TEGAL SALAHAN (Part 5)
***Mbak Patmi Dan Wewe Gombel***
JEJAKMISTERI - Mbak Patmi, perempuan warga desa Kedhungsono ini sudah sejak lama merantau ke Jakarta. Dari zaman ia masih gadis, sampai sekarang sudah bersuami, ia masih tetap bekerja di Jakarta. Hanya sesekali saja ia pulang ke kampung untuk sekedar menjenguk orangtuanya.
Namun kali ini, ia pulang dan memutuskan untuk tinggal di kampung agak lama, karena permintaan orang tuanya. Mbak Patmi sedang mengandung anak pertamanya, sekaligus calon cucu pertama dari orang tua Mbak Patmi. Tak heran kalau orang tua Mbak Patmi sangat menginginkan agar Mbak Patmi melahirkan saja di kampung.
Sebagai anak yang berbakti, Mbak Patmi menuruti keinginan orang tuanya. Saat usia kandungannya sudah menginjak delapan bulan, dengan diantarkan oleh suaminya, Mbak Patmi pulang. Hanya mengantar, karena setelah dua hari di kampung, sang suami harus kembali lagi ke Jakarta karena tuntutan pekerjaan.
Jadilah Mbak Patmi menjalani hari harinya di kampung tanpa sang suami. Berat memang, disaat hamil begini harus berpisah dengan sang suami. Apalagi ini kehamilan pertamanya. Tapi demi orang tuanya yang telah membesarkannya sejak kecil, Mbak Patmi menjalani semua itu dengan rasa ikhlas.
Hari pertama setelah kepergian sang suami, Mbak Patmi mulai merasa kesepian. Kedua orang tuanya sibuk bekerja di ladang. Sedang kedua adiknya belum pulang dari sekolah. Akhirnya ia memutuskan untuk menyusul kedua orang tuanya ke ladang yang berada di area Tegal Salahan. Dan dari sinilah awal malapetaka yang menimpa Mbak Patmi.
Kedua orang tuanya lupa berpesan bahwa perempuan yang sedang hamil, datang bulan, atau pengantin baru, pantang untuk datang ke Tegal Salahan. Bisa kena tulah. Dan Mbak Patmi sendiri tak mengetahui pantangan itu. Nasi telah menjadi bubur. Mbak Patmi sudah terlanjur datang ke Tegal Salahan dalam keadaan hamil besar.
Takut terjadi hal hal yang tak diinginkan, Pak Mitro, ayah dari Mbak Patmi mendatangi salah satu orang pintar di desa itu. Mbah Atmo namanya. Oleh Mbah Atmo ini, Mbak Patmi dibuatkan sebuah gelang yang terbuat dari untaian ranting bambu kuning yang dipotong kecil kecil dan dijalin dengan menggunakan benang lawe. Tentu saja gelang tersebut juga telah dijampi jampi. Gelang itu segera dilingkarkan di pergelangan tangan Mbak Patmi, dan tidak boleh sampai lepas meski dalam kondisi apapun.
Sehari, dua hari, sampai tiga hari, tak ada kejadian apa apa. Kedua orang tua Mbak Patmipun mulai sedikit tenang. Demikian juga dengan Mbak Patmi. Ia yang memang kurang begitu percaya dengan hal hal yang berbau klenik, menganggap kalau kedua orang tuanya terlalu berlebihan.
Di hari ke empat, seperti biasa Pak Mitro dan istri pergi ke ladang sejak pagi. Sedang kedua adik Mbak Patmi pergi ke sekolah. Praktis Mbak Patmi di rumah sendirian.
Tak banyak yang bisa ia kerjakan, karena semua pekerjaan rumah telah diselesaikan oleh sang ibu sejak shubuh tadi. Ia sedang hamil, jadi kedua orang tuanya tak memperbolehkannya melakukan pekerjaan pekerjaan di rumah. Akhirnya ia hanya duduk duduk saja di kursi ruang tamu sambil mendengarkan lagu lagu dari radio transistor.
Sedang asyiknya Mbak Patmi menikmati alunan lagu dangdut, tiba tiba datang seorang nenek tua mengetuk pintu. Mbak Patmipun segera bangkit dan membuka pintu. Nyaris ia terpekik, saat di depannya telah berdiri seorang nenek tua bungkuk dengan tongkat bambu yang menyangga tubuh rentanya.
"Cari siapa Mbah?" tanya Mbak Patmi dengan suara sedikit gemetar. Tatapan mata nenek itu membuatnya sedikit merinding.
"Ah, tidak Nduk, ini, simbah cuma mau minta minum kalau boleh. Ini tadi dari sawah mau pulang kok tiba tiba merasa haus di jalan," jawab nenek itu dengan suaranya yang agak serak.
"Oh, boleh Mbah. Duduk dulu Mbah, biar saya buatkan teh," kata Mbak Patmi. Rasa gugupnya telah berangsur hilang, berganti dengan rasa trenyuh melihat nenek setua itu masih harus pergi ke sawah.
"Terimakasih Nduk, eh, tapi tunggu. Kamu ngapain pakai gelang seperti itu? Buang saja! Kayak wong edan pakai gelang begituan," seru nenek itu sambil duduk di balai balai bambu yang ada di teras rumah Mbak Patmi. Mbak Patmi hanya tersenyum, lalu segera beranjak ke dapur untuk membuat teh. Sambil mengaduk teh ia berpikir, sempat sempatnya itu nenek memperhatikan gelang yang ia pakai. Tapi mungkin memang terlihat aneh, gelang semacam itu memang tak lazim dikenakan oleh orang orang di desa itu. Jadi wajar kalau menarik perhatian si nenek bungkuk itu.
Tak butuh waktu yang lama untuk menyiapkan segelas teh hangat. Paling juga nggak sampai satu menit. Namun saat Mbak Patmi kembali ke teras, nenek yang tadi duduk di balai balai bambu itu telah raib entah kemana. Mbak Patmi mengedarkan pandangannya ke segenap penjuru halaman rumah, namun sosok yang dicarinya tak nampak batang hidungnya.
Kemana nenek itu? Batin Mbak Patmi. Tak mungkin si nenek bisa pergi secepat itu, mengingat untuk berjalan saja mesti dibantu dengan tongkat. Atau jangan jangan dia hanya pura pura. Dan ...
Pikiran buruk mulai melintas di benak Mbak Patmi. Ia segera meletakkan gelas yang dibawanya di atas balai balai bambu, lalu segera masuk ke dalam rumah. Seluruh sudut ruangan ia jelajahi, sampai ke kamar orang tua dan adik adiknya. Alhamdulillah, tak ada satupun barang berharga yang hilang.
Mbak Patmi lalu kembali duduk di kursi ruang tamu, sambil memikirkan kejadian yang baru saja dialaminya. Sedikit aneh menurutnya. Seorang nenek datang hanya untuk minta minum, namun saat diambilkan justru tiba tiba menghilang. Dan yang lebih aneh lagi, kenapa seolah olah nenek itu tak menyukai gelang bambu kuning pemberian Mbah Atmo yang ia kenakan, sampai menyuruhnya untuk membuangnya?
Siapa nenek itu? Mbak Patmi merasa tak mengenalnya. Mungkin bukan warga desa sini. Kalau warga desa sini, pasti Mbak Patmi mengenalnya.
Ah, nantilah aku tanyakan pada bapak, pikir Mbak Patmi. Ia masih mengingat dengan jelas ciri ciri nenek tadi. Nenek tua bungkuk dengan wajah penuh keriput dan berjalan menggunakan tongkat bambu untuk menopang tubuhnya yang sudah renta.
Malam harinya, Mbak Patmi nampak sibuk mengacak acak tumpukan baju yang siang tadi dijemurnya. Sepertinya ia sedang mencari sesuatu. Mbok Mitro yang melihat tingkah anak sulungnya itu segera bertanya, "nyari apa to Nduk, kok diacak acak gitu pakaiannya?"
"Enggak Mak. Ini lho, kok celana dalamku nggak ada satu ya. Padahal tadi pagi sudah jelas jelas dicuci dan dijemur kok," jawab Mbak Patmi sambil masih terus sibuk membolak balik tumpukan pakaian di atas dipan.
"Sudah dicari di luar? Jangan jangan terbang terbawa angin," kata Mbok Mitro .
"Sudah Mak, malah sampai ke kebun tadi aku cari. Tapi nggak ada." sahut Mbak Patmi.
"Halah, cuma celana dalam sebiji saja lho, kok pada ribut," celetuk Parjo, adik Mbak Patmi.
"Bukan masalah celana dalamnya Jo, tapi kalau sampai jatuh ke tangan orang yang salah, bisa repot jadinya. Apalagi Mbakyumu itu lagi hamil," hardik Mbok Mitro pada Parjo, lalu menoleh ke arah Mbak Patmi, "coba kamu cari lagi yang bener. Jangan jangan nyelip dimana gitu."
"Sudah Mak, tapi tetep aja nggak ada. Atau ..., eh, jangan jangan ...."
"Jangan jangan apa Nduk?" tanya Mbok Mitro penasaran.
"Anu Mak, tadi siang ada nenek nenek bungkuk datang mau minta minum, eh, pas tak ambilin teh tiba tiba sudah nggak ada. Jangan jangan nenek itu yang ngambil celana dalamku."
Parjo dan Parni, kedua adik Mbak Patmi yang sedang asyik belajar tertawa serempak. "Hahaha, ada ada saja Mbakyu ini. Buat apa nenek nenek nyolong celana dalam?"
Lain tanggapan anak anak itu, lain pula tanggapan Pak Mitro. Ayah Mbak Patmi yang awalnya duduk santai sambil menikmati rokok tingwe itu mendadak menegakkan duduknya, seolah kaget mendengar penuturan sang anak.
"Seperti apa ciri ciri nenek itu Nduk?" tanya Pak Mitro. Mbak Patmipun menceritakan ciri ciri si nenek yang memang masih diingatnya dengan sangat jelas.
"Wah, nggak beres ini. Jangan jangan ....." Pak Mitro segera bangkit berdiri, lalu mengambil lampu senter di atas bufet. "Aku mau ke tempat Mbah Atmo dulu. Ndak enak perasaanku. Jangan jangan ini masih ada hubungannya sama peristiwa kemarin yang kamu nekat pergi ke Tegal Salahan itu."
Laki laki itu segera berjalan menuju ke arah pintu. Namun belum sempat ia meraih gagang pintu untuk membukanya, pintu sudah diketuk dari arah luar.
Ah, siapa pula yang bertamu malam malam begini, Pak Mitro segera membuka pintu, dan betapa terkejutnya ia saat tahu siapa yang telah berdiri di depan pintu.
*****
Siapa juga yang bertamu malam malam begini, gerutu Pak Mitro dalam hati, sambil membuka pintu. Dan betapa terkejutnya ia mendapati siapa yang telah berdiri di depan pintu.
"Pak Bayan?" Pak Mitro tercekat. Ada firasat buruk yang terlintas di pikiran Pak Mitro. "Silahkan masuk Pak. Ada apa ya, kok tumben malam malam begini datang ke rumah saya?"
"Anu Tro, ada kabar lelayu.(berita duka.) Mbah Atmo tilar ndunyo" (meninggal dunia.) jawab Pak Bayan sambil melangkah masuk dan duduk di kursi ruang tamu.
"Innalillahi!!! Kapan Pak? Dan kenapa? Tadi siang saya masih ketemu beliau, dan kelihatannya masih sehat sehat saja," Pak Mitro ikut duduk.
"Baru saja, sehabis Isya' tadi. Memang nggak sakit kok. Pulang dari mushalla katanya langsung tiduran di dipan. Pas dibangunin sama istrinya mau diajak makan malam lha kok sudah nggak ada. Ini aku mampir kesini sekalian mau ngajak kamu kesana. Siapa tau ada yang bisa dibantu bantu disana. Soalnya ...."
"Kenapa Pak?" tanya Pak Mitro penasaran. Sepertinya ada sesuatu yang ingin disampaikan oleh Pak Bayan, tapi orang tua itu nampak sedikit ragu.
"Ah, nanti juga kamu tahu sendiri. Kita kesana saja dulu," sahut Pak Bayan tegas. Pak Mitropun segera bersiap, mengganti kain sarungnya dengan celana panjang, lalu segera pamit dengan istrinya.
"Bagaimana dengan Patmi Pak?" setengah berbisik Mbok Mitro masih sempat bertanya. Sepertinya ia masih mencemaskan keadaan anak sulungnya itu.
"Nantilah kita pikirkan lagi," jawab Pak Mitro pendek, lalu segera berlalu mengikuti langkah Pak Bayan keluar. Selama dalam perjalanan, mereka lebih banyak diam. Hingga saat sampai di kediaman Mbah Atmo, Pak Mitro dibuat terkejut saat menyaksikan kondisi Mbah Atmo yang sangat tidak wajar.
Pantas saja tadi Pak Bayan nampak sedikit ragu saat ingin menyampaikan keadaan Mbah Atmo. Kondisi laki laki tua yang telah terbujur kaku tak bernyawa itu memang sangat mengenaskan. Kedua matanya melotot lebar dan hanya menampakkan bagian putihnya saja. Mulutnya terbuka lebar, dengan kedua tangan mencengkeram erat lehernya sendiri. Nyata terlihat kalau laki laki tua itu mengalami penderitaan yang teramat sangat sebelum ajal menjemputnya.
"Ke ..., kenapa bisa begini Pak? Dan kenapa dibiarkan seperti itu?" bisik Pak Mitro pada Pak Bayan.
"Sttttt, aku juga nggak tahu Tro. Dan sudah dicoba untuk membetulkan posisinya. Tapi gagal. Tubuhnya sudah keras dan kaku." Pak Bayan ikut berbisik.
"Ah, Mbah Atmo yang malang," desis Pak Mitro. "Lalu kita bagaimana Pak?"
"Kita tunggu saja. Aku sudah menyuruh anak anak untuk menjemput Pak Modin ke Kedhungjati. Mudah mudahan beliau bisa mengatasi." jelas Pak Bayan.
Warga yang hadir disitu hanya bisa mengangguk anggukkan kepala. Tak banyak yang bisa mereka lakukan. Sambil menunggu kedatangan Pak Modin, mereka hanya bisa mencoba menenangkan keluarga Mbah Atmo yang masih menangisi kepergian anggota keluarga mereka.
*****
Sementara itu, pemuda yang ditugaskan untuk menjemput Pak Modin telah sampai di desa Kedhungjati. Dan beruntungnya, ia dengan cepat bisa menemui orang yang dicarinya itu. Tanpa menunggu lama ia segera menceritakan maksud kedatangannya. Pak Modinpun tanggap, lalu dengan dibonceng oleh sipemuda, mereka segera menuju ke desa Kedhungsono.
"Sik, mandeg sik Le!" (sebentar, berhenti dulu Le) seru Pak Modin tiba tiba saat mereka menuruni jalan Tegal Salahan yang terjal.
"Ada apa pak?" pemuda itupun segera menghentikan sepeda motor tuanya.
"Sebentar ya, kamu tunggu disini saja. Sepertinya ada yang mau menyapa kita," Pak Modin turun dari boncengan, lalu berjalan kaki menuruni jalanan terjal berbatu itu.
Sampai di atas buk yang ada diantara turunan dan tanjakan jalan itu, Pak Modin berhenti. Sepertinya ia mengucapkan sesuatu, sambil sesekali tangannya bergerak gerak seperti sedang berbicara dengan seseorang (atau sesuatu). Pemuda yang menunggu di atas motor tak begitu jelas mendengar apa yang diucapkan Pak Modin.
Agak lama juga pemuda itu menunggu. Sambil memperhatikan Pak Modin yang bertingkah agak aneh itu. Sampai akhirnya Pak Modin kembali menghampirinya, lalu kembali naik ke boncengan sepeda motor.
"Ayo, jalan lagi. Agak cepat saja jalannya, nggak usah menengok kemana mana," kata Pak Modin.
Pemuda itu menurut. Ia segera memutar gas motornya dalam dalam sambil membunyikan klakson beberapa kali, mengambil ancang ancang untuk menaiki tanjakan. Dan seperti pesan Pak Modin tadi, ia hanya memandang lurus ke depan, tak berani menoleh ke kanan dan ke kiri, meski ia merasakan seolah olah ada yang memperhatikannya di sepanjang jalan yang gelap itu.
"Sebenarnya, tadi ada apa Pak?" tanya pemuda itu setelah mereka berhasil menaiki tanjakan.
"Nggak papa. Nggak usah dipikirin. Jalan saja terus. Kasihan kalau jenazah dibiarkan terlalu lama menunggu," jawab Pak Modin.
Pemuda itupun diam, tak berani bertanya lagi. Ia terus memacu sepeda motor tuanya hingga sampai di rumah yang mereka tuju. Beberapa warga menyambut kedatangan mereka dengan wajah lega. Syukur Pak Modin bersedia datang. Mereka berharap laki laki setengah baya itu bisa mengatasi keadaan yang kurang menyenangkan ini.
Setelah berbasa basi sebentar, dan Pak Bayan menceritakan masalah yang sedang mereka hadapi, Pak Modinpun segera menghampiri jenazah yang masih tergolek di atas dipan itu.
Ia sedikit tercekat. Mengurus jenazah bukan hal baru baginya, karena itu memang tugasnya sebagai Modin. Tapi melihat kondisi mayat itu, tak urung membuat bulu kuduk Pak Modin berdiri.
Dengan membaca doa doa dan dibantu oleh beberapa warga, akhirnya posisi mayat Mbah Atmo bisa dibetulkan, meski agak susah karena memang sudah kaku dan mengeras.
Mata yang tadinya melotot dan hanya menampakkan bagian putihnya telam berhasil ia pejamkan. Juga mulutnya yang terbuka lebar berhasil ia katupkan. Tangan tangan kurus yang mencengkeram kuat di bagian leher, dengan susah payah mereka lepaskan, lalu mereka lipat di atas dada.
"Alhamdulillah," ucap syukur terdengar menggema di ruangan itu.
"Terimakasih banyak Pak, entah apa jadinya jika Pak Modin tak segera datang," ucap Pak Bayan mewakili keluarga Mbah Atmo.
"Ah, tak perlu berterimakasih Pak. Itu kan memang sudah menjadi kewajiban saya. Sekarang lebih baik segera kita persiapkan segala sesuatunya untuk mengurus jenazah Almarhum." sahut Pak Modin.
Pak Bayanpun segera mengumpulkan pemuda pemuda desa. Disuruhnya mereka untuk ke kota kecamatan, membeli segala sesuatu yang dibutuhkan. Seperti kain kafan, peti mati, dan lain sebagainya.
"Kalian lewat Patrolan saja, jangan lewat Tegal Salahan." pesan Pak Modin pada pemuda pemuda itu.
"Jadi, bagaimana awal ceritanya Pak, sampai kondisi almarhum bisa seperti ini?" tanya Pak Modin lagi setelah mereka semua duduk di atas tikar yang digelar di lantai.
"Saya juga kurang begitu paham Pak," sahut Pak Modin. "Yang saya dengar, tadi sepulang dari mushalla selepas shalat Isya', almarhum langsung tidur tiduran di dipan, sementara anaknya yang juga bareng pulang dari mushalla langsung masuk kamar. Istrinya sendiri sibuk menyiapkan makan malam di dapur. Hingga saat Mbok Atmo mau membangunkan almarhum untuk diajak makan malam, kondisinya sudah seperti itu."
"Anaknya yang katanya bareng pulang dari mushalla itu sekarang dimana?" tanya Pak Modin lagi.
"Saya pak," seorang anak lelaki berumur belasan tahun mengangkat wajahnya. Masih nampak sisa sisa airmata di wajah anak itu.
"Bisa kau ceritakan nak, apa yang dialami bapakmu di jalan tadi saat pulang dari mushalla?"
"Eh, iya pak. Tadi pas kami jalan berdua pulang dari mushalla ...." anak itu segera menceritakan apa yang telah dialaminya beberapa jam yang lalu bersama sang ayah yang kini telah terbujur kaku di atas dipan.
Part 16c : Mbak Patmi Dan Wewe Gombel [Bag. III]
"Eh, iya pak. Tadi memang saya pulang bareng sama bapak waktu dari mushalla. Tapi sampai di tengah jalan, bapak nyuruh saya pulang duluan. Katanya sih, bapak masih ada urusan gitu. Nggak tau urusan apa. Tapi sepertinya sih urusan penting, karena bapak kelihatan agak khawatir gitu," Wandi, anak almarhum, menceritakan kejadian sore tadi kepada Pak Modin.
"Apa bapakmu menemui seseorang? Atau ada hal hal yang aneh saat bapakmu menyuruhmu pulang duluan?" tanya Pak Modin lagi.
"Setahu saya sih enggak pak. Tapi nggak tau setelah saya pulang bapak menemui seseorang atau tidak," jawab Wandi lagi.
"Apakah ada sesuatu yang aneh pak?" tanya Pak Bayan setengah berbisik pada Pak Modin.
"Ah, enggak kok, nggak ada yang aneh selain posisi jenazah yang agak kurang lazim. Tapi tak apa, semua sudah bisa diatasi. Bapak instruksikan saja kepada warga bapak untuk mempersiapkan pemakaman almarhum. Semakin cepat semakin baik. Tak baik juga kalau membiarkan jenazah terlalu lama menunggu untuk dikebumikan," jawab Pak Modin.
Meski kurang yakin, karena Pak Bayan yakin kalau ada yang sedang dipikirkan oleh Pak Modin, namun laki laki pemimpin desa Kedhungsono itupun menuruti saran Pak Bayan. Dikumpulkannya beberpa laki laki untuk membahas upacara pemakaman almarhum.
Sedang Pak Modin sendiri, nampak masih duduk sambil menyalakan rokoknya. Memang ada yang sedang mengganggu pikirannya. Sesuatu yang mencoba menghadangnya saat lewat di Tegal Salahan tadi, dan kondisi jenazah yang tidak wajar, sepertinya masih berhubungan erat.
Tapi semua masih belum jelas, dan Pak Modin nggak mau terlalu cepat menyimpulkan. Bisa menimbulkan kegaduhan kalau ia menyampaikan uneg unegnya pada orang lain. Jadi lebih baik semua ia simpan saja dalam hati. Sambil menunggu siapa tahu ada petunjuk yang lain.
Saat Pak Modin sedang berpikir keras, tiba tiba ada salah seorang penduduk yang mendekatinya. Laki laki itu membisikkan sesuatu di telinga Pak Modin. Pak Modinpun mendengarkan dengan serius. Sesekali ia mengangguk anggukkan kepalanya, tanda kalau ia mengerti dengan apa yang dibisikkan oleh laki laki itu.
"Jadi begitu ya? Saya sudah menduga," kata Pak Modin pelan, setelah laki laki itu mengakhiri kata katanya. "Insya Allah, nanti saya akan usahakan untuk membantu Pak, tentu dengan sebatas kemampuan saya. Tapi sebelumnya kita selesaikan dulu urusan Mbah Atmo ini."
"Terima kasih banyak Pak, saya sangat mengharapkan bantuan Pak Modin," kata laki laki itu yang tak lain adalah Pak Mitro.
"Sama sama Pak. Sudah kewajiban kita kan sebagai sesama manusia untuk saling membantu," ujar Pak Modin sambil tersenyum. Lega hati Pak Mitro mendengar kesanggupan Pak Modin.
Malam terus merambat naik. Suasana semakin hening. Meski masih banyak warga yang berkumpul di rumah itu, tapi rata rata mereka enggan mengeluarkan kata kata. Hanya sesekali terdengar suara saling berbisik saat ada hal hal penting yang ingin mereka saling bicarakan. Entah kenapa, suasana di tempat orang meninggal selalu seperti itu.
Hingga saat hampir tengah malam, keheningan itu dipecahkan oleh suara teriakan bocah laki laki dari arah jalan desa. Serempak seluruh mata mengarah ke arah asal suara itu.
"Bapaaaakkk ...!!! Bapaaakkk ...!!! Mbakyu Paaakkkk ....!!!" Parjo, anak kedua Pak Mitro berlari menerobos kerumunan orang orang yang duduk bergerombol di halaman rumah itu, membuat orang orang itu ikut panik.
Pak Mitro yang mengenal betul suara anaknya, segera berlari keluar menyongsong si anak. "Kenapa Le? Kenapa ...."
"Mbakyu Pak! Mbakyu ...!" jawab anak itu dengan terbata bata.
"Astaghfirullah!!! Ya sudah! Ayo pulang!" tanpa sempat berpamitan lagi Pak Mitro segera menarik tangan anak laki lakinya itu.
Warga desa yang hadir di situ juga tak tinggal diam. Sebagian dari mereka mengikuti Pak Mitro, takut terjadi sesuatu yang tak diinginkan pada anak Pak Mitro yang sedang hamil tua itu.
Pak Modin sendiri yang sejak tadi memperhatikan kejadian itu, segera bangkit dan menemui Pak Bayan. "Pak, maaf ya, untuk sementara yang disini bapak urus dulu. Saya mau melihat keadaan anak Pak Mitro dulu." bisik Pak Modin pada Pak Bayan. Pak Bayanpun mengangguk tanda mengerti.
*****
Jerit tangis dan sumpah serapah terdengar dari dalam rumah itu. Jerit tangis Mbok Mitro dan sumpah serapah Pak Mitro. Hanya itu yang bisa dilakukan oleh sepasang suami istri itu, melihat Mbak Patmi, anak sulung mereka tergolek pingsan di atas ranjang. Darah masih menggenang di sekitar selangkangannya. Namun tak nampak adanya jabang bayi disitu. Sementara Mbah Sumi, dukun bayi yang biasa menangani orang melahirkan di desa itu, justru telah jatuh pingsan tergeletak di atas lantai.
Pak Modin yang datang bersama beberapa warga segera berusaha memberi pertolongan. Ada yang berusaha menyadarkan Mbak Patmi, ada juga yang berusaha menyadarkan Mbah Sumi.
"Anak'e Patmi, disaut wewe gombel!" (anaknya Patmi, disambar Wewe Gombel.) hanya itu ucapan yang keluar dari mulut Mbah Sumi saat berhasil dibuat sadar oleh warga.
*****
"Anak'e Patmi disaut Wewe Gombel!" Mbah Sumi menjerit histeris saat orang orang berhasil menyadarkanya. Perempuan tua itu nampak sangat ketakutan. Matanya menatap ke arah jendela kamar yang terbuka lebar.
"Tenang Mbah, tenang! Coba ceritakan ada kejadian apa sebenarnya?" Pak Modin mencoba menenangkan dukun bayi itu.
"Anu, tadi ..., aduh, si jabang bayi ..., anaknya Patmi ....," Mbah Sumi sepertinya masih belum bisa tenang. Kata kata yang keluar dari mulutnya terdengar kacau. Tangannya menunjuk nunjuk ke arah jendela. Sekilas Pak Modin melirik le arah jendela itu, lalu mengangguk angguk samar. Sepertinya ia sudah memahami apa yang sebenarnya terjadi.
"Bisa minta tolong ambilkan air putih segelas?" kata Pak Modin akhirnya. Salah seorang kerabat perempuan Mbok Mitro segera beranjak ke dapur, lalu kembali dengan membawa segelas air putih yang segera diberikan kepada Pak Modin.
Laki laki setengah baya itu nampak komat kamit sambil sesekali meniup niup air dalam gelas, lalu memberikan gelas itu kepada Mbah Sumi. "Ini Mbah, diminum dulu."
Mbah Sumi langsungenenggak air putih itu sampai tandas, lalu menarik nafas panjang. Sepertinya ia mulai agak tenang. "Anu Pak Modin, tolong selamatkan bayinya Patmi. Tadi ...."
"Iya Mbah, saya sudah paham apa yang terjadi sebenarnya. Soal bayi itu, serahkan saja pada saya. Simbah tolong urus ibunya bayi itu saja. Sepertinya ia masih membutuhkan pertolongan Simbah." kata Pak Modin tenang, lalu segera melangkah keluar dari kamar.
Sampai diluar, Pak Modin nampak berbicara serius dengan Pak Mitro, lalu segera menemui beberapa pemuda desa yang ikut berkumpul di rumah itu.
"Siapa diantara kalian yang bersedia menemani saya?" tanya Pak Modin kepada para pemuda itu.
"Menemani kemana Pak?" tanya salah seorang dari pemuda itu.
"Ke Tegal Salahan," jawab Pak Modin.
"Ngapain ke sana malam malam begini Pak?"
"Ngapain lagi kalau bukan untuk menemui Wewe Gombel yang membawa lari anaknya Patmi,"
Mendengar Pak Modin menyebut nama Wewe Gombel, para pemuda itu diam seketika. Tak ada satupun yang berani menyahut.
"Kenapa pada diam? Nggak ada yang berani?" tanya Pak Modin sambil memandang satu persatu wajah pemuda pemuda itu. Tatapannya terhenti pada sebuah wajah yang agak dikenalnya. Pemuda yang tadi menjemputnya ke desa Kedhungjati.
"Kamu, siapa namamu?" Pak Modin menunjuk ke arah pemuda itu.
"Saya Bambang Pak," jawab pemuda itu.
"Ya sudah, kamu ikut denganku. Juga kamu, yang pakai baju biru, siapa namamu?"
"Joko Pak."
"Ya, kamu, Bambang dan Joko, kalian ikut aku." kata Pak Modin tegas. Kedua pemuda itu saling pandang. Nampaknya mereka agak keberatan dengan permintaan Pak Modin. Namun mereka juga tak berani membantah.
"Bambang, kamu bawa ini," Pak Modin memberikan sebuah bungkusan plastik hitam kepada Bambang. Dengan ragu pemuda itu menerimanya.
"Apa ini Pak?" tanya Bambang penasaran.
"Pencok bakal dan ari ari bayinya Patmi." jawab Pak Modin singkat, lalu menoleh ke arah Joko. "Kamu Joko, bawa senter ya. Kita berangkat sekarang. Ingat, apapun yang terjadi nanti, kalian nggak usah takut. Ini semua demi keselamatan si jabang bayinya Patmi!"
Akhirnya mereka bertigapun berangkat dengan berjalan kaki menuju ke area Tegal Salahan. Pak Modin berjalan di depan, diikuti oleh Bambang dan Joko. Sepanjang perjalanan mereka hanya diam. Rasa takut mulai menghantui Bambang dan Joko.
"Kalian dengar sesuatu?" tanya Pak Modin saat mereka sampai di turunan jalan Tegal Salahan. Kedua pemuda itu menggelengkan kepalanya.
"Sebentar," Pak Modin berkomat kamit sebentar sambil meniup kedua telapak tangannya, lalu mengusapkannya ke wajah kedua pemuda itu.
"Sekarang kalian dengar?" tanya Pak Modin lagi. Kedua pemuda itu menajamkan pendengarannya. Dan, sayup sayup mereka mendengar seperti ada suara perempuan nembang, lagu lelo lelo ledhung yang biasanya ditembangkan untuk meninabobokkan anak kecil.
"Seperti ada suara orang nembang Pak," kata Bambang pelan.
"Iya, suaranya dari arah barat sana," kata Joko sambil mengarahkan cahaya senternya ke arah barat.
"Bagus! Ayo kita kesana," kata Pak Modin sambil berbelok ke arah barat. Bambang dan Jokopun mengikutinya. Bertiga mereka melintasi tanah tegalan menuju ke arah barat.
"Apa yang dilakukan Pak Modin tadi pada kita?" bisik Joko kepada Bambang. "Tadi kita nggak dengar apa apa, kok setelah Pak Modin mengusap muka kita, kita jadi bisa mendengar suara orang nembang?"
" Aku juga nggak tau Jok. Mungkin kita sudah dijampi jampi," Bambang menyahut, juga dengan berbisik.
"Wah, celaka ini. Jangan jangan nanti kita juga bisa melihat sesuatu karena sudah dijampi jampi sama Pak Modin."
"Melihat apa maksudmu?"
"Apalagi kalau bukan Wewe Gombel. Kan kita kesini mau nyari Wewe Gombel."
"Ah, jangan ngawur kamu. Jangan bikin aku tambah takut."
"Nah, ketahuan kan, kamu takut ternyata."
"Memangnya kamu nggak takut?"
"Ya takut sih, tapi kan ada Pak Modin."
"Ssstttt ...!!! Jangan berisik!" desis Pak Modin yang rupanya juga mendengar bisik bisik mereka. "Kalian dengar? Suara itu semakin jelas!"
Kedua pemuda itu kembali memasang telinganya. Dan benar saja, suara perempuan nembang itu semakin jelas terdengar.
"Iya Pak. Kami juga dengar. Sepertinya dari arah barongan ori sana," Joko menyorotkan senternya ke arah rimbunan pohon bambu ori yang berada tak jauh di depan mereka.
"Kita kesana. Jok, matikan sentermu," kata Pak Modin.
"Tapi Pak, gelap lho ini. Masak malah dimatikan senternya." protes Joko.
"Sudah, jangan membantah. Ikuti saja langkahku," Pak Modin kembali berjalan. Jokopun segera mematikan senternya, lalu berjalan dalam kegelapan mengikuti Pak Modin.
Selang beberapa langkah, Pak Modin memberi isyarat untuk berhenti. Kini mereka sudah cukup dekat dengan rumpun bambu yang lebat itu.
"Kalian lihat?" bisik Pak Modin sambil menunjuk ke arah depan. "Ingat! Apapun yang terjadi, jangan takut, apalagi sampai lari. Kita hadapi makhluk itu bertiga."
Samar samar, kedua pemuda itu melihat ke arah yang ditunjuk oleh Pak Modin. Benar saja, di depan mereka, dibawah rimbunnya rumpun bambu, nampak sosok bayangan hitam sedang berdiri sambil menggendong sesuatu. Tak salah lagi. Itu pasti sosok Wewe Gombel yang mereka cari.
"Mbang, kesinikan bungkusan plastik itu," bisik Pak Modin pada Bambang sambil duduk bersila di atas rerumputan yang mulai basah oleh embun.
Bambang dan Joko ikut duduk. Pak Modin segera membuka bungkusan plastik yang tadi dibawa oleh Bambang. Dikeluarkan semua isinya. Kendi berisi ari ari bayi diletakknya di atas tanah. Juga pencok bakal dan sebuah anglo kecil berisi kemenyan.
"Begini, saya akan membakar dupa ini untuk menarik perhatian Wewe Gombel itu. Nanti kalian bantu saya ya. Ingat, jangan takut. Kita hanya akan mencoba menukar bayi yang dibawa Wewe itu dengan ari ari ini. Mudah mudahan itu Wewe nggak susah untuk dibujuk." kata Pak Modin memberi instruksi.
Kedua pemuda itu saling pandang. Agak aneh kedengarannya. Membujuk Wewe Gombel, gimana caranya? Dan, iya kalau Wewe itu mau dibujuk. Kalau enggak, dan Wewe itu justru marah karena merasa diusik? Bisa gawat jadinya.
"Bapak yakin? Bagaimana kalau ...."
"Kita coba saja dulu. Kalau memang Wewe itu nggak mau dibujuk, ya mau nggak mau kita harus rebut bayi itu secara paksa."
Wah, ini lebih gila lagi. Merebut bayi dari tangan si Wewe gombel, itu berarti perang dengan makhluk halus. Iya kalau mereka berhasil. Kalau gagal, bisa bisa justru mereka yang akan menjadi korban.
Pak Modin segera menyalakan dupa, sambil mulutnya komat kamit membaca doa. Asap dupa mengepul, menyebarkan bau harum kemenyan yang dibakar. Asap yang terbawa angin menyebar ke segala penjuru, menarik perhatian si Wewe gombel.
Makhluk itu menghentikan nyanyiannya, lalu pelan pelan membalikkan badannya, dan melayang mendekat ke arah ketiga orang itu.
"Hihihihihihihi ....!!!!!" tawa serak dan melengking terdengar seolah menusuk gendang telinga, saat makhluk itu semakin mendekat, membuat Bambang dan Joko gemetar ketakutan.
*****
"Manusia lancang! Berani kalian mengusikku!" suara serak dari nenek bungkuk itu cukup membuat bulu kuduk Bambang dan Joko berdiri. Tanpa sadar mereka beringsut menggeser posisi duduknya ke belakang punggung Pak Modin.
"Bukan kami yang lancang! Tapi kau yang telah mengusik kehidupan kami! Kembalikan bayi itu! Itu bukan hakmu!" bentak Pak Modin tegas.
"Hihihihihi ....!!!!" kembali sosok itu tertawa melengking, membuat Bambang dan Joko semakin ketakutan. Apalagi sosok itu melayang semakin mendekat. Semakin jelas terlihat bahwa sosok itu memiliki wujud yang sangat mengerikan. Sosok nenek nenek bungkuk dengan wajah penuh keriput, dengan pay*d*ra sebesar buah pepaya bangkok yang dibiarkan menggelantung tanpa ditutupi sehelai benangpun.
"Bayi ini sudah jadi milikku!" geram nenek itu sambil mengacungkan tongkat bambunya ke arah Pak Modin. "Dan jangan coba coba kalian mengambilnya! Lebih baik kalian segera pergi dari sini, atau nasib kalian akan sama dengan si tua bangka Atmo itu!"
"Jadi benar dugaanku. Kau yang telah mencelakai Mbah Atmo?!" Pak Modin bertanya geram.
"Hihihi ...!!! Ya. Benar. Aku yang mencekiknya sampai mampus, karena telah berani mencampuri urusanku! Kalian tau, aku sangat menikmati saat menyaksikan si tua bangka Atmo itu berkelojotan meregang nyawa. Apa kalian juga mau mengalami nasib seperti dia?"
"Setan laknat! Aku sudah minta baik baik. Tapi sepertinya kau malah menantangku. Apa boleh buat! Aku akan mengambil secara paksa bayi itu dari tanganmu!"
"Hah? Apa aku tak salah dengar? Kau, anak kemarin sore yang ilmumu belum ada seujung kuku mau memaksaku? Hihihihi ...!!! Sama saja kau mencari mati! Tapi tak apa, dengan senang hati aku akan melayani tantanganmu!"
"Hei nenek peot! Kesombonganmu sudah diluar batas! Memang benar ilmuku mungkin belum ada seujung kuku. Tapi bukan aku yang akan melawanmu, tapi ini ...!!!" dengan sedikit menyentak Pak Modin membuka tutup kendi yang berisi ari ari bayi yang ada di depannya. Sungguh ajaib, dari dalam kendi itu mengepul keluar kabut tipis yang semakin lama semakin menebal. Sejenak kabut itu meliuk liuk, lalu pelan pelan menggumpal membentuk lima sosok bayangan putih berwujud manusia namun agak samar.
"Kaki among Nini among yang momong jiwa raganya bayi yang kau gendong ini yang akan menghabisimu!!!" sentak Pak Modin tegas.
Nenek bungkuk itu tercekat sejenak. Mungkin tak menyangka kalau Pak Modin akan melakukan hal itu. Namun terlambat. Kelima sosok bayangan putih itu segera melesat dan menerjang sosok si nenek. Pertarungan sengitpun terjadi. Bambang dan Joko sampai melongo melihatnya. Seperti mimpi, mereka bisa menyaksikan adegan sedahsyat itu, yang biasanya hanya bisa mereka lihat di adegan film silat di TV.
"Jangan pada bengong. Kini saatnya kalian ikut beraksi," tegur Pak Modin pada kedua pemuda itu.
"Eh, kami pak? Apa yang harus kami lakukan?" tanya keduanya hampir serentak.
"Apa lagi! Rebut bayi itu saat si nenek bungkuk itu lengah!"
"Hah?! Yang benar saja Pak. Masa kami yang harus merebutnya?"
"Kalau bukan kalian siapa lagi? Kalian kan masih muda, bisa bergerak dan berlari cepat? Apa harus aku yang sudah tua ini yang turun tangan?"
"Tapi nenek itu kan bukan manusia Pak, kejam pula. Mbah Atmo yang punya ilmu saja bisa dicekik sampai mati. Apalagi kami yang nggak punya apa apa."
"Makanya kubilang tunggu sampai nenek itu lengah. Nanti begitu kalian dapatkan bayinya, langsung bawa lari pulang."
Bambang dan Joko saling pandang sejenak. Sepertinya mereka tak punya pilihan lain. Dengan mengendap endap mereka kemudian mendekat ke arena pertarungan.
Pertarungan antar makhluk gaib itu masih berjalan seru. Nenek bungkuk yang sekilas terlihat lemah itu ternyata sangat gesit meladeni serangan serangan dari kelima bayangan putih yang menyerangnya.
Namun setelah beberapa saat lamanya, nenek bungkuk itu nampak mulai kewalahan. Ia sedikit kerepotan karena bertarung sambil menggendong bayi. Beberapa kali serangan serangan dari kelima bayangan putih itu dengan telak mengenai tubuhnya, membuatnya beberapa kali harus melompat mudur.
Hingga pada suatu kesempatan, nenek itu melompat keatas dan hinggap di dahan sebuah pohon besar, lalu meletakkan bayi yang digendongnya itu di dahan tersebut. Aneh tapi nyata, ditengah pertarungan dahsyat itu, si bayi nampak tertidur pulas, tak merasa terganggu sama sekali.
Setelah meletakkan si bayi, nenek itu kembali melesat turun dan menerjang lawan lawannya. Pertarungan kembali terlihat seimbang, meski jumlah mereka tak seimbang. Lima lawan satu.
Pak Modin memberi isyarat pada Bambang dan Joko. Kedua pemuda itu tanggap. Inilah saat yang tepat untuk mengambil bayi itu. Dengan susah payah mereka memanjat pohon yang lumayan tinggi itu.
Dapat! Bayi itu berhasil mereka raih. Namun sepertinya si nenek menyadari tindakan mereka. Sambil menggeram marah nenek itu menatap ke arah kedua pemuda itu, lalu melesat tepat ke arah Bambang dan Joko yang masih berada di atas pohon.
"Huwaaaaa ...., mampus kita Jok!" teriak Bambang histeris.
Joko sudah tak mampu lagi mengeluarkan kata kata. Keduanya pasrah. Mungkin ini sudah takdir mereka, harus mati dicekik Wewe Gombel.
"Blaaaarrrrr.....!!!!" terdengar ledakan dahsyat. Beberapa senti sebelum tangan si nenek berhasil menyentuh Bambang dan Joko, kelima bayangan putih itu serentak menerjangnya, membuatnya terpental jauh dan jatuh di semak semak.
"Slamet slamet...!!!" ucap Bambang dan Joko bersamaan. Melihat ada kesempatan, mereka bergegas merosot turun dari atas pohon.
"Cepat Jok! Buruan!" teriak Bambang saat melihat si nenek telah kembali bangkit dan berusaha menyerang mereka. Namun kelima bayangan putih itu sepertinya tak memberinya kesempatan. Mereka menyerang si nenek dengan bertubi tubi.
"Iya! Ini juga mau ..., eh, sebentar, ini kok ...., seperti ....," Joko yang posisinya dibawah Bambang mengusap kepalanya yang tiba tiba basah tersiram cairan dari atas. Diciumnya tangan itu, dan "Djanc*k! Kamu ngompol ya Mbang?!"
"Nggak usah berisik! Pak Modin! Sudah dapat bayinya!" teriak Bambang pada Pak Modin, tanpa memperdulikan protes dari Joko. Pak Modinpun segera bangkit dari duduknya sambil menyambar kendi tempat ari ari. "Ayo, cepat kita bawa pulang!"
Mereka bertigapun segera berlari kembali menuju ke arah desa, tanpa memperdulikan yang sedang sibuk bertarung. Nenek bungkuk yang mengetahui gelagat Pak Modin Cs yang akan beranjak pergi, berusaha untuk menghalangi. Tapi sayang, kelima bayangan putih itu sepertinya tak memberinya kesempatan.
Sampai dirumah Pak Mitro, mereka disambut dengan tangis suka cita. Bayi yang hilang telah diketemukan. Dan Mbak Patmi sepertinya juga sudah siuman. Perempuan itu menangis haru saat memeluk bayinya.
"Sekarang bagaimana Pak? Apakah sudah aman?" tanya Pak Mitro pada Pak Modin.
"Sedikit lagi Pak. Tolong ari ari ini segera dikubur di samping pintu tengah. Juga tolong sediakan sapu lidi bekas, gunting, kain mori putih sedikit saja, juga jarum dan benang jahit." pinta Pak Modin.
Pak Mitropun segera menyiapkan semua benda benda yang diminta oleh Pak Modin. Ari ari telah dikubur di tempatnya. Pak Modin mengambil sedikit tanah bekas galian ari ari itu, lalu membungkusnya dengan kain mori dan dijahit sedemikian rupa, hingga membentuk menyerupai kalung kecil. Benda itu lalu dipakaikan di leher sang bayi.
"Nah, sudah aman sekarang. Selama bayi ini memakai kalung yang telah aku buat ini, Wewe Gombel itu tak akan pernah berani untuk mengganggunya lagi. Sapu lidi bekas ini, dan juga gunting dan jarum jahit, selalu letakkan di sisi tempat tidur si bayi." pesan Pak Modin.
Alhamdulillah, akhirnya semua masalah telah berhasil diatasi. Tinggal menyiapkan pemakaman Mbah Atmo besok pagi.
Semua bisa bernafas lega. Kecuali si nenek bungkuk yang menjadi bulan bulanan kelima sosok bayangan putih itu. Ia sudah babak belur, dan akhirnya memilih untuk melarikan diri. Kelima bayangan putih itupun akhirnya melesat terbang menuju ke arah desa Kedhungsono, lalu tanpa disadari oleh semua yang hadir di rumah Pak Mitro, kelimanya merasuk ke dalam kalung yang dipakai oleh si jabang bayi.