Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

SETELAH ANAKKU MENINGGAL (Part 4) - Upaya Bantuan

Sejak kejadian itu, berita mengenai teror Pocong Guntoro terus merebak dari mulut ke mulut. Hingga, tiga orang datang menyambangi rumah, bermaksud memberi bantuan. Tapi...


“Ke rumah saya saja” ujar Satria.

Suraji dan Satria bergantian membantu Ngatinah untuk bisa sampai di rumah Satria.

Malam itu sepi, tidak ada siapa-siapa di jalanan desa, sudah menjadi kebiasaan, bahkan hingga sekarang, kalau sudah lewat isya, pintu-pintu rumah sudah ditutup, dan pemiliknya sudah enggan keluar rumah, ditambah lagi hujan yang masih turun sangat deras, hal itu semakin membuat jalanan desa sangat lengang.

Nafas mereka terengah-engah diantara hujan. Malam yang seharusnya tenang, malah menjadi malam yang mencekam bagi Ngatinah dan Suraji, serta Satria yang untuk pertama kalinya melihat kejadian ini.

“Apa… apa sebenarnya yang dia inginkan, bu?” Tanya Satria saat mereka sampai di depan rumah Satria.

“Apa… apa?” derasnya hujan membuat suara Satria samar di telinga Ngatinah.

“Yang diinginkan pocong itu apa, bu?” tanya Satria lagi dengan suara lantang.

“Ibu juga gak tau”

“Pak…… Bu…….” Teriak Satria sambil menggedor-gedor pintu yang sudah dikunci dari dalam. Hal itu membuat orang tua Satria terbangun dengan raut wajah tegang.

Ibu Satria buru-buru membuka pintu. Saat membuka pintu, ia terkejut mendapati Satria, Ngatinah dan Suraji dengan tubuh dan pakaian yang basah kuyub.

“Bu Ngatinah…..” ucap ibu Satria, ia melihat Ngatinah sedang menggigil dan bibirnya bergetar hebat.

“Masuk dulu, pak, bu…” ajak Satria.

“Iki ono opo to, le” (ini ada apa sebenarnya?)

“Mengko tak ceritani, bu… Bu Ngatinah karo Pak Suraji disilehi sandangane bapak ibu disek, mesakke katisen” (Nanti saya cerita, bu… Bu Ngatinah dan Pak Suraji dipinjami pakaiannya ibu dan bapak dulu, kasihan mereka kedinginan) ujar Satria pada Ibunya.

“Bu Damar dan Pak Damar” sapaan orang tua Satria.

“Bu Damar mboten usah repot-repot” (tidak perlu repot-repot) ucap Ngatinah saat Bu Damar memberi pakaian ganti dan dua gelas teh hangat kepadanya.

“Mpon, mboten nopo-nopo, njenengan salen riyen” (sudah, tidak apa-apa, kamu ganti dulu) balas Bu Damar mencoba menenangkan Ngatinah dengan raut wajah iba. Sementara, Pak Damar dari tadi hanya duduk diam menunggu sampai kondisi normal dan situasi tepat untuk bertanya.

“Satria, asline ono opo iki?” (sebenarnya ada apa ini?) tanya Pak Damar sambil memandang anaknya Satria. Satria tampak diam, namun Pak Damar terus bertanya dan membuat anaknya bicara. Satria hanya diam tidak berani menjawab pertanyaan bapaknya.

Sepertinya ia tidak bisa mengatakannya, karena bukan haknya untuk menceritakannya. Satria melirik Ngatinah dan Suraji di dekatnya, seakan memberi kode kepada mereka.

Ngatinah menyadarinya, tapi mulutnya masih enggan untuk berbicara, ia masih diam, matanya membendung tangis yang hendak keluar, karena menurutnya, ini menyangkut sebuah aib keluarganya.

Meskipun belum mengetahui kebenaran tentang dari mana pocong hitam itu berasal, tapi wajah pocong hitam itu sangat menyerupai wajah anaknya.

“Ji, tulong ceritake” (tolong ceritakan) bisik Ngatinah menyuruh Suraji saja yang menjelaskan.

Suraji menelan ludah, lalu mengatakan “Enten demit ning omah, Pak Damar… Pocong”
Pak Damar bengong mendengarnya, begitupun Bu Damar, mereka seakan tak percaya dengan perkataan Suraji.

“Heh… ojo ngono, mas. Sing tenan” (Jangan begitu, mas. Yang bener) saut Pak Damar.

“Iyo, pak. Poconge ireng, rupane elek” (Iya, pak. Pocongnya hitam, wajahnya jelek)

Pak Damar lalu menanyakannya pada Ngatinah dan Suraji,
“Leres ngoten, mas, bu?” (apa benar begitu, mas, bu?) Suraji mengangguk, Ngatinah pun demikian. Ngatinah sebenarnya malu dengan kejadian ini.

Tapi, ini sudah terjadi. Kini, ia dihadapkan pada sebuah kenyataan yang pahit mengenai anaknya, tentang sebuah kenyataan jika pocong hitam yang menerornya dan beberapa warga terakhir adalah pocong hitam dengan wajah yang menyerupai anaknya Guntoro.

Sejak kejadian itu, desa Glagah geger. Berita mengenai pocong Guntoro terus merebak dari mulut ke mulut, menyeruak ke segala penjuru desa. Bahkan, setelah kabar itu meluas, banyak warga lain yang mengaku di teror juga oleh pocong Guntoro.

Para warga, ibu-ibu, bapak-bapak, pemuda hingga anak-anak turut bergunjing. Tidak ada lagi warga yan berani keluar malam-malam setelah berita pocong Guntoro menyebar. Malam-malam yang tenang di Desa Glagah, seketika menjadi sebuah malam menakutkan bagi setiap warga di sana.

Setelah berita pocong Guntoro yang bergentayangan menyebar, Ngatinah lebih banyak mengurung diri di dalam rumah. Ngatinah terlihat murung setiap hari, ia malu, banyak warga yang menatapnya aneh saat berpapasan dengannya.

Hingga ada perkataan salah satu warga yang membuatnya menangis saat mendengarnya,
“Ora pas urip, tekan saiki wis mati,Guntoro tetep ganggu ketentremane Deso Glagah” (tidak hanya saat hidup, sampai sekarang saat sudah meninggal. Guntoro masih saja mengganggu ketentraman Desa Glagah)

Disisi lain, Suraji masih terus menemani Ngatinah, sempat ia pulang hanya untuk memberi kabar pada istrinya, jika ia akan lebih lama lagi menemani Ngatinah. Rasa-rasanya ia semakin tidak tega meninggalkan kakaknya Ngatinah di situasi seperti ini.

Hinga disuatu malam, Ngatinah kembali didatangi Pocong Guntoro lagi. Saat itu, waktu sudah masuk dini hari. Tak seperti malam-malam sebelumnya, saat itu hawa terasa lebih panas, beberapa kali Ngatinah bangun menyeka setiap keringat yang keluar deras di badannya.

Berikutnya, ia bermimpi, melihat Guntoro datang meghampirinya dengan keadaan menangis. Spontan, sebagai ibunya, Ngatinah bertanya kepadanya “Kowe kenopo, le?” (kamu kenapa?), tapi Guntoro tetap menangis.

Tidak lama dari mimpinya itu, Ngatinah tersentak dari tidurnya, barusan ia bermimpi dihampiri anaknya, kemudian saat ia terbangun sadar di atas ranjangnya, ia mendengar suara Guntoro yang memanggil-manggilnya.

“Buk….. buk……”

Mata Ngatinah yang langsung terbuka lebar mencoba mencari tau dari mana suara itu berasal dengan perasaan was-was. Perasaan buruk kembali muncul.

Sejak kejadian pertama kalinya ia menjumpai pocong hitam di rumahnya, Ngatinah tak lagi tenang saat mendengar suara mencurigakan pada malam hari di dalam rumahnya.

Ngatinah tidak mendapati apapun, yang ia lihat hanyalah kamar kosong dengan lampu pijar kuning yang menyala redup di dalam kamarnya. Ngatinah lalu kembali lagi memejamkan matanya walau dengan rasa tegang yang masih ada, dan membuang jauh rasa takut dan curiganya.

“Halusinasiku saja” Ngatinah berusaha menenagkan pikirannya sendiri.

Tak lama kemudian, Ngatinah kembali lagi terganggu, terdengar suara pintu kamarnya berderit dan terbuka dengan sendirinya sampai bergerak memantul dinding kamar. Hal itu membuat Ngatinah bangun seketika.

“Buk…Aku teko…Aku kangen buk e” (Bu.. Aku datang… Aku kangen ibu) disertai suara mengerang seperti orang sedang kesakitan dan bau anyir yang tiba-tiba saja tercium di hidungnya. Saat itu, Ngatinah masih belum membuka kedua matanya. Tapi, rasa takutnya sudah mulai perlahan naik

Walau sudah merasa ada yang tidak beres, Ngatinah malah penasaran dengan apa yang sedang terjadi di dalam kamarnya. Ngatinah menarik nafas panjang, sambil mengumpulkan keberaniannya,

lalu perlahan membalikkan badannya yang sejak awal membelakangi posisi pintu kamarnya. Ia menggunakan guling untuk sedikit menghalangi wajah dan penglihatannya. Takut tapi penasaran, memang aneh Ngatinah itu.

Ngatinah sedikit membuka matanya, lalu memandang ke arah pintu kamarnya. Tapi, baru saja ia membuka matanya, sudah ada satu sosok berbalut kain hitam dengan wajah Guntoro yang tengah berdiri tidak jauh dari ranjangnya dan sedang mentap memperhatikannya.

Jantung Ngatinah seketika berdegup ketakutan, bulu kuduknya mulai meremang. Rupanya dia datang lagi

“Buk…. Tangi buk….” (bangun bu….) sosok pocong Guntoro terus memanggil dan membangunkan Ngatinah, suaranya lirih sambil merintih seperti menangis kesakitan.

Sementara, Ngatinah kembali menutup matanya dengan menahan rasa takutnya yang memuncak. Ngatinah diam dan menahan badannya tidak bergerak agar tidak terjadi sesuatu hal yang tidak ia inginkan.

Cukup lama Ngatinah menahan mata dan tubuhnya agar tidak bergerak, tapi suara itu tak kunjung lenyap, suara pintu kamarnya kembali berderit dan membentur tembok kamar.

Suara pintu itu terjadi berulang. Sementara suar rintihan itu kian menjadi, terus terdengar dan semakin keras dari sebelumnya.

“Buk…. Buk…..” dua kata ini yang terus mengisi telinga Ngatinah.

Ngatinah bingung, ia termangu merasakan ketakutan memenuhi dirinya. Sementara badannya sudah sakit karena terus menahan tidak bergerak.

Beberapa kali Ngatinah mencoba membuka matanya lagi, pocong itu masih ada di dekatnya. Perasaan Ngatinah berkecamuk, memohon doa agar pocong itu lekas hilang darinya malam itu..

“Ya Allah, jika itu benar anakku, tolong ampuni dosa-dosa yang pernah ia perbuat. Jika itu hanyalah jin yang menjelma dan menyerupai anakku, tolong usir dia dari sini”

Terlepas dari anaknya yang banyak dibenci karena perilakunya, Ngatinah adalah orang yang dikenal taat oleh kebanyakan orang di desa.

Setelah lama menahan diri dan terjebak dalam keadaan seperti itu, tiba-tiba suara dan bau itu menghilang dengan sendirinya bersamaan dengan angin yang tiba-tiba berhembus dari luar kamar.

Ngatinah lantas kembali sedikit membuka matanya dengan sisa-sisa keberaniannya. Ngatinah bernafas lega, saat pocong hitam itu tidak terlihat lagi dari penglihatannya.

Keesokan paginya, ada 3 orang laki-laki suruhan petinggi (sebutan bagi kepala desa) mendatangi rumah Ngatinah, mengajaknya untuk tahlil bersama di makam Guntoro. Sepertinya petinggi mulai khawatir dengan keadaan warga dan desanya karena pocong Guntoro yang terus bergentayangan.

“Mohon maaf bu, sebenarnya apa yang menyebabkan ini semua bisa terjadi?” tanya salah satu diantara mereka, Ngatinah menggelengkan kepalanya tanpa mengucapkan sepatah kata apa-apa, mengisyaratkan jika dia tidak tau bagaimana ini semua bisa terjadi.

“Tadi pagi, ada 2 warga datang ke rumah petinggi, mengeluhkan jika rumahnya baru saja didatangi pocong berwarna hitam dengan wajah yang mirip dengan anak ibu”

“Juga ada yang mengaku diganggu pocong saat sedang di pos kamling”

Sontak Ngatinah kaget mendengar perkataannya. “Ampun sembarangan, Mas” Ngatinah menepis berita itu.

“Bu Ngatinah, mari kita berdoa sama-sama, memohon agar Guntoro diterima segala amal kebaikannya, diampuni segala dosanya, dan diterima di sisi Allah SWT”

“Semoga setelah ini, tidak ada lagi kejadian-kejadian aneh yang menimpa desa Glagah yang berkaitan dengan Guntoro”

Ngatinah mengangguk, Suraji yang sedari tadi menemaninya pun turut mendoakan keponakannya.

Ngatinah kembali diantarkan ke rumah dengan tiga orang suruhan petinggi tadi.

“Bu, semoga aman setelah ini”

“Aamiin” jawab Ngatinah. Ia juga berharap demikian.

Beberapa saat setelah itu, Ngatinah terdiam, ia merasa aneh dengan gelagat salah satu orang yang sedang mengantarnya.

Pasalnya, orang itu terihat sedang menaburkan bubuk di depan teras rumahnya. Tapi, 3 orang itu sadar, jika Ngatinah mencurigai mereka

Saat menyadari Ngatinah yang mulai curiga, dua laki-laki yang berada di dekat Ngatinah mencoba mengalihkan pandangan Ngatinah dengan cara menghalangi tatapan mata Ngatinah. Hal itu semakin membuat Ngatinah curiga kepada mereka.

“Mas, kowe ngopo?” (kamu ngapain?) tanya Ngatinah curiga saat menyadari gelagat anehnya.

“Kowe nabur opo?” (kamu nabur apa?)

Laki-laki tersebut lantas menghentikan aktivitasnya lalu berlagak diam seperti maling yang baru tertangkap.

“Enggak bu Ngatinah….” Jawabnya dengan wajah gugup.

“Rumangsamu aku ora ndelok?” (kamu pikir aku tidak lihat?)

“Buat keamanan saja” jawabnya sambil menyeringai.

Ngatinah lalu menghampirinya dengan tatapan mata mendelik, lalu menatapnya sebentar, lantas langsung bertanya kepadanya “Keamanan pie maksudmu? Ojo mbok pikir aku ora mudeng” (keamanan gimana maksudmu? Jangan kamu pikir aku tidak paham) ucap Ngatinah dengan nada meninggi,

ia marah dengan yang dilakukan laki-laki itu. Ngatinah kemudian langsung mengusir ketiga orang itu.

“Wes mas… Nek caramu koyo ngene, kowe podo lungo teko kene” (Sudah mas… Kalau caramu begini, kalian pergi saja dari sini) ucap Ngatinah sambil meraih sapu di pojokan rumahnya untuk menyapu benda yang ditabur di depan rumahnya tadi.

“Aku nduwe Gusti Allah sing iso mbantu karo ngelindungi aku saben dinane” (Aku punya Gusti Allah yang bisa membantu dan melindungiku setiap harinya)

Suraji diam saja melihat amarah Ngatinah yang memuncak, belum pernah ia melihat Ngatinah semarah ini dengan orang.

“Sabar, Mbak”

“Ora iso sabar, udu koyo ngene carane. Iki musyrik!” (tidak bisa sabar, bukan begini caranya. Ini musrik!)

“Kongkonane petinggi kok koyo ngono modelane” (suruhannya petinggi kok seperti itu caranya) tambah Ngatinah.

BERSAMBUNG

*****
Selanjutnya

*****
Sebelumnya
close