekarang anak tangga tanah yang aku lewati, naiknya susah payah memanjat tebing yang lumayan curam.

Cahaya senter terus diarahkan kang Sujanto, seperti menuntun mencari jalur untuk naik. Aku menarik nafas lega sesampai di atas, meski lumayan menguras tenaga, juga bikin nafas ngos-ngosan karena capek.

Namun kali ini, ekpresi dari laki-laki ini terlihat lain, tatapannya seperti orang yang tidak suka melihatku, Aku bertanya-tanya sendiri, " Mengapa kang Sujanto terlihat berbeda dari biasanya?"

Nada suaranya juga berbeda, lebih terdengar berteriak. Aku cuek saja akan hal ini, sama dia juga aku tidak ada masalah selama ini, entah yang buat dia tidak menyukai ku karena apa juga tidak tau.

"Ayo jalan." ajaknya.

Aku hanya mengikuti langkahnya, terus naik keatas, melewati lebatnya hutan. Saat angin berhembus dari atas selalu tercium bau bangkai. Berasal dari mana juga tidak tau, tapi lama kelamaan aroma itu lumayan tajam tercium dari tubuh kang Sujanto.

Aku tetap hanya diam tanpa bertanya, sadar kalau yang didepan ku ini bukan manusia.

Tetap tenang ikuti langkahnya, dengan hati yang terus melantunkan doa, tiba-tiba terdengar suara parau menegurku.

"Hentikan doa-doa mu itu," adanya terdengar berat, tidak suka.

"Kenapa? Terganggu sama asma Allah!" kataku.

Lalu sosok didepanku berhenti dan berbalik menatapku tajam dengan muka marahnya, matanya melebar berwarna hitam, dan menyeringai memperlihatkan taringnya.

"Diam...! Hentikan doa itu" kembali ucapnya terdengar sedikit berteriak, dengan urat-uratnya yang bermunculan diwajah.

"Mau dengar doaku secara langsung?" ucapku, sambil berbalik menatapnya tajam.

Tetapi Justru sosok itu tidak menghiraukanku, Malah mendengus, berbalik dan melanjutkan kembali melangkah. Aku masih mengikuti langkahnya yang entah mau membawaku kemana. Entahlah... aku juga tidak tau.

Kelebatan-kelebatan bayangan kini sudah asyik menampakan diri, suara geraman berbagai astral mulai terdengar. Serasa naik darah ini dari ujung kaki sampai ke kepala, semua tubuh mulai panas, merinding.

Hanya saja aku harus tetap tenang, mengatur nafas dan selalu berdoa dalam hati meminta keselamatan.

Sosok yg terus mengikutiku dari samping kiri membuat aku merasa lumayan merinding, hanya sesekali terlihat mata nya yg menyala warna kuning. Terus mengikutiku dari balik kegelapan.

"Makhluk apa ini?" batinku berkecamuk bertanya pada diri sendiri, antara penasaran dan berdoa.

***

Terkadang aku merasakan suatu energi yang membenturku, serasa panas, menyesakkan. Sementara wujudnya belum terlihat. Mereka ada dimana-mana. Bahkan saat ini ada disebelah kiriku....

"Rmmm... rrmm... rrmm...," suara parau nan berat itu terdengar tiada henti dari sosok yang berjalan di depanku. Ia terus berjalan menyusuri lebatnya hutan malam ini. Dengan perasaan yang campur aduk tidak karuan, aku tetap saja mengikuti langkahnya.

Menunggu waktu sampai dikembalikan ke alam nyata kembali.

Sesampainya di atas terlihat hamparan tanah yang lumayan luas, seperti lapangan. Tanahnya datar dan rata.,

"Lalu dimana rumah mbah Sareh? Yang seharusnya berada disini?" pertanyaan itu muncul jika mengikuti pikiran dan nalar manusia sepertiku.

Dari kejauhan, terlihat ada beberapa sosok sudah menunggu di sana, berdiri dengan api yang mengapung di tengah hadapan siluman-siluman itu.

"Apa ini?" tanyaku.

"Hmmmmm..."

Hanya geraman yang terdengar oleh sosok yang mirip kang Sujanto ini.

Kami berjalan mendekati mereka. Setelah mendekat, kami tepat berhadapan dengan lima sosok wanita berwajah mengerikan itu, hanya berbatas oleh api yang terbang tidak seberapa tinggi.

Tiba-tiba langkah dedemit didepan ku berhenti sambil menunduk. Aku yang mengikuti dia tegak berdiri juga menyaksikan semua ini, hingga banas pati yang berkobar itu, semakin menyala, tidak terasa panas cuma biasnya menyilaukan mata.

Wewe dengan muka menjijikan, bertubuh besar, pakaiannya hanya menutup aurat yang menggantung sangat besar, juga panjang. Kulitnya burik, dengan bulu-bulu yang sangat banyak. Perlahan sosok itu terbang mendekat, matanya tertuju kearah mataku.

Cara mengelabuhi makhluk berjenis kolong wewe ini, jika berhadapan langsung kita wajib pura-pura tidak melihatnya, mau sebagaimanapun dia menempelkan wajahnya, meski mata saling tersentuh yang harus aku lakukan hanya terus berpura-pura tidak melihat sosok ini.

Jika dia melihat atau merasakan ketakutan kita, hal ini yang akan membuat bahaya. Akal sehat manusia akan tersirep, setelah manusia disusuinya maka kewarasan itu akan hilang, jika dikembalikan kealam fana pun, maka seperti orang yang tidak waras lagi.

Dan kini tepat kami saling berhadapan jarak mukaku dengan mukanya tidak sampai sejengkal, jemari dengan ruas dan kuku yang panjang berlahan menyapu wajah ini, dicekik leherku, dan bola mata hitamnya menelisik kedalam mataku.

Baunya, sangat amis juga busuk, hampir muntah aku dibuatnya. Hembusan hawanya terasa panas saat mulutnya terbuka memperlihatkan taring juga gigi hitam yang tidak rata.

Kemudian setan wewe ini mencari tau kedalam mata, namun aku hanya terus berpura-pura tidak melihat, dengan menggerakkan mataku memandang ke semua arah, degupan jantungku mulai tidak karuan, ketika pekikan suara tawanya terdengar.

"Allahhu Akbar," ucapku lirih.

Sampai terangkat tubuh ini beberapa jengkal dari tanah dengan muka yang saling berhadapan. Kulit yang penuh benjolan bisul itu mulai melelehkan nanah yang kental dengan darah hitam, ulat-ulat bermunculan. Namun aku tetap tenang meski kini rasa geli menyiram wajah ketika ratusan ulat berwarna hitam itu menjalar keleher juga wajah ini.

Tanpa terasa kaki ini sudah menginjak tanah kembali, dan banas pati itu mulai terbang mengitariku disusul dengan semua sosok wewe itu sudah mulai mencengkram seluruh badanku. Lima wajah yang bertumpuk-tumpuk itu menatapku. Makin terlihat tidak jelas dan menakutkan.

"Ya Allah jika ini ajalku kenapa disini!" Batinku mulai goyah akan rasa takut.

Semua tangan-tangan itu menjalar kesana-kemari sampai terasa semua ulat-ulat itu kini bergerak disemua tubuh dari ujung kaki sampai kepala.

Lima sosok itu membuka mulut sangat lebar bersamaan, seakan akan menelanku. Lidah hitamnya bergerak, dengan memunculkan nanah busuk dari pangkal-pangkalnya.

"Jangan sampai muntah, atau aku mati," gumamku sambil menahan rasa mual yang luar biasa melandaku.

Ucapanku aku gantikan dengan membaca ayat kursi terus menerus tiada henti.

Setelah lantunan ayat kursi kubacakan, tiba-tiba seperti meluruh, semua ulat yang mengerubuti seluruh tubuhku berjatuhan, tangan-tangan itu perlahan mulai terlepas, lalu kelima sosok wewe gombel mundur.

"Wa laa yuhiithuuna bi syai-im min ilmihii illaa bi maa syaa-a"

Teriakan mereka kembali terdengar, lalu lima sosok itu menjadi satu, berubah dengan tubuh yang jauh lebih besar, dengan rupa yang sangat menyeramkan. Tatapannya tajam penuh amarah.

Tidak lama ringkikan kuda terdengar, membuat redupnya api yang terbang di atasku, sosok yang menyerupai kang Sujanto juga berubah menjadi genderuwo dengan taring besarnya.

Entah karena apa, yang jelas suara kuda itu membawa aura ghaib yang sangat luar biasa, hingga semua lelembut itu terlihat mundur juga kebingungan. Namun aku mencari wujud dari sumber suara itu juga sama sekali tidak terlihat.

Dari sibakan semak terlihat, sepasang mata menyala itu bergerak kearahku. Macan kumbang, sebesar anak sapi menggeram. Seperti lemah lutut ini, mau jatuh rasanya, sangat lemas, hilang semua daya kekuatan diri.

"Ya Allah, akan matikah aku kali ini. Bagai dikelilingi maut, berpeluk kematian." lirih ucap ku dalam gemetar yang tidak tertahan lagi.

***

Dalam kondisi apa pun jangan meluruhkan iman, jangan tanggalkan keyakinan. Percaya lah Tuhan ada dalam kondisi apapun.

Derap langkah kaki kuda juga ringkikkannya terdengar, aku yang masih bergetar berdiri bersama sosok yang merasakan kegusaran itu.

Macan kumbang menggeram keras, membuat aku tidak lagi sanggup berdiri, tersimpuh diatas tanah dengan lemah.

Pasrah kini, hanya tetap terus melafaskan nama illahi tanpa pernah terhenti.

Namun macan hitam itu berdiri disebelah kiri ku, menatap tajam kearah wewe gombel yang berada didepan sana.

Salah dugaanku, jika macan kumbang ini datang untuk menolong. Tidak seberapa lama sosok ini berubah menjadi bocah yang aku kenal, Joko dengan tatapan marahnya.

"Joko...," ucapku dalam lemah.

Bocah itu hanya menatapku dengan mata berwarna kuning menyala, tersenyum memperlihatkan taring runcingnya.

Sosok genderuwo besar yang menuntunku sampai disini, terlihat ingin menunjukan murkanya, dengan melantangkan sebuah peringatan.

"Siung Kumbang, tidak perlu ikut campur," suara besarnya terdengar mengerikan.

Tanpa ada kata jawaban, Joko selangkah lebih maju, seakan menandakan kalau dirinya siap bertempur, melindungi diriku.

Ia datang tidak hanya menjadi penolong juga pelindung, atau mungkin juga ada sebuah kesumat yang ingin sosok ini selesaikan.

Yang bikin anehnya ternyata sosok wewe yang menyeramkan dan terlihat garang dengan menyatunya lima sosok tadi justru diam dengan tanpa memperlihatkan reaksi keberaniannya.

"Apa wewe ini yang menculik Joko dari alam nyata?" tanyaku dalam hati.

Bocah itu lalu merunduk, jongkok, berubah kembali menjadi macan hitam didepanku. Entah karena apa setiap melihat wujud macan kumbang, badanku selalu gemetar, persendian lemas. Mungkin takut, atau energinya yang sangat kuat membentur diri ini.

Tangan keriput tua, memegang bahu sebelah kanan, kuangkat wajah ini menyaksikan mbah Sareh sudah berdiri. Entah sejak kapan kemunculan nenek tua ini juga tanpa aku sadari. Hanya ucapan syukur terucap, masih ada mereka untuk aku disini, dengan kondisi seperti ini.

"Bangun, tidak selayaknya kamu takut dengan dedemit seperti itu. Hihihiii...," ucap mbah Sareh yang membantu ku berdiri.

"Mbah, ini dimana, kenapa dengan saya?" tanyaku.

"Tidak ada waktu menjelaskan disaat seperti ini. Ini pegang, lawan mereka!" katanya sambil memberikan ranting kayu bercabang.

Saat ranting ada ditanganku, sekedip mata ini memandang telah berubah menjadi tombak dengan trisula sebagai mata tombaknya.

Sekilas cahaya putih juga terlihat menyelimuti tombak ini.

Belum usai terpana dengan kejadian ini, kembali terdengar suara berat lelembut hitam itu.

"Saat ini aku biarkan manusia ini hidup Nyi Sareh... saat ini aku biarkan mereka hidup." ucapnya, lalu menghilang, disusul wewe itu yang juga melesat hilang, terakhir banas pati juga terbang keatas langit lalu hilang.

"Ceremende, demit jireh. Hihihiii." (Kecoak busuk, setan penakut) Mbah Sareh berucap.

Dengan hilangnya ketiga sosok itu, hilang juga tombak ditanganku, berubah kembali menjadi ranting kayu biasa. Kebulan asap juga merubah Joko menjadi wujud bocah kecil kembali. Hanya menyisakan tanya, yang belum dijawab oleh nenek tua ini.

"Hihiihii, pejamkan mata mu Nang." Mbah Sareh menyuruh.

Aku hanya mengikuti apa yang disuruhnya, memejamkan mata, dan menunggu kata yang diucapkannya kembali. Tidak seberapa lama terdengar ucapnya untuk membuka mata.

Hamparan tanah luas tadi sudah berubah menjadi gubuk si nenek. Saat aku membuka mata, kami berdua tanpa kami berdua tanpa ada Joko berjalan di halaman rumahnya menuju masuk rumah.

Secepat ini perubahan terjadi tanpa dirasa tubuhku, ditangan kananku juga tidak memegang ranting tadi. Kemana itu semua, dan apa maksud semua ini, aku tidak pernah tau. Hanya melihat wanita tua membuka pintu rumah meyuruhku masuk.

Setelah masuk, keadaan rumahnya sama persis mirip ketika datang pertama kesini. Mbah Sareh menyuruhku duduk ditikar itu, memberikan minum dari bumbung bambu.

"Joko mana mbah?" tanyaku.

"Hihihiii, Joko ya kluyuran." jawabnya.

"Mbah saya mau pulang!" aku berucap.

"Kenapa? Engga betah disini?" tanyanya dengan tertawa.

"Dunia saya tidak disini mbah, dan disini saya rasa tidak sanggup menyaksikan semuanya!" kataku.

"Tujuan kamu kesini kan mau lihat jaran sembrani, hihihiii. Memang nya sudah kamu lihat?" Mbah Sareh bertanya.

Aku hanya menggelengkan kepala, mau menjawab juga tidak tau apa yang mesti jadi jawabanku. Hanya ada rasa sedih tiba-tiba dalam hati ini, serasa ada kalimat yang terucap secara ghaib. Namun tidak teringat lagi kalimat itu karena hanya membawaku dalam sebuah tangis.

"Tidak salah, manusia kadang ingin melihat yang tidak terlihat. Ingin tau yang tidak perlu diketahui." Nenek itu memberi nasehat, dengan tangan-nya mengelus punggungku meredakan kesedihan.

Mendengarnya, langsung terbayang wajah ibuku, yang selalu menuturkan bahasa kasih. wajah terlihat jelas dalam pikiran ini.

"Assalamuallaikum" sebuah salam dari luar gubuk terdengar.

"Waallaikumsalam," Mbah Sareh menjawabnya.

Disini aku juga terkejut ternyata nenek tua ini paham salam manusia, sebuah ucapan bagi kaumku.

Menelisik batin ini, mbah Sareh hanya tertawa cekikikan, sambil bangkit membuka pintu rumahnya. Menyuruh tamu itu masuk.

Mas Purwanto kini yang datang kemari. Aku ingin mempercayainya tapi rasanya susah, jangan-jangan ini dedemit sama kayak wujud kang Sujanto tadi.

"Udah waktunya pulang le... !" Mas Pur berkata.

"Hihiiihiii.. mau pulang?" tanya mbah Sareh.

Mendengar perkataan mereka berdua malah menimbulkan sebuah kebingungan, ini apa lagi? Sangat tidak bisa nalar ku menyimpulkan semuanya, ikut mas Pur bisa nanti kejadian mengerikan itu terulang, tinggal disini juga bukan tempatku.

Mendengar pernyataan nenek ini juga memunculkan keraguan dalam hati.

Keduanya hanya diam menunggu jawabanku. Aku hanya masih bingung untuk memberi keputusan. Dan sadar di alam ini juga keputusan itu menjadi jalan penentu untuk diri sendiri.

Keselamatan tidak bisa menjadi hadiah utama dari siapapun. Peranan mereka memiliki batasan, tanpa bisa merubah keinginanku sendiri. Mau bagaimana, seperti apa, tinggal, atau pulang. Semua tergantung diriku.

Aku lalu bangkit dari dudukku, berdiri mengikuti kedua sosok yang berdiri dengan diam ini. Mempertajam indra ku, mencari jawaban siapa yang datang ini.

Aku hanya mengulurkan tangan untuk berjabat dengan laki-laki yang mau menjemput ku, dia juga menyambut jabatan tangan ku. Tanpa mengeluarkan aura ganjilnya makhluk astral.

"Pulang," jawabku.

"Silahkan pulang, bawa adikmu pulang Nang, namun jalan pulang itu masih jauh, kalian berdua carilah, aku disamping kalian sampai keluar dari tempat ini, Terdengar kata mbah Sareh yang serius tanpa bumbuhan tawa seperti biasanya.

Mendapat ijin kami berdua meninggalkan gubuk milik nenek riang itu, kembali menyusuri gelap. Tentu disini aku masih belum yakin dengan sosok yg menyerupai mas Pur. Kembali persis aku hanya berjalan dibelakang nya, tadi kang Sujanto, sekarang mas Pur, apa kedepan nya kang Armani?"

Hanya karena mencari misteri jaran sembrani di Sepungkruk malah jadi aku yang terjebak ke dalam alam lelembut.

Namun alam kini tidak hanya kelam dengan gelapnya, tapi juga ditambah kabut yang tiba-tiba menyelimuti semua sisi, semakin gelap, dan kembali terasa benturan hawa para jin mulai bermunculan.

Tidak ada habisnya!

****

Andalkan indra untuk mencari perbedaan, wujud lelembut pasti ada perbedaan dengan manusia yang diserupai nya. Selain mata untuk mencari, hidung untuk mencium bau yang keluar dari maghluk itu, gunakan juga indra perasa untuk mengukur aura yang dipancarkannya.

Ingat. Indra pendengaran harus jeli, karena dialam ini semua bisikan menyesatkan selalu terdengar.

Perjalanan malam terasa begitu panjang, seakan waktu lambat berganti. Kami masih dengan penyusuran ganjil mencari dimana jalan untuk pulang, mencari kehidupan yang selayaknya, meninggalkan alam kelam.

Langkah ini terus bergerak meninggalkan gubuk nenek tua itu, mengikuti mas Pur. Entah sosok ini benar dia atau bukan.

Rasa pusing menghampiri, kepala terasa berat ketika tercium bau wangi pekat menusuk. Badan pun serasa berat, semakin aku rasakan mencium dalam-dalam wangi bunga ini, tengkuk juga kepala serasa penuh tekanan hawa lain.

"Jangan dicium baunya, ini sirep dari mahluk di depan sana!" kata mas Pur.

Aku yang mendapat kode itu langsung menaikan kaos untuk menutup hidung. Tidak seberapa lama setelah tidak tercium wewangian itu, ternyata memang benar pusing mereda, badan juga serasa ringan kembali.

Jenis lelembut apa lagi didepan sana yang sudah menunggu kami berdua?

"Kamu ga papa?" tanya mas Pur.

"Ga papa, lanjut saja mas." jawabku yang terus mengikutinya.

Pohon-pohon besar kini mulai jarang terlihat, digantikan dgn ilalang jg rumput liar setinggi manusia dewasa. Suara sungai terdengar deras, air mengalir dibawah tebing dgn sisi jurang yg sangat dalam dan gelap. Angin berhembus dari pusara bawah, menghantarkan bisikan mengerikan.

"Dia bukan manusia, dorong ke jurang, dorong ke jurang," bisikan ghaib itu berulang kali terdengar, menyuruhku mendorong sosok yang ada di depanku.

Aku hanya menarik nafas, mencoba mengabaikan bisikan-bisikan itu. Namun semakin terabaikan, suara riuh semakin banyak terdengar. Semua menyuruhku untuk membunuh laki-laki yang berjalan didepan ini. Semakin bising dan semakin banyak ucapan kematian.

"Ya Allah........"
Aku berteriak sekuat-kuatnya, sambil menutup kedua telingaku.

Walaupun sudah menutup telinga dengan telapak tangan, suara kematian itu terus bersautan terdengar.

Mati... mati... mati... mati... mati... mati.. mati... mati...

Kata itu sangat banyak diucapkan, terdengar, sampai aku tersimpuh dalam tanah.
Meneriakan juga memanggil asma Tuhan.

"Ya Allah, aku tidak sanggup, pulangkan aku." Masih dengan teriakku.

"Istigfar, kendalikan emosi mu!" Mas Pur menyuruhku.

"Astagfirullah, Astaghfirullah, Astagfirullah alladzi la ilaha illa huwal hayyul qayyumu wa atuubu ilaih"

Hanya lafas itu terus aku ucapkan dalam batin ini, memohon ampun, meminta pertolongan kepada Dzat pemberi kehidupan. Hingga semua suara mengerikan itu berlahan menghilang tanpa terdengar lagi.

Aku dibantu mas Pur berdiri dari simpuhku, dia mengajak kembali berjalan, berusaha terus mencari dimana letak gerbang keluar dari alam mengerikan ini. Meski dalam kondisi yang semakin lemah, rasa sangat muak juga marah.

Rasa yang bersumber dari tempat ini, memunculkan emosi yang tidak terbendung.

"Jgn berhenti istigfar." imbuhnya.

Jalan di depan semakin menyempit, semakin curam jurang disisi kiri, dikanan masih tebing dengan semak belukarnya. Semak yg terlihat tersibak menandakan ada makhluk yg mengikuti, entah berwujud apa mata ini juga tak dapat memastikan terhalang gelap.

Roak gagak terdengar di atas Langit.

"Masih pertanda suara kematian." Batinku berucap menggantikan lafas doa.

***

Jauh sudah kami berjalan seakan tiada ujung, hingga sampai pd sebuah pohon tanpa daun berdiri tegak, dengan purnama yang begitu besar terlihat, bersinar warna merah. Empat sosok laki-laki seperti memanggul tandu yang beratap segitiga, terlihat dari kejauhan.

"Apa itu?" tanyaku.

"Hati-hati saja, wanita dalam tandu itu perlu di waspadai," jawab mas Pur.

Darimana dia tau ada sosok wanita didalam sana, sementara jarak kami masih terlalu jauh untuk menyaksikan itu. Jangankan wanita didalam tandu, wajah keempat pemikul itu saja belum terlihat sama sekali.

Kembali wangi bunga itu tercium, namun tidak setajam tadi, dan tidak memiliki pengaruh apa-apa didiri ini. Hanya udara serasa segar terhirup menghilangkan pengapnya bau alam berselimut aura magis tadi.

Setibanya berhadapan dengan mereka, diturunkan tandu itu, disibaknya selambu yang menutup. Lalu keluar wanita berparas cantik dengan tatapan matanya yang tajam. Kemben sedada, berjarik batik. Tangan kanannya memegang mawar merah.

"Jauh perjalanan kalian sampai kesini," ucap sosok wanita itu.

"Aku hanya menjemput adik ku untuk pulang!" jawab mas Pur.

"Siapa pun yang sudah memijak tanah sini, hanya akan mengantarkan jiwanya padaku!"
Terdengar kata ancamannya.

"Jiwa kami milik Tuhan kami, tidak ada siapa pun berhak atas kehidupan juga kematian kami," balas laki-laki disebelah ku.

Sunggingan senyum sinis terlihat dari sosok didepanku, seakan menandakan ketidaksukaannya mendengar ucapan kata tadi.

Aku yang hanya berdiri menyaksikan perseteruan mereka, hanya menunggu apa yang akan berlanjut kedepan nya.

Pertempuran, kehidupan, atau pun kematian, semua itu belum terlihat. Hanya saja ini menjadi pertanda bukan hal baik untuk kami berdua.

Kenapa di alam ini banyak sekali penguasanya, sementara kalau di alam lain yg pernah aku alami, suatu tempat hanya mempunyai satu pemimpin sesembahan. Berbeda dengan ini, ada kolong wewe, mbah Sareh, wanita ini. Juga yang lainnya, yang seperti semuanya bermusuhan satu sama lain.

"Jika berharap hidup..., itu hanya akan ada satu orang diantara kalian berdua!" katanya kembali terucap.

"Untuk apa bangsa kalian selalu menginginkan jiwa manusia?" kini aku mengucap tanya.

"Sudah takdir, ini garis yg dibuat moyang kita jika kaum ku dengan kaum kalian bersebrangan, saling berperang dari diturunkannya kita kedunia ini sampai akhir dari dunia! lantang ucapnya terdengar.

"Kaum kalian banyak yang satu tujuan dengan kami, kenapa tidak denganmu?" pertanyaanku kembali terucap.

"Mereka yang berpihak dengan kaum manusia, sudah menetapkan peperangan dengan kaum-nya sendiri," ucapnya semakin menunjukan amarah.

Mata yang semula sinis menatap, kini menyala berwarna merah, dengan menunjukan sosok itu mematahkan tangkai mawar yang digenggamnya.

Empat sosok yang sedari tadi tertunduk mulai menunjukan wajah bringasnya dengan tatap yang sama menyala, geraman terdengar.

Sibakan angin meniup dengan kencang, mengubah hawa yang semula adem menjadi panas, mencekam. Kitaran maut seakan siap menghampiri, memutar mencari nyawa.

***

Situasi seperti ini banyak didapati, manusia gentar, takut, lalu mengikuti mereka untuk abadi dialam kelam. Sangat konyol jika hanya rasa takut menanggalkan keyakinan diri akan pertolongan Nya.

Perdebatan terjadi antara kami dengan sosok wanita itu, terlihat empat anak buahnya juga bergerak maju, dua disisi sebelah kanan, dua lagi disisi sebelah kiri. Jika terjadi pertarungan tentu ini tidak akan imbang, karena hanya dua lawan lima dedemit dengan kemampuan yang pasti tidak bisa dianggap remeh.

Tidak lama kemudian, sosok wanita cantik itu seperti mengeluarkan asap warna hitam tipis yang menyelimuti seluruh tubuhnya, bagai aura pembungkus, atau semacam penanda maksimalnya kekuatan yang terlihat.

Menyaksikan itu, laki-laki disebelah ku mundur satu langkah, tentu dengan persiapan diri. Semerbak wangi bunga mulai tercium pekat, disini, membuatku kembali menutup hidung.

Mengikutinya mundur satu langkah. Terasa ada kedutan dibahu kananku, lalu menjalar turun seperti kesemutan sampai ke telapak tangan. Cahaya putih terlihat dan sebuah tombak yang hilang tadi kembali muncul dalam genggaman.

"Ini kapan datangnya tombak!" ucapku dalam hati.

Melihat itu, kerlingan matanya menatap tajam kearahku, dahinya berkerut dengan bola mata menyala semakin lebar.

"Nyai Sembrani," kata itu terucap dari mulut sosok wanita itu.

"Nyai Sembrani? Ini kan milik mbah Sareh!" batinku menjawab kata itu.

Apa mbah Sareh itu yang menjadi cerita warga desa sosok dahulu yang menjadi legenda munculnya Jaran Sembrani (kuda bersayap).

Semakin aku tidak paham dengan semua ini, alam yang terasa sangat aneh, dan sangat mengerikan. Sebuah dunia penuh dengan pertikaian, seakan kematian menghampar menjadi sajian istimewa disini.

Patahan batang mawar digenggaman tangan wanita itu juga berubah menjadi sebuah Keris berwarna kuning, terlihat lekuk panjangnya semakin meruncing, dengan gagang pegangan kayu berwarna hitam kecoklatan.

Sambaran petir menghantam pohon kering tanpa daun dibelakangnya, hingga gelapnya malam menjadi terang karena api yang berkobar di pohon itu, ditambah sorotan purnama merah. Membuat terasa magis area ini, menyeramkan. Benar-benar singup dan keangkerannya dapat dilihat.

"Jadi dibalik langkah kalian ada Nyai Sembrani!" kembali ucapnya terdengar, dilanjut dengan tertawa mengerikan.

"Siapa kamu sebenarnya?" tanya mas Pur.

"Aku Dewi Kolo Hanyuntari, penguasa negri lelembut sini!"

Wanita itu menyebutkan nama dengan nada kesombongan sebagai penguasa.

"Ijinkan kami untuk pulang, kami datang juga tanpa mengusik apa pun." sambung ucapan mas Pur.

"Tanpa seijinku kalian akan tetap berada disini, hidup denganku, atau mati!" kata itu terdengar dari nya.

Sebuah tempat yang memiliki pilihan sangat sukar diterima, hidup untuk bersatu dengan setan atau memilih mati.

Perasaan menjadi penyesalan diri, kenapa harus sampai tempat sejauh ini jika hanya mencari kematian. Sungguh sebuah penyusuran yang salah, perjalanan yang aku kutuk dengan teriakan dalam hatiku sendiri.

Ingin aku tancapkan tombak ini kearah sosok itu, namun sebelum melangkah, tangan kiriku sudah dicengkram oleh mas Pur, dia menatapku dan menggelengkan kepala, tanda tidak setujunya atas aku mengambil sikap.

"Kenapa halangi aku?" tanyaku dengan dada yang panas.

"Kamu mau mati konyol disini!" katanya dengan nada yang berbalur emosi.

Mendengar perdebatan itu, kelima sosok itu tertawa serempak seakan menyaksikan kelucuan kami berdua. Atau menjadikannya bahan tertawaan yang sengaja mengejek kami berdua, agar terpancing emosi. Gelegar tawa yang menjadi sebuah tantangan dalam pendengaran telingaku.

Suasana seperti ini aku hanya menekan emosi, dengan memikirkan wajah ibu ku diluar sana, mengharap masih bisa kembali bertemu. Juga menjalani kehidupan normal seperti waktu lalu.

Lintasan wajah ibu ku seketika memberikan rasa tenang, mengingat kembali semua nasehat beliau, untuk selalu mendekatkan diri kepada Tuhan dimanapun berada, dengan kondisi apapun.

Batin aku tuntun untuk melantunkan lafas suci, membaca doa yang aku bisa. Sampai tubuh terasa panas. Melawan itu semua dengan kalimah-kalimah agung.

Terus berdoa, dengan posisi tetap berhadapan langsung, saling menatap.

Sampai melesat wanita itu menusukan keris menembus mas Pur yang mesih memegang tanganku.

Anehnya keris itu seperti tidak mengenai apa-apa, hanya menusuk angin, menembus tubuh disebelahku.

Wanita itu sontak mundur lalu menatap dengan heran, mengangkat tangan nya lalu memandang tajam kearah pusaka itu. Mulutnya mulai merapal mantra, yang entah itu ajian apa, hingga batangan kuning itu mengeluarkan cahaya. Lalu mengibaskan benda itu kearah kami.

Sebelum sinar itu tiba dengan cepat, gerak laki-laki disebelah ku menepis hanya menggunakan tangan sebelah kiri.

"Ternyata ini bukan raga mu, manusia!" Seruannya terdengar bergetar penuh murka.

"Ya, ini jiwaku, yang menjemput adikku pulang." jawabnya.

"Ternyata bukan orang remeh, berani mengusik masuk ke alam ku, dengan rogo sukmo. Hebat nyali mu..." Kata Dewi Kolo.

Aku masih dengan kebisuan, antara kagum, heran, juga banyak pemikiran yang sangat mustahil jika aku urai dalam nalar sebagai manusia awam seperti ku.

Yang tidak paham akan hal-hal seperti ini.

***

Yang perlu dijaga oleh hati hanya iman, selalu teguhkan iman, sedekat mungkin mengenal Tuhan, ketika terjebak di alam lain yang diciptakan Nya; diri sudah siap untuk meminta pertolongan, hanya padaNya kita berserah hidup juga mati didalam dimensi manapun yang telah dikehendaki.

Masih dengan ketegangan, sosok wanita bernama Dewi Kolo Hayuntari, semakin menggapai murkanya, dikibaskannya pusaka itu lalu keempat punggawanya berubah menjadi sosok menyeramkan dengan cengkraman tangan mereka mengeluarkan kobaran api.

Menyeringai wajah-wajah menjijikan itu mempertontonkan pasangan taring, juga liur yang menetes, wajahnya hampir menyerupai anjing.

Salakan panjang terdengar, juga beberapa kali menggeram seakan ingin menerkam kearah kami berdua. Dengan tatap mata yang masih menyala berwarna merah. Beringas terlihat bak muka anjing liar, mempertontonkan hausnya mereka akan kematian.

"Tenang," bisik mas Pur.

Mendengar itu, aku hanya diam, namun sekujur tubuh ini dibanjiri dengan keringat dingin, beberapa kali badan bergetar, merinding, rasa takut terasa dengan semakin cepatnya, degup jantung yang memburu tidak beraturan.

Geratan gigiku terdengar menyatu, menahan semua ini, hanya saja berusaha tetap bertahan. Jangan sampai terjatuh lemah yang akan membawa diri pada kematian.

Beberapa kali aku terbatuk, karena dada sesak terasa panas menggumpal. Senggalan nafas ini pasti menjadi rasa ketakutan yang terlihat dimata para lelembut.

Mata ini hanya menyaksikan sunggingan senyum sinis dibibir wanita iblis itu. Matanya lekat mengarah tajam melihat kearah kami, tanpa sekali pun berkedip.

Gejolak peperangan ini sudah dimulai dengan benturan aura yang sangat kuat terasa. Bahkan energi terasa perlahan terserap, semua terasa sakit disekujur badan ini, namun aku hanya berusaha menguatkan diri walau dasarnya memang sudah tanpa daya apa pun lagi.

Tidak seberapa lama, lutut juga sudah tidak sanggup menopang badan, tersujud aku diatas tanah tanpa sanggup berdiri lagi, hanya rengkuhan laki-laki disebelah membantu menopang raga yang tidak sanggup menerima benturan kekuatan magis lelembut itu.

Gelak tawa kepuasan terdengar dari Dewi Kolo, seakan memang dia sudah mencapai kemenangan nya, sekali bergerak atau menyuruh anjing siluman itu menyerang, tamat sudah kehidupan ku.

Hanya tersisa doa semata dalam hati, berpasrah, jika ini kehendak Nya maka ampuni segala dosa juga kesalahan diri, hanya terus memohon ampun.

Mata kami masih saling melumpuhkan. Senyum yang aku berikan pada wanita itu sebagai tanda aku bukan manusia yang takluk akan iblis.

"Sudah terasa, apa itu kematian? teriaknya terdengar sangat keras.

Semakin ganas menggeram keempat punggawa itu menyerukan tanda jika bau ajal sudah bisa mereka cium dariku.

Liur itu deras menetes dari mulut seakan ingin segera melumat raga ini tanpa ada sisa lagi. Terlihat dalam tatapanku jika mereka menantikan jatuh nya tubuhku, untuk jadi makanan para siluman.

Mata mulai meredup menatap, sesak nafas tidak hanya sekedar panas dalam diri, namun tenggorokan sudah seperti tercekik oleh tangan astral yang tidak terlihat.

Sebelum terkulai, telinga ini masih mendengar....

"Cukup, biarkan mereka pergi! terdengar suara mbah Sareh.

Hanya saja, wujud itu sama sekali belum terlihat, suara yang terdengar disusul dengan derapan langkah kuda berlari, lalu meringkik di belakangku. Bukan hanya itu yang terdengar, auman macan juga dari kejauhan menggelegar.

Hadirnya mbah Sareh, membuat ciut nyali kelima dedemit dihadapan kami, tatapnya tidak setajam tadi, api ditangan-tangan siluman anjing itu meredup lalu sirna dengan sendirinya.

Tentu ini menjadi kelegaan buatku, dada yang terasa panas juga berangsur reda. Kembali membuka mata dengan bernafas seperti biasa.

"Nyai Sembrani!" ucap Dewi Kolo.

"Cukup Dewi sudah terlalu banyak jiwa manusia mati di alam ini, jangan menambah kotor tanah ini!" ucap nenek tua yang kini melangkah maju didepanku.

Hanya saja wujud mbah Sareh tidak sama seperti tadi, bukan berwujud nenek tua, tetapi wanita muda dengan satu tanduk pas di atas keningnya. Terlihat tangan nya juga memegang tombak yang sama persis dengan tombak ditangan kananku.

Wanita ini menjadi tameng dari benturan hawa magisnya lelembut, sangat bisa aku rasakan ketika kembali aku bisa berdiri tegak tanpa ditopang, kembali seperti mendapatkan kekuatan yang tadi hilang.

Telinga ini mendengar lagi sebuah ucapan seperti mantra atau rapalan sebuah ajian.

"Prawiloning jagad kyai sabrang lor, ratu sabrang kulun, dumadio samubarang, manunggal marang ingsun. Leburing jagad kerono pengeran, lebur tanpa mawujud, sirno kanti pati kersoning Alloh'taala"

Tiba kang Armani sudah membidik dengan panah dari cahaya warna putih. Entah kapan dia datang, tiba-tiba sudah ada disebelah kananku. Berdiri seperti arjuna dalam pewayangan. Tanpa bergeming dan mengucapkan apa-apa lagi, hanya pandangan tertuju kedepan arah lawan.

Semua datang tiba-tiba, dengan kemampuan masing-masing yang entah ilmu kanuragan jenis apa yang mereka semua miliki.

Menyaksikan hal itu, hanya ucapan syukur ini terucap. Masih memiliki harapan untuk kembali pulang dan terlepas dari pelukan kematian didalam jagad lelembut.

Macan hitam yang berdiri tegak di atas lereng juga siap menerkam kearah gerombolan setan itu. Itu wujud Joko, yang juga hadir untuk menolong ku. Masih ada semuanya yang siap berperang hanya ingin mengeluarkan aku dari tanah kelam ini.

"Kita sudahi semua ini Dewi Hanyun, atau kamu sendiri yang akan menuai ajal." Kata wanita penjelmaan mbah Sareh, dengan menunjuk dengan tombak trisulanya.

"Kali ini kamu menang Nyai Sembrani, tidak dikemudian hari." ucap sosok itu.

Dia lalu melangkah masuk kedalam tandunya, lalu dipikul keempat anak buahnya meninggalkan kami semua. Hilang sosok itu, juga padam api yang berkobar dipohon kering yang masih berdiri. Bulan purnama besar disebalik bukit juga turun berlahan, sampai tidak terlihat lagi.

"Pulanglah kalian, dan jangan pernah kembali kesini lagi!" kata wanita itu.

Lalu sosok wanita bertanduk itu membalikan badan kearahku, kini kami saling berhadapan, dengan wujud menjadi nenek tua lagi, dengan khas Ketawa cekikikan-nya.

"Hihihiii..., sudah pulanglah nang. Ga usah cari Jaran Sembrani, itu hanya wujudku, sudah tidak ada lagi yang mesti dicari di Sepungkruk. Tanah ini tanah kutukan dari jaman dahulu, jiwa yang memasuki hutan ini hanya jiwa yang mengantarkan kematian.

"Kasih tau kepada mereka jangan datang kesini!"Peringatannya terdengar.

"Terimakasih mbah!" ucapku, pada nenek tua.

"Hihihiiii, ingat ya nang, jangan kesini lagi. Hihihiii...." Kembali peringatan itu dia ucapkan

Kabut yang dibawa angin sangat kencang menutup semua pandangan, bahkan jarak sejengkal pun semua tidak terlihat, semua hanya asap putih yang berbau wangi yang sangat pekat menyengat.

Saat semua itu menghilang, aku tengah berdiri disamping tenda dengan posisi masih ada mas Pur disebelah kiri, kang Armani disebelah kanan ku.

Hari sudah terang, terdengar suara alam menyambut dengan kicau burung, juga aliran sungai dibawah sana. Senyum terlihat diwajah kedua laki-laki ini, sampai mereka menepuk pundak ku bersamaan.
Lalu melangkah membangunkan kang Sujanto yang masih tertidur didalam tenda.

***

Tanah kelam itu berdampingan, jangan pernah memiliki rasa penasaran untuk hanya sekedar ingin tau. Semua itu tidak sebanding dengan nyawa yang dipeluk oleh rasa kematian.

Terimakasih sudah mengikuti kisah singkat sahabat saya, demikian alur yang saya tuliskan.

Sangat memberi kesan yang luarbiasa untuk saya pribadi, dapat secara langsung bersinggungan oleh astral setiap menuliskan kisah ini.
Sampai jumpa dicerita selanjutnya. Terimakasih.

TAMAT
close