Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

JAKA INDI & DUNIA ASTRAL (Part 40) - Desa Mangiran


"Gochan, inilah pondok tempat tinggal guruku, eyang Ageng Wicaksono, tempatnya asri dan nyaman kan." Ujar Jaka Indi setiba mereka dihalaman pondok. 

"Rasa-rasanya tempat tinggal guru paman tidak terlalu jauh dari desa Mangiran kampung tempat tinggalku,"

"Paman bolehkah aku ijin pergi sebentar ke desaku."

"Eh... nanti dulu! Kita kedalam pondok terlebih dahulu menemui guruku...." 

Gochan hanya diam dan mengikuti langkah Jaka Indi yang menuju beranda depan lalu mengetuk pintu.
Perlahan pintu terbuka dan munculah seraut wajah anak anak yang polos.

"Astaga.....! Paman..... aku cari-cari di hutan dan di sungai serta disekitar desa, paman tidak ada dan akhirnya paman muncul juga," Seru Bimo yang merupakan anak angkat eyang Ageng Wicaksono. 

"Bimo.... apakah eyang Ageng Wicaksono ada di rumah ?"

"Belum paman..... beliau belum kembali." 

Kemudian Jaka Indi mengenalkan Gochan dan Bimo. Gochan terlihat gembira mendapatkan teman yang sebaya.

"Bimo bisakah kau menemani Gochan kedesa Mangiran dibelakang pegunungan ini"

"Biar aku yang gantian menunggu di Padepokan ini." 

"Bukankah paman dan Gochan baru tiba, apa tidak sebaiknya makan terlebih dahulu."

"Kami sudah sarapan sebelum kesini...." tukas Gochan yang terlihat mulai tak sabar untuk mengunjungi desa Mangiran yang telah lama ditinggalkannya. 

"Iiya... kami sudah sarapan, kalau Bimo juga sudah sarapan kamu dapat menemani Gochan ke desa Mangiran, dan sampaikan salamku pada orangtua Gochan."

"Baik paman, kebetulan aku juga sudah sarapan, mari Gochan kita berangkat," Ajak Bimo dengan gembira. 

Sekepergian Bimo dan Gochan, Jaka Indi duduk di kursi goyang yang ada di teras padepokan, sambil memikirkan istrinya Dewi Yuna, yang semestinya sudah datang menjemputnya. 

"Aah.... mengapa tadi aku lupa menanyakan pada Bimo prihal Yuna ?"

Tapi andaikata Yuna telah datang tentu Bimo telah menceritakannya padaku.

Sekonyong konyong Jaka Indi melihat berkelebatnya bayangan dihalaman luar teras padepokan.

Sigap Jaka Indi berlari ke halaman terbuka, tempat tadi ia melihat bayangan berkelebat, beberapa saat kemudian kembali tampak bayangan berkelebat. 

"Siapakah yang mondar-mandir di atas padepokan eyang Ageng Wicaksono ?" renung Jaka Indi.

Saat bayangan tersebut melintas kembali didekat Jaka Indi. 

Seketika kaki Jaka menjejak tepat di atas bayangan yang melewati dirinya, seraya berucap

"Laa hawla wa laa quwwata illa billah..." 

***

Alkisah... Pernah suatu kali ada seorang petani yang sedang mencangkul di sawah. 

Setiap hari jum'at diwaktu dhuha, selalu ada bayangan berkelebat melintas di atas sang petani.

Pada hari Jum''at di minggu ketiga, kembali bayangan tersebut berkelebat melintas di atas diri sang petani. 

Tiba-tiba sang Petani menjejakkan kakinya keatas bayangan, maka sekonyong-konyong jatuhlah ketengah sawah seseorang satria dari atas langit,

"Ada apakah Kisanak !?" 

"Mengapa Kisanak selalu tergesa-gesa pergi kearah barat." Ujar sang petani yang sudah terlihat berumur, tapi masih tampak gagah. 

Sang Satria bangkit berdiri dengan merangkapkan tangan didepan d**a ia berkata, 

"Kisanak nama saya adalah Ali," ujar pemuda tersebut.

"Dan maafkan saya Kisanak, yang tanpa permisi telah lancang melintas di atas orang pandai."

"Tujuan saya sesungguhnya hendak ketanah suci Mekah." 

Mengetahui yang melintas adalah satria yang berniat ketanah suci Mekah, sang petani pada akhirnya justru yang berbalik meminta maaf kepada Satria muda tersebut, yang kelak Satria muda tersebut dikenal sebagai Sunan Pati.

Banyak legenda yang hidup di masyarakat terkait orang-orang waskita jaman dulu kala, ada yang bisa meditasi di atas pucuk ilalang, ada yang bisa berjalan di atas air, bahkan adapula yang bisa pergi ke suatu tempat yang jauh hanya dalam waktu yang sangat singkat. 

Serta ada pula yang memiliki kemampuan memecah diri sampai menjadi empat bagian, dalam waktu yang bersamaan, dengan berada di empat tempat yang berbeda.

Kisah pertemuan Sunan Pati dimasa mudanya dengan sang petani ini, telah menjadi legenda dikalangan masyarakat Pati, tapi tak banyak yang tahu, siapa sesungguhnya sang Satria muda maupun sang Petani yang menjejak bayangan yang melintas, hingga menjatuhkan sang Satria tersebut.

Tentu saja Jaka Indi mengetahui siapa Petani tersebut, karena Petani tersebut adalah Kyai Ageng Enis yang merupakan kakek dari Ki Ageng pamanahan dan juga leluhur Jaka Indi. 

Sedang Sunan Pati yang dimaksud adalah Ali Nurul Yaqin yang dikenal sebagai Sunan Ngerang ketiga, yaitu cucu dari Sunan Ngerang pertama. 

Sunan Pati atau Sunan Ngerang ketiga ini sering disebut juga panotogomo, yang berarti penata agama. 

Sunan Ngerang ketiga adalah yang melahirkan Ki Ageng Penjawi, tokoh legendaris asal Kadipaten Pati.

Dalam dunia sejarah versi Babad Tanah Jawi, Ki Ageng Penjawi dikenal sebagai pendekar "tiga serangkai" bersama Ki Ageng Pemanahan dan Ki Juru Mertani. 

Berdasar pengetahuan yang diperoleh dari leluhurnya tersebut itulah, Jaka Indi dapat menghentikan orang yang melintas di atas dirinya.

"Gedubraakkk... brruuk...!!"

Terdengar suara keras tubuh yang jatuh menghantam bumi. 

Nampak seseorang dengan potongan layaknya pendekar muda terjatuh dari atas langit, tepat dihadapan Jaka Indi, meski demikian pemuda tersebut, terlihat cukup tangkas dan cekatan sehingga jatuh dengan kedua kaki di atas permukaan tanah, walau dalam keadaan sedikit limbung, tapi tak sampai membuatnya jatuh tersungkur.

"Hai..... !! Siapa yang telah kurang ajar melakukan ini terhadapku!!" Ujarnya dengan nada tinggi dan diliputi hawa amarah,. 

Namun disaat Jaka Indi dan pendekar muda tersebut saling berhadapan dan saling tatap, sungguh mereka sama-sama terkejut. 

"Huah.... Mas Jaka, mengapa bisa ada disini !?"

"Ouuh....! Mas Indrajit.... maaf...maaf... karena tidak mengenali kang mas, aku telah berbuat kesalahan," Ucap Jaka Indi sembari berjalan mendekati Indrajit dan menggenggam telapak tangan Indrajit dengan erat.

"Welleh...welleh.....! Ternyata Mas Jaka...." 

Selama ini belum pernah ada yang bisa membuatku terjatuh, bahkan...

"Mas Indrajit, ada keperluan apakah, mas Indrajit mondar-mandir di atas padepokan ini," Tanya Jaka Indi memotong perkataan Indrajit.

"Aku sedang mencari pesanggrahan eyang Ageng Wicaksono, aku perlu beberapa petunjuk beliau.

Tapi karena aku belum pernah bertemu beliau dan tidak mengetahui secara persis tempatnya. Maka aku berputar di atas perkampungan ini, mencari keberadaannya." 

"Hmmmm..... sungguh hebat Mas Indrajit ini, ternyata punya kemampuan melintas di udara. Setahunya ilmu ini hanya dimiliki oleh para wali dan satria waskita jaman dulu kala." Renung Jaka Indi. 

"Kebetulan sekali, padepokan ini merupakan pesanggrahan dan tempat tinggal eyang Ageng Wicaksono." 

"Alhamdulillah..... Akhirnya ketemu juga apa yang kucari." 

"Hanya saja, saat ini eyang Ageng Wicaksono sedang berpergian, jadi tunggulah didalam beranda pendopo, kebetulan aku juga sedang menunggunya," Ujar Jaka Indi yang langsung melangkah ke beranda depan diikuti oleh mas Indrajit.

Saat ini matahari sudah mulai meninggi, sekalipun suasana di Padepokan eyang Ageng Wicaksono telah menjadi terang benderang disinari cahaya mentari, udara tetap terasa sejuk dan hangat.

"Mas Indrajit... kalau boleh tahu ada keperluan apakah mas Indrajit ingin menemui eyang Ageng Wicaksono ??" Tanya Jaka Indi membuka percakapan...

Bersamaan dengan itu, terlihat diujung muka jalan, dua bocah cilik berjalan menghampiri Ke Padepokan eyang Ageng Wicaksono. 

Rupanya kedua bocah cilik itu adalah Bimo dan Gochan, yang telah kembali dari perjalanan, wajah Bimo terlihat letih, sedang Gochan menampakkan ekspresi wajah murung.

Jaka Indi menggapaikan tangannya kearah Bimo dan Gochan, setelah mereka berada dihadapannya, Jaka Indi memperkenalkannya pada Indrajit.

Tidak banyak kata-kata yang diucapkan Bimo, sedang Gochan hanya diam tertunduk.

Melihat wajah Gochan yang murung, niat Jaka Indi ingin menanyakan kabar keluarga Gochan diurungkan. Kemudian Bimo kedalam dan menarik tangan Gochan untuk ikut bersamanya. 

"Aku ingin menanyakan beberapa hal, terkait sebuah tempat dan keberadaan seseorang yang menjadi buron 'Satria Bayangan'. Aku mendapat petunjuk dari beberapa rekan yang kumintai keterangan, agar aku sebaiknya menyambangi eyang Ageng Wicaksono, di kaki pegunungan Kapila." Ujar Indrajit, menyambung pembicaraan yang sempat terputus karena kehadiran Bimo dan Gochan.

"Kalau Mas Jaka sendiri, mengapa juga bisa berada disini ?"

"Aku juga sedang memohon petunjuk eyang Ageng Wicaksono, dalam mencari keberadaan kakak seperguruanku." 

"Siapakah nama kakak seperguruanmu ?"

"Panji Dewantoro, Apa mas Indrajit mengenalnya !? 

"Tidak... aku tidak mengenalnya, Sebenarnya aku sudah cukup sering berkelana di dunia astral, dan tidak banyak manusia yang bisa melakukan perjalanan seperti ini, tapi maaf mas Jaka, aku belum pernah berjumpa kakakmu."

"Iya.... tidak apa-apa kang mas."

Berikutnya pintu terbuka dari dalam, dan Bimo keluar membawa buku tamu untuk diisi oleh Indrajit, dan setelah itu menawarkan makan siang bersama yang sudah disiapkannya. 

Indrajit menolak halus ajakan makan siang dari Bimo, dengan alasan masih kenyang karena belum lama sarapan, 

"Bimo makanlah dahulu bersama Gochan, paman Jaka juga masih kenyang, biar paman Jaka menemani Paman Indrajit disini." Ujar Jaka Indi.

"Jangan begitu, tidak baik menolak ajakan makan tuan rumah, terlebih bila hidangan sudah dipersiapkan, hayo... kita makan sama-sama."

Entah datang darimana.... Dan dengan cara bagaimana.... Tahu-tahu dihadapan Jaka Indi, Indrajit dan Bimo telah hadir Eyang Ageng Wicaksono, yang langsung mengajaknya makan bersama.

Bimo, Indrajit, dan Jaka Indi langsung menyalami Eyang Ageng Wicaksono dan bersama-sama keruang dalam untuk makan siang bersama.

Sambil santap siang Indrajit mengutarakan maksud kedatangannya. 

"Begini saja, nanti saat waktu ashar tiba, pergilah jenengan (kamu) ke KEDAI ARWAH.

Mungkin orang yang jenengan (kamu) cari, ada di sana atau ada petunjuk yang bisa jenengan dapat, nanti biar ku buatkan petanya dan nanti jenengan bisa di hantar oleh Mas Jaka," ucap Eyang Ageng Wicaksono pada Indrajit. 

"Baik... terima kasih banyak eyang wicaksono, terima kasih." ujar Indrajit dengan rasa hormat. 

Seusai santap siang, Eyang Wicaksono mempersilahkan Indrajit dan Gochan untuk beristirahat dahulu, sedang Jaka Indi diminta mengikuti eyang Wicaksono ke kamar yang ada di serambi belakang padepokan. 

Setelah mengambil tempat duduk yang ada diruang serambi belakang, Eyang Wicaksono mulai bertanya pada Jaka Indi, 

"Bagaimana latihanmu? Dan apa yang terjadi denganmu ? Tadi Bimo telah bercerita kalau kamu sempat menghilang beberapa hari."

"Maaf Eyang.., mengenai latihan bernafas dalam air, aku baru bisa bertahan dalam waktu sekitar tiga jam saja.

Sedang mengenai aku menghilang beberapa hari, itu karena aku tersesat didalam hutan labirin." Ujar Jaka Indi panjang lebar dan menceritakan pengalamannya bertemu peri langit, serta sempat diberi hadiah cairan aroma terapi.

"Oh iya.... ini Eyang.... ini dari peri langit," kata Jaka Indi seraya menyerahkan tabung kaca kecil yang berisi cairan berwarna hijau. 

"Kata peri langit, cairan ini bisa menjadi obat dan aroma terapi bagi peri pria, setelah berhubungan intim dengan peri wanita. 

"Tentu akan lebih berguna bila eyang yang menyimpannya"

"Luar biasa.... sungguh pengalaman yang luar biasa....! Sudah lama aku mencari keberadaan peri langit, bahkan bertahun-tahun aku menetap disini, harapanku agar suatu saat dapat berjumpa dengan peri langit, namun hingga saat ini bahkan aku belum pernah satu kalipun bisa bertemu peri langit." 

"Kira-kira seratus tahun yang lalu, memang ada laporan dari penduduk desa setempat yang melihat keberadaan peri langit di kaki pegunungan kapila ini, oleh karenanya aku sengaja membangun pondok dan menetap disini dengan harapan suatu saat aku bisa menemuinya. Ternyata Raden yang belum lama tinggal disini malah yang beruntung dapat menjumpainya."

BERSAMBUNG
close