Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

SETELAH ANAKKU MENINGGAL (Part 5) - Jaga Malam & Pak Dulah

Tolong.. Tolong aku... Suaranya menggelegar diantara hening malam itu. Tubuhnya dingin, dan dirundung rasa takut yang teramat dalam


Malam itu, suasana Desa Glagah lebih dingin dari biasanya, tampak ada 3 warga tengah berjaga malam di pos ronda tempat biasa warga berjaga. Ketiganya adalah Rohmat, Tikno dan satu pemuda bernama Heru.

Heru adalah salah satu orang yang pernah menjadi teman tongkrongan Guntoro. Tapi, sejak Guntoro banyak menimbulkan kekacauan, ia memilih menghindarinya.

Mereka bertiga terlihat mengenakan jaket dan mengalungkan kain sarung di lehernya, untuk melindungi dari angin malam.

Cahaya pos ronda tidak terlalu terang, hanya ada dua butir lampu pijar 5 watt yang cukup menerangi orang-orang yang berjaga di sana, serta terdapat 3 buah senter yang biasa digunakan warga untuk berjaga.

“Atis banget bengi iki ya, Pak” (dingin sekali malam ini ya) ucap Heru.

“He’eh iki, padahal wingi-wingi yo ora” (iya in, padahal kemarin-kemarin tidak)

“Aku ora masalah atis, aku mung wedi, wedi Guntoro metu meneh bengi iki” (aku tidak masalah dingin, aku hanya takut, takut kalau Guntoro keluar lagi malam ini) celetuk Tikno.

“Cangkemu!” umpat Rohmat.

“Wes wong piro sing diweden-wedeni Guntoro neng deso iki” (sudah berapa orang yang ditakut-takuti Guntoro di desa ini) kata Tikno.

“Kowe ngomong pisan neh, tak idak cangkemu” (kamu bicara sekali lagi, aku injak mulutmu) Rohmat semakin kesal. Tikno hanya senyum-senyum melihatnya.

Dengan kantuk yang mulai menyerang matanya, mereka bertiga sesekali memantau segala arah dengan senter yang mereka pegang.

Waktu terus berjalan, malam semakin larut, membuat keheningan malam semakin mengental. Berbaur suara jangkrik dan suara katak-katak sawah dari sawah yang tak jauh dari sana.

Jarum pendek jam yang ada di pos ronda hampir menunjuk ke angka 1, pada jam ini, adalah jadwal untuk patroli keliling desa bagi setiap warga yang berjaga. Rohmat, yang terlihat paling berani diantara mereka bertiga, mengajak Heru dan Tikno untuk mulai berpratoli keliling desa.

“Yok, muter, ben ndang bar, ndang mulih” (Yok, keliling, biar cepat selesai dan cepat pulang) ajak Rohmat, sambil membenarkan setelan kain sarungnya agar melindunginya dari udara dingin saat berjalan.

“Sek, sek… tak neng mburi sek pak, wetengku mules” (Sebentar, sebentar, aku ke belakang dulu, perutku mules) ucap Heru.

Rohmat dan Tikno kesal, kenapa tidak sedari tadi jika ia ingin ke belakang.

Kamar mandi bagi warga yang sedang ronda malam, disediakan jadi satu dengan kamar mandi rumah milik salah satu warga yang berdekatan dengan pos ronda, yang bernama Pak Andi.

“Rak usah kesuen!” (Jangan kelamaan) tukas Rohmat kesal.

Heru membawa satu senter dari pos ronda untuk menemaninya. Letak kamar mandinya berada di luar rumah dan bersebelahan dengan rumah utamanya. Terdapat satu sumur di depan kamar mandi, yang digunakan untuk orang yang akan memakai kamar mandi.

Beruntung, malam itu, air masih tersedia di dalam ember kamar mandi. Jadi, Heru tidak perlu menimba sumur dulu. Tanpa berpikir lama, Heru melorotkan celananya dan mengeluarkan segala kotoran dari dalam perutnya.

Tapi, diantara beban Heru yang baru saja dikeluarkan, tiba-tiba ember timbaan sumur berbunyi. Mendengar itu, Heru lalu bertanya dari balik kamar mandi “Sopo?” (siapa?) tanyanya.

Namun, tidak ada sautan dari luar, tapi suara timbaan air terus berbunyi dan benar-benar terdengar keras, seolah seperti ada yang sengaja memainkannya.

Saat itu, Heru berpikir kalau mungkin saja itu Pak Andi atau keluarganya yang sedang menimba air.

“Tapi kok suarane ngono?” (tapi kok suaranya begitu) pikiran Heru mulai kalut. Sura ember timba tidak kunjung selesai sedari tadi.

Heru cemas, suara itu terus mengusik telinganya. Puncaknya, Heru mendengar dentuman keras seperti ada sesuatu yang besar jatuh ke dalam sumur. Sontak, mendengar itu Heru cepat-cepat menyudahi buang airnya.

Setelahnya, ia langsung keluar. Heru tidak melihat apa-apa, yang ia lihat hanyalah ember timbaan yang bergoyang-goyang menggantung di atas sumur, seperti ada yang baru saja menggunakannya.

Namun, Heru curiga, ia takut jika orang yang baru saja menggunakannya telah jatuh ke dalam sumur. Heru lantas bergegas melihat ke dalam sumur dengan bantuan senter di tangannya. Lagi-lagi, Heru tidak menemukan apapun di sana. matanya mulai berkeliling mencari sesuatu.

Seketika, bulu kuduk Heru meremang, dan ketakutannya mulai muncul. Hal ini mengingatkannya pada teror pocong Guntoro yang kerap meneror warga belakangan ini.

“Opo iki polahe Guntoro?” (apa ini kelakuan Guntoro?) batin Heru bergejolak, ia mulai tak tenang. Pikirannya diselimuti rasa takut yang datang secara tiba-tiba.

Heru ingin segera kembali menyusul Rohmat dan Tikno. Namun, alangkah terkejutnya Heru, saat ia membalikkan badan lalu mendapati sosok yang belakangan terus menghantui warga Desa Glagah.

“Gusti…. Astagfirullah!!!”

Heru tercekat, matanya terbelalak, karena dengan matanya, ia menangkap sosok pocong hitam berukuran tinggi sedang berdiri menatapnya dari balik pohon dekat kamar mandi.

Wajahnya bernanah, gosong tanpa kulit, hanya ada bagian daging dalam yang sudah mongering, kedua bola matanya melotot ke arah Heru. Heru tak percaya dengan apa yang ia lihat, kakinya kini terpaku dan mematung.

Bagaikan terbangun dari mimpi, Heru menampari kedua pipinya sendiri untuk memastikan yang ia lihat itu nyata.

Namun, sebanyak ia tampari pipinya sendiri, sesakit apapun yang ia rasa, sosok mengerikan itu tetap ada di depan matanya, tidak menghilang seperti keinginannya. Sambil mengerang ketakutan, Heru ingin cepat kabur dari tempatnya berdiri.

Jika ingin keluar, jalan satu-satunya hanyalah melewati pocong itu, tapi, Heru tidak punya cukup keberanian melakukan itu, ingin rasanya dia berteriak keras memanggil Rohmat dan Tikno agar menyelamatkannya.

Tapi, tenggorokannya seperti tersumpal dan sulit untuk mengeluarkan suara. Heru menutup matanya, lalu beristigfar dalam batinnya, karena hanya itu yang bisa ia lakukan agar tidak melihat sosok mengerikan itu.

“Hussshh…. Hussshhhh! Ndang lungo teko kene, aku ora ngundang kowe, Gun” (Buruan pergi dari sini, aku tidak memanggilmu, Gun) ucap Heru pelan berbisik.

Tapi, nasib baik belum berpihak pada Heru, diantara gelap matanya yang tertutup, ia bisa merasakan, jika sosok itu malah semakin mendekatinya, hawa panas semakin terasa di tubuhnya. Heru semakin ketakutan, tubuhnya bergetar hebat, darah mengalir cepat hingga ke ubun-ubun.

“Pak Tikno…. Pak Rohmat….. Tolong aku”

Heru menyeret kakinya pelan-pelan menjauh ke belakang, berharap bisa menjauh dari sosok pocong yang sedang menatapnya itu. Namun, tanpa ia sadari, kakinya malah mengarah ke sumur yang berada tepat di belakangnya.

Bersamaan dengan tumit kakinya yang menyentuh tembok sumur, Heru merasakan hembusan angin yang terasa panas merebak di sekitar lehernya. Sontak, Heru seketika kaget dan tersentak. Nahasnya, hal itu malah membuat Heru terjatuh lalu terjungkal ke dalam sumur.

“Aaaaaaakk……” teriakan Heru menggema saat tubuhnya terjun ke dalam sumur.

“Byuurrrr” suara tubuh Heru yang terjun ke dalam air sumur

“Tolong….. tolong…..”

“Pak…. Tolong aku…..” teriaknya histeris.

Heru berteriak, menjerit meminta tolong, berharap Rohmat dan Tikno mendengar teriakannya. Namun, hingga beberapa kali teriakannya, tak nampak keduanya di bibir sumur.

Beruntung, Heru bisa berenang walau hanya sebatas bisa-bisa saja, jadi berkat itu, ia masih mampu bertahan di permukaan air.

Heru terus berteriak hingga sebuah suara muncul di bibir sumur, bukan suara Rohmat atau Tikno, melainkan suara Pak Andi pemilik rumah yang kamar mandinya ia pakai.

“Lho, mas, sampean ngopo?” (mas, kamu ngapain?)

Pak Andi muncul dan seketika panik melihat ada orang di dalam sumurnya. Reflek, Pak Andi melempar timba yang ada di depannya ke dalam sumur.

“Mas, sampean cekeli iki sek” (kamu pegang ini dulu) teriak Pak Andi seraya melemparkan ember timba ke arah Heru yang tengah berenang mempertahankan dirinya agar tetap hidup. Pak Andi berlari keluar rumah, mencari orang yang bisa membantunya mengeluarkan Heru dari dalam sumur.

Di sisi lain, Rohmat dan Tikno mulai resah karena lama menunggu Heru yang tak kunjung selesai buang air.

“Bocah kae ngiseng sing ditokke telek tah watu, kok suwene ngene ora bar-bar” (itu anak berak yang dikeluarkan kotoran atau batu sih, kok lama sekali tidak lekas selesai) kata Tikno Kesal.

“Ha mboh” jawab Rohmat yang dari tadi hanya jalan mondar-mandir sambil menunggu Heru.

Tapi, keheningan malam itu terpecah, saat Rohmat dan Tikno melihat seseorang berlari ke arah mereka sambil berteriak minta tolong. Orang itu berlari dengan wajah panik. Siapa dia? tidak lain dan tidak bukan adalah Pak Andi.

“Pak…. Pak Rohmat…. Pak Tikno…. Tolong” teriak Pak Andi. Sementara, Rohmat dan Tikno bingung melihatnya.

“Pripun, Pak?” (bagaimana, Pak?) tanya Rohmat dan Tikno bebarengan.

“Kae, Pak…. Kae….. Ono sing nyemplung sumur omahku” (Itu, Pak… Itu….. Ada yang tercebur di sumur rumahku) ujar Pak Andi dengan nafas yang tersengal-sengal.

Rohmat dan Tikno tersentak, wajahnya yang semula santai seketika berubah panik.

“Pak Tik, mau kan Heru pamit neng kamar mandi” (tadi Heru kan pamit ke kamar mandi)

“Jangan-jangan……”

“Ayo, Pak!!” Rohmat dan Tikno sontak berlari ke arah kamar mandi, diikuti Pak Andi.

“Ya Allah Gusti….. Heru!!!!” teriak Tikno saat melihat Heru berada di dalam sumur.

Rohmat, Tikno dan Pak Andi lantas mencari cara mengeluarkan Heru dari dalam sumur.

“Taline cekeli sing kenceng, Her! Ben tak tarik seko kene” (talinya pegang yang erat, Her! Biar kami tarik dari sini) teriak Rohmat dari atas, suaranya keras, menggema di dalam sumur.

Mereka bertiga pun berusaha sekuat tenaga menarik Heru dengan katrol timba sumur. Tapi, sialnya, baru seperempat jalan, gantungan katrol terlihat rapuh dan akan putus.

“Pak, kok medun meneh” (kok turun lagi) teriak Heru dari dalam.

“Meh pedot, Her! Sabar sek, Her” (mau putus, Her! Sabar dulu) jawab Tikno.

Heru semakin lemas dan terlihat kehabisan tenaga berada di dalam sumur. Heru terlihat menangis sambil mengerang karena kedinginan.

Heru semakin putus asa, dan mulai berpikiran buruk terhadap dirinya.

Pak Andi ditemani Rohmat berusaha cari bantuan, sementara Tikno bertahan menemani Heru.

Pak Andi mengetuk pintu-pintu rumah di sekitar rumahnya, berharap pemiliknya bangun. Tanpa sungkan, Pak Andi mengetuk pintu demi pintu dengan keras.

“Ben ndang tangi” (biar cepat bangun) ujar Pak Andi.

Malam itu, suasana disana terasa menegangkan dan jauh dari keheningan. Total ada 6 orang laki-laki tambahan yang membantu mengeluarkan Heru dari dalam sumur.

Beruntung, setelah hampir 2 jam, Heru dapat diselamatkan. Tubuhnya diangkat dan ditidurkan di ruang tamu rumah Pak Andi. Pakaiannya diganti dan diberi minuman hangat agar suhu badannya kembali.

Banyak warga di sekitar rumah Pak Andi terbangun karena suara ramai warga yang tengah membantu Heru. Mereka semua berduyun-duyun mendatangi di rumah Pak Andi.

Bapak-bapak, ibu-ibu, hingga para pemuda dan anak-anak pun ikut mengerumuni Heru yang tengah diberi pertolongan di dalam rumah Pak Andi.

“Kowe kenopo, Her, kok iso nyemplung sumur” (kamu kenapa, Her, kok bisa nyebur sumur) tanya Rohmat sesaat setelah situasi normal.

“Mau ono pocong, pocong Guntoro” (tadi ada pocong, pocong Guntoro) ucap Heru terbata-bata. Hal itu, membuat warga yang tengah berkerumun terkejut.

“Teko meneh?” (datang lagi?)

“Ya Allah!!!” Gerutu para warga.
Malam itu, hampir saja, ada korban jiwa akibat ulah pocong Guntoro.

Tiga orang suruhan petinggi meninggalkan rumah Ngatinah dengan rasa kesal dan tatapan nanar. Ketiganya adalah Suntono, Anwar dan Joko.

Karena masih siang, ketiganya memilih pulang terlebih dulu, dan malam nanti mereka berencana ke rumah petinggi menceritakan yang terjadi di rumah Ngatinah.

Siang berganti malam, Suntono, Joko dan Anwar mulai melakukan pergerakannya dengan beranjak ke rumah petinggi desa.

“Pak! Kayane awak dewe ora iso terang-terangan nganggo cara iku, Bu Ngatinah ora terimo” (Pak! Sepertinya kita tidak bisa pakai cara itu, Bu Ngatinah tidak terima) ucap Joko, membuka percakapan diantara mereka dengan petinggi.

“Lha njuk piye kowe mau nang omahe?” (lalu bagaimana tadi kalian di rumahnya?) tanya Petinggi.

“Diusir, Pak!”

Tidak lama dari situ, Petinggi memberikan secarik kertas bertulis nama dan alamat seseorang. Tertulis disitu “Pak Dulah” dan alamat lengkapnya.

“Iki, goleki, sesok isuk jemput terus gowo moro rene” (ini, cari, lalu besok pagi jemput bawa kesini) kata Petinggi

“Iki sopo, Pak?” (ini siapa, Pak?)

“Iki kenalanku, pokoe tugasmu jemput wae terus gowo rene. Gage mangkat sek” (ini kenalanku, pokoknya tugasmu jemput saja dan bawa kesini. Lakukan dulu)

“Iki gowonen” (ini, bawa saja) ucap Petinggi seraya memberikan kunci mobil miliknya.

Setelah percakapan singkat itu, mereka bertiga pulang dan kembali melanjutkan pergerakan esok pagi, sesuai arahan Petinggi.

Besoknya, mereka beritiga datang lagi ke rumah Petinggi untuk mengambil mobil. Tak butuh waktu lama, dengan disetir oleh Suntono, merek berangkat menuju alamat yang tertulis di atas kertas pemberian Petinggi. Kurang lebih, memakan waktu 1 jam agar bisa sampai disana.

“Pak! Tanglet alamat niki” (Pak! Tanya alamat ini) tanya Suntono pada salah satu warga yang sedang lewat.

“Oh, Griyane Pak Dulah? Nggeh, nggeh. Mekaten mas..” (Oh, Rumahnya Pak DUlah? Iya-iya, begini mas) ucap warga tersebut sambil menjelaskan detail alamat yang ditanyakan Suntono.

Setelahnya, mereka kembali melanjutkan perjalanan. Hingga sampai di depan sebuah rumah. Rumah yang hanya terbuat dari gedek (anyaman bambu) dan beralaskan tanah merah.

“Assalamualaikum”

“Dookk….. dokkk….. dokkk”

Setelah tak berapa lama, pintu akhirnya terbuka. Muncul sesosok laki-laki paruh baya dengan kain sarung tanpa baju dari dalam rumah. Ia tersenyum melihat SUntono, Anwar dan Joko.

“Monggo, monggo, Mas, pinarak” (silakan, silakan duduk mas) ujarnya saat sambil membuka pintu.

“Pripun, Mas? Njenengan teko Glagah, nggeh?” (bagaimana, Mas? Kalian dari Glagah, ya?)

“Lho! Njenengan kok ngertos, Pak?” (bapak kok tau?)

Pak Dulah hanya tersenyum, mereka bertiga heran melihat senyuman Pak Dulah, seolah, ia sudah tau maksud dan tujuan mereka bertiga ke rumahnya.

“Njenengan dukun, Pak?” (bapak dukun?) tanya Anwar tanpa berdosa. Pertanyaan itu, sontak membuat Suntono dan Joko sengit. Mendengar itu, raut wajah Pak Dulah berubah, seperti tak nyaman saat mendengarnya.

“Niki, kulo dipundhawuhi Pak Petinggi methuk njenengan” (saya disuruh Pak Petinggi menjemput bapak) sela Joko. Pak Dulah pun langsung ke dalam kamar dan meminta mereka menungu. Beruntung, Joko peka dan mampu mengalihkan pertanyaan Anwar.

“Goblok! Cangkemu nek takon ora toto!” (Bodoh! Mulutmu kalau tanya tidak aturan!) umpat Suntono pada Anwar.

Tak lama, Pak Dulah keluar dengan pakaian rapi. Mereka bertiga ditambah Pak Dulah mulai kembali ke Desa Glagah untuk menemui Petinggi.

Entah kenapa, saat dalam perjalanan kembali ke Desa Glagah, banyak menemui kejanggalan, mulai mobil yang mengalami masalah di mesinnya hingga beberapa kali memaksa Suntono, Anwar dan Joko turun dan membenarkannya.

Sampai, kemudian yang tiba-tiba terkunci, hampir membuat mereka berempat celaka saat melewati tikungan jalan.

Sedikit cerita mengenai Pak Dulah. Dia adalah orang yang memiliki keahlian spiritual yang cukup terkenal di kalangan orang tertentu. Sehingga, ia sudah mengerti tentang hal-hal yang berkaitan dengan gaib.

Sampai di Desa Glagah, Pak Dulah dipertemukan dengan Petinggi. Mereka ngobrol banyak, Petinggi menjelaskan mengenai gangguan yang mengganggu desanya beberapa minggu terakhir. Tentang seorang warganya yang meninggal, lalu gentayangan menjadi pocong berwarna hitam.

Saat menjelang sore, dengan Petinggi, Pak Dulah meminta diantarkan ke pemakaman desa, untuk melihat kondisi disana, khususnya tempat Guntoro dimakamkan.

Disana, Pak Dulah merapalkan doa sambil memegang patok kayu bertuliskan ‘Guntoro’ diatasnya. Petinggi dengan ketiga anak buahnya tidak tau apa yang dirapalkannya, mereka hanya diam dan meperhatikannya saja.

Tak lama kemudian, saat cahaya matahari perlahan menghilang, mereka pulang ke rumah Petinggi.

“Engko bengi, rene neh karo terke aku neng omahe” (nanti malam, kesini lagi, lalu antar aku ke rumahnya) ucap Pak Dulah saat perjalanan ke rumah Petinggi.

“Kala wingi, kulo diusir, Mbah” (kemarin,kami diusir Mbah) sela Joko.

“Gak, dewe rono engko jam 11an, cukup neng ngarep omahe wae” (Gak, kita kesana jam 11an, cukup di depan rumahnya saja)

Jarum pendek jam rumah Petinggi sudah hampir menunjuk angka 11, Pak Dulah bersiap ke rumah Guntoro. Kali ini, Petinggi tidak ikut menemani, ia meminta Suntono, Anwar dan Joko mengantarkannya.

Malam itu, desa Glagah sepi seperti malam-malam sebelumnya. Lepas isya, suasana desa sudah tampak sepi, para warga memilih menghabiskan waktunya di dalam rumah. “Golek aman” (cari aman) kata para warga jika ditanya kenapa cepat sekali menutup pintu rumahnya saat malam datang.

“Niku griyane, Pak..” (Itu rumahnya, Pak..) ucap Suntono.

Pak Dulah menghentikan langkahnya, sesaat setelah perkataan Suntono. Mereka berhenti tepat di depan rumah Ngatinah.

Disana, Pak Dulah memperhatikan setiap sudut rumah Guntoro sambil sedikit berjalan di depan rumahnya. Tak terlihat Ngatinah atau Suraji dari luar.

“Aman, Pak” ucap Suntono.

Tak lama kemudian, Pak Dulah mulai memperlihatkan keahliannya. Mulutnya komat-kamit sambil menggerakkan tangannya seperti kebanyakan dukun atau orang-orang pegiat spiritual pada umumnya. Suntono, Anwar dan Joko hanya diam melihatnya.

“Ngopo iku?” (itu ngapain?) tanya Anwar.

“Aku dewe ora reti, digatekke wae” (aku sendiri tidak tau, diperhatikan saja) ujar Suntono.

Saat Pak Dulah rasa sudah beres, ia lalu mengajak langsung ke kuburan Guntoro.

“Ayo, lanjut” ajak Pak Dulah.

Sebenarnya, ada rasa takut dibenak Suntono, Anwar dan Joko karena harus mengantar Pak Dulah ke area pemakaman malam itu.

Pak Dulah dengan mantap melangkahkan kakinya, sementara Suntono, Anwar dan Joko masih saling tunjuk untuk menemani Pak Dulah di depan.

“Kowe wae, Jok” (kamu aja, Jok)

“Kowe” (kamu)

“Kowe, War”

“Emoh, kowe wae” (gak mau, kamu saja)

“Mas, kowe iku ngopo? Rene, lho, lanangan kok wedi” (Mas, kalian itu pada ngapain? Kesini, lho, laki-laki kok penakut) ucap Pak Dulah saat mendengar 3 orang di belakangnya berisik ketakutan. Mendengar itu, Suntono, Anwar dan Joko melangkah bersamaan menyusul Pak Dulah di depannya.

“Gak perlu wedi, Mas!” (gak perlu takut, Mas) ujar Pak Dulah.

Jalanan sedikit menyempit saat hampir sampai di area pemakaman. Dari kejauhan, hanya terlihat 2 buah lampu pijar 5 watt yang menerangi area pemakaman yang cukup luas. Mental Suntono, Anwar dan Joko kembali menciut.

Saat sampai di area pemakaman, Pak Dulah tetap mantap melangkahkan kakinya, tidak terlihat raut muka takut sama sekali di wajahnya. Berbeda dengan Suntono, Anwar dan Joko. Pak Dulah mempercepat langkahnya

“Mas, tetep neng mburiku. Ojo wedi opo meneh mlayu. Bakale dewe yo bakal nduwe omah koyo ngene” (Mas, tetap di belakangku. Jangan takut, apalagi lari. Nantinya, kita juga akan punya rumah begini) ujar Pak Dulah. Kalimat yang seharusnya berisi nasehat, malah semakin membuat ketiganya ketakutan.

Pak Dulah semakin mendekati kuburan Guntoro, anehnya, entah dari mana, angin tiba-tiba datang dan menghantam mereka berempat. Lampu pijar yang hanya menggantung di ujung bambu pun goyah karena hantaman angin itu.

“Pak, dangu mboten?” (lama tidak?) tanya Joko pada Pak Dulah. Tapi, Pak Dulah tak menjawab pertanyaannya.

Berdiri tepat di samping kuburan Guntoro, Pak Dulah kembali melancarkan aksinya. Awalnya, ia melakukan hal yang sama saat masih di rumah Guntoro.

BERSAMBUNG

*****
Selanjutnya

*****
Sebelumnya
close