Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Desa Putuk Wetan (Part 6)


JEJAKMISTERI - Mengetahui hal itu, akupun tetap bertahan dengan tidak pergi kemanapun karena akupun tau, rumah yang kutinggali tersebut adalah harta satu satunya yang kumiliki ditambah keadaan bapak, yang waktu itu bisa dikatakan sudah tidak bisa lagi jika harus kutinggal sendiri.

Sebenarnya, semua itu tidak menjadi masalah bagiku, karena selama hidup didesa tersebut, keadaaku tetap baik baik saja. Meskipun semua orang yang ada didesa sudah terjangkit wabah penyakit aneh yang sama.

Dan hingga akhirnya, semua penderitaan dan cerita inipun sampai pada puncaknya.

Masih sangat teringat jelas dikepalaku.

Waktu itu, genap 1000 Hari setelah kejadian yang menimpaku dan menimpa bapakku malam itu.

Desa yang sebelumnya masih terlihat adanya orang yang wara wiri, waktu itu benar benar sudah berubah menjadi sepi seperti desa tidak berpenghuni.

Jangankan penduduk desa, para pemimpin desa yang sebelumnya berebut kekuasaan, waktu itu juga sudah tidak ada lagi karena pak Tarjopun sepertinya juga sudah dianggap gagal membawa desa kearah yang lebih baik lagi.

Dan puncaknya, siapa sangka, semua cerita tentang desaku ini ternyata memang berhubungan erat dengan keadaan bapakku.

Semua kenyataan itu, akhirnya terungkap setelah aku mengalami hal yang bisa dikatakan menjadi sebuah awal dimana perubahan dan keadaan desa akhirnya bisa mendapatkan jalannya.

***

Siang itu, seperti biasanya, aku baru saja pulang dari pasar yang ada didesa sebelah yang memang berada cukup jauh dari rumah.

Karena belum ada kendaraan, berangkat pagi  buta, waktu itu aku sampai dirumah sudah tengah hari dengan membawa keperluan yang memang kubelanjakan hanya satu bulan hanya satu sekali.

Namun anehnya, ketika aku sampai dirumah waktu itu, aku tiba tiba terkejut bukan main karena siang itu, aku melihat bapakku yang sebelumnya hanya berbaring diatas ranjang, waktu itu tiba tiba terlihat sudah duduk diruang tamu dengan Tatapan matanya yang sudah terlihat sangat kosong akan tetapi mulutnya terdengar sedang bersenandung dengan bahasa jawa halusnya.

"Tak lelo, lelo, lelo ledung.. jumenengo, anakku cah Ayu, anakku, seng ayu Rupane"

Mendengar hal itu, perasaankupun seketika terkejut bukan main karena selama aku merawat bapakku, itu adalah kali pertamaku melihat bapakku, berbicara dan turun dari ranjangnya tanpa bantuanku.

"Pak... loh, bapak sudah sembuh" ucapku pelan sambil aku yang menyusulnya duduk tepat disampingnya.

Tapi anehnya, bukannya menjawab perkataanku, bapakku terus saja bersenandung dengan sesekali tertawa tawa dengan sendirinya seolah olah siang itu beliau sedang berbicara dengan seseorang yang berada didepannya.

"Ya allah, sepertinya aku harus kerumah Yai Bahri,, bapakku kok tiba tiba seperti ini" fikirku dalam hati dengan seketika aku beranjak dari tempat dudukku dan mulai kembali mengunci semua pintu yang ada dirumahku agar selama kutinggal pergi kerumah yai Bahri, bapakku tetap didalam rumah dan tidak pergi.

Singkat cerita, sekitar pukul 14.30, akupun akhirnya sampai dirumah Yai Bahri dan langsung menceritakan semua yang sedang bapakku alami.

Namun sayangnya, belum selesai aku menceritakan semuanya, waktu itu yai Bahri tiba tiba seketika berdiri dan keluar dari rumahnya yang waktu itu aku kunjungi.

Dan tidak berhenti disitu saja, beberapa saat setelah itu, Yai Bahripun terlihat berteriak memanggil manggil beberapa warga yang memang masih tersisa.

"Ayo ayo.. seng awakke enten-entei saiki, wes wayahe."  (Ayo ayo, yang selama ini kita tunggu, sekarang sudah saatnya) teriak yai Bahri.

Dan tanpa mengerti apa yang dilakukan yai Bahri, akupun waktu itu hanya duduk diam diruang tamu yai Bahri dengan perasaan yang masih kebingungan dengan apa yang baru saja beliau teriakkan dengan lantang. 

Hingga akhirnya, beberapa saat setelah itu, hanya ada sekitar 3 orang Warga, yang terlihat datang dan berkumpul karena pada dasarnya, para penduduk didesaku, waktu itu benar benar sudah sangat jarang.

"Wes, ayo ditulungi sak kuate.. ngkuk tak kandani kabeh, wes wayahe awakmu ngerti nduk." (Sudah, ayo bapakmu kita tolong sebisanya. Nanti kamu kuberitau apa yang terjadi semuanya. Sepertinya sudah saatnya kamu mengetahuinya) Ucap yai Bahri sambil terlihat berjalan cepat kearah jalan yang menuju kearah rumahku.

Dan singkat cerita, akhirnya kami semuapun sore itu menuju kerumahku dengan langkah kaki yang terlihat terburu buru.

Sesampainya dirumahku, waktu itu yai Bahri seketika menghampiri bapakku yang waktu itu masih berada diposisinya yaitu diruang tamu.

Tanpa lama lama lagi, yai Bahripun seketika memerintahkanku untuk segera membuat kopi pait dan beberapa warga lainnya yang juga terlihat segera membakar dupa yang ternyata, dupa dupa tersebut sudah dibawa dari rumah mereka masing masing.

Dan dengan tidak terlalu banyak tanya, akupun langsung menuju kearah dapur dengan mataku yang sempat melirik kearah bapakku yang ternyata, waktu itu bapakku sedang berbicara dengan yai Bahri dengan bahasa logat jawa yang akupun sama sekali tidak bisa memahaminya.

Dan puncaknya, setelah berbicara beberapa lama, bapakku tiba tiba terlihat berjalan diantar oleh yai Bahri menuju kekamar tidurnya dengan langkah kaki yang seperti langkah kaki orang sehat seperti pada umumnya.

Mengetahui hal itu, jantungkupun seketika berdetak kencang dengan perasaan yang sudah campur aduk tidak karuan.

Bapakku, yang sebelumnya kurawat bertahun tahun karena tidak bisa bangun dari tidurnya, waktu itu benar benar terlihat berjalan dengan sangat santainya.

Dan belum selesai aku kebingungan dengan keadaan yang ada, tanganku tiba tiba ditarik oleh yai Bahri sembari memberi tanda, jika yai Bahri ingin mengajakku untuk duduk dan berbicara.

"Aku asline wes eroh lek bakale koyok ngene. Bapakmu kaet biyen wes tak elengno, tapi gak gelem manut. Bapakmu wong apik nduk, insyaallah amale kabeh bakal dicatet malaikat." (Aku sebenarnya sudah mengetahui jika akhirnya akan seperti ini. Bapakmu dari dulu sudah kuingatkan, tapi sayangnya dia tidak mau nurut karena akupun tau, bapakmu memang orang yang baik. Insyaallah, semua amal dan ibadahnya diterima disisi tuhan yang maha esa) Ucap Yai Bahri tanpa basa basi.

"Hah maksudnya" sahutku terkejut.

***

"Cerita tentang bagaimana keadaan bapakmu sekarang ini, memang berhubungan erat dengan sejarah desa ini. Meskipun aku tidak bisa memastikan kebenarannya, tapi para tetua desa ini meyakini jika cerita tentang hal tersebut memang benar benar ada. Awalnya, aku dulu juga belum terlalu percaya dengan semua ceritanya, tapi setelah aku melihat keadaan bapakmu, akhirnya akupun siap bersaksi jika cerita tersebut sepertinya memanglah benar adanya. 

Dulu, ketika desa ini baru dibangun, ada sebuah pohon besar yang tumbuh tepat dipojok balaidesa. Mungkin kamu sekarang juga masih bisa melihat bekas pohonnya yang juga memang masih ada. 

Pohon tersebut, dulunya benar benar dikeramatkan karena menurut warga, Pohon tersebut dihuni oleh penunggu yang menjaga area ini.

Namun sayangnya, pada masa kepemimpinan lurah Mangun, Pohon tersebut ditebang dengan alasan perluasan area bangunan balaidesa.

Disitu, mbok Marini yang waktu itu menjadi salah satu tetua yang ada didesa ini, menolak keras keputusan lurah Mangun karena mbok Marini menganggap, jika pohon tersebut ditebang, bisa menimbulkan bencana besar yang bisa membahayakan seluruh warga. 

Dan anehnya, bukannya mendengar perkataan mbok Marini, waktu itu pohon tersebut benar benar ditebang yang akhirnya, setelah penebangan waktu itu, warga desa benar benar mengalami bencana seperti yang sedang kita alami saat ini.

Wabah penyakit, kematian mendadak, hingga kejadian diluar akal sehat manusia, waktu itu benar benar terjadi hingga beberapa tahun lamanya.

Dan puncaknya, semua musibah tersebut berakhir setelah desa ini kedatangan seseorang yang akhirnya, orang tersebut mampu menghilangkan musibah didesa ini dengan cara membuat perjanjian dengan penunggu didearah ini.

Yang akhirnya, isi perjanjian tersebut dikenang sebagai salah satu sejarah kelam yang ada didesa ini." Terang Yai Bahri menerangkan.

"Terus isi perjanjiannya apa yai" sahutku jelas.

"Desa ini harus melakukan selamatan disetiap tahunnya. Dan tidak hanya itu, dibekas pohon yang ditebang, wajib diberikan sesajen sebagai bentuk penghormatan kepada para leluhur. Dan yang terakhir, desa ini tidak boleh dipimpin oleh keturunan lurah mangun sampai kapanpun." imbuh yai Bahri sambil duduk dan terlihat kecewa menatap wajahku.

"Terus apa hubungannya dengan bapakku yai." jawabku singkat.

[BERSAMBUNG]

*****
Selanjutnya

*****
Sebelumnya
close