Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

JAKA INDI & DUNIA ASTRAL (Part 34) - Menangkap Halilintar


Mengetahui Raden Jaka Indi masih belum menyadari kedatangannya, Anindya segera berbalik badan, berjalan bergegas kearah Kedai Arwah dan menggunakan ponco pada mantel merahnya untuk menutupi kepalanya.

Sesampainya didalam KEDAI ARWAH, Anindya berkata lirih namun cukup terdengar jelas. 

"Salah seorang yang berada diluar sana, yang tidak mengenakan ikat kepala, adalah Raden Jaka Indi yang namanya tertera pada papan maklumat jiwa, dengan nilai 20 batang emas murni," sambil kakinya terus melangkah dan mengambil bangku disalah satu sudut ruang pendopo.

Seketika semua mata melihat keluar dengan lebih seksama. Pria bertanduk domba kembali memegang senjata kujangnya dan mencabutnya keluar sedang sepasang peri kembar penjaga peti mati kedai arwah mulai melayang ke depan pendopo, hanya remaja pemanah yang tidak bereaksi sedikitpun, tetapi sorot matanya tetap menatap tajam keluar pendopo.

Saat itu hujan gerimis masih turun dan sesekali disertai kilat yang menyambar-nyambar dengan di iringi suara guntur yang menggelegar.

Setelah Jaka Indi dan Indrajit memeriksa kedua sosok mayat yang baru saja terbunuh. Jaka Indi berkata,

"Mas Indrajit silahkan masuk kedalam terlebih dahulu, biar sebentar kemudian aku menyusul."

"Baiklah....!. Kebetulan apa yang kucari sudah kudapatkan." Ujar Indrajit, seraya menyimpan secarik lipatan kertas yang tadi diambilnya dari saku pria berpakaian serba hitam, kemudian Indrajit bangkit berdiri dan melangkah menuju Pendopo KEDAI ARWAH. 

Sesaat setelah Indrajit berjalan ke Kedai Arwah. Tak lama semua mata yang sedang tertuju pandang keluar pendopo, melihat Jaka Indi menangkap petir dengan tangannya yang dirapatkan dan melontarkannya ke bumi.

"Blaammm....!!" Sontak terdengar suara ledakkan keras dan terciptalah sebuah retakan tanah dengan lubang yang cukup besar. Hingga semua mata terbelalak menyaksikan hal menakjubkan itu. 

Siapakah Jaka Indi hingga bisa menangkap petir?

Jaka Indi sesungguhnya merupakan keturunan Ki Ageng Sela. Ki Ageng Sela adalah keturunan Brawijaya V yang merupakan Raja Majapahit.

Dari pernikahan Brawijaya V dengan Putri Wandan Kuning lahirlah Bondan Kejawen atau Lembu Peteng. 

Bondan kejawen yang menikah dengan Dewi Nawangsih, putri Ki Ageng Tarub, menurunkan Ki Ageng Getas Pendawa, lalu dari Ki Ageng Getas Pendawa lahirlah Syekh Abdurrahman alias Ki Ageng Sela.

Ki Ageng Sela atau Kyai Ageng Ngabdurahman merupakan tokoh spiritual sekaligus leluhur raja-raja Kesultanan Mataram.

Ia adalah guru Sultan Adiwijaya pendiri Kesultanan Pajang, dan juga merupakan kakek buyut dari Panembahan Senopati pendiri Kesultanan Mataram. 

Alkisah, suatu hari Ki Ageng Sela yang tinggal di desa Tawang, Purwodadi, pergi ke sawah. Hari itu sangat mendung, pertanda hari akan hujan.

Tidak lama memang benar-benar hujan lebat turun. Halilintar atau bledheg (dalam bahasa jawa) menyambar persawahan, membuat warga desa yang di sawah pontang panting menyelamatkan diri. 

Tetapi Ki Ageng Sela tetap mencangkul sawah. Tiba-tiba dari langit muncul petir menyambar Ki Ageng Sela. Petir itu ditangkap oleh Ki Ageng Sela dengan tangannya tanpa sedikitpun bisa menciderai Ki Ageng Sela.

Sejak saat itu Ki Ageng Sela, dikenal sebagai Satria penakluk petir. 

Untuk mengenang kejadian itu, dibuatlah gambar petir pada kayu berbentuk ukiran sebesar pintu, yang pintu itu lalu dipasang didepan masjid Agung Demak dan masih bisa dilihat hingga saat ini. 

Lantas apakah Jaka Indi juga menangkap petir dengan tangannya sebagaimana yang dilakukan leluhurnya Ki Ageng Sela ? 

Sesungguhnya.... apa yang dilakukan Jaka Indi adalah, disaat Jaka Indi memeriksa mayat yang tergeletak terkena anak panah, Jaka Indi, mengambil sarung tangan hitam dari mayat orang berpakaian serba hitam, kemudian mengenakannya pada kedua tangannya.

Lalu Jaka Indi mengeluarkan keris Kyai Sengkelat, dan mengangkat tinggi-tinggi dengan kedua tangannya, dimana Jaka indi menjadikan kerisnya sebagai penghantar petir. Saat petir menyambar keris Jaka Indi, dengan seketika Jaka Indi mengayunkan kerisnya dan menghujamkan nya kearah tanah didepannya yang berakibat timbulnya suara dentuman keras, saat ujung keris bersama petir menghantam bumi. 

"Blummm...!!" Hingga meninggalkan sebuah lubang yang dalam. 

Sekalipun hal ini terlihat sederhana, namun bila Jaka Indi tidak memiliki ilmu tenaga dalam yang kuat, tentunya kejadian itu bisa membuat tubuh Jaka Indi terlontar saat kerisnya terkena sambaran petir. 

Kemudian satu persatu kedua mayat dimasukkan dalam lubang besar tersebut, dan Jaka Indi menguburnya dengan tanah yang berserakan disekitar lubang.

Hanya saja bagi semua mata yang melihat dalam kegelapan malam dari Pendopo KEDAI ARWAH, yang tampak adalah Jaka Indi menangkap petir dengan kedua tangannya yang diangkat tinggi keatas, lalu melontarkannya ke bumi.

Hingga membuat semua mata mendelong takjub menyaksikan peristiwa tersebut.

Pria bertanduk kambing yang semula telah berdiri dan mengeluarkan senjata kujang kuningnya, segera menyelipkan kembali senjata kujangnya dalam pinggangnya dan kembali duduk pada kursinya.

Sepasang peri kembar Deva dan Devi, juga segera putar badan kembali masuk kedalam ruang tempat berjajarnya peti mati.

Sedang gadis remaja yang sedang menatap kearah Jaka Indi, sorot matanya menyiratkan rasa kejut dan kagum. 

Anindya yang masih dalam keadaan menundukkan kepala, dan hanya melirik dengan ekor matanya, menyaksikan pula peristiwa tersebut. Lalu bergumam lirih... 

"Pantes saja ia bisa menaklukkan Dewi Rheena, berapa tinggi kah ilmu pemuda itu, sungguh sukar kuduga?" 

Sementara yang lainnya masih menatap terkesima, kakek penjaga kedai arwah yang bertubuh kerdil sampai bangun berdiri dari kursinya.

Karena dari yang diketahuinya lidah petir tidak hanya bisa membunuh manusia, namun bisa pula membakar dan membunuh kalangan Jin.

Hanya Indrajit yang tidak melihat peristiwa tersebut. Sekalipun mendengar suara dentuman yang keras. 

Pandangannya masih lurus ke depan dan kakinya terus melangkah kedalam pendopo, dengan mantap.

Sesampainya didalam pendopo Indrajit hanya melirik beberapa kejap pada para tamu yang hadir, tetapi pandangannya berhenti agak lama memperhatikan kakek kerdil berjari enam. 

Kakek kerdil berjari enam telah duduk kembali, dan menyapa Indrajit,

"Ada perlu apakah Kisanak berkunjung ke KEDAI ARWAH ini !?" 

"Tidak apa-apa," jawab Indrajit singkat, dengan kakinya terus melangkah menuju papan maklumat jiwa, yang tertera pada papan besar yang menempel didinding ruang pendopo.

Tatkala Indrajit membaca beberapa nama yang tertera di kertas maklumat. 

Ekspresi wajah Indrajit terlihat sangat terperanjat, karena mengenali sebagian nama-nama yang tercantum pada maklumat tersebut, spontan tangan kanan Indrajit bergerak ke depan guna meraih beberapa kertas maklumat jiwa yang terdapat didepannya, tapi belum lagi Indrajit berhasil mengambil kertas maklumat yang menempel didinding pendopo, sebuah percikan api kebiruan berkelebat datang menyelomot punggung tangannya, yang membuat Indrajit sontak menarik kembali tangannya dari rencana mengambil maklumat jiwa yang diinginkannya. 

Sedang kakek kerdil yang rupanya telah menjentikkan percikan api biru dengan jari telunjuknya ke Indrajit, hanya berkata kalem, 

"Terkecuali Kisanak telah membunuh nama yang tertera dalam maklumat jiwa atau membayar biaya tebusan untuk orang yang bersangkutan, baru Kisanak diperkenankan mengambil maklumat jiwa tersebut."

Rupanya percikan api kecil yang berwarna kebiruan berasal dari kakek kerdil yang duduk dimeja kasir pendopo, batin Indrajit, setelah melihat arah datangnya percikan api itu berasal. 

"Dengan apakah membayar tebusannya, wahai kakek ?" tanya Indrajit.

"Menggadaikan jiwa saudara pada pemilik kedai arwah," jawab Si kakek berjari enam dengan santai.

Indrajit hanya berdiri terkesima dan melengong, tanpa tahu harus bersikap bagaimana. Tiba tiba terdengar suara merdu yang memanggilnya, 

"Paman yang sedang berdiri, duduklah disini." 

Saat Indrajit memalingkan wajahnya kearah suara itu berasal, tampak seorang gadis remaja cantik yang di mejanya tergeletak busur dan anak panah menggapai kearahnya dengan tersenyum manis, membuat Indrajit terkesima dan tanpa disadari kakinya melangkah ke meja dimana si gadis berada. 

"Terimakasih kata Indrajit, seraya meletakkan bokongnya duduk dihadapan gadis remaja tersebut. 

"Indrajit" ... ujarnya dengan mengulurkan tangan kanannya memperkenalkan diri. 

Gadis remaja itu meski tidak menyambut uluran tangan Indrajit namun menjawab dengan senyum renyah, 

"Anggraini." Ujarnya, dengan kedua tangan yang tetap bersiaga di atas busur dan anak panah yang berada di atas meja dihadapannya.

Indrajit sedikit menarik muka dengan mimik wajah kikuk dan menurunkan kembali uluran tangannya. 

"Siapakah nona? Mengapa nona mengundangku duduk semeja dengan nona? Dan apakah ini adalah KEDAI ARWAH yang sangat terkenal dengan transaksi jual beli jiwa itu? Serra siapa sajakah mereka yang ada disini ?"

Tanya Indrajit sekaligus menanyakan beberapa pertanyaan.

BERSAMBUNG
close