Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

SETELAH ANAKKU MENINGGAL (Part 3) - Tamu Larut Malam

Siapa? Siapa di luar? Hening, tak ada sahutan. Suara ketukan pintu tak bertuan meneror ketenangan malam itu. Tapi, tiba-tiba...


Paginya, setelah kejadian semalam, Ngatinah ziarah ke makam anaknya. Mengirimkan doa dan menceritakan kejadian semalam di rumahnya.

“Le, opo iku kowe? Kowe sing tenang yo, le” (Nak, apa itu kamu? Yang tenang ya, nak) ucap Ngatinah sambil mengusap patok kayu yang berdiri di makam Guntoro.

Disitu, Ngatinah mendoakan anaknya, agar ia tenang dan diampuni segala dosa-dosanya.

Ngatinah masih dihantui rasa penasarannya, mengenai pocong yang menyerupai anaknya itu apakah itu jasad anaknya yang masih belum rela meninggal dunia? Dosa apa yang membuat almarhum anaknya menjadi demikian.

Ngatinah menghabiskan waktu lama di makam anaknya, hingga tanpa terasa panas terik memaksanya untuk pulang.

Saat Ngatinah sampai di rumah, ia mendapati Suraji sudah menunggunya di pelataran rumah.

“Seko ngendi sampean, mbak?” (dari mana kamu, mbak?) Tanya Suraji, karena sejak dia bangun tidur kakaknya Ngatinah sudah tidak ada di rumah.

“Seko sarean” (dari makam) jawab Ngatinah.

“Mbak, aku arep tekon. Opo maksute sampean ngomong nek pocongan sing ndek bengi mirip karo wajahe Guntoro?” (Mbak, akum au Tanya. Apa maksud kamu bicara soal pocong semalam yang mirip dengan wajh Guntoro?) Tanya Suraji.

“Sampean ora salah ndelok?” (kamu tidak salah lihat?) tambah Suraji.
Ngatinah tidak langsung menjawab perrtanyaan Suraji, ia berjalan ke dalam rumah, lalu duduk di kursi panjang ruang tamunya. Suraji mengikutinya, lalu duduk tidak jauh dari Ngatinah.

“Iyo, aku ora salah, Guntoro iku anakku, aku sing ngopeni tekan gede, ora mungkin mripatku salah” (Iya, aku tidak mungkin salah, Guntoro itu anakku, aku yang membesarkannya, tidak mungkin mataku salah)

Guntoro bingung mendengar perkataan kakaknya, ia hanya bisa mengiyakan seluruh perkataan Ngatinah saja. Kemudian Suraji mengingat berita desas-desus yang didengarkannya dari warga beberapa hari yang lalu, tentang pocong hitam.

“Opo iki podo karo pocong sing ganggu bocah jogo wingi? sing dimaksud wingi?” (apa ini sama dengan pocong yang mengganggu anak-anak jaga kemarin?) Tanya Suraji dalam hati. Ia dihantui teka-teki yang dibuatnya sendiri.

Berita mengenai Guntoro yang masih gentayangan di Desa Glagah mulai mencuat saat salah satu anak warga Desa Glagah pulang dari perantauan.

Namanya Satria. Setelah lebih dari tujuh tahun ia merantau di Sumatra, ia memutuskan ingin pulang ke kampung halamannya, dan akan bekerja tidak jauh dari kotanya.

Satria adalah teman semasa sekolah Guntoro, tepatnya saat sekolah dasar (SD), dan kerap bermain bersama dengan Guntoro. Ngatinah pun sangat mengenal bagaimana Satria, karena akrab dengan anaknya.

Hingga saat lulus SMA, Satria merantau ke Sumatra, ikut saudaranya yang juga sedang bekerja di sana. Hal itu membuat Satria tidak lagi bertemu dengan Guntoro, dan tidak pernah lagi tau bagaimana kehidupannya sekarang.

Kala itu, Satria pulang dengan membawa vespa kesayangannya, berhari-hari ia mengarungi jalanan pantura dari kota tempatnya bekerja hingga kota tempatnya lahir.

Waktu hampir maghrib saat ia sampai di perbatasan kotanya, masih perlu satu jam untuknya untuk sampai di gerbang masuk Desa Glagah. Jalanan perbatasan desanya masih belum di aspal hanya berupa tanah dan beberapa batu di jalannya.

Di sepanjang jalan yang sudah masuk area pedesaan, hanya dipenuhi sawah-sawah milik warga. Pencahayaan pun masih minim di sana, hanya terdapat beberapa tiang lampu yang berdiri di tepi jalan, itupun hanya lampu kuning yang tidak begitu terang.

“Alhamdulillah…..” tepat jam delapan malam ia sampai di gapura desa, ia menyapa beberapa warga yang ia kenal.

“Satria…. Wes bali kowe!” (Sudah pulang kamu!) teriak salah satu pemuda yang sedang bersantai di warung pinggir jalan.

Tak jauh dari situ, Satria melihat seseorang dari kejauhan. Seseorang yang tidak asing baginya. Seseorang yang sedang duduk sambil merokok di depan salah satu warung yang tutup milik warga desa Glagah.

Satria berusaha mengingatnya. Tujuh tahun adalah waktu yang lama, sudah cukup untuk membuat banyak ingatan Satria tergerus. Tapi, saat semakin dekat, wajahnya semakin ia kenali.

“Guntoro…..!!!” teriak Satria sambil melambaikan tangannya, lantas mengarahkan vespanya ke arah Guntoro dan melangkah turun menghampirinya.

“Gun…. Pie kabarmu!?” (gimana kabarmu?) Tanya Satria sesaat setelah turun dari vespanya. Tapi, Satria merasa ada yang aneh, pasalnya, Guntoro terlihat pucat dan hanya diam saat ia menyapanya.

Selain itu, Satria mencium bau tidak biasanya di sana, yakni bau busuk yang sangat menyengat, sampai-sampai perutnya merasa mual. Bau ini membuat Satria memeriksa tempat di sekitarnya, tapi, dia tidak menemukan apapun di sana.

“Mungkin bangkai” pikirnya.

“Iki aku Satria, opo kowe wes lali?” (ini aku Satria, apa kamu sudah lupa?) Tanya Satria lagi, kini Guntoro mendangakkan kepalanya ke arah Satria, lalu tersenyum sambil memandangnya dengan sorot mata yang sayu.

“Satria… Nembe teko?” (baru datang) tanya Guntoro dengan suara lirih dan lemas.

Melihat itu, Satria merasa curiga kepada teman lamanya itu. Ia menyadari, jika ada yang tidak beres dengan Guntoro.

“Kowe loro, Gun? Ayo sekalian tak terke bali” (kamu sakit, Gun? Ayo sekalian aku antar pulang) Satria melontarkan pertanyaan kepada Guntoro dan menawarkan mengantanya pulang.

“Ora usah, aku neng kene sek wae karo udud, aku sehat” (Tidak usah, aku di sini saja sambil merokok, aku sehat) jawab Guntoro sambil menghisap lintingan tembakau di jarinya.

“Yowes, aku bali sek yo, sesok tak dolan ngomahmu” (Ya sudah, aku pulang dulu, besok biar aku main ke rumahmu) ucap Satria sambil menyela vespanya.

“Aneh….” Begitulah yang Satria rasakan saat bertemu Guntoro saat itu.

Satria tidak menyadarinya, jika temannya yang barusan ia temui telah lama meninggal dunia.
Saat sampai di depan rumah, suara vespa Satria mengundang bapak ibunya di dalam rumah.

“Anakku……” teriak ibunya sesaat setelah membuka pintu rumah. Rasa haru menyelimuti pertemuan mereka setelah sekian tahun tidak bertemu. Jaman dulu tidak semudah di jaman sekarang.

Dulu, transportasi antar provinsi belum sebanyak sekarang, terlebih lagi, minimnya informasi membuat orang-orang desa yang merantau jauh di kota orang, jarang pulang ke rumahnya. Termasuk Satria.

Malam itu, Satria belum mencertiakan pertemuannya dengan Guntoro pada bapak ibunya, saat itu Satria hanya mencertiakan perjalanannya yang ia tempuh dari Sumatra hingga sampai di rumahnya.

Singkat cerita, malam hari setelah dua hari Satria di rumah, ia hendak keluar ke rumah Guntoro karena kemarin sudah berjanji kepadanya.
“Pak, aku arep metu, yo” (pak, aku mau keluar, ya) ucap Satria pada bapaknya di kamar.

“Meh neng endi, le, bengi-bengi koyo ngene?” (mau kemana, nak, malam-malam begini?)

“Omahe Guntoro” (rumah Guntoro) jawab Satria.

“He? Ono perlu opo kowe rono, le?” (ada perlu apa kamu kesana?) saut ibunya yang juga mendengar percakapan anak dan suaminya.

“Ketemu Guntoro to, buk, wingi aku janji karo wonge nek meh dolan omahe” (ketemu dengn Guntoro, to, buk, kemarin aku janji dengannya, jika aku akan main ke rumahnya) ujar Satria. Sontak, jawaban Satria membuat bapak ibunya bingung.

“Kowe opo ra reti?” (apa kamu belum tau?) Tanya ibunya Satria.

“Ngerti opo, buk?” (tau apa, bu?)

“Lho... Bocah edan... Koncomu Guntoro wes mati pirang-pirang minggu kepungkur” (Lho... Bocah edan... Temanmu Guntoro sudah meninggal beberapa minggu yang lalu)

“Ojo ngono to buk, wong wingi sedurung tekan omah, aku ketemu Guntoro ng lor kono nembe udad-udud (jangan begitu bu, orang kemarin sebelum sampai rumah, aku ketemu Guntoro di sana masih rokok-rokok an kok” pungkas Satria sambil menunjuk arah utara tempatnya bertemu dengan Guntoro.

Bapak ibunya kaget mendengar perkataan Satria yang tidak masuk di akal. Guntoro sudah meninggal lama, tidak mungkin anaknya bertemu dengannya.

“Bapak karo ibu melu ngelayat neng omahe Bu Ngatinah” (bapak dan ibu ikut ngelayat di rumah Bu Ngatinah) ucap bapaknya.

“Bapak guyone gak lucu” (bercandanya gak lucu) ketus Satia seraya keluar dari rumah. Satria menganggap itu hanya candaan orang tuanya saja agar dirinya di rumah saja.

Satria berjalan menuju rumah Guntoro. Ia melihat seorang perempuan dengan satu laki-laki di pelataran rumah Guntoro.

“Assalamualaikum, Bu Ngatinah”

“Lho… Satria…. Sudah pulang…”

“Iya, bu…. Guntoronya ada?”

Ngatinah diam, Satria pun bingung melihatnya.

“Maksudmu apa kok tanya begitu?” ucap laki-laki di dekat ngatinah, yang tak lain adalah Suraji.

“Lho, memangnya kenapa, pak? Saya kemarin janjian dengan Guntoro mau main ke rumahnya”

“Lho, tambah gendeng bocah iki” (tambah gila anak ini) cetus Suraji. Ngatinah yang dari tadi diam sekarang menangis. Hal ini membuat Satria bingung melihat mereka berdua.

“Ada apa to, pak… bu?” tanya Satria dengan wajah bingung.

“Guntoro wes mati” (Guntoro sudah meninggal)

“Guntoro wes mati” Ngatinah mengulang ucapannya sambil menangis melihat Satria.

Tangis Ngatinah yang pecah itu membuat Satria tak enak hati. Satria tidak tau jika Guntoro temannya sudah meninggal.

“Maaf, saya tidak...”

“Orapopo, wajar nek kowe ora weruh” (Tidak apa-apa, wajar jika kamu tidak tau)

Lama kiranya Satria menunggu suasana kembali membaik, sebelum akhirnya ia dipersilakan masuk ke dalam rumah. Di dalam, Satria dijelaskan, bagaimana Guntoro bisa meninggal.

Belum selesai Ngatinah menjelaskan, gemuruh angin tiba-tiba datang hingga menerbangkan perabot di depan rumah. Dedaunan kering pun tersapu angin hingga masuk ke dalam rumah.

Tidak lama dari situ, tiba-tiba hujan turun sangat deras. Hujan deras disertai angin membuat keadaan diluar semakin parah. Pepohonan di luar rumah Ngatinah seakan menari, memaksa batang yang tertancap di dalam tanah untuk bisa keluar akibat angina yang sangat kencang.

“Tak tutup lawange, mbak” (aku tutup pintunya, mbak) ucap Suraji seraya menutup pintu rumahnya.

Secangkir kopi panas tersaji di depan Satria, lintingan tembakau pun tak luput dari genggamannya.

“Bu, tidak masalah saya merokok?”

“Silakan saja. Suraji juga sudah biasa merokok disini”

Cukup lama mereka ngobrol tentang apapun. Ditemani suara gemercik hujan, cuaca yang dingin, dan semerbak aroma tanah yang sedap, semua itu bisa menghipnotis siapa pun. Merayu untuk termenung dan melupakan sejenak permasalahan hidup.

Tenang….. tenang sekali rasanya malam itu.

Namun, diantara ketenangan itu, tiba-tiba suara ketukan pintu terdengar dari luar. Ketukannya sama seperti ketukan warga jika ingin bertamu, hanya saja, tidak ada suara memanggil setelah ketukan tersebut.

Ketukannya pelan dan dengan tempo yang sama di setiap ketukannya, hal inilah yang membuat Ngatinah dan Suraji curiga.

“Sopo kae kok mertamu udan-udan ngene” (Siapa itu kok bertamu saat hujan-hujan begini) gumam Suraji.

“Sinten, nggeh?” (siapa, ya?) teriak Ngatinah dari dalam rumah.

Tidak ada jawaban dari luar. Sementara ketukannya terus terdengar dari dalam.

Ketukan itu terus terdengar, sedangkan Ngatinah dan Suraji tidak diam saja di dalam, beberapa kali mereka mendekat ke pintu, menyahuti dengan bertanya siapa yang datang berkunjung malam-malam dan hujan begini.

Tapi sayangnya, masih belum ada jawaban apapun dari tamu yang berada di luar.

“Sinten?” (siapa?) Ngatinah mengulang berkali-kali pertanyaannya. Untuk kesekian kalinya, masih belum ada jawaban dari luar. Suraji curiga, kalau ini ada yang tidak beres. Dan, benar. Keadaan seakan meng’amini pikirannya. Tiba-tiba, pintu terbuka dengan sendirinya.

“Jeglekkk...” begitulah suara pintu rumah Ngatinah saat sedang dibuka. Ngatinah, Suraji dan Satria kaget melihat pintu yang terbuka tiba-tiba. Anehnya lagi, pintu hanya terbuka sedikit, seperti orang yang sengaja membukanya untuk mengintip.

Hembusan angin seketika menerobos masuk rumah melalui sela-sela pintu yang baru saja terbuka. Hal ini tentu membuat Ngatinah dan Suraji curiga.

Suraji berdiri, berusaha melihat siapa gerangan yang berada di luar rumah. Namun, apa yang dilihatnya jauh dari yang ia bayangkan.

“Astagfirullah” teriak Suraji seketika. Ia terhenyak, saat ia tahu rupanya sudah ada sesosok makhluk yang pernah ia lihat tengah berdiri di depan pintu. Suraji lantas kembali ke bangku tempatnya duduk tadi seraya mengatakan sesuatu hal yang barusan ia lihat.

“Po…. Pocong…. Mbak ….Guntoro….” ucap Suraji lirih bernada takut. Sepertinya kali ini Suraji mulai percaya dengan perkataan kakaknya kemarin. Jika wajah pocong hitam itu sangatlah menyerupai wajah Guntoro.

Mendengar itu, membuat Ngatinah seketika berdiri dan melihat keluar. Pelan dan mantap Ngatinah melangkahkan kakinya, tidak terlihat ada ketakutan pada raut wajahnya

Tapi, belum lama Ngatinah berdiri, tiba-tiba ia tersungkur dengan posisi duduk, dengan mata yang menatap tajam ke arah pintu. Angin tiba-tiba tertiup kencang ke dalam rumah, membuat pintu yang semula terbuka sedikit, menjadi terbuka lebar.

Kini, siapa pun orang di dalam rumah bisa melihat apapun yang berada di luar. Ya, makhluk berkain hitam dan berkuncup itu datang lagi. Tidak lain, dan tidak bukan adalah Pocong Hitam yang menyerupai Guntoro.

Kali ini, Suraji, Ngatinah, dan Satria melihatnya dengan jelas, dia sedang berdiri melihat mereka.

“Gun….. Guntoro” lagi-lagi kata itu yang keluar dari mulut Ngatinah saat ia melihat pocong hitam itu.

“Ayo, mas… Mlayu lewat mburi” (lari lewat belakang rumah) ajak Suraji.
Ia berlari tunggang langgang bersama dengan Ngatinah dan Satria, tak peduli hujan yang masih turun dan membasahi badannya, ditambah, tanah yang becek semakin menyulitkan langkah mereka.

Beberapa kali mereka terjatuh karena tidak bisa melihat lubang yang digenangi air hujan.

“Bu…. Pocongnya bu….” Teriak Satria. Ia melihat pocong hitam itu di belakang rumah Ngatinah, ia berdiri diantara lampu pijar kuning yang menyala remang-remang diantara derasnya air hujan.

“Mbak…. Ayo cepet mbak…. Ra usah ndelok mburi, mas” (gak usah lihat ke belakang) Teriak Suraji, ia melihat Ngatinah sudah menggigil hebat.

“Ke rumah saya saja” ujar Satria. Suraji pun tak menolak. Suraji dan Satria membopong badan Ngatinah yang sudah lemas dan kedinginan.

“Sabar, mbak…. Sedelok meneh tekan” (sebentar lagi sampai) Suraji menguatkan kakak perempuannya.

Tidak ada warga sama sekali di luar rumah. Berkali-kali Suraji dan Satria berusaha mencari seseorang yang ia bisa lihat agar bisa membantu mereka, tapi, tidak ada yang mereka temukan.

Warga yang berjaga? Tidak ada. Mungkin karena malam itu hujan turun sangat lebat dan lama, sehingga membuat warga yang akan berjaga enggan untuk keluar rumah.

BERSAMBUNG

*****
Selanjutnya

*****
Sebelumnya
close