JAKA INDI & DUNIA ASTRAL (Part 33) - Mengurungkan Niat Membunuh
Kaniya sama sekali tidak menyangka, bahwa Anindya yang merupakan putri utusan Kraton Kasepuhan Haryodiningrat yang dikenalnya, santun, halus, lembut dan seperti malu-malu, ternyata adalah seorang wanita pembunuh profesional yang tenang, dingin dan penuh percaya diri.
Sementara Anindya yang telah duduk didepan Kaniya mulai memperhatikan para tamu yang telah hadir.
Dimeja paling sudut sebelah barat tampak seorang gadis remaja cantik berusia kisaran 14 tahun yang bersenjata busur dan anak panah, yang tatapannya tampak hampa menatap kearah gerbang gapura diluar halaman, sepertinya gadis remaja itu sedang menunggu kedatangan seseorang.
Sedang yang duduk pada meja tengah adalah seorang pemuda bertanduk domba dengan bentuk mata yang kecil tapi sorot matanya tajam, pemuda bertanduk domba itu bertelanjang d**a, hanya mengenakan celana hitam sampai batas betisnya dan tidak mengenakan alas kaki. Pada pinggang pemuda itu terselip senjata seperti kujang yang terbuat dari besi kuningan.
Kemudian Anindya beralih menatap wajah Kaniya yang ayu, yang dari sorot matanya memancarkan kegelisahan dan kebingungan.
"Kakak Kaniya, ada maksud dan keperluan apakah kakak datang ke KEDAI ARWAH ini??" Tanya Anindya membuka percakapan.
Kaniya malah balik bertanya.
"Adik Anindya apa benar disini adalah tempat transaksi untuk melakukan pembunuhan, dengan menggunakan jasa pembunuh bayaran."
"Iya benar sekali, termasuk santet, teluh, sihir, mengirim energi negatif, dan segala hal yang bertujuan mencelakakan manusia atau makhluk astral, dapat dilakukan transaksinya di KEDAI ARWAH ini." Ucap Anindya kalem, seolah bicara pembunuhan merupakan hal yang biasa baginya.
"Berapakah biaya menggunakan jasa pembunuh bayaran ?"
"Tergantung siapa yang akan di bunuh dan siapa yang akan dipakai jasanya untuk membunuh."
"Apakah pembayarannya harus dengan emas dan perak ?"
"Tidak selalu..." Baik di kedai Arwah, Kedai Kanuragan dan Kedai Pesugihan, pihak pengelola lebih menyukai pembayaran dengan gadai jiwa.
"Maksudnya bagaimana dik 'Nindya ?"
"Tuan Mata Tunggal yang pakai simbol mata satu dibingkai segitiga, memiliki tiga kedai jasa, yaitu :
1. Kedai arwah, menjual jasa pembunuhan, sihir, santet, teluh dan semacamnya.
2. Kedai kanuragan, menjual jasa bagi yang ingin punya ilmu kebal, ilmu kesaktian dan sejenisnya.
3. Kedai pesugihan, menjual jasa bagi yang ingin kaya raya, berlimpah harta... naik pangkat atau jabatan dan semacamnya.
"Umumnya syarat yang diminta adalah dengan menggadaikan jiwa dari mereka, membuat kontrak perjanjian dengan pengelola kedai yaitu sekelompok jin sesat, tetapi syarat perjanjian bisa saja dalam bentuk lainnya, sesuai kesepakatan."
"Kalau memang tahu mereka kelompok jin sesat, lalu mengapa dik Anindya justru bersekutu dengan pemilik kedai Arwah," ujar Kaniya dengan rasa heran.
"Ehmmm.., bagaimana yaa.... Kalaupun kuceritakan kakak juga tidak akan mengerti."
"Oh...iya....! Memang Kakak Kaniya ke KEDAI ARWAH ingin membunuh siapa ??"
"Tadinya aku kesini ingin menyantet selingkuhan tunanganku, kemudian aku berubah pikiran ingin membunuhnya, berikutnya aku berkeputusan justru ingin membunuh mereka berdua, selingkuhannya dan tunanganku." Ujarnya dengan sorot mata penuh kebencian.
"Apa kak Kaniya tidak bisa mengatasinya sendiri, karena biasanya manusia yang bisa sampai ke negri astral Suralaya ini, rata-rata orang yang berilmu tinggi."
"Aku memang punya indra keenam, bisa melihat astral dan berkomunikasi dengannya, namun aku tidak memiliki ilmu bela diri apapun, selebihnya aku hanya perempuan lemah biasa."
"Apa kak Kaniya sudah mantap untuk membunuh tunangannya dan selingkuhannya, apalagi kalau pakai cara santet, sihir, atau jasa makhluk astral, gak ada yang tahu lho,, dan gak akan kena jerat hukum." Ucap Anindya meyakinkan.
"Akupun tadinya berfikir demikian, Namun, setelah melihat pemuda bertanduk kambing itu datang membawa mayat, kemudian melihat dik Anindya juga datang menghantar mayat.
Memikirkan kali ini sekalipun tidak akan terjerat hukum, tapi pastinya Tuhan tahu, hingga membuat hatiku menjadi resah.
Maka aku kembali berubah pikiran, bahwa aku tidak akan membunuhnya, tidak juga menyantetnya ataupun mencelakainya. Aku akan membiarkannya saja, dan akan pergi meninggalkannya." Katanya dengan suara parau.... bergetar.
Setelah hening sesaat... mendadak....
"Aku akan kembali ke Malayapada saja dik..." Ucapnya seraya bangkit berdiri lalu melangkah pergi berlalu, meninggalkan KEDAI ARWAH.
Anindya hanya menatap Kaniya yang pergi berlalu, dengan pandangan rawan tanpa mengucapkan satu katapun. Hanya dalam batinnya, ia berkata,
"Bahwa ternyata ada sementara orang memang tidak bisa berbuat jahat, sekalipun ia ingin berbuat jahat tapi hatinya tidak sanggup untuk melakukannya."
Beberapa jenak waktu berlalu dalam keheningan, gadis remaja berusia kisaran 14 tahun dirasakan Anindya sering menatap dan mencuri lihat kearahnya.
Tiba-tiba dari luar pintu berjalan masuk dua pria.
Orang pertama adalah seorang pria jenis siluman, yang tinggi kerempeng, wajahnya panjang dan tirus, sorot matanya terlihat licik, dengan bibir tebal dan kakinya berkaki kuda, pada pria tinggi kurus ini terdapat tali pecut yang dililit pada pinggangnya.
Tapi sayang bagaimanapun tampang dan tampilan pria pertama, tetap kurang terperhatikan. Sebab sinar mata semua orang sudah tertarik oleh pria kedua.
Orang kedua itu adalah seorang manusia yang sekujur badannya berwarna hitam, bajunya hitam, celana hitam, sepatu hitam, tangannya memakai sarung tangan hitam, kepala berikut wajahnya dibungkus pula oleh sebuah kain berwarna hitam, bahkan di atas kepalanya masih ditambah caping bambu yang juga berwarna hitam, sehingga menutupi sebagian wajahnya, tampak hanya sepasang matanya yang berkilat yang lebih tajam dari sembilu.
Bagaimanakah tampang mukanya? Sebenarnya manusia macam apakah dia? Siapapun tidak melihat, siapapun tidak tahu, dari atas sampai ke bawah, pada hakekatnya tak seinci pun tubuhnya yang bisa dilihat orang.
Tapi entah mengapa, ternyata dari sekujur tubuh orang itu, dari tiap inci badannya seakan akan penuh mengandung hawa pembunuhan yang mengerikan.
Yang paling menarik Anindya, sudah barang tentu benda yang tersoreng melintang di punggungnya.
Sekilas melihat orang akan menduga kalau itu sebuah pedang, pedang hitam yang panjangnya empat jengkal tujuh inci.
Namun mata tajam Anindya mengenali kalau itu sebenarnya bukan pedang melainkan sebuah tongkat hitam, seperti tongkat kalimasada peninggalan Sunan Kalijaga. Yang terbuat dari kayu kalimasada yang berasal dari Pulau Karimunjawa, konon tongkat ini dapat menghalau energi negatif, dan bila tongkat ini ditancapkan ke bumi dapat mengeluarkan air dari dalam tanah dan tongkat kalimasada ini tidak bisa ditebas putus oleh pusaka atau senjata tajam apapun.
"Aneh sekali mengapa pusaka tongkat kalimasada, bisa berada pada pria tersebut." Renung Anindya.
Kedua orang tersebut dengan bergegas menuju kemeja kasir.
"Apakah pesanan saya sudah ada yang sanggup mengerjakan, !?"
Kakek bertubuh kerdil dan berjari enam menghela nafas.., lalu katanya,
"Sebenarnya banyak yang mau menerima pekerjaan itu, tapi belum ada yang sanggup melakukanya."
"Kenapa tidak sanggup !?" Ujar pria serba hitam itu dengan getas.
"Kalau targetnya orang alim, orang baik, orang saleh, ataupun pemimpin yang adil memang jauh lebih sulit untuk di santet atau dibunuh secara ghaib, karena banyak juga yang melindunginya, termasuk dari kalangan makhluk astral."
"Saya tingkatkan bayarannya dua kali lipat. Pokoknya paling lama sebulan lagi, harus sudah beres," katanya tegas dan getas. Sambil memutar badannya kearah datangnya, yang langkahnya diikuti temannya siluman kaki kuda.
Setelah pria busana serba hitam dan kawannya keluar balkon, Si kakek kerdil menggapai kearah Anindya, saat Anindya telah mendekat, kakek kerdil itu bertanya lirih.
"Apakah kamu bisa dan mau mengerjakan tugas ini...!?" Belum lagi Si kakek menyelesaikan seluruh kalimatnya, Anindya telah menjawab cekak,
"Tidak mau dan tidak bisa!!" Lalu malah berkata kepada para tamu yang hadir.
"Siapa saja yang sanggup membunuh pria baju hitam berserta temannya yang baru saja berlalu, akan saya berikan sepuluh batang emas murni dan empat batang perak, sebagai bayarannya."
Mendadak pemuda bertanduk kambing bangkit berdiri sambil mengeluarkan senjata kujangnya dan berjalan keluar pendopo, Deva dan Devi yang menjaga peti mati, juga melesat keluar dengan cepat.
Saat itu pria berpakaian serba hitam dan siluman kaki kuda telah tiba di penghujung gapura, saat pria bertanduk domba telah semakin dekat dengan kujang terhunus dan Si kembar Deva dan Devi, juga telah menjulurkan kesepuluh kuku jarinya yang runcing...
Sekonyong-konyong secara bersamaan melesat dengan sangat cepat, dua anak panah yang terbuat dari bambu kuning yang ujungnya telah diruncingkan, tepat mengenai punggung pria baju hitam beserta temannya dan langsung tembus ke tubuh sisi depan tepat menembus jantung, yang membuat kedua pria itu seketika jatuh tersungkur.
Sebenarnya pria berbaju serba hitam dan siluman kaki kuda bukanlah orang yang berilmu rendah. Tapi karena mereka tidak menyadari akan mendapat serangan, terlebih diserang dari belakang dengan anak panah bambu kuning yang sedemikian cepatnya, tanpa bisa memberi perlawanan mereka langsung jatuh tersungkur.
Pria bertanduk domba juga Deva dan Devi, mendadak menghentikan langkahnya, sebaliknya Anindya melirik sesaat kearah gadis remaja 14 tahunan yang baru saja melepaskan anak panah, lalu melemparkan tas berisi emas dan perak kearah gadis remaja tersebut
"Braaaak...!!!" Sekantong Emas dan perak batangan tepat jatuh dimeja gadis remaja itu.
Kemudian Anindya bergegas berlari keluar, dengan maksud mengambil pusaka tongkat kalimasada.
Siapa nyana, disaat Anindya semakin mendekat, ternyata didepan dua pria yang jatuh tersungkur telah ada dua pria yang berjongkok memeriksa korban.
"Huah... ini orang yang selama ini aku cari !!" Seru orang yang memakai belangkon dengan terkejut.
"Sekalinya ketemu malah sudah modar."
Sedang pemuda satunya lagi, setelah memeriksa kedua mayat, lalu mengambil tongkat yang ada pada pemuda baju serba hitam, mengamati beberapa saat, lalu menyimpannya di punggungnya.
Terlihat manusia bertanduk domba dan sepasang peri kembar telah kembali kedalam KEDAI ARWAH.
Sedang Anindya tetap berjalan maju hingga berjarak sepuluh meter dan dalam cahaya sinar bulan dapat melihat dengan jelas kalau pemuda yang memeriksa mayat dan tongkat Kalimasada adalah Raden Jaka Indi.
Mengetahui Raden Jaka Indi masih belum menyadari kedatangannya, Anindya segera berbalik badan, berjalan bergegas kearah Kedai Arwah dan menggunakan ponco pada mantel merahnya untuk menutupi kepalanya.
-----===o0o===----