Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

JAKA INDI & DUNIA ASTRAL (Part 32) - Kedai Arwah


Sementara itu, ditempat lain... diwaktu yang lain....

Hujan dan angin kencang malam ini membasahi bumi Suralaya secara merata, banyak air bergenang di tanah hutan Alas Purwa, membuat tanah merah menjadi becek dan licin serta sulit dilewati.

Jauh di dalam hutan Alas Purwa, di bawah hujan yang rintik, tertampak seekor kuda unicorn berjalan dengan perlahan di atas permukaan tanah berlumpur.

Penunggang kudanya adalah seseorang yang duduk tegak di atas kuda mengenakan mantel warna merah berbulu tebal, kedua tangannya tersembunyi di dalam lengan baju. 

Kudanya tinggi gagah tapi penunggangnya justru seorang nona muda bertubuh mungil dan langsing, pada bagian kepalanya mengenakan tudung merah yang menyatu dengan jaketnya, tudung jaketnya ditarik rendah guna melindungi kepalanya dari rintik hujan, hingga tidak jelas raut mukanya.

Sedang dibelakang si nona muda terdapat seseorang yang mendekam melintang di punggung kuda, kiranya sesosok mayat yang telah kaku, namun wajahnya masih segar dan kelihatan seolah masih hidup, pakaiannya perlente, berupa baju warna perak menyolok, sekujur tubuhnya dipenuhi rambut lebat, namun pada tubuhnya tidak kelihatan ada bekas luka, wajahnya masih mengulum senyum puas, agaknya dia mati dengan tenteram seolah-olah mati dengan enak.

Entah dari mana datangnya penunggang kuda ini, tapi arah tujuannya adalah sebuah bangunan rumah kayu yang terdapat ditengah hutan alas purwa.

Kini penunggang kuda sudah dapat melihat bangunan rumah kayu yang berbentuk rumah joglo. Pada bagian atas gapura terdapat sebuah papan nama melintang yang bertuliskan KEDAI ARWAH.

Rumah kayu joglo tersebut sesungguhnya berada jauh dan tersembunyi di pedalaman hutan Alas Purwa. Sehingga tak banyak yang tahu keberadaannya.

Namun pada saat ini, tanah berlumpur di depan gapura tampak terlihat bekas jejak tapal kuda dan jejak kaki manusia.

Sepertinya malam jum'at kliwon ini, meski cuaca dalam keadaan hujan, ada beberapa tamu yang datang ke KEDAI ARWAH.

Nona muda itu terus melangkah lewat pintu gerbang dan masuk ke halaman rumah, kemudian masuk kedalam pendopo yang terang benderang oleh banyaknya pelita yang menyala.

Di pendopo terdapat sebuah papan tulis yang penuh bertempelan gambar sketsa wajah dan maklumat besar-kecil dengan gaya tulisan yang berbeda, kertasnya ada yang sudah kuning dan tulisan pun luntur karena dimakan waktu. 

Pada bagian belakang pendopo rumah joglo, memasuki pintu kecil di sebelah kiri, terdapat ruang yang kosong tanpa pajangan dan perabot apapun, kecuali deretan peti-peti mati. 

Ada belasan peti mati, semuanya masih baru dan belum dipelitur. 

Padahal hawa sedang amat dingin, tapi diruang tempat berjajarnya peti mati tidak kelihatan ada perapian untuk menghangatkan badan. 

Di dalam ruang tempat berjajarnya peti mati, hanya ada dua buah pelita, serta dua orang wanita peri berwajah kaku dingin, berpakaian serba hitam.

Tampak kedua peri duduk di atas peti mati di deretan paling depan, kedua peri ini duduk berhadapan sambil berbincang dengan makan kudapan sepiring bunga kantil.

Selintas pandang tampang kedua peri ini hampir mirip satu dengan yang lain. Layaknya pinang dibelah dua, sama-sama berkulit putih pucat, berambut panjang sepinggang, dan mengenakan pakaian gaun panjang serba hitam yang menyentuh lantai, hingga menutupi seluruh kakinya, dan sama-sama memiliki kuku merah yang runcing dan panjang pada kesemua jari-jari tangannya.

Sedang di pendopo, tampak perapian yang berkobar yang membuat ruang pendopo terasa nyaman dan hangat.

Di pendopo, terdapat meja kasir yang berada didekat pintu utama ruang dalam. Tampak seorang kakek bertubuh kerdil setinggi satu setengah meter, berkepala plontos, dengan dua benjolan kecil pada dua sisi kepalanya, hingga menyerupai tanduk kecil, dan yang juga menarik adalah tangan dan jari makhluk kerdil itu, karena tangannya saat dijulurkan kebawah, memanjang melebihi lututnya, lalu jari-jari tangannya dan jari-jari kakinya ada 6 buah dan setiap jari hampir sama panjangnya.

Kulit makhluk kerdil itu berwarna kebiruan seperti nyala api pospor, ia memiliki daun telinga yang lebar dan caplang meruncing pada ujung atas telinganya.

Pria kerdil ini mengenakan baju mantel warna biru menyentuh lantai. Pria kerdil ini adalah penunggu KEDAI ARWAH, yang merupakan makhluk astral dari jenis Jin, yang juga jin yang mendapat kepercayaan dari pengelola dan pemilik KEDAI ARWAH.

Selain meja kasir ada pula berjajar delapan meja penuh hidangan. 

Ada delapan meja dengan empat kursi pada setiap mejanya dan sudah ada tiga tamu yang hadir, tapi setiap tamu duduk pada satu meja. Semua duduk sendiri dan saling terpisah. Tiga orang masing-masing menduduki sebuah meja, maklum, rupanya mereka seperti tak mau saling kenal dan tak mau saling ganggu. 

Kertas-kertas yang ditempel di papan tulis yang merekat didinding itu, ternyata semuanya maklumat tentang orang yang sedang dicari sebagai target pembunuhan, di mana tercantum nama, umur, jabatan dan asal usulnya, serta kejahatan atau prestasi yang pernah dilakukannya, juga tertera seberapa besar upah yang dapat diterima bagi siapa pun yang dapat membunuhnya, semua nama yang tertera pada maklumat tersebut ada yang merupakan kepala pemerintahan, tokoh masyarakat, publik figur bahkan ada pula manusia atau makhluk astral yang bukan dari kalangan orang terpandang.

Maklumat itu bukan ditandatangani oleh pihak penguasa atas nama kerajaan Suralaya, tapi pemberitahuan dari pemilik atau majikan Kedai Arwah.

Pemilik Kedai Arwah tidak mencantumkan namanya, hanya memberi cap atau stempel gambar mata satu yang dibingkai dengan segitiga sama sisi.

Oleh karenanya pemilik Kedai Arwah ini dikenal juga dengan sebutan Tuan Mata Tunggal.

Di dunia astral ini memang banyak hal yang ditandai dengan simbol-simbol dan perlambang, baik berupa aksara, gambar hewan, bunga, lafaz, dan lainnya.

Nona bermantel merah itu lalu mengambil dua maklumat yang ada dipapan tulis yang melekat didinding.

Namun ia berhenti sejenak, tatapannya mengamati satu gambar seorang tokoh nasional yang terkenal santun dan rendah hati, yang ternyata juga menjadi target pembunuhan. 

"Aiih.... pasti ini terkait masalah politik." Pikirnya.

Yang juga tak kalah mengagetkan tak jauh dari gambar sang tokoh santun tersebut, terdapat gambar sketsa seseorang yang dikenalinya, berikut indentitasnya, yaitu :

Nama : Raden Jaka Indi Umur : 23 tahun Alamat : Jakarta, indonesia
Status : Menikah dengan Dewi Yuna
Ciri fisik : Jenis manusia, tinggi : 173 cm
Berat : 65-67 kg Rambut : Hitam lurus Senjata : Keris kyai Sengkelat
Kegemaran : Makan bubur sarang burung walet
Jasa Bayaran : 20 batang emas murni, dipotong 10% biaya administrasi kedai arwah.

"Wow... tinggi sekali jasa bayaran atas kematian Jaka Indi!!" Gumamnya. 

Nona bermantel merah kemudian balik menuju kuda unicornnya yang ditambatkan diluar pendopo, dan hanya dengan satu tangan mengangkat mayat pria kekar yang rebah melintang dipunggung kuda, lalu memanggul di bahunya kemudian melemparkannya kedalam lantai pendopo. 

Dengan perawakan tubuhnya yang mungil, tak ada yang mengira kalau nona tersebut memiliki tenaga yang sangat kuat. Semua tamu terus memandang kearah nona bermantel merah tersebut, namun tak satupun ada yang berkomentar.

Nona baju merah berjalan ke depan pria kerdil berkepala plontos, sambil berkata,

"10 batang emas dan lima batang perak," ujar nona dengan memberikan dua lembar maklumat yang tadi diambilnya dan memberi sebuah cincin cap kerajaan Bessara. 

"Devi...., Deva...!! Periksa mayatnya, pastikan sosok itu Bagastya !" ujar pria kerdil dengan suara cekak.

Kedua peri kembar itu melayang ke pendopo dan memeriksa mayat yang tergeletak di pendopo.

"Benar ini mayat Bagastya, yang merupakan pembantu pangeran Abhinaya." Ujar Devi, sedang Deva langsung membawa mayat tersebut keruang peti mati berjajar dan melemparnya dalam peti mati yang kosong. 

Sementara pria kerdil memeriksa maklumat yang tertera nama pangeran Corwin dan Bagastya, dan memeriksa cincin yang berada di mejanya, terbukti memang milik pangeran Corwin. 

Sesungguhnya sang kasir juga sudah tahu perihal desas desus kematian Pangeran Corwin, hanya ia tidak tahu siapa yang membunuhnya.

"Besar sekali, peruntunganmu kali ini nona," kata manusia kerdil, sambil menyerahkan sepuluh emas batangan 1 kg dan empat perak batangan 1 kg.

"Satu perak batangan 1 kg, adalah potongan komisi untuk KEDAI ARWAH," Jelas Kakek kerdil.

BERSAMBUNG
close