TEGAL SALAHAN (Part 4)
***Wasiat Mbah Bogel***
JEJAKMISTERI - Tak seperti biasa, pagi pagi sekali Mas Yudi sudah datang ke rumah Mas Toni, bahkan saat Mas Toni sendiri belum bangun. Terpaksa Mas Yudi harus menggedor gedor pintu kamar sohibnya itu. Sampai yang punya kamar bangun dengan wajah kesal.
"Ada apa to Yud, pagi pagi buta sudah gedor gedor pintu kamar orang?" gerutu Mas Toni sambil mengucek ucek matanya.
"Pagi buta dengkulmu itu! Lihat tuh, matahari sudah tinggi. Molor saja kerjamu. Pantesan kamu awet jadi pengangguran," seru Mas Yudi sambil ngeloyor masuk ke dalam kamar Mas Toni.
"Halah, sama sama pengangguran saja kok sok nasehati. Biasa juga jam segini kamu masih ngorok." Mas Toni justru keluar dari kamar, menuju ke arah sumur di samping rumah untuk mencuci muka. Mau tak mau Mas Yudipun mengikutinya.
"Beda dong bro. Hari ini aku ada obyekan. Kamu mau duit nggak? Kalau mau, ayo, ikut aku," kata Mas Yudi lagi sambil ikut mencuci mukanya. Sepertinya ia tak sempat membasuh wajahnya sebelum berangkat ke rumah Mas Toni.
"Obyekan apa? Kalau nyolong mangga lagi aku nggak mau. Sudah kapok aku dikejar kejar thethek'an" kata Mas Toni, masih dengan nada kesal.
"Tenang, yang ini dijamin halal kok. Tapi sebelumnya mbok ya bikin bikin kopi apa apa gitu. Masa tamu bawa rezeki gini dianggurin," seloroh Mas Yudi.
Meski menggerutu, Mas Tonipun segera beranjak ke dapur untuk menyeduh kopi. Memang, buat mereka kopi itu hukumnya wajib di pagi hari.
"Obyekan apa to? Semangat betul kayaknya," tanya Mas Toni setelah meletakkan dua cangkir kopi di atas meja.
"Mbetulin poskamling bro. Lumayan, duitnya gedhe, karena ada sponsornya," jawab Mas Yudi setelah meneguk sedikit kopinya.
"Lha, emang bisa? Kita kan nggak bisa nukang?" tanya Mas Toni lagi.
"Tenang, kita nanti cuma bantu bantu. Ada Pak Min nanti yang jadi tukang,"
"Pak Min siapa?"
"Pak Min, bapaknya Romlah yang di RT 3 itu."
"Oh, terus?"
"Kok terus? Kamu mau nggak?"
"Tergantung. Kalau duitnya gedhe ya pasti mau to"
"Tenang, kan tadi aku sudah bilang, ada sponsornya. Soal duit dijamin aman wes."
"Yang bener? Masa betulin poskamling saja pakai sponsor segala?"
"Mangkanya, jadi orang tuh yang gaul dikit. Semalam Pak Kardi sendiri yang minta supaya aku mengajak kamu dan Pak Min untuk ngerjain proyek ini. Pak Kardi sendiri yang nanggung semua biayanya. Bakalan dibongkar total tuh poskamling, lalu dibangun ulang. Jadi soal duit sudah pasti dijamin aman deh. Tau sendiri kan Pak Kardi itu seperti apa," Mas Yudi menjelaskan dengan penuh semangat.
"Wah, kalau semua itu ide Pak Kardi aku percaya Yud. Terus, kapan kita mulai?" Mas Toni mulai tertarik dengan tawaran Mas Yudi.
"Ya sekarang. Mangkanya pagi pagi aku nyamperin kamu kesini." jawab Mas Yudi.
"Ya sudah kalau begitu. Tapi aku tak sarapan dulu yo, habis itu kita berangkat." kata Mas Toni.
"Ya sudah, kalau begitu aku tak sekalian numpang sarapan disini," tanpa malu malu Mas Yudi mengikuti langkah Mas Toni menuju ke dapur.
Selesai sarapan, merekapun segera menuju ke poskamling yang dimaksud. Benar saja, Pak Min sudah menunggu disana. Tanpa menunggu lama, mereka segera memulai pekerjaan. Poskamling yang memang sudah reot itu mereka bongkar total, untuk nantinya dibangun ulang.
Sambil bekerja, mereka tak henti hentinya membicarakan kebaikan Pak Kardi, orang yang berinisiatif untuk memperbaiki poskamling itu. Selain terkenal sebagai orang paling kaya di desa itu, Pak Kardi juga dikenal sebagai orang yang sangat dermawan. Ia tak segan segan membantu orang yang membutuhkan. Bahkan, untuk memperbaiki poskamling yang sebenarnya menjadi kewajiban perangkat desapun ia tak segan segan untuk melakukannya.
"Heran ya, hartanya Pak Kardi itu sepertinya kok nggak habis habis. Bahkan tiap tahun kok makin tambah kaya saja. Padahal, ia banyak lho menggunakan hartanya itu untuk bantu orang, dan juga sering menyumbang untuk pembangunan desa. Sedangkan usahanya kan dari dulu ya cuma itu itu saja, jual beli gabah dan hasil panen para penduduk." kata Mas Toni sambil sibuk mengaduk pasir dan semen.
"Iya ya, sepertinya nasib Pak Kardi itu beruntung banget. Sudah jadi juragan, kaya raya, anak buahnya juga banyak. Apa apa tinggal suruh anak buahnya saja. Dia tinggal enak enakan duduk sambil ngopa ngopi dan rokokan gitu." sambung Mas Yudi yang sedang sibuk mengangkut batu bata.
"Coba kita bisa kayak Pak Kardi itu ya. Sudah kerja keras banting tulang tiap hari, tapi nasib kita masih begini begini aja," kata Mas Toni lagi.
"Mungkin kerja keras saja tidak cukup Ton. Kalau mau kaya ya harus berani ambil resiko," sahut Mas Yudi.
"Maksudnya resiko yang bagaimana Yud?" tanya Mas Toni.
"Kayak nggak tahu aja kamu. Kebanyakan, rata rata orang yang kaya raya itu pasti punya sesuatu, entah itu pegangan dari orang pintar atau malah miara prewangan atau pesugihan," jawab Mas Yudi.
"Wah, kalau yang begitu sudah nggak bener itu Yud. Nggak sebanding antara kekayaan yang didapat sama resikonya. Selain dosa juga yang begitu pasti pakai tumbal atau semacamnya," kata Mas Toni.
"Yah, orang kalau sudah dibutakan sama harta, mana sempat mikir ke situ Ton," sahut Mas Yudi.
"Iya juga sih ya. Tapi kalau kayak Pak Kardi itu aku yakin kok, beliau kaya karena memang hasil dari kerja kerasnya, nggak mungkin pakai yang begituan."
"Aku juga percaya. Meski kadang ada saja yang suka bergosip kalau Pak Kardi itu miara pesugihan atau miara dukun."
"Ah, itu kan cuma omongan orang orang yang iri saja sama beliau. Orang sebaik Pak Kardi mana mungkin berbuat seperti itu."
"Kalian ini lho, orang kerja kok disambi nggosip, kayak emak emak saja," celetuk Pak Min yang sejak tadi hanya diam dan sibuk dengan pekerjaannya.
"Hehehe, ngomongin kebaikan orang kan nggak ada salahnya to Pak, daripada kerja cuma diam diam saja, nanti dikira orang sakit gigi," kata Mas Yudi sambil tertawa.
"Iya, tapi sambil kerja juga dong ngobrolnya, biar cepat selesai kerjaan kita ini," sahut Pak Min.
"Beres Pak, ini juga sambil kerja kok," kata Mas Toni.
Merekapun kembali sibuk dengan pekerjaan mereka masing masing. Sampai siang menjelang, datang orang suruhan Pak Kardi yang mengantarkan makan siang untuk mereka.
"Kalian mau tau nggak, gimana ceritanya sampai Pak Kardi bisa kaya raya begitu?" tanya Pak Min sambil mencuci tangannya.
"Memangnya Pak Min tahu?" tanya Mas Toni.
"Ya tau to. Aku sama Pak Kardi itu teman dari kecil. Dulu juga pernah sama sama kerja di pabrik tahu di kota kecamatan sana," jawab Pak Min sambil duduk dan membuka bakul yang berisi makan siang mereka.
"Pak Kardi pernah kerja di pabrik tahu?" tanya Mas Yudi heran.
"Iya, dulu juga dia sama kayak kita, nggak kaya seperti sekarang. Bahkan pernah jadi tukang ojek segala." jawab Pak Min.
"Lalu bagaimana ceritanya sampai bisa kaya raya begitu Pak?" tanya Mas Toni penasaran.
Pak Min pun lalu menceritakan kisah Pak Kardi itu sambil makan. Jadi, dulu Pak Kardi ini juga miskin, sama seperti para penduduk desa yang lainnya. Bersama dengan Pak Min, mereka berdua bekerja di pabrik tahu yang ada di kota kecamatan.
Sebenarnya sudah lumayan gaji yang mereka terima di pabrik itu, meski cuma pabrik kecil kecilan. Paling tidak mereka punya penghasilan tambahan selain dari pendapatan mereka sebagai petani. Bahkan mereka berdua sempat menabung untuk modal menikah dengan gadis pujaan masing masing.
Namun, setelah hampir dua tahun mereka bekerja, pabrik tempat mereka bekerja itu mengalami kemunduran, kalah bersaing dengan pengusaha tahu yang lebih besar, sampai akhirnya pabrik itu bangkrut dan mereka kembali menjadi pengangguran.
Tak mau berpangku tangan karena mereka kini sudah memiliki keluarga yang menjadi tanggungan, merekapun berusaha untuk mencari pekerjaan lain. Pak Min yang mempunyai keahlian menukang, bekerja di proyek bangunan di kota kabupaten, sedang Pak Kardi banting stir menjadi tukang ojek di pasar kota kecamatan.
Sudah pasti, penghasilan mereka tak sebesar seperti saat mereka bekerja di pabrik tahu. Namun mau tak mau harus mereka jalani, karena anak dan istri di rumah butuh makan setiap hari.
Apalagi Pak Kardi yang hanya menjadi tukang ojek dengan penghasilan tak menentu, bahkan kadang tak dapat uang sama sekali meski sudah mangkal seharian. Tapi ia tak pernah mengeluh. Semua dijalani dengan penuh rasa lkhlas.
Sampai pada suatu hari, tepatnya hari Kamis, dari pagi sampai menjelang Ashar, Pak Kardi baru dapat dua penumpang. Padahal sudah sejak dari shubuh ia mangkal di depan pasar. Sampai terkantuk kantuk ia menunggu, ditambah kondisi badan yang memang kurang fit, akhirnya Pak Kardi memilih untuk rebahan di pangkalan ojek itu. Teman temannya sesama tukang ojek sudah pada pulang, karena penumpang memang lagi sepi.
Entah karena badan yang sedikit kurang sehat atau memang karena semalam kurang tidur, tanpa sengaja Pak Kardipun terlelap di pos pangkalan ojek itu. Ia tertidur dengan pulasnya. Tanpa memperdulikan sepeda motornya yang ia biarkan terparkir di depan pos itu.
Entah berapa lama Pak Kardi tertidur, sampai saat ia merasakan ada yang menggoyang goyangkan kakinya. "Le, bangun. Mau narik nggak?" sayup sayup terdengar suara laki laki membangunkannya.
Pak Kardipun segera bangun. Sambil mengucek ucek matanya, ia memperhatikan seorang kakek kakek cebol yang telah berdiri di depannya. Pak Kardi merasa sedikit heran, siapa kakek itu. Yang pasti bukan salah satu pedagang yang berjualan di pasar, karena hampir semua pedagang di pasar itu dikenal oleh Pak Kardi.
"Mau narik nggak?" tanya kakek cebol itu lagi sambil mengelus elus jenggotnya yang panjang. Sedikit lucu, kakek yang tingginya hanya sedada Pak Kardi itu memiliki jenggot yang sangat panjang, nyaris menutupi dada dan perutnya yang buncit.
"Kemana Mbah?" tanya Pak Kardi sedikit ragu. Di samping kakek itu berdiri nampak seonggok karung yang entah apa isinya. Pasti bawaan si kakek.
"Ke Kedhungsono Le, ini bawa kelapa sekarung," jawab kakek itu sambil menunjuk karung di sampingnya.
Wah, lumayan berat juga kelapa sekarung. Apalagi dengan motor bututnya. Harus lebih ini ongkosnya, demikian pikir Pak Kardi.
"Soal ongkos, jangan khawatir. Nanti berapapun kamu minta tak kasih. Yang penting antar simbah sampai rumah," kata kakek itu lagi, seolah bisa membaca pikiran Pak Kardi.
"Wah, beneran Mbah?" mata Pak Kardi berbinar seketika. Lumayan nih, seharian ga ada penumpang, sekalinya dapat penumpang berani membayar mahal.
"Ya beneran to. Tapi lewat Tegal Salahan saja ya, biar cepet. Kalau lewat Patrolan kejauhan muternya," ucap kakek itu, membuat Pak Kardi kembali sedikit ragu. Melewati jalan Tegal Salahan yang terjal dengan motor butut dan membawa sekarung kelapa yang lumayan berat, pasti bukan hal yang mudah. Apalagi hari sudah menjelang maghrib. Bagaimana kalau ...., ah, tapi iming iming upah besar yang dijanjikan si kakek, membuat keraguan Pak Kardi sirna begitu saja.
"Baiklah Mbah. Ayo saya antar," kata Pak Kardi akhirnya, sambil menaikkan karung yang katanya berisi kelapa itu ke atas motor bebeknya.
Pak Kardi tertegun sesaat saat mengangkat karung itu. Lebih berat daripada yang ia bayangkan. Juga agak basah, seperti ada cairan yang merembes dari dalam karung. Cairan yang sedikit lengket dan berbau kurang sedap.
Ah, mungkin ada salah satu kelapa yang retak dan airnya merembes keluar, pikir Pak Kardi sambil menaikkan karung itu di bagian depan motor bebeknya. Sedang si kakek duduk di boncengan belakang.
"Sudah naik mbah?" tanya Pak Kardi setelah menyalakan mesin motornya.
"Hmmm," hanya itu jawaban si kakek. Pak Kardi segera menjalankan motornya pelan pelan ke arah timur, lalu membelok ke arah selatan, melewati desa Tarumas, tembus sampai ke desa Kedhungjati.
Saat melewati depan rumahnya, Pak Kardi melihat Lintang, anak semata wayangnya yang berumur empat tahun sedang bermain di halaman. Pak Kardipun membunyikan klakson dan berteriak menyapa sang anak. Namun entah karena tak mendengar atau terlalu asyik bermain, sang anak sama sekali tak mengacuhkannya.
Kembali rasa heran menyelimuti hati Pak Kardi. Suara motor dua taknya sangatlah berisik, dan sang anak sudah hafal betul dengan suara motornya. Biasanya masih jauh juga sang anak sudah tahu kalau itu suara motor bapaknya, dan segera berlari menyambut kedatangan sang ayah.
Belum habis rasa heran Pak Kardi, ada keanehan lain yang ia rasakan. Beberapa tetangga yang berpapasan dengannya seolah olah mengacuhkannya. Jangankan menjawab tegur sapanya, menolehpun mereka sepertinya enggan. Padahal biasanya mereka sangat ramah. Seolah olah semua orang yang berpapasan dengannya sama sekali tak melihatnya.
"Agak cepetan jalannya Le, sudah mau Maghrib ini," ucap si kakek membuyarkan lamunan Pak Kardi. Pak Kardipun memutar tuas gasnya lebih dalam lagi, hingga motor butut itu meraung dan melaju dengan sedikit lebih cepat. Menuruni jalan Tegal Salahan, tepat saat adzan Maghrib berkumandang. Pak Kardi semakin menambah kecepatan laju motornya, mengambil ancang ancang untuk menaiki tanjakan yang menuju ke arah desa Kedhungsono.
Namun saat sampai di buk yang ada diantara turunan dan tanjakan itu, Pak Kardi merasa pandangan matanya gelap sesaat. Benar benar gelap, dan tidak lebih dari satu detik, lalu saat ia sadar kembali, ia telah sampai di depan sebuah rumah yang sangat megah.
"Sudah sampai Le," kata kakek itu sambil melompat turun dari boncengan motor.
Pak Kardi masih terbengong diatas motornya. Seingatnya, di desa Kedhungsono tak ada rumah yang semegah itu. Hampir semua warga desa Kedhungsono dikenalnya, tapi tidak dengan kakek cebol itu.
"Kok malah ngalamun lho. Ayo, tolong sekalian bawakan kelapaku itu masuk ke rumah," lagi lagi ucapan kakek cebol itu mengejutkan Pak Kardi. Iapun segera turun dari motornya, lalu mengangkat karung yang lumayan berat itu.
Kembali ia merasakan cairan lengket yang merembes dari dalam karung itu. Juga bau amis yang semakin menusuk hidung. Merinding sekujur tubuh Pak Kardi. Ia mulai merasakan hawa yang tidak enak. Apalagi rumah besar dan megah itu hanya diterangi oleh lampu teplok yang remang remang, membuat suasana semakin mencekam. Dan, rasa takut semakin menghantui Pak Kardi, ketika ia melewati pintu dan masuk ke dalam rumah, sayup sayup ia seperti mendengar suara rintihan yang sangat menyayat hati. Rintihan suara orang minta tolong yang entah darimana asalnya, namun terasa begitu dekat dengan indera pendengarannya.
"Letakkan saja di pojokan situ," perintah si kakek lagi. Pak Kardipun menurut. Pelan pelan ia meletakkan karung itu di sudut ruang tamu. Saat itulah Pak Kardi menyadari bahwa ikatan pada mulut karung itu terlepas. Pak Kardipun berniat untuk membetulkan ikatan di mulut karung itu. Namun sebelumnya, rasa penasaran mendorongnya untuk melihat apa sebenarnya isi karung itu. Dan ....
"Jreeeeennnggggg...!!!" Pak Kardi sampai terlonjak ke belakang sangking kagetnya. Ternyata karung itu bukan berisi kelapa, tapi potongan kepala manusia. Benar benar potongan kepala dengan darah segar yang masih merembes di bagian lehernya. Ekspresi wajah wajah di kepala kepala itu membuat Pak Kardi nyaris pingsan. Ada yang melotot, ada yang meringis, ada pula yang terpejam dengan mulut terkatup rapat. Dan suara rinthan minta tolong yang tadi ia dengar sayup sayup itu ternyata juga berasal dari kepala kepala itu.
Tak sanggup menyaksikan pemandangan yang sangat mengerikan itu, Pak Kardipun segera bergegas meninggalkan sudut ruangan itu.
"Sini Le, duduk sini dulu," si kakek cebol yang ternyata sudah duduk di kursi kayu yang ada di ruangan itu melambaikan tangannya, memberi isyarat kepada Pak Kardi untuk mendekat.
Dengan kaki gemetaran dan langkah sempoyongan, Pak Kardi tak kuasa menolak perintah si kakek cebol. Ia mendekat, lalu duduk di kursi yang ada di depan si kakek, dibatasi oleh sebuah meja bundar berukuran sedang. Bersamaan dengan itu, dari arah dalam keluar seorang gadis cantik membawa nampan berisi aneka makanan yang ia letakkan di atas meja. Makanan yang sangat mewah menurutnya. Nasi lengkap dengan ayam panggang utuh dan besar, juga minuman yang entah apa namanya, berwarna kemerahan dalam sebuah gelas kaca bening.
Tanpa sadar Pak Kardi menelan ludah, bukan karena hidangan yang serba enak itu, melainkan karena melihat si gadis yang membawa hidangan. Selain cantik dan memiliki tubuh yang seksi, pakaian yang dikenakannya juga sanggup meruntuhkan iman seorang laki laki. Membuatnya lupa akan kengerian yang baru saja ia alami.
Bagaimana tidak, tubuh sintal nan seksi milik si gadis itu hanya dibalut oleh sehelai kain tipis ketat yang hanya sebatas dadanya, membuat belahan dada gadis itu terlihat dengan sagat jelas. Apalagi saat si gadis menunduk untuk meletakkan nampan di atas meja, Pak Kardi bisa leluasa mengintip belahan itu, karena gadis itu tepat menghadap ke arahnya.
"Silahkan dinikmati hidangannya, Mas," dengan suara yang sangat merdu gadis itu mempersilahkan sambil ikut duduk tepat disebelah Pak Kardi. Keringat dingin mulai membanjiri seluruh tubuh Pak Kardi. Aroma wangi dari gadis itu seperti mengandung kekuatan mistis yang pelan pelan membangkitkan gairah kelelakian Pak Kardi.
"Oh, ya, ini upahmu Le. Maaf, kakek tidak punya uang kontan, jadi nggak papa kan kakek bayar pakai dua buah cincin emas ini?" si kakek meletakkan dua buah cincin di hadapan Pak Kardi. Namun Pak Kardi hanya meliriknya sekilas. Pikirannya sudah dipenuhi oleh fantasi yang dihadirkan oleh gadis yang duduk di sampingnya itu.
Si kakekpun segera berlalu, membiarkan Pak Kardi yang mulai sibuk dengan fantasi liarnya. Tangannya mulai tak terkendali, bergerilya entah kemana, mencari sesuatu yang entah dimana. Sesekali terdengar tawa cekikikan si gadis, lalu disusul dengan desahan dan rintihan, juga deru nafas yang memburu.
Pak Kardi semakin kehilangan akal sehatnya. Si gadis hanya tersenyum. Sesekali ia berusaha menyuapi Pak Kardi dengan aneka makanan yang tadi ia hidangkan. Namun kelezatan makanan makanan itu sudah tak menarik lagi bagi Pak Kardi.
Si gadis masih terus berusaha, sepertinya ia begitu bernafsu untuk menyuapi Pak Kardi. Tangan si gadis terulur, menyempal paha ayam panggang yang besar itu. Pak Kardi tersentak. Bersamaan dengan lepasnya paha ayam itu dari tempatnya, saat itu juga ia dikagetkan oleh suara tangisan bocah yang sangat dikenalnya. Ya, tak salah lagi, itu suara tangisan anak semata wayangnya.
Pak Kardi segera menjauhkan tubuhnya dari pelukan gadis itu. Matanya sibuk mencari cari arah asal suara tangisan bocah itu.
"Ayo Mas, kenapa berhenti? Malam masih panjang, mari kita nikmati malam yang indah ini berdua. Aku berjanji, akan kuberikan apapun yang Mas inginkan, asal Mas bersedia memuaskanku," rayu gadis itu saat menyadari kalau Pak Kardi mulai menjauhinya.
Namun suara merdu itu tak sanggup mengalahkan suara tangisan bocah yang masih terdengar sayup sayup oleh Pak Kardi. Ia terus mencari cari dengan matanya. Dan mata laki laki itu terbelalak seketika, saat melihat apa yang terhidang di atas meja. Bukan panggang ayam besar seperti yang sebelumnya terlihat, tapi tubuh telanjang anak semata wayangnya yang tergolek diatas piring besar, lengkap dengan segala macam bumbu, sambal, dan aneka lalapan yang mengelilinginya.
"Tidak ...!!! Tidaaakkk ...!!! TIDAAAAAAAKKKKKK ...!!!" Spontan Pak Kardi berteriak lantang. Disambarnya meja yang ada di depannya, lalu dihempaskan hingga hidangan yang ada di atasnya tercerai berai ke berbagai penjuru ruangan itu.
Pak Kardi berlari, berusaha untuk keluar dari ruangan itu. Namun ia tak menemukan satu pintupun untuk keluar. Sampai akhirnya Pak Kardi jatuh terduduk dan menangis histeris, sebelum akhirnya jatuh tak sadarkan diri.
Keesokan paginya, Pak Kardi ditemukan oleh warga yang hendak pergi ke ladang di bawah pohon randhu alas growong dalam keadaan telanjang bulat dan linglung. Motor bututnya juga ditemukan tak jauh dari tempat itu.
Warga itupun segera mengantar Pak Kardi pulang, yang disambut dengan isak tangis istrinya. Sampai beberapa hari, Pak Kardi masih terlihat linglung, tak ingat akan kejadian yang telah dialami...
*****
Warga itupun segera mengantar Pak Kardi pulang, setelah sebelumnya menutup auratnya dengan selembar daun pisang yang ia petik di ladang itu. Kurang pantas memang, tapi mau bagaimana lagi, hanya ada daun pisang yang bisa ia pakai.
Kedatangan Pak Kardi disambut dengan isak tangis oleh istrinya yang sejak semalam sudah cemas memikirkan suaminya yang rak kunjung pulang. Apalagi semalaman anak semata wayang mereka sempat sedikit demam dan rewel sepanjang malam.
Namun Pak Kardi masih terlihat linglung. Bahkan ia seolah tak mengenali istri dan anaknya. Hal itu terjadi sampai beberapa hari, sampai pada suatu malam Pak Kardi bermimpi ditemui oleh kakek kakek cebol itu.
"Kamu memang benar benar laki laki yang tangguh Le. Tak tergoda oleh bujuk rayu nafsu duniawi. Sebagai hadiah atas ketangguhanmu, cincin yang kuberikan kemarin, salah satunya boleh kau jual. Gunakan uang hasil penjualannya untuk memeperbaiki kehidupanmu dan keluargamu. Sedangkan yang satu lagi, simpanlah, sebagai kenang kenangan san pengingat, bahwa kau pernah berkunjung le istana Mabah Bogel," begitu pesan kakek cebol itu dalam mimpinya.
Keesokan paginya, bangun dari tidur Pak Kardi langsung sibuk mencari celana yang waktu itu ia kenakan saat mengalami kejadian aneh itu. Dilemari, nggak ada. Di tempat baju baju kotor juga nggak ada. Di tempat jemuran juga nggak ada. Di kamar mandi, di kolong tempat tidur, dibawah lemari, setiap sudut rumah ia jelajahi, namun yang ia cari tak kunjung ketemu juga.
Tingkah aneh Pak Kardi itu membuat heran sang istri. Suami yang semalam masih terlihat linglung itu, tiba tiba pagi ini sibuk mengacak acak seluruh isi rumah. Ya Allah, jangan jangan suamiku benar benar sudah nggak waras lagi, demikian pikir sang istri.
"Sampeyan itu nyari apa to pak? Kok pagi pagi sudah berantakin rumah gitu?" tanya sang istri.
"Celana yang aku pakai pas hari kamis kemarin kemana Mak?" jawab Pak Kardi. Syukur, batin sang istri. Pak Kardi sudah bisa menjawab pertanyaan dengan benar. Berarti masih waras. Tapi kenapa tiba tiba mencari celana itu?
"Yang sampeyan pakai pas sampeyan ilang di Tegal Salahan itu?" sang istri balik bertanya.
"Iya," jawab Pak Kardi sambil masih sibuk mengacak acak isi lemari.
"Lha mana aku tau pak. Wong sampeyan waktu itu diantar pulang nggak pakai apa apa kok. Telanjang bulat gitu, cuma pakai tapih daun pisang buat nutupi burung sampeyan." jawab sang istri lagi.
Pak Kardi menghentikan kesibukannya, lalu menatap sang istri dengan tatapan tajam. "Masa sih Mak? Jadi waktu itu aku pulang cuma pakai tapih daun pisang?"
"Tanya saja sama tetangga kalau nggak percaya. Sudah mirip orang gendheng sampeyan waktu itu." jawab sang istri sambil menahan tawa. Pak Kardi hanya garuk garuk kepala, membayangkan apa yang dialaminya waktu itu. Ia benar benar tak ingat kalau diantar pulang cuma pakai tapih daun pisang.
"Mau ke mana Pak?" tanya sang istri lagi, melihat Pak Kardi keluar.
"Nyari celanaku ke Tegal Salahan. Siapa tahu masih ketinggalan disana." jawab Pak Kardi sambil terus berjalan.
"Oalah Pak, mbok ya sudah, diikhlaskan saja, orang celana sudah butut gitu, ngapain masih dicariin." teriakan sang istri sama sekali tak digubris oleh Pak Kardi. Bukan celana itu sebenarnya yang ia cari, tapi sesuatu yang ada di kantong celana butut itu.
Sampai di Tegal Salahan, Pak Kardi berhenti sejenak. Ia teringat kembali dengan peristiwa yang menimpanya beberapa hari yang lalu. Bulu kuduknya bergidik. Masih ada sisa rasa takut untuk mendekati pohon randhu growong itu.
Beruntung ada seorang bocah yang sedang mencari rumput di dekat situ. Dipanggilnya si bocah. Dan dengan diiming imingi sekeping koin seratus rupiah, bocah itu dengan bersemangat mengambil celana Pak Kardi yang memang masih teronggok di dalam lobang pohon randhu itu.
Alhamdulillah, dua buah cincin pemberian kakek cebol itu masih ada di dalam kantong celana butut itu. Diambilnya cincin itu, sedang nasib si celana butut, harus rela dibuang ke semak semak di pinggir kali.
Tanpa membuang waktu, Pak Kardi langsung pergi ke pasar. Seperti pesan Mbah Bogel dalam mimpinya, salah satu cincin itu ia jual. Dan diluar dugaan, laku sangat mahal. Bergepok gepok uang yang Pak Kardi terima dari hasil penjualan cincin itu. Ia sampai gemetaran menerima uang yang jumlahnya mungkin tak sanggup ia hitung dengan jari.
Dari hasil penjualan cincin itulah Pak Kardi memulai bisnisnya jual beli hasil pertanian warga. Hingga bisa sukses seperti sekarang ini.
Sedang cincin yang satunya lagi, sebuah cincin baru akik dengan mata cincin berwarna keunguan, konon masih disimpan dengan sangat baik oleh Pak Kardi. Sesekali cincin itu ia pakai jika sedang jagong atau menghadiri acara acara penting lainnya.
*****
Pak Min mengakhiri ceritanya, bersamaan dengan habisnya nasi dan lauk pauk di piringnya. Mas Yudi dan MasToni yang sejak tadi asyik mendengarkan cerita Pak Min, sampai nggak sadar kalau nasi di piring mereka masih utuh, belum mereka sentuh sama sekali.
"Lho, kenapa kalian nggak makan?" tanya Pak Min heran.
Mas Yudi dan Mas Toni saling pandang, lalu secara bersamaan menatap ayam panggang utuh dan besar di dalam bakul.
"Melihat ayam panggang ini, dan mendengar cerita sampeyan tadi, kok aku jadi nggak nafsu makan ya Pak," jawab Mas Toni dan Mas Yudi hampir bersamaan.
***Tamu Tak Diundang***
Kejadian ini aku alami saat aku sudah berumur belasan tahun. Jadi waktu itu aku mendapat tugas menjadi sinoman di rumah salah seorang warga yang mengadakan acara hajatan.
Di kampungku, saat datang ke acara hajatan tidak menggunakan sistem prasmanan seperti yang banyak kita jumpai sekarang ini gansist. Tamu yang datang tinggal duduk manis di tempat yang telah disediakan, biasanya kursi lengkap dengan meja kecil gitu, lalu segala macam hidangan makanan dan minuman akan diantarkan oleh para sinoman ini. Menghidangkannya pun harus dengan cara yang sangat hormat dan penuh dengan sopan santun, sehingga tamu benar benar merasa dihormati.
Pagi pagi sekali, para sinoman sudah siap dengan seragam yang sangat rapi dan bersih. Sinoman pria mengenakan baju putih lengan panjang lengkap dengan dasinya dan celana bahan warna hitam, lengkap dengan sepatu kulit yang disemir mengkilat. Sedangkan sinoman perempuan seperti biasa menggunakan kebaya dan kain jarik.
Mas Yudi yang ditunjuk sebagai koordinator segera mengarahkan dan membagi tugas untuk para sinoman. Siapa yang mendapat tugas mengantarkan minuman, siapa yang bertugas mengantarkan makanan, dan siapa yang mendapat tugas mengangkat piring dan gelas kotor bekas para tamu. Semua diatur dengan sangat jelas, sehingga saat bertugas nanti tidak sampai melakukan kesalahan yang akan mencoreng nama baik pemuda karang taruna di desa kami.
Tak lupa Mas Yudi juga mengecek bapak bapak yang mendapat tugas meracik minuman dan snack, serta ibu ibu yang bertugas menyiapkan makanan. Semua sudah standby di tempat masing masing. Mas Yudi tersenyum puas. Sepertinya semuanya akan berjalan lancar.
Sambil menunggu tamu datang, kami menikmati teh hangat dan cemilan. Tak lupa rokok jatah dari tuan rumah kami nyalakan. Sambil mendengarkan lagu lagu yang diputar dari sound system.
"Persiapan! Persiapan! Tamu sudah datang!" seru Mas Yudi yang menjadi koordinator.
"Wah, tamu darimana yang sepagi ini sudah datang?" salah seorang dari kami bertanya.
"Iya, padahal snack belum diracik, nasi apalagi," bapak bapak dan ibu ibu di dapur ikut nyeletuk.
"Sudah, siapkan dulu apa yang ada, asal pantas! Cuma satu orang ini." seru Mas Yudi lagi.
Kamipun menjadi sibuk. Aku yang bertugas mengantar minuman segera menyambar nampan kayu dan membawanya ke tempat bapak bapak yang bertugas menyiapkan minuman dan snack.
Dengan sedikit buru buru bapak bapak itu menyiapkan snack. Memotong wajik, jenang, jadah, dan makanan kecil lainnya yang disusun dalam piring kecil. Juga segelas teh panas, yang semuanya segera disusun di atas nampan yang kubawa.
Setelah semua siap, segera kuangkat nampan itu, lalu dengan langkah pelan kubawa ke tempat si tamu yang baru datang itu. Sempat kulirik si tamu. Seorang nenek tua dengan dandanan menor duduk di pojokan dekat dengan kursi pelaminan yang masih kosong.
Aneh memang. Tak biasanya tamu datang ke tempat hajatan sepagi ini, bahkan saat si pengantin belum duduk di pelaminan. Tapi, biarlah. Mungkin itu tamu punya kesibukan lain sehingga hanya bisa datang di saat pagi begini.
Mbak Giyarni, sinoman yang bertugas di depan bangkit dari duduknya, bermaksud menyambutku. Namun ditahan oleh Mbak Ratih. Akhirnya Mbak Ratihlah yang menemaniku mengantarkan hidangan untuk nenek itu. Dengan penuh rasa hormat ia mengambil minuman dan snack di nampan yang aku bawa, lalu meletakkannya diatas meja di depan si nenek. Akupun segera kembali ke dapur, diikuti oleh Mbak Ratih.
"Tih, kenapa malah ikut kesini? Tugasmu kan di depan?" tegur Mas Yudi.
"Sebentar Mas, ada yang mau aku omongin," Mbak Ratih menarik tangan Mas Yudi. Kamipun ikut memasang telinga. Sepertinya ada yang nggak beres nih, demikian pikir kami.
Mbak Ratih ini, sebenarnya bukan warga asli desa kami. Baru beberapa bulan ia pindah dari kota, mengikuti orang tuanya yang seorang guru dan kebetulan mendapat tugas di desa ini. Meski begitu, ia termasuk orang yang supel, dengan cepat bisa membaur dan mengikuti tradisi tradisi yang ada di desaku.
"Mas kenal nggak sama nenek itu?" tanya Mbak Ratih.
"Enggak. Kenapa memangnya?" Mas Yudi balik bertanya.
"Mas tau kapan dia datang dan darimana arah dia datang?" tanya Mbak Ratih. Lagi lagi Mas Yudi hanya menggeleng.
"Nggak tau. Tau tau sudah lihat dia duduk di pojokan itu," demikian jawab Mas Yudi. "Memangnya kenapa to?"
"Nggak papa kok. Cuma nanya saja," jawab Mbak Ratih sambil tersenyum. "Tapi, sepertinya ia masih ada hubungan dengan tuan rumah. Entah saudaranya atau kerabat gitu. Jadi mungkin bisa seharian ia disini. Dilayani seperti biasa saja ya, kalau ia minta sesuatu, selama itu masih wajar ya tolong dikasih saja. Pokoknya sebisa mungkin jangan sampai ngecewain dia."
"Oke deh," kata Mas Yudi meski masih sedikit bingung dengan kata kata yang diucapkan oleh Mbak Ratih barusan.
"Dan kamu Wi," Mbak Ratih menoleh ke arahku. "Tadi kamu kan yang mengantar minuman dan snack untuk nenek itu?"
"Iya mbak," jawabku.
"Ya sudah, untuk selanjutnya, nanti kamu juga yang melayani nenek itu, baik minuman, snack, makanan, ataupun mengangkat gelas dan piring kotor bekasnya. Harus kamu ya, jangan yang lain. Nanti juga harus sama aku, jangan sama sinoman cewek yang lain."
"Tapi mbak ...," protesku yang segera dipotong oleh Mbak Ratih.
"Sudah, ngikut saja. Nggak papa kok. Anggap saja ini tugas kehormatan buat kamu, karena itu nenek sepertinya bukan orang sembarangan," ucap Mbak Ratih sedikit berseloroh.
Meski kami masih sedikit bingung dengan apa yang dikatakan oleh Mbak Ratih, tapi mau nggak mau kamipun mengikuti arahannya. Dan benar saja, sampai siang hari, sore, bahkan saat malam menjelang, nenek itu masih tetap duduk di tempatnya.
Hanya duduk diam begitu saja. Benar benar diam, bahkan sedikitpun tak merubah cara duduknya. Seolah tak peduli dengan suasana di sekitarnya, mats si nenek hanya tertuju ke kursi pelaminan, tempat dimana sang pengantin duduk. Bahkan makanan dan minuman yang kami hidangkanpun sama sekali tak disentuhnya. Meski begitu, setiap selang beberapa jam sekali Mbak Ratih memberi kode supaya makanan dan minuman yang sudah dingin itu diganti dengan yang baru. Dan itu menjadi tugasku, seperti instruksi dari Mbak Ratih tadi pagi.
Seingatku, hanya sekali nenek itu bergerak dan bersuara. Saat aku mengantarkan makanannya untuk yang kesekian kalinya, tiba tiba nenek itu menoleh ke arahku sambil berkata, "Le, kalau ada nenek minta sirih komplit ya buat nginang (nginang (bhs. jawa)=makan sirih)"
Ingat akan kata kata Mbak Ratih tadi pagi, akupun menyampaikan permintaan si nenek pada Mas Yudi. Bukan permintaan yang aneh sih, karena rata rata orang tua di desaku masih banyak yang suka nginang. Dengan mudah sirih lengkap dengan perlengkapannyapun didapatkan. Akupun langsung memberikannya pada si nenek. Dan hanya sirih itulah satu satunya hidangan yang disentuh oleh si nenek. Sampai tengah malam, saat acara berakhir, tiba tiba nenek itu menghilang entah kemana. Tak ada yang tau kapan nenek itu pergi dan kemana perginya.
Sepekan setelah acara hajatan itu, kami semua yang ikut membantu pada saat acara itu kembali dikumpulkan di rumah orang yang punya hajat itu. Selain untuk mengadakan selamatan karena acara hajatan berjalan dengan lancar, tuan rumah juga mengucapkan terimakasih kepada semua warga yang telah ikut membantu dalam acara tersebut. Akupun ikut hadir dalam pertemuan itu. Dan ada yang sangat menarik perhatianku, saat tanpa sengaja melihat sebuah foto besar yang tergantung di dinding. Foto hitam putih seorang nenek tua, yang sama persis dengan nenek misterius yang hadir pada saat acara hajatan tempo hari.
Rasa penasaranku mendorongku untuk mengetahui siapa sebenarnya nenek itu. Beruntung aku duduk di sebelah anak si pemilik rumah, adik dari si pengantin yang dinikahkan waktu itu.
Dengan berbisik akupun menanyakan siapa sebenarnya nenek yang di foto itu, dan dimana orangnya sekarang. Dan tau nggak gansist, jawaban anak itu sukses membuat bulu kudukku merinding. Karena nenek dalam foto itu ternyata adalah nenek buyut dari Pak Sarno, si pemilik rumah, dan sudah meninggal beberapa puluh tahun yang lalu.
Lalu nenek yang hadir di pesta itu? Satu pertanyaan lagi muncul di benakku, dan tak mungkin bisa aku dapatkan dari anak yang duduk di sebelahku.
Ah, aku ingat. Mbak Ratih. Sepertinya dia dari awal sudah tau. Aku harus bertanya kepadanya. Selesai acara selamatan itu, saat kami beramai ramai untuk pulang, kukejar Mbak Ratih. Kutanyakan segala uneg uneg yang ada di hatiku.
Ternyata benar, dari awal Mbak Ratih memang sudah tau, karena gadis pendatang itu ternyata sedikit memiliki kelebihan dalam hal supranatural. Makanya ia pada waktu itu memberi instruksi yang agak aneh kepada para sinoman.
Andai dari awal aku juga tahu, kalau seharian itu ternyata aku melayani tamu yang 'bukan manusia.' Sungguh suatu pengalaman yang sangat luar biasa.