TEGAL SALAHAN (Part 6 THE END)
***Mbak Patmi***
JEJAKMISTERI - Sepeninggal bapaknya, Mbak Patmi masih sibuk mencari celana dalamnya yang hilang. Satu persatu tumpukan pakaian diatas dipan ia lipat dan ia bereskan. Namun, sampai lembar terakhir dari tumpukan pakaian itu, apa yang dicarinya tak diketemukannya juga.
Lelah mencari, akhirnya Mbak Patmi beranjak dari duduknya. Jarum jam yang menggantung di dinding sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Sudah larut. Pantas saja suasana sudah sangat sepi. Simboknya telah masuk ke dalam kamar sejak tadi, bahkan mungkin telah tertidur. Begitu juga dengan kedua adiknya.
Mbak Patmi melangkah menuju ke dapur, lalu membuka pintu tembus yang mengarah ke belakang rumah. Ia bermaksud untuk ke kamar mandi, membersihkan diri sebelum beranjak tidur.
Di desa itu memang rata rata letak sumur dan kamar mandi berada di luar rumah. Dengan penerangan lampu 5 watt yang remang remang, Mbak Patmi masuk ke kamar mandi.
Sial, rupanya bak besar tempat air kosong. Sepertinya kedua adiknya lupa mengisinya setelah mandi sore tadi. Atau memang sengaja tak mengisinya karena malas menimba air dari sumur.
Sambil menggerutu panjang pendek Mbak Patmipun menurunkan timba ke dalam sumur. Suara katrol yang telah sedikit berkarat terdengar berderit menusuk telinga. Agak lama baru terasa ember itu menyentuh permukaan air di dalam sumur. Di saat musim kemarau begini, rata rata sumur di desa itu memang nyaris kering. Butuh tenaga ekstra untuk menarik ember dari dalam sumur dengan menggunakan tali karet dan katrol.
Titik titik keringat membasahi dahi Mbak Patmi saat ember yang penuh berisi air itu berhasil ia tarik sampai ke atas. Segera Mbak Patmi membasuh wajah, kaki, dan tangannya dengan air yang telah berhasil ia timba.
Ah, segar rasanya. Angin malam semilir mengusap wajahnya. Terasa sedikit dingin. Setelah mengeringkan wajahnya dengan handuk, Mbak Patmi bermaksud kembali masuk ke dalam rumah.
"Mbok!" seru Mbak Patmi saat sekilas melihat sesosok bayangan yang masuk ke dalam rumah dari arah dapur. Mungkin simboknya.
Tapi tak ada jawaban. Ah, mungkin simboknya tak mendengar panggilannya tadi, pikir Mbak Patmi. Ia segera menutup dan mengunci pintu tembus dari dapur ke arah sumur, lalu masuk ke dalam rumah. Tak lupa ia juga menutup dan mengunci pintu yang dari arah rumah ke dapur.
"Mbok," sekali lagi Mbak Patmi memanggil simboknya. Namun tetap tak ada jawaban. Penasaran, dibukanya pintu kamar Mbok Mitro. Nampak perempuan tua itu telah tertidur pulas berselimut kain jarik.
"Cepat sekali simbok tidur lagi, padahal baru saja dari dapur," pikir Mbak Patmi sambil menutup kembali kamar simboknya.
Ia kemudian melangkah menuju ke kamarnya, setelah mematikan lampu di ruang tengah. Tak lupa dibawanya palaian yang tadi ia lipat untuk dimasukkan ke dalam lemari yang ada di kamarnya. Pelan dibukanya pintu kamarnya.
"Astaghfirullah!" serunya saat matanya menangkap bayangan samar berkelebat di dalam kamarnya.
"Parni!" panggilnya pelan. Kadang memang adik bungsunya itu ikut tidur di kamarnya. Namun tak ada jawaban. Tak juga nampak sosok Parni di dalam kamarnya. Kamar itu kosong.
"Aneh, apa aku salah lihat ya?" gumam Mbak Patmi sambil menutup pintu kamar. Ia lalu melangkah menuju ke arah lemari yang berada di sudut kamar.
"Krieeeeeettttt.....!!!" bunyi engsel pintu lemari memecah kesunyian malam. Dan ...
"Kyaaaaaaaaa.....!!!!" Mbak Patmi menjerit setinggi langit saat mendapati di dalam lemarinya telah berdiri sesosok nenek bungkuk dengan wajah yang menyeringai lebar.
"Hikhikhikhik ....!!!" nenek bungkuk itu tertawa mengikit. Tumpukan baju di tangan Mbak Patmi jatuh berhamburan ke lantai. Perempuan itu melangkah mundur sambil mendekap mulutnya.
Pelan si menek melayang keluar dari dalam lemari, masih dengan wajah menyeringai. Sorot lampu kamar menerangi sosok itu. Bergidik Mbak Patmi melihat penampakannya. Nenek tua bungkuk dengan wajah penuh keriput, rambut memutih yang acak acakkan, dan ...., sepasang payud*ra sebesar pepaya bangkok yang menggelantung bebas tanpa penutup apapun.
"Kuambil bayimu malam ini juga!" geram nenek itu sambil mendorong tubuh Mbak Patmi, hingga tubuh perempuan itu jatuh terjerembab ke atas kasur. Lalu dengan cepat nenek itu menindih tubuhnya, dan menekan perut mbak Patmi dengan sekuat tenaga, membuat Mbak Patmi kembali menjerit setinggi langit.
"Tidaaaaakkkkk ....!!!!! Jangaaaannn .....!!!! Simboookk ... Tolooooonnngggg ....!!!" jeritnya sebelum akhirnya ia pingsan karena tak kuasa menahan rasa sakit di perutnya.
Jeritan itu membuat seisi rumah terbangun. Mbok Mitro, Parno, dan Parni berhamburan ke kamar Mbak Patmi. Dan kembali jeritan terdengar, kali ini dari mulut ketiga emak beranak itu, saat melihat Mbak Patmi telah tergolek diatas kasur dengan darah yang merembes dari selangkangannya.
"Parno! Susul bapakmu ke rumah Mbah Atmo! Dan kau Parni, cepat jemput Mbah Sumi!"
***Mbah Sumi***
Malam semakin larut. Suasana desa Kedhungsono semakin sepi. Kecuali di rumah Mbah Atmo, karena memang hampir semua warga desa yang laki laki berkumpul disana. Sedangkan yang perempuan lebih memilih bergelung dibalik selimut semenjak lepas Isya' tadi. Hawa dingin musim kemarau memang lebih cepat mendatangkan rasa kantuk.
Namun tidak demikian dengan Mbah Sumi. Meski ia juga sudah tergolek di atas dipan berselimut kain jarik, namun matanya belum juga mau terpejam. Entah kenapa, semenjak sore tadi ia resah. Ada perasaan tak enak yang mengganggu pikirannya. Ditambah dengan kabar meninggalnya Mbah Atmo, membuatnya semakin gundah. Berita kematian memang selalu membawa kesan menakutkan.
Sejenak wanita tua itu menggeliat, lalu menyibakkan kain jarik yang menutupi sebagian tubuhnya. Pelan pelan ia bangun, lalu turun dari dipan. Langkah tuanya membawanya ke ruangan tengah. Dituangnya air teh dalam teko yang terletak diatas meja bundar ke dalam gelas kaleng bercorak putih hijau, lalu ditenggaknya dengan pelan. Segar rasanya, meski air teh itu sudah dingin.
Ia lalu duduk di kursi rotan yang ada di samping meja itu. Tangannya mulai meracik kinang. daun sirih dicampurnya dengan injet dan gambir, lalu dikunyahnya sambil menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi rotan itu.
"Tok ... tok ... tok!" suara ketukan di pintu sedikit mengejutkannya.Siapa juga yang bertamu malam malam begini? Seingatnya, tak ada warga yang hamil tua, kecuali Mbak Patmi yang menurutnya masih sebulanan lagi untuk melahirkan. Ya, sebagai seorang dukun bayi, sudah biasa ia menerima tamu di tengah malam untuk meminta bantuannya menolong orang yang mau melahirkan.
"Sinten nggih?" (siapa ya?) seru Mbah Sumi sambil beranjak dari duduknya. Dengan tertatih tatih ia melangkah menuju ke arah pintu.
"Kula Mbah, Parni," (saya Mbah, Parni) suara anak kecil terdengar dari balik pintu. Mbah Sumipun segera membukakan pintu.
"Ada apa Nduk?" tanya Mbah Sumi sambil memicingkan matanya. Suasana di luar yang gelap sedikit mengaburkan pandangannya.
"Anu Mbah, disuruh simbok menjemput simbah. Sepertinya Mbak Patmi sudah mau melahirkan," kata anak perempuan itu.
"Lho, bukannya baru delapan bulan ya?" tanya Mbah Sumi lagi.
"Nggak tahu Mbah. Tapi Mbak Patmi sudah kesakitan tuh, makanya saya disuruh menjemput simbah," jawab anak itu lagi.
"Oh, ya sudah. Tunggu sebentar ya, simbah tak siap siap dulu," kata Mbah Sumi sambil kembali masuk ke dalam rumah. Tak butuh waktu lama baginya untuk memepersiapkan apa yang harus ia bawa saat akan menolong orang yang mau melahirkan. Kurang dari lima menit, ia sudah berjalan menyusuri jalanan desa yang gelap dan sunyi itu, diiringi oleh Parni yang mengekor dibelakangnya.
Rumah Mbah Sumi dan Pak Mitro tak begitu jauh. Kurang dari sepuluh menit, mereka berdua sudah sampai dirumah itu. Tanpa banyak basa basi, Mbah Sumi segera menuju ke kamar Mbak Patmi. Namun baru saja ia menginjakkan kaki diambang pintu kamar itu, langkahnya terhenti. Mata tuanya kembali memicing menyaksikan pemandangan ganjil yang ada di hadapannya.
Nampak Mbak Patmi terbaring meronta ronta diatas tempat tidur. Kedua tangannya memegangi perutnya yang membuncit. Dari mulutnya terdengar suara erangan kesakitan. Sedangkan Mbok Mitro nampak duduk di sisi dipan, mencoba menenangkan sang anak.
Sebagai seorang dukun bayi yang sudah berpengalaman, sedikit banyak ia juga memiliki kelebihan dalam hal hal yang berbau mistis. Dan ia merasakan ada sesuatu yang ganjil di kamar itu. Mulutnya komat kamit membaca doa, lalu mengusap wajahnya dengan kedua telapak tangannya.
Benar saja, mata tuanya kini menangkap sosok samar yang menduduki tubuh Mbak Patmi. Sosok wewe gombel, yang kedua tangannya menekan kuat perut Mbak Patmi. Pantas saja Mbak Patmi merasakan kesakitan yang teramat sangat. Dan sepertinya Mbok Mitro tak menyadari kehadiran makhluk itu.
"Ampuuuunnnn ...!!! Sakiiiiittttt ...!!! Lepaskaaannn ...!!! Toloooonnggg ...!!!" jeritan Mbak Patmi memecah kesunyian malam.
"Pergi kamu! Tinggalkan perempuan itu!" hardik Mbah Sumi sambil melangkah masuk ke dalam kamar. Tentu saja Mbok Mitro heran mendengar ucapan Mbah Sumi tersebut. Sedangkan sosok wewe gombel itu menggeram melihat kedatangan Mbah Sumi.
Sosok itu semakin kuat menekan perut Mbak Patmi, berusaha memaksa bayi yang ada di dalam perutnya agar cepat keluar. Mbah Sumi tak tinggal diam. Ia melangkah mendekat ke dipan. Namun sepertinya ia kalah cepat. Diiringi jeritan Mbak Patmi yang melengking tinggi, si jabang bayipun keluar dengan terpaksa. Mbak Patmi jatuh pingsan. Mbok Mitro panik. Wewe gombel menyambar sang bayi. Mbah Sumi membentak marah.
"Letakkan bayi itu!!!"
"Whuuuusssss ...!!! Bruuuukkkk ...!!! Gedubraaakkk ...!!!" sosok wewe gombel itu menerjang Mbah Sumi hingga terjengkang menghantam dinding kamar. Ia pingsan seketika. Wewe gombel itupun segera melesat menerjang jendela kamar dan menghilang dalam kegelapan.
Kejadian itu terjadi dengan sangat cepat, membuat Mbok Mitro terbengong sesaat, lalu menjerit setinggi langit, saat menyadari bahwa cucu pertamanya yang baru keluar dari rahim sang anak lenyap begitu saja.
*****
"Jadi begitulah ceritanya Pak, sampai kemudian Pak Modin datang dan menyelamatkan bayi itu," Mbah Sumi mengakhiri ceritanya. Pak Modin yang mendengarkan hanya mengangguk anggukkan kepalanya.
"Lalu bagaimana dengan keadaan ibu si bayi sekarang Mbah?" tanya Pak Modin.
"Saya hanya bisa membantu semampu saya Pak, tapi lebih baik segera saja dibawa ke rumah sakit. Memang, sekarang ibu si bayi sudah sadar dan juga sudah bisa menyusui anaknya. Tapi biar bagaimanapun, ia melahirkan sebelum waktunya. Saya takut, nanti terjadi apa apa, karena ia juga kehilangan banyak darah."
Pak Modin lalu bermusyawarah dengan Pak Mitro dan beberapa warga yang masih berada disitu. Alhamdulillah, banyak warga yang mau membantu. Malam itu juga Mbak Patmi beserta bayinya dibawa ke rumah sakit di kota kabupaten. Dan alhamdulillah, setelah beberapa hari dirawat, mereka diperbolehkan pulang.
Selepas peristiwa itu, tak ada lagi gangguan gangguan yang datang. Suami Mbak Patmi juga sudah pulang dari Jakarta. Ia bersyukur, telah dikaruniai seorang bayi mungil yang cantik, meski hampir saja mereka kehilangan bayi itu. Bayi itupun diberi nama yang sangat unik, untuk mengenang kejadian yang menimpanya saat lahir.
Namun mereka lupa, masih ada satu misteri yang sampai saat ini belum terpecahkan, dan mungkin selamanya tidak akan terpecahkan, yaitu misteri hilangnya celana dalam Mbak Patmi.
***Diludahi Pocong***
Lagi lagi ini cerita dari Mas Toni dan Mas Yudi.
Jadi waktu itu mereka dapat borongan kerja mencangkul di salah satu sawah milik warga. Lumayan, selesai dikerjakan dalam waktu empat hari. Setelah selesai dan menerima upahnya, seperti para pemuda kebanyakan, saat memegang uang, yang ada di pikiran mereka hanyalah bersenang senang.
Sorenya menerima upah, malamnya langsung ngelayap ke pasar kota kecamatan. Jajan sana jajan sini, nongkrong di warung kopi, dan terakhir sebelum pulang, mereka menyempatkan singgah di sebuah kios yang letaknya agak tersembunyi di belakang pasar.
Tak tanggung tanggung, empat botol anggur merah mereka borong dari kios itu. Juga beberapa bungkus cemilan, rokok, dan dua bungkus sate gukguk buat teman minum nanti.
Selesai berbelanja, merekapun memutuskan untuk pulang. Dalam perjalanan, mereka terlibat obrolan serius, menentukan dimana mereka akan menikmati hasil belanjaan mereka itu.
"Di poskamling saja Yud, biasa kan memang disitu kita kalau minum," usul Mas Toni yang duduk di boncengan. Malam itu ia memang tak membawa motor sendiri, karena motor tuanya sesang ngadat.
"Jangan! Cuma empat botol ini, kalau diminum sama bapak bapak yang ronda, bisa bisa kita nanti cuma kebagian botolnya saja," kata Mas Yudi menolak usul Mas Toni.
"Ya udah, kalau begitu dirumahmu saja, kan sepi tuh, secara rumahmu di pinggir desa," usul Mas Toni lagi.
"Ah, kamu kalau usul yang bermutu dong. Minum di rumahku sama saja cari mati. Kamu mau digantung hidup hidup sama simbokku?" bantah Mas Yudi lagi.
"Lha terus dimana dong?" tanya Mas Toni.
"Tenang, aku sudah punya tempat favorit buat minum. Tempatnya sepi. Dijamin aman deh, nggak bakalan ada yang ngerecokin," kata Mas Yudi.
"Ya udah, terserah kamu saja deh, yang penting kita bisa pesta malam ini," kata Mas Toni.
Mas Yudipun segera memacu motor bututnya, membelah jalanan desa yang sudah mulai sunyi. Pos ronda mereka lewati begitu saja, tanpa menyapa bapak bapak yang sedang ronda.
Sampai diujung desa, tepatnya sebelum turunan jalan salahan, Mas Yudi membelokkan motor bututnya ke arah timur, melewati pematang saluran irigasi yang agak lebar, lalu berbelok lagi memasuki ladang milik Kang Sukir.
Mas Yudi menghentikan motornya, lalu turun dan menyandarkan motor tua itu pada pohon sengon yang lumayan besar yang ada di ladang itu.
"Disini kita akan minum?" tanya Mas Toni heran.
"Iya, kenapa memangnya? Kamu takut?" ujar Mas Yudi sambil memasuki gubuk kecil yang ada di ladang itu.
"Bukannya takut, tapi kita kan mau minum. Kalau nanti sampai teler gimana? Mau tepar sampai pagi disini?" Mas Toni mengikuti langkah Mas Yudi memasuki gubuk itu.
"Alah, kamu ini, kayak nggak pernah minum saja. Masak minum empat botol berdua saja sampai teler sih. Sudah, sini, cepat dibuka botolnya," seru Mas Yudi sambil dusuk di balai balai bambu yang ada di dalam gubuk itu.
Mas Tonipun segera ikut duduk, lalu membuka kantong plastik yang sejak tadi ditentengnya. Botol dibuka, anggur dituang, sambil minum mereka asyik mengunyah potongan potongan sate daging gukguk yang tadi mereka beli. Tak lupa rokok juga mereka nyalakan. Benar benar pesta besar mereka malam itu.
"Buk!" sedang asyik asyiknya minum, Mas Yudi merasa ada yang memukul tengkuknya.
"Eh, sialan kamu. Kenapa pakai memukul tengkuk segala sih?!" hardik Mas Yudi pada Mas Toni.
"Siapa yang mukul sih? Orang dari tadi aku ...,"
"Buk!" belum selesai Mas Toni bicara, giliran ia yang merasa dipukul dari belakang.
"Hey, kan sudah kubilang bukan aku yang mukul. Kenapa kau juga memukulku?!"
"Siapa yang mukul sih? Ada juga kamu tadi yang ..., eh, apa ini?" Mas Yudi meraba tengkuknya, saat merasa ada cairan yang jatuh di tengkuknya. Benar, tengkuknya basah saat ia raba. Diciumnya telapak tangan yang tadi ia gunakan untuk menyeka cairan di tengkuknya itu. Busuk!
"Brengsek! Tadi mukul, sekarang meludahi! Maumu apa sih?!" Mas Yudi emosi.
"Siapa yang meludahi sih?! Kamu jangan asal nuduh! Sejak tadi aku ..., eh, kok kamu balas meludahi aku?! Mau ngajak ribut?!" Mas Toni juga merasa ada cairan yang jatuh di tengkuknya.
"Enggak! Justru kamu yang ..., tuh kan, kamu meludahiku lagi. Brengsek kamu!"
"Bukan aku Yud, sumpah! Aku juga diludahi. Nih, cium!" Mas Toni mendekatkan telapak tangannya yang tadi digunakan untuk menyeka tengkuknya ke hidung Mas Yudi. Memang, telapak tangan itu berbau busuk.
"Kalau bukan kamu siapa dong?! Kita kan cuma berdua disini?"
"Tau! Setan kali!"
"Mana ada setan meludah? Alasanmu saja itu biar ..., eh, kok tengkukku terasa gatal dan panas ya?" Mas Yudi menggaruk garuk tengkuknya.
"Iya, tengkukku juga, gatal dan panas banget," Mas Toni juga menggaruk garuk tengkuknya.
"Jangan jangan beneran setan yang meludahi kita." Mas Yudi masih terus menggaruk garuk tengkuknya. Namun, semakin digaruk, rasa gatal itu bukannya hilang tapi malah memjadi jadi.
"Bisa jadi," Sama seperti Mas Yudi, Mas Toni juga tak henti hentinya menggaruk tengkuknya.
"Eh, kamu mencium bau busuk nggak sih?" kata Mas Yudi.
"Iya nih," Mas Toni mengendus enduskan hidungnya. "Bau banget, kayak bau bangkai."
"Coba deh kamu nyalakan korekmu, siapa tahu ada bangkai tikus disini."
Mas Tonipun menyalakan korek apinya. Diteranginya seluruh sudut gubuk itu dengan nyala korek api. Tapi ia tak menemukan bangkai apapun. Sampai pada saat pandangan matanya tertuju pada palang bambu yang berada dibelakang balai balai bambu tempat mereka duduk tadi, Mas Toni tercekat. Matanya menangkap sosok yang sedang duduk di palang bambu itu.
Sosok terbungkus kain putih kumal itu duduk sambil mengayun ayunkan kedua kakinya. Rupanya kaki itulah yang sejak tadi mengenai tengkuk mereka.
"Yud, dibelakangmu ada pocong!" desis Mas Toni.
"Jangan nakut nakuti kamu," kata Mas Yudi.
"Beneran! Coba menoleh ke belakang," kata Mas Toni lagi. Mas Yudipun menoleh, dan ...
"Huaaaaaaaa.....!!!!" Mas Yudi melompat turun dari balai balai bambu yang didudukinya, dan mencoba untuk lari. Namu efek dari anggur merah yang tadi diminumnya, membuatnya kehilangan keseimbangan. Bukannya lari keluar gubuk, ia justru lari menubruk Mas Toni yang berdiri di depannya. Alhasil keduanya jatuh terjerembab. Tubuh Mas Yudi yang tambun menimpa tubuh ceking milik Mas Toni.
"Aduh! Kenapa kau malah menabrakku sih?!" seru Mas Toni kesal. Keduanya berusaha untuk bangun. Namun efek dari minuman keras yang tadi mereka minum sepertinya sudah mulai bekerja. Mereka berjalan sempoyongan, diikuti oleh tatapan dari mata si pocong yang menyeramkan.
"Kita pulang saja Yud, daripada jadi mangsa pocong disini," bisik Mas Toni.
"Ya udah yuk, kita pulang saja," sahut Mas Yudi. Keduanya berjalan pelan menuju keluar gubuk, sambil mata keduanya mengawasi sosok si pocong yang masih terus menatap ke arah mereka dengan pandangan yang menyeramkan.
"Amit mbah, ndherek langkung, kami ndak ganggu kok, cuma numpang duduk," mulut keduanya komat kamit mengucapkan kata kata yang kacau karena pengaruh alkohol yang mereka minum.
"Grrrrrrrrrr ....!!!!" tiba tiba pocong itu menggeram. Sontak kedua pemuda itu lari tungang langgang, tanpa memperdulikan motor yang tadi mereka bawa. Beberapa kali mereka jatuh bergulingan karena memang sudah setengah mabuk. Si pocongpun tertawa mengikik, mentertawakan kekonyolan kedua pemuda sial itu.
Keesokan paginya, mereka kembali untuk mengambil motor milik Mas Yudi. Dan siangnya, mereka kembali ke pasar untuk membeli salep kulit. Tengkuk mereka yang semalam diludahi pocong masih terasa gatal dan panas. Bahkan mulai bernanah.
Sampai sebulan kemudian, luka itu baru mengering. Itu juga karena mereka minta air yang telah didoakan oleh Pak Modin. Sejak saat itu, mereka tak berani lagi minum minum di gubuk itu.
***Cinta Ditolak Setan Bertindak***
Cinta ditolak, setan bertindak, mungkin pepatah itu pantas disematkan pada Mas Yatno. Sudah lama pemuda dari desa Kedhungsono itu menaruh hati pada Mbak Sum, salah satu kembang desa dari Kedhungjati. Namun sepertinya cintanya bertepuk sebelah tangan. Entah apa sebabnya, Mbak Sum tak pernah menanggapi segala bujuk rayu dari Mas Yatno.
Namun, sepertinya Mas Yatno ini bukanlah tipe orang yang mudah menyerah. Meski sudah beberapa kali ditolak, ia masih terus saja mengejar cinta Mbak Sum. Segala macam carapun ia coba, dan sepertinya satupun tak ada yang berhasil. Mbak Sum tetap teguh dengan pendiriannya.
Pernah suatu ketika, mungkin karena sudah putus asa, Mas Yatno sampai nekad mencuri celana dalam milik Mbak Sum yang sedang dijemur. Celana dalam itu dibawa ke tempat orang pintar. Niatnya sih, ia ingin menguna gunai Mbak Sum. Tapi niat buruknya itu gagal total.
Celana dalam yang telah dijampi jampi, secara diam diam dikembalikan ke tempat jemuran di rumah Mbak Sum, dengan tujuan agar celana dalam itu nantinya dikenakan oleh Mbak Sum dan jampi jampinya bekerja. Namun sialnya, celana dalam yang disangkutkan di tempat jemuran itu secara tak sengaja terbang terbawa angin dan jatuh ke dalam lumpur.
Mbak Sum yang tak sadar kalau sedang dijampi jampi, memungut celana dalam itu dan berniat untuk mencucinya di kali bersama sama dengan pakaian kotor yang lain. Saat sedang dicuci itulah, tanpa sengaja celana dalam itu hanyut tanpa disadari oleh Mbak Sum. Gagal sudah rencana Mas Yatno. Beberapa hari ia menunggu, berharap jampi jampi dari si orang pintar bekerja, nggak taunya tak ada reaksi sama sekali. Dalam hati ia memaki maki si orang pintar, dikiranya jampi jampinya nggak manjur. Padahal memang celana dalam yang dijampi jampi itu tak pernah sempat dipakai oleh Mbak Sum.
"Lagian, kenapa pakai datang ke orang pintar segala? Buang buang duit saja. Kalau cuma sekedar mendapatkan cintanya Si Sum, belajar saja sama aku," demikian celetuk salah satu teman Mas Yatno, saat Mas Yatno menceritakan kesialannya.
"Kamu bisa memikat cewek?" tanya Mas Yatno penasaran, sambil menuang anggur merah ke dalam gelas kecil. Ya, saat itu mereka sedang minum minum di poskamling. Kegiatan yang sering ia lakukan dengan teman temannya. Mungkin karena itu juga Mbak Sum tak mau menerima cinta Mas Yatno. Sudah jelek, pengangguran, suka mabuk pula. Perempuan mana yang mau sama laki laki semacam itu.
"Sekarang sudah nggak jaman lagi main pelet kalau mau mendapatkan cewek. Sudah kuno tuh," sahut sang teman lagi.
"Lalu, bagaimana caranya?" tanya Mas Yatno lagi.
"Kalau nggak bisa dengan cara halus, ya pakai cara kasar," jawab sang teman lagi.
"Maksusnya gimana? Ndak paham aku," lagi lagi Mas Yatno bertanya.
"Kamu hamili saja tuh Si Sum. Kalau sudah hamil, mau nggak mau kan dia harus dinikahkan sama kamu," sang teman menyahut sambil tergelak.
"Gila! Itu nyari mati namanya. Ya kalau dia mau dinikahkan sama aku, kalau enggak? Bisa bisa aku malah berurusan sama polisi. Masih bagus kalau cuma dilaporkan polisi. Kalau aku dikeroyok anak anak Kedhungjati, apa nggak mati konyol?!"
"Ah, kamu mikirnya kejauhan." kata sang teman lagi. "Coba kamu pikir, perempuan, kalau sudah hamil di luar nikah, pasti akan menanggung malu besar. Nggak mungkin lapor polisi, karena takut aibnya menyebar. Percaya deh, pasti akan minta pertanggungjawaban kamu."
"Iya juga ya," gumam Mas Yatno. "Tapi bagaimana caranya? Baru lihat aku saja ia sudah kabur, gimana cara menghamilinya?"
"Oalah, gobl*k kok dipelihara. Pikirmu kamu harus dekatin dia terus nanya 'kamu mau tak hamili nggak?' gitu? Yang ada kamu yang digampar pakai golok. Mikir dong No!"
"Lha terus gimana caranya?" Mas Yatno kembali bertanya dengan wajah bingung.
"Sini, tak kasih tau caranya," teman Mas Yatno mendekat lalu membisikkan sesuatu di telinga Mas Yatno. Mas Yatno tampak mengangguk angguk. Sepertinya ia mulai paham dengan apa yang dimaksud oleh temannya.
*****
Setelah obrolan di poskamling malam itu, selama beberapa hari Mas Yatno jadi sering mondar mandir di dekat kali Tegal Salahan. Bukan untuk memancing atau mencari ikan, tapi untuk mengintip Mbak Sum yang memang terbiasa mandi dan mencuci di kali itu. Sepertinya ia sudah terhasut oleh kata kata temannya. Namun, ia belum menemukan kesempatan yang benar benar pas.
Hingga pada suatu hari, kesempatan itupun tiba. Saat itu sore hari. Kebetulan cuaca agak mendung. Seperti biasa, Mbak Sum mandi di kali Tegal Salahan, tanpa menyadari kalau ada sepasang mata sedang mengawasinya. Sebenarnya, tempat khusus untuk mandi di kali itu agak tersembunyi, dikelilingi oleh tanaman perdu yang sengaja ditanam oleh warga setempat, agar orang yang sedang mandi tidak kelihatan dari jalan. Namun Mas Yatno sepertinya tak kekurangan akal, ia mencari tempat yang agak tinggi di ladang milik salah satu warga. Dari tempat itu, ia dengan leluasa bisa menyaksikan pemandangan yang membuat matanya tak sanggup untuk berkedip.
Nasib baikpun sepertinya kini berpihak pada Mas Yatno. Mendung di langit semakin tebal. Lalu hujan deras tiba tiba turun tanpa disangka sangka. Mbak Sum yang sedang mandi tentu saja kalang kabut. Bergegas ia berpakaian, lalu setengah berlari meninggalkan sungai. Tak ada waktu untuk berlari pulang, kecuali Mbak Sum mau basah kuyup kehujanan. Gadis itupun memilih untuk berteduh di gubuk yang ada di sawah milik Mbah Mo, tanpa menyadari bahwa bahaya sedang mengancamnya.
Mas Yatno yang melihat Mbak Sum berteduh di gubuk itu tentu saja kegirangan. Inilah kesempatan yang selama ini ia tunggu tunggu. Dengan setengah berlari, Mas Yatno mendatangi gubuk itu, dan nyelonong masuk begitu saja.
Mbak Sum terkejut. Mas Yatno menyeringai senang. Dengan buas diterkamnya tubuh Mbak Sum. Mbak Sum berteriak dan meronta. Namun apalah daya, sebagai seorang perempuan, ia kalah kuat dengan Mas Yatno. Jeritannyapun tak bisa menolongnya, karena segera lenyap di telan hujan.
"BAJ*NG*N KAMU YATNO!!!" maki Mbak Sum sambil terus meronta ronta, membuat Mas Yatno sedikit kesal. Dengan kasar ditamparnya Mbak Sum dengan sekuat tenaga, hingga gadis itu jatuh terkulai dan pingsan.
"Bagus!" batin Mas Yanto. Dengan pingsannya Mbak Sum, berarti ia bisa lebih mudah melaksanakan niat kotornya. Dengan terburu buru ia menanggalkan semua pakaiannya, lalu ditindihnya tubuh Mbak Sum yang telah tergolek pingsan. Nafsu bejatnya benar benar telah naik ke ubun ubun. Dengan nafas memburu, ia berusaha untuk menanggalkan pakaian Mbak Sum. Namun, baru juga satu kancing baju Mbak Sum yang berhasil ia buka, mata gadis itu terbuka, menatap tepat ke arah mata Mas Yatno, membuat Mas Yatno tercekat.
Bagaimana tidak, pandangan mata gadis itu bukanlah seperti tatapan orang yang ketakutan, tapi tatapan penuh dendam. Tajam dan menusuk. Bibir tipisnya mendesis, lalu menyeringai seram. Tangannya dengan cepat menyambar lengan Mas Yatno yang masih berada di depan dadanya, lalu memelintirnya dengan sekuat tenaga, membuat Mas Yatno terpelanting ke samping.
"Perempuan j*l*ng! Beraninya kamu .....!!!!"
"Tutup mulutmu baj*ng*n!" bentak Mbak Sum sambil bangkit berdiri.
"Kau...?!" Mas Yatno terkesiap. Suara itu, jelas bukan suara Mbak Sum. Ia kenal betul dengan suara Mbak Sum yang selalu terdengar lembut dan merdu. Sedang suara yang barusan ia dengar, terdengar sangat serak dan berat.
"Hahahaha....!!!!! Kenapa?! Kaget?! Aku sudah muak dengan laki laki yang tidak menghargai wanita sepertimu! Rasakan ini!!!"
"Bhug!!!"
"Arrrrggggghhhhh...!!!" suara bergedebug disambung dengan suara jerit Mas Yatno terdengar melengking saat Mbak Sum tiba tiba menendang pangkal paha Mas Yatno dengan sekuat tenaga.
"Hahahaha .....!!!! Mampus kau manusia laknat!" Mbak Sum tertawa tergelak, melihat Mas Yatno yang masih telanjang bulat itu berguling guling kesakitan sambil memegangi alat vitalnya.
"Arrrggghhh...!!!! Ampuuuuunnnn...!!!" teriak Mas Yatno parau.
"Hahaha ...!!! Ampun katamu?! Tak ada ampun untuk orang sepertimu!" Mbak Sum menyambar sebatang dahan kayu kering sebesar lengan yang tergeletak di lantai gubuk itu. "Sini, biar aku tumbuk 'burung'mu sampai hancur! Biar kau tak bisa macam macam lagi dengan perempuan!"
"Huaaaaaaaaaa......!!!!!!" tanpa memperdulikan derasnya hujan, tanpa memperdulikan tubuhnya yang masih telanjang, dan tanpa memperdulikan pangkal pahanya yang masih terasa ngilu bukan kepalang, Mas Yatno lari tunggang langgang menerobos derasnya hujan, diiringi suara tawa Mbak Sum yang melengking menakutkan.
*****
Malam harinya, orang tua Mbak Sum memanggil Pak Modin. Mereka cemas, karena semenjak pulang mandi dari kali Tegal Salahan, Mbak Sum jadi bertingkah aneh. Ia seperti tak mengenali keluarganya. Dan setiap melihat laki laki, ia mengamuk dan berusaha menyerangnya. Bahkan bapaknya sendiri nyaris menjadi sasaran amukannya.
Setelah dijampi jampi oleh Pak Modin, akhirnya diketahui kalau ternyata Mbak Sum kesurupan arwahnya Sari ( agan dan sista masih ingat dengan Sari kan?). Pantas saja, ia begitu benci saat melihat laki laki.
Dengan bantuan Pak Modin, akhirnya arwah Sari berhasil dikeluarkan dari tubuh Mbak Sum. Dan setelah Mbak Sum sadar, diberi minum dan ditenangkan, terkuak sudah apa yang sebenarnya dialami Mbak Sum di gubuk Mbah Mo sore tadi.
Desa Kedhungjati geger. Kakak laki laki Mbak Sum yang tidak terima dengan perbuatan Mas Yatno, segera mengumpulkan teman temannya dan melabrak ke desa Kedhungsono.
Namun siapa sangka, saat menemukan orang yang mereka cari, amarah mereka yang menggununh tiba tiba reda. Bagaimana tidak, orang yang ingin mereka labrak, nampak terkapar tak berdaya di atas tempat tidur dengan kondisi yang sangat mengenaskan. 'burung'nya membengkak sebesar buah terong.
Karma berlaku. Niat buruk Mas Yatno mendapat balasan yang setimpal. Semenjak kejadian itu, Mas Yatno tak berani lagi menampakkan wajahnya di depan Mbak Sum. Hanya kedua orang tuanya yang datang meminta maaf. Itu juga atas anjuran orang pintar yang mengobati Mas Yatno. Kata si orang pintar itu, Mas Yatno tidak akan bisa sembuh sebelum Mbak Sum memaafkannya.
Mbak Sum yang memang berhati lembut itu tak tega juga melihat penderitaan Mas Yatno. Meski masih menyimpat rasa sakit hati, iapun memaafkan perbuatan Mas Yatno. Dan ajaib, beberapa hari kemudian Mas Yatno benar benar sembuh. 'Burung'nya yang kemarin bengkak sebesar buah terong itu sudah kempes dan normal seperti sediakala.
***Duel Di Tegal Salahan***
Liburan sekolah, merupakan saat saat yang paling menyenangkan bagi kami. Setelah menjalani ulangan caturwulan selama seminggu, kami dapat jatah libur seminggu juga.
Aku dan teman teman berencana ingin mendaki ke gunung Asem yang letaknya di desa Kedhunggupit. Lumayan jauh sih dari desa kami, sekitar dua jam perjalanan kalau ditempuh dengan berjalan kaki. Tapi kami sudah sering main ke gunung ini. Dan perjalanan sejauh itu sudah biasa bagi kami. Meski lelah, tapi kesenangan yang kami dapatkan cukup untuk membayar rasa lelah itu.
Sebenarnya gunung Asem bukanlah sebuah gunung, melainkan hanya bukit kecil yang tingginya tak seberapa. Tapi orang orang sudah terbiasa menyebutnya gunung. Meski hanya sebuah bukit kecil, namun pemandangannya sangat indah. Dan untuk mendakinya tak terlalu sulit. Anak anak seumuran kami sudah biasa mendakinya sampai ke puncak.
Jam delapan pagi kamipun berangkat, dengan perbekalan seadanya. Dengan berjalan kaki, melewati desa demi desa, menuju ke arah selatan. Kami berlima waktu itu. Sambil berjalan kami tak henti hentinya bersendau gurau agar rasa lelah selama perjalanan tak begitu terasa.
Jam sepuluh, kami tiba di kaki bukit. Istirahat sebentar membeli es di sebuah warung kecil di kaki bukit itu. Pemilik warung itu rupanya sudah mengenali kami, karena memang sudah beberapa kali kami main ke bukit itu. Dan setiap kesana pasti singgah di warung itu.
Singkat cerita, kami mendaki dan sampai ke puncak. Di sini kami lumayan lama, menikmati pemandangan yang tak bisa kami lihat setiap hari. Bermain main dan bersendau gurau. Menjelajahi hutan pinus dan hutan kayu putih yang sangat lebat. Sesekali mengejar ngejar ayam hutan yang banyak berkeliaran di hutan ini.
Sampai sore menjelang, kamipun memutuskan untuk pulang. Dalam perjalanan pulang inilah masalah mulai timbul. Salah satu temanku yang bernama Dani sepertinya kecapekan. Dia memang jarang jalan sejauh ini, dan baru kali ini ikut ke gunung ini.
Mau nggak mau, kami harus sering sering beristirahat. Kasihan juga kalau Dani dipaksa untuk terus berjalan. Padahal hari sudah sore. Bisa dipastikan, kami akan kemalaman sampai di rumah nanti.
Benar saja, saat adzan maghrib berkumandang, kami baru sampai di desa Kedhungsono. Masih beberapa kilometer lagi untuk sampai di desa kami. Kamipun kembali beristirahat di sebuah poskamling. Sambil menunggu adzan maghrib selesai berkumandang.
Setelah dirasa cukup beristirahat, kamipun melanjutkan perjalanan. Kondisi Dani sudah sangat kepayahan. Sepertinya ia sudah benar benar kehabisan tenaga. Ia berjalan tertatih tatih di depanku. Sebenarnya aku merasa sangat kasihan melihat kondisi Dani ini. Tapi mau gimana lagi. Mau nggak mau kami harus terus berjalan untuk sampai dirumah.
Beberapa kali Dani juga mengeluh kalau ia merasa sangat berat berjalan, seperti ada yang membebani punggungnya. Tapi kami terus menyemangatinya. Itu mungkin hanya efek dari rasa lelah yang ia rasakan.
Sekitar jam tujuh malam, kami sampai di Tegal Salahan. Hari susah gelap. Apalagi kami sama sekali tak membawa alat penerangan. Tapi semangat kami mulai bangkit. Karena sebentar lagi kami sampai dirumah.
Dani masih berjalan terseok seok di depanku. Beberapa kali ia nyaris terjatuh karena jalanan memang gelap dan berbatu. Merasa tak tega, akhirnya aku berinisiatif untuk memapahnya.
Saat sampai di buk yang ada diantara turunan dan tanjakan jalan Salahan, langkah kami terhenti. Bukan untuk kembali beristirahat, tapi karena Dani tiba tiba bertingkah aneh. Aku yang sedang memapahnya, didorongnya dengan sekuat tenaga sampai nyaris terjatuh.
Teman temanku segera menolongku. Sementara Dani, ia melangkah maju beberapa tindak. Tidak terseok seok seperti tadi, tapi langkahnya terlihat sangat tegap dan gagah. Setelah maju beberapa langkah, Dani kembali berhenti, lalu tiba tiba tertawa keras. Tawa yang membuat kami merinding, karena suara tawa Dani bukanlah suara yang biasa kami dengar, tapi mirip seperti suara kakek kakek.
"Hahahaha ...!!! Berani beraninya kau menghadangku! MINGGIR! AKU MAU LEWAT!!!" bentak Dani dengan suaranya yang masih mirip suara kakek kakek.
Kamipun kembali kebingungan. Siapa yang dibentak Dani? Dan kenapa tiba tiba Dani berubah menjadi aneh begitu?
"Bukan aku yang berniat datang kemari! Tapi anak ini yang membawaku!" lagi lagi Dani berkata dengan suara kakek kakek.
"Wah, gimana ini? Sepertinya Dani kesurupan," bisik salah seorang temanku.
"Waduh! Terus gimana dong? Mana sudah malam lagi. Dan tempat ini kan ...." temanku yang lain tak berani melanjutkan ucapannya.
"Ya sudah, gini aja," aku menengahi. "Kamu Joko dan Parjo, kalian cepat ke desa, ke rumah Lik Sardi saja yang paling dekat, minta tolong sama dia. Bilang kalau Dani kesurupan disini. Biar aku dan Wawan yang mengawasi Dani disini."
Joko dan Parjopun segera bergegas lari ke arah desa. Sedang aku dan Wawan masih mengawasi Dani yang masih bertingkah aneh itu.
"Aku tak peduli! Dan aku tak takut padamu! Jika kau tak mau minggir, apa boleh buat! Aku yang akan memaksamu untuk minggir!" lagi lagi Dani berkata dengan suara yang masih mirip dengan suara kakek kakek. Kali ini ia berkata sambil menggeser kedua kakinya, juga tangannya yang mengepal seperti orang yang siap untuk berkelahi.
"Wan, minggir! Agak menjauh! Sepertinya Dani akan ...!" benar saja, belum sempat aku menyelesaikan ucapanku, tiba tiba Dani menggeram dan melompat ke depan. Ia menendang dan memukul ke segala arah, sesekli juga melompat dan bergulingan di jalanan berbatu itu.
Aku dan Wawan sedikit menjauh, takut terkena tendangan dan pukulan Dani yang membabibuta. Rasa takut dan cemas mulai menghantui kami berdua, melihat Dani yang terlihat semakin aneh. Ia seperti berkelahi dengan sesuatu yang tak terlihat. Dan sepertinya ia bukan di pihak yang akan memenangkan perkelahian itu.
Beberapa kali Dani terlempar dan terjatuh. Bahkan sempat terpental sampai beberapa meter dan terjerembab di jalanan berbatu itu. Tangan dan kakinya mulai nampak terluka terkena goresan batu batu jalanan yang tajam. Namun sepertinya ia tak mau menyerah, setiap terjatuh, ia akan langsung bangkit lagi dan kembali menyerang.
"Gawat nih! Bisa babak belur si Dani kalau tidak cepat cepat ditolong. Joko dan Parjo kemana sih? Lama banget mereka?!" kata Wawan geram.
"Sabar Wan, sebentar lagi juga mereka pasti datang kok. Kita tunggu saja." kataku mencoba menenangkan, meski dalam hati aku juga mencemaskan kondisi Dani. Tapi kami bisa apa? Untuk menolongnya jelas tak mungkin. Bisa bisa justru kami yang jadi sasaran amukan Dani.
"Kalau Dani keburu mati gimana?" ujar Wawan lagi.
"Hush! Jangan sembarangan kalau ngomong!" sentakku kesal.
Lama menunggu, akhirnya yang kami tunggu tunggupun tiba. Joko dan Parjo kembali bersama beberapa warga desa dan juga Pak Modin. Aku, Wawan, Parjo, dan Joko segera diantarkan pulang oleh salah seorang warga. Sedangkan Dani yang masih kesurupan segera ditangani oleh Pak Modin dengan dibantu oleh beberapa warga.
Keesokan harinya, barulah kami tahu cerita yang sebenarnya. Rupa rupanya, ada 'penghuni' gunung Asem yang mengikuti Dani, gara gara waktu itu Dani mengambil 'sesuatu' dari puncak gunung Asem dan bermaksud membawanya pulang.
Dan saat sampai di Tegal Salahan, para 'penghuni' Tegal Salahan yang mencium kehadiran makhluk lain yang bukan berasal dari wilayah itu segera menghadangnya. Mereka tidak terima wilayahnya dimasuki oleh makhluk dari wilayah lain. Akhirnya terjadilah pertarungan itu.
Beruntung Pak Modin bisa mengatasinya. Makhluk itu berhasil dipaksa kembali ke asalnya bersama 'sesuatu' yang dibawa oleh Dani. Dan Danipun akhirnya sadar dan dibawa pulang.
Saat aku tanyakan kepada Dani, apa sebenarnya 'sesuatu' yang ia bawa pulang dari puncak gunung Asem, jawabannya cukup membuatku terkejut. Karena yang dibawa Dani itu sebenarnya hanyalah sebutir batu kerikil.
Benar benar hanya sebutir kerikil. Dengan ukuran tak lebih dari ujung ibu jari tangan. Dani membawanya pulang karena menurutnya batu kerikil itu sangat bagus untuk dijadikan mata batu akik. Bapak Dani memang seorang penggemar batu akik. Dan Dani sebagai anaknya jadi paham betul seperti apa batu yang sekiranya bagus untuk dijadikan mata batu akik. Dani sama sekali tak mengira, kalau hanya karena sebuah batu kerikil, ia nyaris celaka.
*****
***Pageblug Di Desa Kedhungjati***
Adanya pandemi virus Corona ini, mengingatkanku pada cerita Bapakku dulu. Cerita tentang wabah muntaber yang pernah melanda desaku, yang sudah beberapa kali beliau ceritakan. Dan kali ini aku akan mencoba menceritakannya kembali di forum ini.
Kejadiannya sih sudah lama banget, sekitar tahun '60 atau '70-an gitu. Waktu itu Bapakku masih bujangan, dan keadaan negeri ini belumlah semakmur sekarang. Kondisi ekonomi dan keamanan saat itu sedang gonjang ganjing.
Banyak warga di desaku yang hidupnya sangat miskin. Maling, rampok, garong, begal, dan berbagai kejahatan lainnya merajalela waktu itu. Mungkin karena sangking susahnya mencari makan, sebagian orang sampai nekad melakukan segala cara untuk bertahan hidup.
Belum cukup dengan kemiskinan, warga juga masih diuji dengan kondisi politik yang waktu itu sedang panas panasnya. Orang saling hasut, saling fitnah, bahkan ada yang saling bunuh hanya gara gara berbeda pandangan politik.
Untuk meredam segala kemungkinan buruk yang bisa saja terjadi di desaku, ronda malampun digiatkan. Setiap warga laki laki yang sudah dewasa mendapat giliran ronda setiap malamnya, tanpa terkecuali. Setiap jalan di perbatasan desa dijaga. Setiap orang luar desa yang ingin masuk ke desaku, selalu diperiksa dengan ketat. Jika tak memiliki keperluan yang benar benar penting, jangan harap bisa masuk ke desaku di waktu malam hari.
Hingga suatu malam, Bapakku dapat giliran ronda. Bersama dengan beberapa warga yang lain, Bapak mendapat tugas berjaga di sebelah selatan desa, tepat diatas jalan turunan Tegal Salahan. Mereka siap siaga di tempat itu. Meski keadaan terlihat aman, tapi mereka tetap waspada.
Hingga saat menjelang tengah malam, mereka mendengar suara berderit derit dari arah utara. Merekapun segera bersiaga. Dari kejauhan nampak bayangan hitam yang mendekat ke arah mereka. Semakin dekat, bayangan itu semakin nampak jelas.
Sebuah gerobak kayu ditarik oleh seseorang yang berjalan terseok seok. Bunyi derit roda gerobak itu terdengar mendecit menusuk telinga, menandakan kalau isi gerobak itu sangatlah berat.
"Mandeg!!! (Berhenti!!!)" salah seorang teman Bapak mencegat orang yang menarik gerobak itu. Orang itupun berhenti. Wajahnya tak terlihat jelas, karena orang itu mengenakan pakaian serba hitam lengkap dengan tudung kepala yang juga berwarna hitam.
"Sampeyan sinten? Sangking pundi lan badhe tindak pundi? Niki grobak isine napa?" (sampeyan siapa? Darimana dan mau kemana? Ini gerobak isinya apa?) tanya teman Bapak sambil menyorotkan senternya kearah orang itu. Kini nampak wajah laki laki itu. Wajah yang asing, jelas bukan warga sekitar situ.
"Kula Diman Pak, saking dusun Tulak'an. Niki badhe ngeteraken iwak sapi teng kidul mriku," (saya Diman pak, dari dusun Tulak'an. Ini mau mengantarkan daging sapi ke selatan situ.) Orang itu menjawab sopan.
"Ampun ngapusi sampeyan! Kangge napa iwak sapi kok nganti sak grobak ngaten?" (jangan bohong sampeyan! Buat apa daging sapi kok sampai segerobak begini?) tanya teman Bapak lagi.
"Leres kok pak, kula mboten ngapusi. Niki iwak sapi, perlu kangge pasugatan tiyang gadhah damel. Mangga ta pun tingali piyambak menawi mboten pitados." (betul pak, saya tidak bohong. Ini daging sapi, mau buat hidangan orang hajatan. Silahkan dilihat kalau tidak percaya.) orang itu membuka kain goni yang menutupi bagian atas gerobak.
Bapak segera memeriksa isi gerobak itu. Memang benar, gerobak itu penuh berisi daging sapi. Pantas saja terlihat sangat berat. Namun aneh, ada bau busuk yang tercium dari daging daging itu, menandakan kalau daging itu sudah tak segar lagi.
"Iwak sapi tenan Dul, ning wis rada bosok ki, ambune bacin banget!" (beneran daging sapi Dul, tapi sudah agak busuk nih, bau banget!) seru Bapak pada temannya, sambil menjauh dari gerobak dan menutup hidungnya.
"Ngapunten Pak, coba sampeyan bares mawon! Niki iwak sapi bosok badhe kangge menapa?! Mokal yen tiyang gadhah damel kok mesen iwak sapi bosok ngaten! Tur malih, sinten sing mesen iwak sapi kok ngantos sak grobak! Senajan badhe gadhah damel, mokal nek mesen daging kok ngantos sak grobak ngaten!" (maaf Pak, coba jujur saja. Ini daging sapi busuk mau buat apa?! Mustahil orang mau punya hajat memesan daging sapi busuk begini! Lagipula, siapa yang memesan daging sapi sampai segerobak begini! Meski mau punya hajat, mustahil kalau memesan daging sampai segerobak begini!)
"Saestu pak, niki iwak sapi pun pesen kalian Kanjeng Ratu. Kanjeng ratu rak badhe mantu to, mula mesen iwak sapi sak grobak niki kangge pasugatan," (beneran Pak, ini daging sapi dipesan oleh Kanjeng Ratu. Kanjeng Ratu kan mau punya hajat mantu, makanya memesan daging sapi segerobak ini untuk hidangan.)
"Halah, tambah ngawur!" pak Dul, salah satu teman bapak yang terkenal nggak sabaran membentak. "Kanjeng Ratu tai kucing! Ngendi ana Kanjeng Ratu! Wes, didhudhah wae grobak"e! Iki paling mung akal akalane sampeyan to?! Ngaku wae, sampeyan mesti maling! Didhudhah wae isi grobak'e! Aja aja sakngisore iwak bosok kuwi isine barang nyalawadi!" (Kanjeng Ratu tai kucing! Mana ada Kanjeng Ratu! Sudah, dibongkar saja isi gerobaknya! Ini pasti cuma akal akalan sampeyan saja to? Ngaku saja! Sampeyan pasti maling! Dibongkar saja isi gerobaknya! Jangan jangan dibawah daging sapi busuk ini ada barang terlarang!)
"Lha mangga ta menawi mboten pitados. Menawi badhe didhudhah kula nggih mboten kawratan. Nanging sampeyan kedah enget, niki barang kagungane Kanjeng Ratu. Nek enten napa napane nggih sampeyan sangga piyambak." (Lha silahkan kalau tidak percaya. Kalau mau dibongkar saya juga tidak keberatan. Tapi sampeyan harus ingat, ini barang milik Kanjeng Ratu. Kalau ada apa apanya sampeyan tanggung sendiri.) Kini suara orang itu bernada sedikit mengancam, membuat Bapak dan teman temannya semakin curiga.
"Halah! Kakehan c*c*t! Ndadak nganggo ngancem barang! Mbok kira aku wedi po? Wes Ca, didhudhah wae isi grobak'e! Nek nganti isine barang colongan, aja takon dosa, tak kethok gulu sampeyan!" (Halah! Banyak bac*t! Pakai ngancam segala! Dikira aku takut apa? Sudah, dibongkar saja isi gerobaknya! Kalau sampai isinya barang curian, awas saja, kutebas batang lehermu!) tegas Pak Dul.
Bapak dan teman temanpun segera membongkar isi gerobak itu. Si penarik gerobak nampak tenang tenang saja, seolah tak merasa tersinggung sama sekali dengan tindakan bapak dan teman temannya. Hingga beberapa saat kemudian,
"Djanc*k!!! Ini kan ....?!" teriak bapak sambil melompat menjauh dari gerobak. Ditangannya tergenggam sepotong kaki. Bukan kaki sapi, melainkan kaki manusia. Bapak segera membuang benda menjijikkan itu.
"Hoeeeekkkk....!!!" Di sisi lain gerobak, salah satu teman bapak memuntahkan semua isi perutnya, setelah sebelumnya melempar sebuah kepala manusia yang sempat diambilnya dari dalam gerobak.
"Baj*ng*an!!!" Pak Dul yang melihat kejadian itu menjadi berang. Dicabutnya golok yang terselip di pinggangnya, lalu disertai teriakan keras, golok itu ditebaskan tepat ke leher si penarik gerobak.
"Prasssss....!!!!" sekali tebas, kepala si penarik gerobak itupun terpisah dari badannya, dan jatuh menggelinding ke tanah. Darah hitam berbau busuk menyembur dengan deras dari leher si penarik gerobak.
Namun aneh, bukannya ambruk, tubuh tanpa kepala itu justru memungut kepalanya yang jatuh, lalu memasangnya kembali di lehernya. Pak Dul tercekat. Ia sadar kini, bahwa yang dihadapinya bukanlah orang sembarangan. Atau justru bukan orang?
"Hahahaha ....!!!" begitu kepala itu berhasil menyatu kembali dengan tubuhnya, orang itu tertawa keras. ""Sampeyan keladuk wani ganggu gawe kajat'e Kanjeng Ratu! Titen'ana, sampeyan kabeh bakal ketaman pageblug!" (sampeyan terlalu berani mengganggu hajatnya Kanjeng Ratu! Awas saja, kalian semua bakal tertimpa malapetaka!)
"Blassssss ....!!!" setelah mengucapkan kata kata bernada ancaman itu, ia segera melesat cepat, menarik serta gerobak kayunya hingga dalam sekejap mata menghilang ditelan kegelapan.
"Dul, gawat Dul," seru orang yang tadi muntah muntah karena memegang kepala manusia. "Kenthongane dititir Dul."
Pak Dul segera memukul kenthongan tanda bahaya. Disusul suara kenthongan dari para peronda yang berjaga di perbatasan desa sebelah utara. Lalu disusul lagi dengan bunyi kenthongan dari berbagai penjuru, pertanda kalau semua warga telah bangun dan waspada. Sepertinya malam itu akan menjadi malam panjang dan mencekam di desa Kedhungjati.
*****
Suara kentongan dipukul terdengar bertalu talu dari setiap penjuru desa. Kentongan tanda bahaya di tengah malam buta, membuat hampir semua warga terbangun dan bersiaga. Para perempuan segera mengumpulkan anak anaknya dan disembunyikan di balik selimut. Sedang yang laki laki segera mengencangkan lilitan sarungnya, lalu bergegas keluar rumah dengan senjata tergenggam di tangan. Golok, arit, pacul, linggis, pentungan, dan apa saja yang bisa disambar untuk dijadikan senjata mereka bawa.
Pak Dul yang menjadi ketua ronda malam itu, segera mengumpulkan para warga, lalu memberi instruksi untuk menyebar ke seluruh penjuru desa. Manusia atau bukan, sosok penarik gerobak yang mencurigakan itu harus ditemukan.
"Ana apa Dul?" (ada apa Dul?) Pak Jagabaya yang baru datang bersama Pak Bayan segera bertanya pada Pak Dul.
"Ngapunten Pak, wonten pawongan nyalawadi nggeret grobak isi bathang menungsa,"(maaf Pak, ada orang mencurigakan membawa gerobak berisi bangkai manusia) jawab Pak Dul.
"Lha, terus dimana orangnya sekarang?" Pak Bayan ikut bertanya.
"Ngapunten Pak, saya gagal menangkapnya. Sepertinya bukan orang sembarangan Pak, atau bahkan mungkin bukan orang. Karena saya sempat menebas kepalanya sampai putus, tapi ...." Pak Dul tak melanjutkan kata katanya. Sulit menjelaskan kejadian aneh yang baru saja dialaminya kepada dua orang perangkat desa itu.
"Tapi kenapa? Ngomong yang jelas, jangan bertele tele," tegas Pak Jagabaya.
"Orang itu nggak mati Pak, justru ia mengambil dan memasang kembali kepalanya yang sudah putus dan menggelinding ke tanah." jawab Pak Dul setelah menelan ludah.
"Gobl*k!!!" bentak Pak Jagabaya. Perangkat desa yang bertanggungjawab atas keamanan desa itu memang terkenal galak dan keras. "Percuma kamu berguru kemana mana kalau menghadapi satu orang saja kamu nggak becus!"
"Nggih, ngapunten Pak. Kula ngaku salah. Tapi sepertinya orang itu bukan orang sembarangan. Atau justru bukan orang, tapi dhemit. Larinya cepat sekali Pak, meski sambil menarik gerobak yang berat" Pak Dul menjelaskan sambil menunduk, tak berani membalas tatapan tajam dari Pak Jagabaya.
"Ganti saja sarungmu itu sama daster kalau masih takut sama dhemit!" dengus Pak Jagabaya.
"Sudah, ndak perlu ribut ribut," Pak Bayan menengahi. "Dul, kemana perginya orang misterius itu?"
"Ke arah selatan Pak. Sepertinya dia menuju ke arah desa Kedhungsono," jawab Pak Dul.
"Ada informasi yang kau dapat dari orang itu?" tanya Pak Bayan lagi.
Pak Dul pun segera menceritakan semua kejadian yang dialamainya tadi. Tentang darimana dan mau kemana orang misterius itu, tentang Kanjeng Ratu yang katanya mau hajatan, sampai potongan kaki dan kepala manusia yang ditemukan di dalam gerobak. Semua diceritakan tanpa ditambah ataupun dikurangi.
"Hmmm, jadi seperti itu ya," Pak Bayan manggut manggut sambil mengelus elus janggutnya. "Bagaimana menurutmu, Jagabaya?"
"Pembuang mayat," desis Pak Jagabaya. "Saya yakin itu orang yang mau membuang mayat Pak. Mungkin sisa sisa dari tragedi bulan lalu itu."
"Kamu yakin?" tanya Pak Bayan lagi.
"Itu baru dugaan saya Pak," jawab Pak Jagabaya. "Tapi itu lebih masuk akal daripada segala macam dhemit atau Kanjeng Ratu yang diceritakan oleh Dul tadi."
"Ya sudah kalau begitu, Dul, kamu lanjutkan pencarian malam ini. Tapi hati hati, jangan sampai jatuh korban dari warga kita, mengingat orang itu sepertinya berbahaya. Dan kamu Jagabaya, pergi ke desa Kedhungsono, temui Bayan Sarman. Ceritakan kejadian ini dan minta supaya dia lebih waspada, mengingat orang itu sepertinya menuju ke arah sana. Aku sendiri akan ke desa Tulak'an, mencari tahu soal orang yang bernama Diman itu."
Serentak mereka bubar, melaksanakan tugas dari Pak Bayan. Pak Dul melanjutkan pencarian sampai pagi menjelang, dan hasilnya bisa ditebak. Nihil. Orang yang mereka cari tak menampakkan batang hidungnya.
*****
Pak Bayan sendiri segera mengayuh sepeda ontelnya menuju ke arah utara, menuju ke dusun Tulak'an. Bukan hal mudah untuk masuk ke desa lain di waktu malam seperti itu, meskipun ia seorang Bayan. Ia harus melewati pemeriksaan yang ketat dari petugas ronda saat memasuki desa Tarumas.
Lolos dari desa Tarumas, Pak Bayan menyeberangi jalan raya, lalu menanjak menuju ke desa Tulak'an. Dan benar saja, baru beberapa langkah ia meninggalkan jalan raya, beberapa orang petugas ronda mencegatnya.
"Sinten nggih?! Sangking pundi lan badhe tindak pundi?!" (Siapa?! Darimana dan mau kemana?!) setengah membentak salah seorang peronda itu mengarahkan senternya ke arah Pak Bayan.
"Bayan Mangun, sangking Kedhungjati," Pak Bayan menjawab sambil melompat turun dari sepedanya.
"Oh, Pak Bayan Kedhungjati to? Badhe tindak pundi Pak dalu dalu ngaten?" nada bicara orang itu berubah menjadi sangat ramah. Sepertinya ia kenal dengan Pak Bayan.
"Lho, Jagabaya Tulak'an to?" Pak Bayan yang juga mengenali orang itu malah balik bertanya.
"Nggih Pak," jawab orang itu. "Ngapunten kalau sambutan kami kurang ramah, maklum, desa kami sedang dilanda musibah Pak. Jadi kami harus lebih waspada lagi."
"Ah, iya. Ndak papa kok. Saya paham," sahut Pak Bayan. "Bisa saya bertemu dengan Bayan kalian? Ada hal penting dan mendesak yang harus saya bicarakan dengan beliau, malam ini juga."
"Ngapunten Pak, bukannya ndak boleh, tapi .....," Jagabaya desa Tulak'an itu diam sejenak, lalu, "Ah, sebaiknya kita bicara di poskamling saja, kebetulan masih ada sisa ubi rebus dan juga kopi. Mari Pak."
Meski kurang puas dengan jawaban Jagabaya itu, namun toh Pak Bayan mengikuti juga langkah laki laki itu menuju ke poskamling. Pak Bayan sadar, meski kedudukannya lebih tinggi daripada Jagabaya, tapi disini posisinya adalah sebagai seorang tamu.
"Silahkan Pak," Jagabaya desa Tulak'an itu mempersialahkan Pak Bayan sambil sibuk menyeduh kopi. Pak Bayanpun duduk di tikar yang digelar di poskamling itu.
"Jadi begini Pak," Jagabaya melanjutkan ucapannya setelah selesai menghidangkan secangkir kopi dan sepiring kaleng ubi rebus di hadapan Pak Bayan. "Bukan maksud kami untuk menghalang halangi niat Pak Bayan. Kami tau, niat Pak Bayan pasti baik. Tapi kami mohon pengertian Pak Bayan. Desa kami sedang dilanda musibah, jadi dengan sangat berat hati, kami belum bisa mengizinkan Pak Bayan untuk menemui Pak Kardi, Bayan kami."
"Sebentar," Pak Bayan menyela, "sebenarnya apa yang terjadi di desa kalian, sampai sampai untuk menemui Bayan kalianpun aku tak diizinkan?"
"Pageblug Pak," Jagabaya menjawab sambil menghela nafas panjang. "Desa kami seperti terkena pageblug. Dalam sehari ini tadi, sudah lima orang warga kami yang meninggal."
"Tunggu," lagi lagi Pak Bayan menyela. "Pageblug apa yang kamu maksud, Jagabaya? Apakah ada serangan lagi seperti bulan yang lalu? Lalu, kenapa tidak ada kabar yang sampai ke desa Kedhungjati kalau benar ada serangan?"
"Bukan Pak, ini tidak ada hubungannya dengan peristiwa sebulan yang lalu itu. Tapi desa kami diserang penyakit Pak. Dan maaf, kami terlalu panik, sampai sampai tidak sempat memberi kabar ke desa desa yang lain."
"Penyakit? Penyakit macam apa yang sampai bisa merenggut nyawa lima orang dalam sehari?"
"Saya juga belum tahu Pak. Muntah muntah dan berak berak yang diderita warga, dan hanya dalam hitungan jam, orang yang sakit itu meninggal. Ada yang bilang ini penyakit kiriman, semacam teluh atau kutukan."
"Aneh," gumam Pak Bayan. "Jagabaya, sepertinya bisa tidak bisa aku harus bertemu dengan Bayanmu, karena apa yang akan aku sampaikan ini, mungkin ada hubungannya dengan pageblug yang sedang menimpa desamu ini."
"Mohon maaf Pak, tapi ...."
"Tapi apalagi? Kamu ndak percaya sama aku?"
"Bukan begitu Pak,tapi Pak Bayan Kardi termasuk dari lima orang korban itu."
"Jadi ....?'
"Ya, Pak Bayan Kardi telah meninggal siang tadi."
"Innalillahi.....!!!!" Pak Bayan menyandarkan punggungnya pada dinding poskamling. Pupus sudah keinginannya untuk bertemu dengan Bayan Tulak'an.
"Lalu, siapa sekarang yang bertanggungjawab di desa ini?" tanya Pak Bayan lagi setelah terdiam sejenak.
"Untuk sementara saya yang bertanggungjawab Pak, karena Pak Carik juga tak luput dari serangan penyakit aneh tersebut." jawab Jagabaya Tulak'an.
"Ya sudah kalau begitu. Karena kamu yang sekarang bertanggungjawab di desa ini, ada satu hal yang ingin aku tanyakan padamu. Apakah di desa ini ada warganya yang bernama Diman?"
Bagai tersengat kalajengking Jagabaya Tulak'an mendengar nama itu. "Jadi orang misterius itu juga sampai di desa Kedhungjadi Pak?"
"Aku bertanya sama kamu, kenapa kamu justru balik bertanya begitu?" tanya Pak Bayan heran.
Jagabaya Tulak'an lalu menceritakan kejadian yang ia alami malam sebelumnya. Kejadian yang sama seperti yang dialami oleh Pak Dul beberapa jam yang lalu. Orang misterius yang menarik gerobak berisi daging busuk, yang mengaku bernama dan berasal dari desa Sambi, desa yang terletak di sebelah utara desa Tulak'an. Dan kemarin desa Sambi juga diserang penyakit aneh, sama dengan penyakit yang menyerang warga desa Tulak'an.
"Waduh, gawat ini berarti. Jangan jangan nanti penyakit aneh ini juga akan melanda desaku," seru Pak Bayan cemas.
Dan belum sempat Jagabaya Tulak'an menanggapi ucapan Pak Bayan, nampak seorang laki laki berlari menghampiri mereka.
"Ketiwasan Pak Jagabaya, Pak .... Carik .... tilar ndonya!"
*****
Bagai dikejar anjing, Pak Bayan Mangun mengayuh sepedanya secepat yang ia bisa, kembali menuju ke arah desanya. Kabar yang diterimanya dari Jagabaya desa Tulak'an benar benar membuatnya khawatir.
Namun saat sampai di pertengahan desa Tarumas, laju sepesanya terhenti. Dari arah yang berlawanan, segerombolan orang nampak nerjalan tergesa menuju ke arahnya. Mau nggak mau Pak Bayan turun dan menepikan sepedanya.
"Ada apa ini, kok malam malam pada rame rame?" tanya Pak Bayan begitu rombongan orang itu melewatinya.
"Lho, Pak Bayan Kedhungjati rupanya," jawab salah seorang dari mereka. "Anu Pak, ada orang meninggal."
"Innalillahi!!! Siapa yang meninggal?" perasaan Pak Bayan mulai tak enak mendengar ada orang meninggal.
"Si anu, si anu, dan si anu Pak." jawab orang itu lagi.
"Tiga orang?"
"Iya Pak, dalam semalam ada tiga orang yang meninggal. Mangkanya kami buru buru. Permisi Pak," orang itu bergegas melanjutkan langkahnya. Padahal masih ada pertanyaan yang ingin Pak Bayan ajukan.
Akhirnya Pak Bayan berbalik arah dan mengikuti rombongan itu. Ia ingin tahu, ada cerita apa dibalik meninggalnya orang orang yang sepertinya meninggal dengan cara yang tak wajar.
*****
Hari hampir pagi saat Pak Bayan meninggalkan desa Tarumas. Dengan wajah kuyu ia menuntun sepedanya. Pikiran yang kalut, ditambah rasa kantuk yang menyerang karena semalaman tak tidur sama sekali, membuatnya tak bisa berpikir jernih.
Dugaannya ternyata benar. Tiga orang warga Tarumas yang meninggal, mengalami gejala yang sama dengan orang orang yang meninggal di desa Tulak'an. Bukan tidak mungkin jika selanjutnya warga desanya juga akan mengalami hal yang sama.
Berjalan sambil melamun, membuat konsentrasi Pak Bayan sedikit terpecah. Saat memasuki perbatasan desa, nyaris ia menginjak sesuatu yang merayap menyeberang jalan. Beruntung ia sigap menahan langkahnya. Jika tidak, maka selangkah lagi ia berjalan, ia akan menginjak seekor ular sebesar lengan yang melata menyeberang jalan.
Pak Bayan tercekat, saat ular itu juga berhenti merayap dan menegakkan kepalanya. Mata tua Pak Bayan masih bisa melihat dengan jelas. Mata ular yang berwarna merah menyala itu menatap tepat ke arahnya, seolah olah sedang mengancamnya.
Pak Bayan hanya berdiri mematung, tak berani bergerak sama sekali. Hanya mata tuanya yang memperhatikan sosok ular yang ada di depannya itu. Jelas itu bukan ular biasa. Ada semacam mahkota kecil berwarna keemasan yang bertengger di atas kepalanya.
"Astaghfirullah, pertanda buruk apalagi ini!" desis Pak Bayan saat ular itu kembali menurunkan kepalanya dan merayap untuk akhirnya menghilang di semak semak pagar rumah warga.
"Ah, Pak Bayan, syukurlah kita bertemu disini. Saya baru saja hendak menyusul Pak Bayan ke desa Tulak'an," sebuah suara mengejutkan Pak Bayan. Entah darimana datangnya, tiba tiba saja Pak Jagabaya telah berdiri di hadapannya.
"Ada apa Jagabaya?" tanya Pak Bayan setelah menguasai rasa terkejutnya.
"Anu Pak, ada berita duka. Anaknya sulung Pak Sarno meninggal," jawab Pak Jagabaya.
"Innalillahi!!! Cobaan apalagi ini." Pak Bayan mengelus dadanya. Apa yang ia khawatirkan akhirnya terjadi juga. "Ya sudah, kita langsung kesana saja. Nih, kamu yang bawa sepedanya. Aku tak mbonceng saja. Sudah lelah aku berjalan semalaman."
*****
Suara tangisan mengiringi suara lantunan ayat ayat suci terdengar bersahutan dari arah rumah Pak Sarno. Suasana duka benar benar sangat terasa. Anak yang kemarin masih tampak sehat dan bugar, tiba tiba meninggal hanya karena sakit mencret dan muntah muntah.
Orang orang nampak sibuk mempersiapkan upacara pemakaman. Jenazah sudah dimandikan dan dikafani. Beberapa orang juga sudah diutus untuk menggali liang lahat di pemakaman desa. Beberapa perempuan sibuk menenangkan Mbok Sarno yang masih histeris menangisi kepergian sang anak.
Di sudut ruangan, Pak Bayan nampak serius berdiskusi dengan beberapa orang yang semalam bertugas ronda. Rasa lelah dan kantuk sepertinya sudah tak dirasakannya lagi. Keselamatan warganya lebih penting untuk saat ini.
"Ini mungkin baru permulaan. Tapi mudah mudahan hal seperti ini tak terjadi lagi. Kejadian ini juga terjadi di desa Tulak'an dan Tarumas. Bahkan di desa Tulak'an sudah lima eh, enam orang, termasuk Bayan dan cariknya, yang meninggal dengan gejala seperti ini. Mencret dan muntah muntah sebelum meninggal. Di desa Tarumas, tiga orang meninggal dalam semalam, juga dengan penyebab yang sama. Kini, desa kita juga sepertinya akan mengalami hal yang sama. Untuk itu, kita harus melakukan tindakan tindakan pencegahan. Jangan sampai waega kita juga menjadi korban. Selepas ini, saya akan langsung ke kecamatan, melaporkan kejadian ini pada pak Camat. Siapa tau beliau bisa membantu. Paling tidak mendatangkan dokter atau mantri untuk mengetahui apa sebenarnya penyakit yang menimpa orang orang ini. Kamu Jagabaya, tolong urus proses pemakaman sampai dengan selesai." tegas Pak Bayan.
"Anu Pak Bayan, apa tidak sebaiknya kita juga menemui Mbah Kendhil? Saya yakin, ini bukan penyakit biasa, yang mungkin ndak akan bisa disembuhkan oleh mantri dan dokter. Mengingat kejadian semalam, ancaman penarik gerobak misterius itu mungkin ada hubungannya dengan kejadian ini." Pak Dul memberi usul.
"Begitu juga bagus," kata Pak Bayan. "Semakin banyak usaha yang kita lakukan, akan semakin baik. Dul, kamu ajak teman, setelah acara pemakaman nanti, temui Mbah Kendhil!"
"Baik Pak," jawab Pak Dul.
"Anu Pak, boleh saya bertanya?" Pak Marto, orang yang semalam mendapat apes memegang kepala manusia di gerobak misterius itu, dengan sedikit ragu bertanya.
"Ya, mau nanya apa?"
"Emmmm, anu Pak, tadi Pak Bayan bilang kalau Bayan Tulak'an juga meninggal. Apa Pak Bayan sempat melihat jenazahnya?" tanya Pak Marto lagi.
"Ya, saya sempat melihat dan mendoakannya. Kenapa memangnya?" tanya Pak Bayan heran.
"Emmmm, anu Pak, apakah ..., apakah jenazah Pak Bayan Tulak'an itu ...., masih ada kepalanya?"
"Plaaaakkkk ....!!!!" tamparan keras Pak Jagabaya mendarat tepat di bagian belakang kepala Pak Marto. "Bodoh! Apa maksudmu bertanya seperti itu?!" sentak Pak Jagabaya.
"Anu Pak, sebenarnya ...., kepala yang saya ambil dari gerobak orang misterius semalam itu adalah kepala Pak Bayan Tulak'an. Saya kenal betul wajahnya." jawab Pak Marto sambil mengelus elus kepalanya yang barusan kena tampar.
"Ah, mungkin kamu salah lihat. Saya dengan jelas melihat kalau jenazah Bayan Tulak'an masih utuh, lengkap dengan kepalanya. Jadi kalian ndak usah mikir yang macam macam." Kata Pak Bayan mencoba menenangkan warganya itu. Meski dalam hatinya sendiri saat itu jauh dari kata tenang. Ia tau betul siapa Pak Marto, orang paling jujur di desa Kedhungjati. Apa yang Pak Marto katakan, pasti benar adanya, meski ia semalam juga melihat kalau kepala Bayan Tulak'an masih menempel di tempatnya.
"Ya sudah kalau begitu, Jagabaya, kamu urus semua yang disini, aku tak ke kecamatan dulu, mumpung ....." ucapan Pak Bayan terhenti saat tiba tiba terdengar suara jeritan perempuan dari rumah sebelah.
"Toloooooonnnnnggggg......!!!! Tolooooonnnngggg.....!!!! Anakkuuuuuu matiiiiiii......!!!!"
*****
Ada yang berbeda dengan pemakaman desa Kedhungjati di siang itu. Pemakaman di ujung desa yang biasanya sepi itu, kini nampak dipenuhi oleh manusia. Meski begitu, suasana tetap terasa sunyi. Tak ada seorangpun yang berani mengeluarkan suara. Semua diam. Hanya alunan doa yang dipanjatkan oleh Pak Bayan yang terdengar mengalun syahdu, menambah suasana menjadi semakin pilu.
Dua orang anak desa Kedhungjati dimakamkan bersamaan di hari itu, dalam liang lahat yang bersebelahan. Tangisan duka dari keluarga si mati sesekali masih terdengar, seolah tak merelakan kepergian anak anak mereka yang begitu mendadak. Pun dengan warga desa yang lain, suasana duka juga tergambar jelas di wajah wajah mereka. Wajah berduka bercampur rasa cemas, mengingat desas desus yang telah beredar tentang kejadian misterius yang juga terjadi di desa desa yang lain. Kejadian yang bukan tak mungkin akan menimpa mereka juga.
Jenazah telah selesai dikuburkan. Bungapun telah ditabur diatas gundukan tanah merah yang masih basah itu. Doa doa juga telah selesai dipanjatkan. Warga bubar, pulang ke rumah mereka masing masing. Meninggalkan dua orang anak manusia yang kini telah terbaring sendirian di dalam liang lahat. Suasana pemakaman kembali menjadi sunyi dan senyap. Hanya tinggal beberapa orang yang masih tinggal, Pak Bayan dan beberapa orang yang sengaja menunggu perintah dari laki laki pemimpin desa Kedhungjati itu.
"Saya akan langsung ke Kecamatan. Kalian masih ingat dengan tugas yang saya berikan tadi bukan?" kata Pak Bayan singkat. Orang orang itu mengangguk mengiyakan.
"Bagus. Segera laksanakan. Semakin cepat semakin baik," kata Pak Bayan lagi.
Merekapun bubar. Pak Bayan mengayuh sepeda onthelnya menuju ke arah kecamatan. Pak Jagabaya kembali ke desa untuk membantu keluarga yang berduka untuk membantu mempersiapkan pengajian nanti malam. Sedangkan Pak Dul mengajak bapakku dan Pak Marto menuju ke Tegal Salahan, dimana rumah Mbah Kendhil berada.
"Sial! Kenapa juga aku yang ketiban sial." gerutu Pak Dul sambil berjalan.
"Sudah, ndak usah menggerutu. Ini semua kan demi kepentingan desa." sahut bapakku.
"Betul itu," Pak Marto menyahut. "Lagipula kan kamu yang mengusulkan pada Pak Bayan untuk minta bantuan pada Mbah Kendhil."
"Iya sih, tapi kan nggak harus aku juga yang disuruh kesana, masih banyak warga yang lain yang bisa disuruh,"
"Hahaha ..., kamu takut ya?" Pak Marto terkekeh.
"Siapa juga yang nggak takut kalau bertemu kakek aneh itu. Jangankan datang kerumahnya, ketemu di jalan saja orang langsung menyingkir."
"Aku juga heran lho, kenapa orang begitu takut sama Mbah Kendhil itu. Padahal setahuku dia itu ndak pernah jahat sama warga desa." kata bapakku.
"Kamu nggak tau sih Min, aku yang menyaksikan dengan mata kepalaku sendiri, saat gegeran bulan kemarin. Mbah Kendhil kan termasuk orang yang dicurigai. Dan kamu tau apa yang terjadi saat dia mau dieksekusi? Nggak ada yang sanggup membunuhnya. Ditembak aparat cuma ngakak ngakak, dibacok warga cuma manthuk manthuk, bahkan peluru yang ditembakkan ke tubuhnya cuma mental dan jatuh ke tanah. Peluru itu lalu dipungutnya, lalu dikunyah dan di telan. Kan gila itu namanya. Ia juga menantang orang orang yang ingin mengeksekusinya, dia bilang, 'kalian harus menjadi Tuhan dulu untuk bisa membunuhku,' begitu dia bilang. Kan gila itu namanya. Padahal saat itu dia sudah dikepung aparat bersenjata lho." kata Pak Dul panjang lebar.
"Wah, serem juga ya. Berarti ilmu Mbah Kendhil ini sangat tinggi ya," kata bapakku takjub.
"Denger denger sih begitu. Dia sudah banyak berguru kemana mana, juga sering bertapa di tempat tempat yang wingit. Jadi tak heran kalau ilmunya tinggi. Saat jaman belanda dulu, orang orang belanda sampai dibuat kalang kabut kalau sudah berhadapan dengan Mbah Kendhil." Pak Marto ikut menimpali.
"Kenapa kamu nggak berguru saja sama Mbah Kendhil Dul? Kamu kan suka nyari ilmu ilmu begitu?" tanya bapak.
"Halah, ra sudi aku! dibayarpun aku ndak bakalan mau. Ilmunya ilmu hitam Min, ilmu setan. Punya ilmu begitu, sama saja kita berkawan dengan setan. Nanti kalau mati juga kita akan menjadi setan."
"Hahaha ...," kembali Pak Marto tergelak. "Ternyata kamu masih takut ya sama setan."
"Halah, kayak kamu nggak takut saja. Semalam siapa coba yang hampir ngompol gara gara megang potongan kepala manusia?!" sungut Pak Dul, disambut dengan tawa mereka bertiga.
Asyik berjalan sambil ngobrol, membuat mereka tak sadar kalau sudah tiba di dekat rumah Mbah Kendhil. Rumah yang terpisah jauh dari rumah warga desa yang lain. Terletak di area Tegal Salahan yang terkenal angker, menambah aura mistis semakin terasa di rumah itu.
"Buruan Dul, kamu temui Mbah Kendhil, biar kami menunggu disini saja," kata bapakku setengah berbisik.
"Lho, kok aku sih? Kita bertiga dong! Masa aku sendirian?" protes Pak Dul.
"Kan kamu yang disuruh sama Pak Bayan, kita kan cuma menemani," kata Pak Marto.
"Ya ndak bisa gitu dong. Ndak adil itu namanya. Kita kesini kan bertiga, harusnya masuk ke rumah Mbah Kendhil juga harus bertiga." kata Pak Dul.
"Ndak ah, aku takut," kata Pak Marto.
"Aku juga takut," kata bapakku.
"Yah, jadi percuma dong aku ngajak kalian," gerutu Pak Dul.
"Kamu juga takut Dul?" tanya bapakku sengaja memanas manasi.
"Bukannya takut, tapi ...."
"Alah, bilang saja kalau kamu juga takut."
"Wedhus!" umpat Pak Dul. "Siapa juga yang takut. Aku ndak takut. Cuma nggak adil saja kalau aku masuk sendirian dan kalian nunggu disini."
"Ya sudah, biar adil kita hom pim pah saja yuk, yang kalah nanti yang masuk ke rumah Mbah Kendhil," usul Pak Marto. Usul yang sangat konyol sebenarnya, tapi bapakku dan Pak Dul toh menyetujuinya juga.
Mereka hom pim pah, dan lagi lagi yang ketiban sial adalah Pak Dul. Ia kalah hom pim pah, dan dengan sangat terpaksa ia mulai melangkah memasuki halaman rumah Mbah Kendhil yang terlihat tak terurus dipenuhi rerumputan liar. Baru beberapa langkah Pak Dul berjalan, tiba tiba ....
"Mau apa kalian datang kemari?!"
*****
"Mau apa kalian datang kemari?!" sebuah suara serak menggelegar mengejutkan Pak Dul, hingga langkahnya kembali surut ke belakang. Dari arah kebun samping rumah muncul sosok kakek tua berpakaian komprang compang camping dan bertelanjang kaki. Dialah Mbah Kendhil.
"Anu mbah, mau nyolong ..., eh, tolong ..., eh, maksudnya ....!"
"Ngomong yang jelas! Jangan gagap seperti maling konangan!" bentak Mbah Kendhil sambil menggebrak dinding rumahnya yang terbuat dari papan.
"Engggg ..., nganu Mbah, kami diutus Pak Bayan untuk menemui simbah. Desa kita lagi kena pageblug Mbah, jadi sudilah kiranya simbah membantu kami untuk ...."
"Hehehe ....," Mbah Kendhil terkekeh memotong ucapan Pak Dul. "Apa ndak salah kalian minta tolong sama orang yang menganut ilmu hitam, yang berteman dengan setan dan kalau mati akan menjadi setan?!"
"Sial, sepertinya dia mendengar percakapan kita tadi," bisik bapakku pada Pak Dul.
"Jangan berbisik bisik di depanku!" bentak Mbah Kendhil lagi. "Ndak sopan! Bilang sama Bayan kalian itu. Aku ndak mau bantu! Wegah! 'Ra sudi! Kalian dulu membenciku. Menuduhku orang yang ndak kenal Tuhan. Bahkan kalian berniat untuk membunuhku. Lha kok sekarang enak banget minta bantuan padaku saat kalian kesusahan. Aku ndak mau! 'ra sudi! Biarkan saja kalian semua mati dimakan dhemit!" laki laki tua itu mengoceh panjang pendek sambil masuk le dalam rumah dan membanting pintu. Pak Dul, bapakku, dan Pak Marto saling pandang sejenak.
"Bagaimana ini? Kita ndak mungkin pulang dengan tangan kosong. Bisa habis di damprat Pak Jagabaya nanti kalau kita sampai gagal," kata Pak Marto setengah berbisik.
Pak Dul pelan pelan melangkah mendekat pintu rumah Mbah Kendhil, lalu mengetuknya pelan pelan. "Mbah, boleh saya masuk?"
"Enyah kalian dari pekarangan rumahku!" bentakan Mbah Kendhil terdengar dari dalam rumah.
"Tapi Mbah ...,"
"Braaakkkkk ....!!! Pergi! Atau kalian akan kucincang dan kujadikan makanan buat anjing anjing peliharaanku!" bentak Mbah Kendhil lagi sambil menggebrak dinding papan rumahnya.
Pak Dulpun akhirnya berbalik dan menghampiri bapakku dan Pak Marto. Ia menggeleng lemah, seolah ingin mengatakan bahwa tak ada gunanya lagi membujuk laki laki tua itu. Akhirnya mereka bertigapun kembali pulang dengan tangan hampa.
Sampai di desa, mereka kembali dibuat terkejut saat menyaksikan kegaduhan di salah satu rumah warga. Sepertinya ada salah seorang warga lagi yang meninggal. Dan itu berarti mereka harus menyiapkan upacara pemakaman lagi. Pak Dul cs hanya bisa menghela nafas panjang. Rupanya mereka belum juga diberi kesempatan untuk beristirahat barang sejenak.
*****
Malam harinya, suasana desa terlihat lebih mencekam dari biasanya. Selesai pembacaan doa di rumah orang orang yang siang tadi meninggal, orang orang lebih memilih untuk segera pulang untuk menjaga keluarga mereka masing masing. Mereka takut musibah atau pageblug itu juga akan menimpa keluarga mereka.
Demikian juga dengan Pak Dul. Setelah semalam begadang ronda malam dan siangnya hilir midik kesana kemari membantu proses pemakaman, kini waktunya dia untuk beristirahat. Dengan langkah gontai ia berjalan menuju le arah rumahnya bersama bapakku. Rumah kami memang bersebelahan.
"Huaaaaaeeemmmmm ....!!! Ngantuk berat aku Min, sejak semalam sedetikpun aku belum sempat istirahat sama sekali," kata Pak Dul sambil menguap lebar.
"Lha sama to, sejak semalam sampai seharian tadi kan kita selalu bersama sama. Badanku sampai pegal pegal semua, kayak habis digebukin orang sekampung, " sahut bapak sambil meliuk liukkan badannya.
"Iya. Tapi beruntung kita tadi ndak sampai didamprat Pak Jagabaya gara gara kita gagal menemui Mbah Kendhil," kata Pak Dul lagi.
Belum sempat mungkin. Seharian tadi kan dia sibuk mengurus pemakaman. Mungkin besok baru dia akan mendamprat kita," sahut bapak.
"Haha, mudah mudahan besok kita ndak sampai ketemu sama Pak Jagabaya ya."
"Hehe, kamu takut juga ya kena damprat sama dia."
"Siapa yang ndak takut, orang dia galak begitu. Kalau marah sudah kayak macan kelaparan."
"Ya begitulah Pak Jagabaya. Mungkin karena sifatnya itu makannya dia dipilih untuk menjadi Jagabaya. Eh, ngomong ngomong besok ada pertemuan di rumah Pak Bayan ya?"
"Iya, tadi kan Pak Bayan sudah bilang, besok akan ada petugas kesehatan dari kecamatan yang akan memberi penyuluhan, sekalian memeriksa para warga yang sakit. Jadi semua warga besok diminta untuk datang ke rumah Pak Bayan."
"Wah, bakalan sibuk lagi dong kita besok."
"Ya mau gimana lagi. Padahal kita kan bukan perangkat desa ya, tapi kalau ada apa apa, selalu saja kita yang disuruh suruh."
"Iya, aku juga heran Dul, kan masih banyak warga yang lain, tapi selalu saja kita yang kena tunjuk kalau ada apa apa."
"Ikhlas saja Min, toh semua itu kan demi kepentingan desa. Siapa tau suatu saat nanti, karena jasa jasa kita, kita bisa diangkat jadi pamong desa."
"Haha, itu bukan ikhlas Dul namanya, ikhlas kok pakai mengharap diangkat jadi pamong desa begitu."
"Ya nggak ada salahnya toh kita berharap. Toh ...., eh, tunggu sebentar Min," Pak Dul menghentikan langkahnya, lalu sedikit mengendap di dekat semak semak pagar.
"Ada apa Dul?" bisik bapak sambil ikut menunduk di samping semak semak.
"Coba kau lihat itu, di samping rumah Kang Nardi," bisik Pak Dul sambil menunjuk ke arah rumah yang ada di depan mereka. Nampak sekelebat bayangan hitam menyelinap di sisi rumah itu, lalu menghilang di kegelapan.
"Wah, jangan jangan maling Dul. Ayo kita kejar," seru bapak. Dengan sigap mereka berduapun segera mengendap endap menuju ke arah sosok itu tadi menghilang.
"Ssssssttttt ....!!! Sebentar Min, coba lihat itu" Pak Dul menahan langkah bapak. Bapakpun mengikuti arah yang ditunjuk oleh Pak Dul.
"Apa yang orang itu lakukan Dul?" bisik bapak.
"Entahlah. Sepertinya ia menaburkan sesuatu mengelilingi rumah Kang Nardi."
"Wah, ndak bener ini Dul. Jangan jangan orang itu berniat jahat pada keluarga Kang Nardi. Kita sergap saja Dul."
"Kamu berani Min?"
"Kenapa enggak? Dia sendiri, dan kita berdua. Ayo, sebelum ...., eh kemana orang itu tadi? Kok hilang Dul?"
"Wah jangan jangan ...."
"Dasar kalian, tukang ngintip!!!" sebuah suara mengejutkan mereka berdua. Serempak bapak dan Pak Dul menoleh, dan ...
"Whuaaaaaa ......!!!!"
[S E K I A N D U L U]
*****
SEBELUMNYA
TEGAL SALAHAN (Part 5)
TEGAL SALAHAN (Jilid II) MASIH MENUNGGU.