Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

TEGAL SALAHAN (Part 3)


***Rumah Baru Untuk Dewi***
JEJAKMISTERI - Hari memang masih pagi. Baru sekitar jam sembilanan. Namun terik mentari musim kemarau terasa begitu menyengat kulit. Mbah Kromo yang sejak tadi nampak sibuk menyangkul di ladangnya, menghentikan sejenak kesibukannya. Diusapnya peluh yang membanjir di pelipisnya, lalu dengan langkah sedikit gontai, laki laki tua itu menghampiri gubuk kecil di tengah ladang itu.

Setelah menenggak air teh dalam ceret yang menjadi bekalnya, mbah Kromo duduk diatas tonggak kayu yang ada di samping gubuk itu. Caping anyaman bambu yang tadi digunakan untuk melindungi kepalanya dari sengatan sinar matahari, kini berubah fungsi menjadi kipas.

Sambil mengibas ngibaskan caping itu di depan wajahnya, mata tua mbah Kromo tertuju ke arah pohon sengon besar yang tumbuh di tengah tengah ladangnya itu. Sudah dari beberapa minggu yang lalu ia berniat untuk menebang pohon itu. Namun sampai hari ini, niat itu belum kesampaian juga. Ia sudah terlalu tua untuk menebang pohon sebesar itu seorang diri.

"Maannnn ....!!!! Panas lho! Sini dululah, ngopi ngopi dulu!" setengah berteriak mbah Kromo memanggil kang Sarman yang juga sedang sibuk mencangkul di ladangnya, tak jauh dari ladang milik mbah Kromo.

"Nggih mbah! Sebentar!" jawab kang Sarman. Laki laki itu segera meletakkan cangkulnya, lalu dengan lincah berjalan di sela sela bongkahan bongkahan tanah yang sudah ia cangkul, menuju ke arah gubuk mbah Kromo.

"Sangu kopi to mbah?" tanya kang Sarman begitu sampai di gubuk itu. Ia melepas capingnya, lalu ikut duduk di sebelah mbah Kromo.

"Enggak. Ini, cuma bawa teh pahit sama singkong rebus." mbah Kromo meletakkan ceret dan rantang berisi singkong rebus di dekat kang Sarman.

"Oalah, begitu kok nawarinya kopi," gurau kang Sarman setelah menenggak teh pahit dalam ceret itu.

"Hehehe, kan biar pantas kalau di dengar orang. Nggak lucu kan kalau teriak teriak manggil orang cuma buat nawari teh pahit," mbah Kromo tertawa terkekeh kekeh, memamerkan giginya yang tinggal dua biji.

"Haha, bisa saja si mbah ini," kang Sarman menyomot sepotong singkong rebus dalam rantang, lalu mengunyahnya dengan lahap. "Panas banget hari ini ya mbah, padahal hari belum terlalu siang."

"Ya namanya juga lagi musim kemarau Man, wajar kalau panas," mbah Kromo ikut mencomot singkong rebus bekalnya. "Gimana ladangmu Man? Sudah selesai dicangkul semua?"

"Tinggal sedikit lagi mbah, paling dua atau tiga hari lagi selesai," jawab kang Sarman sambil mengeluarkan slepen dari kantong celana komprangnya.

"Berarti dua tiga hari lagi kamu sudah nggak sibuk ya?" mbah Kromo ikut melinting tembakau milik kang Sarman.

"Ya begitulah mbah. Lagi musim kemarau ini. Paling sibuk nyari pakan kambing saja," kang Sarman menyulut rokok tingwenya. Asap mengepul dari kedua lubang hidungnya. "Kenapa to mbah? Kok pakai nanya nggak sibuk segala?"

"Gini lho Man," mbah Kromo juga menyalakan ujung rokok lintingannya. "Aku tuh mau minta tolong sama kamu, buat nebang pohon sengon itu. Kamu bisa nggak?"

"Kalau cuma menebang pohon, itu urusan kecil mbah," kang Sarman menghembuskan asap rokoknya kuat kuat. "Tapi memangnya kenapa harus ditebang mbah?"

"Lha kamu kan tau sendiri, pohon itu dulu dipakai orang buat gantung diri, sampai mati pula. Aku takut kalau pohon itu akan membawa sial. Apalagi aku juga pernah ditemui sama arwah perempuan yang gantung diri itu, tepat di bawah pohon sengon itu. Jadi daripada nanti kenapa kenapa, kan lebih baik ditebang saja to? Sekalian biar ladangku ini jadi lebih terang." jelas mbah Kromo.

"Kenapa nggak dijual saja mbah?" tanya kang Sarman lagi.

"Halah, lha wong cuma pohon sengon, siapa yang mau beli Man? Kalau pohon jati atau mahoni gitu banyak yang mau."

"Ada mbah kalau sampeyan berniat menjualnya. Tukang bikin peti mati di dekat pasar itu biasanya mau membeli, meski dengan harga yang agak murah. Kalau mbah mau, nanti biar aku tawarkan. Tapi jangan lupa komisinya," kata kang Sarman.

"Halah, kamu ini. Belum apa apa sudah ngomongin komisi," celetuk mbah Kromo. "Tapi kalau beneran mau, lha mbok coba kamu tawarkan. Soal komisi itu urusan gampang. Yang penting pohon itu bisa cepat cepat ditebang."

"Beres mbah. Besok sekalian ke pasar biar aku tawarkan. Mbah mau jual berapa?" tanya kang Sarman.

"Berapa saja wes, yang penting bisa cepet cepet ditebang. Aku nggak mau lagi didatangi arwah perempuan yang kepalanya hampir copot itu."

Jadilah, keesokan harinya kang Sarman menawarkan pohon sengon itu kepada juragan peti mati di kota kecamatan. Tak perlu menunggu lama, juragan itu siangnya langsung datang ke ladang mbah Kromo, melihat pohon sengon yang ditawarkan. Dan tak perlu tawar menawar, sekali juragan itu menawar harga, mbah Kromo langsung menyetujuinya.

"Jadi, kapan sampeyan mau menebangnya kang?" tanya mbah Kromo pada juragan itu.

"Secepatnya mbah. Mungkin besok pagi. Kebetulan aku lagi banyak pesanan, dan persediaan kayu juga sudah menipis," jawab juragan itu sambil mengamat amati pohon sengon yang lumayan besar itu. Dalam hati ia tersenyum, mendapatkan kayu sebesar itu dengan harga yang sangat murah. Pasti bakalan untung besar. Soal cerita kalau pohon itu pernah digunakan orang untuk gantung diri sampai mati, ia tak begitu peduli. Toh, ia selama ini juga dapat rezekinya dari orang mati.

"Yo wis kalau begitu. Tapi hati hati nanti kalau mau nebang. Kalau bisa dijawab (didoain) dulu. Sampeyan sudah tau to riwayat pohon ini?" saran mbah Kromo. Juragan peti mati itu hanya mengangguk angguk. Baginya saran itu tak begitu penting. Yang penting baginya adalah segera mendapat keuntungan dari membeli pohon sengon itu.

Benar saja, keesokan harinya, pagi pagi sekali, dua orang suruhan juragan peti mati itu datang ke ladang mbah Kromo, lengkap dengan peralatan untuk menebang kayu. Gergaji mesin, kapak, dan juga golok yang sudah diasah dengan sangat tajam.

Tanpa menunggu lama, salah seorang dari mereka segera memanjat pohon itu, lalu memangkas cabang cabang pohon sengon itu. Hal ini dilakukan agar saat pohon ditebang dan tumbang nanti, tak begitu banyak merusak tanaman singkong yang ada di ladang itu.

Namun keanehan terjadi saat orang yang memanjat itu membacokkan goloknya ke cabang pohon. Pohon sengon yang terkenal dengan kayunya yang tak begitu keras, namun saat orang itu membacoknya, berasa membacok sebatang besi. Sangat keras. Bahkan lebih keras dari batang kayu jati atau sonokeling. Belum hilang rasa kaget orang itu, ia kembali dikejutkan oleh getah yang keluar dari bekas bacokan pada dahan kayu itu. Getah berwarna merah kental seperti darah, dan aroma amis yang menusuk hidung.

Entah karena kaget atau takut, orang itu tanpa sengaja menjatuhkan goloknya. Ujung golok yang tajam dan runcing berkilat kilat itu lurus mengarah ke bawah, dan ...

Syuuuuttttt!!!! Creeepppp!!!! Golok itu meluncur cepat ke bawah, hanya beberapa senti disamping kepala temannya yang menunggu di bawah, untuk selanjutnya menancap tepat disamping telapak kakinya.

"Djanc*k!!! Ati ati Jo!!! Meh bolong ndhasku ketiban golokmu!!!" maki sang teman di bawah pohon, saat menyadari nyawanya hampir melayang karena kecerobohan temannya.

Orang yang memanjat pohon diatas tak menghubris makian itu. Ia justru memeluk batang pohon itu dengan eratnya, saat tiba tiba angin bertiup dengan sangat kencangnya. Dan disela sela tiupan angin itu sayup sayup ia mendengar suara tangisan seorang wanita. Tangisan yang terdengar sangat pilu dan menyayat hati.

Teman yang dibawah, segera menyadari bahwa ada yang tidak beres dengan temannya yang sedang memanjat di atas pohon, saat melihat si teman itu memeluk batang pohon dengan sangat erat, tangan dan kaki gemetar, disertai keringat yang membanjir di sekujur rubuhnya.

"Jo, turun saja Jo! Jangan dipaksain!" teriak orang itu dari bawah pohon.

Si Jo yang diatas segera sadar begitu mendengar teriakan temannya. Dengan sisa sisa tenaga dan keberaniannya, ia melorot turun pelan pelan, dengan kaki dan tangan yang masih gemetaran.

"Kamu kenapa sih Jo? Sakit ya? Kalau memang lagi sakit jangan maksain kerja. Bahaya tau. Selain membahayakan dirimu juga membahayakan orang lain. Lihat, golokmu hampir membelah kepalaku!" kata teman yang dibawah begitu si Jo ini sampai dibawah.

"Enggak Min, ada yang aneh dengan pohon ini. Jangan jangan ini pohon angker Min," si Jo lalu menceritakan apa yang tadi ia alami diatas pohon.

"Ah, masa sih Jo? Dari tadi nggak ada apa apa kok, apalagi angin kencang seperti yang kamu bilang. Orang sejak tadi aku disini nggak merasakan apa apa," suara si Min agak merendah kini. Rupanya ia mulai terpengaruh dengan cerita si Jo.

"Sumpah Min! Beneran aku ngalamin yang kayak gitu. Buat apa aku bohong!" kali ini gantian suara si Jo yang meninggi.

"Lha terus sekarang gimana ini? Hari semakin siang. Kalau nggak segera kita tebang pohon ini, bisa bisa juragan nanti bisa marah besar. Dikiranya kita nggak becus kerja." kata si Min.

"Ya sudah, langsung kita tebang saja, nggak usah kita pangkas dahan dahannya. Orang yang punya ladang juga nggak tau ini," usul si Jo.

Si Min pun setuju. Ia segera berusaha menyalakan gergaji mesinnya. Namun sampai beberapa kali mencoba, gergaji mesin itu tak mau menyala.

"Sial! Kenapa pakai ngadat segala sih? Padahal kemarin kemarin masih bagus," kesal si Min masih terus mencoba menyalakan gergaji mesin itu.

"Sudah, kita tebang pakai kapak aja Min, daripada kelamaan. Sudah bobrok kali itu gergaji mesin," si Jo segera mengambil kapak, lalu mulai menebang pohon itu. Keanehan yang tadi dialami di atas pohon kembali terjadi. Getah pohon yang merah kental mirip darah, batang kayu yang sangat keras, hingga tiupan angin dan sayup sayup suara tangisan perempuan kembali terdengar. Tapi si Jo sudah tak peduli. Ia hanya ingin agar pekerjaannya hari ini segera selesai dan mendapat upah dari sang majikan.

Bergantian mereka bekerja ekstra keras menebang pohon itu hanya dengan menggunakan kapak. Peluh membanjir di tubuh kedua laki laki itu. Pekerjaan yang sangat menguras tenaga, ditambah dengan cuaca yang sangat panas, membuat mereka beberapa kali harus beristirahat untuk mengumpulkan tenaga yang telah terkuras. Hampir dua jam, usaha keras mereka akhirnya membuahkan hasil. Pohon sengon besar itu berhasil mereka tumbangkan.

Bersamaan denga tumbangnya pohon itu, di rumah si juragan peti mati terjadi kegemparan. Anak gadis si juragan tiba tiba kesurupan. Awalnya tak ada yang menyadari, karena gadis itu masih berada di dalam kamarnya. Namun saat tiba tiba gadis itu menangis meraung raung sambil mengamuk di dalam kamarnya, barulah kedua orang tuanya menjadi panik.

Bagaimana tidak, gadis itu mengamuk bagai setan kesurupan. Seluruh isi kamar hancur berantakan. TV dibanting, meja kursi dilempar, selimut, kasur, dan bantal guling dicabik cabik, lemari dan tempat tidur dijungkirbalikkan, bahkan kaca jendela sampai hancur berkeping keping terkena lemparan kursi.

Tak ada yang sanggup mencegah amukan gadis yang kesurupan itu. Sang ayah yang mencoba menenangkannya, justru dibanting dengan begitu mudahnya, mirip adegan smack down di TV. Padahal badan laki laki itu dua kali lipat lebih besar dari sang anak. Sedang sang ibu yang baru saja mencoba mendekat, langsung lemas seketika saat ditatap oleh sang anak dengan tatapan yang sangat mengerikan.

"BAJ*NG*N KALIAN SEMUA! BERANI BERANINYA MERUSAK RUMAHKU! KUBUNUH KALIAN SEMUA!!!" raung gadis itu sambil menyambar pecahan kaca yang berujung runcing, lalu dengan secepat kilat menusukkannya ke arah sang ayah yang masih terkapar karena dibanting tadi.

Beruntung, sang ayah masih sempat mengelak. Meski ujung pecahan kaca itu sempat merobek kulit lengannya, namun batang lehernya berhasil ia selamatkan.

Menyadari bahaya mengancam, laki laki itu segera menarik tangan sang istri yang masih syok keluar kamar, lalu mengunci pintunya dari luar. Namun mereka lupa, bahwa jendela kamar itu sudah hancur berantakan. Gadis yang kesurupan itu dengan mudah melompat keluar melalui jendela, lalu dengan masih menggenggam pecahan kaca berujung runcing segera berlari memutar menuju halaman depan.

"MAU LARI KEMANA KALIAN PENGECUT!!!" Teriak gadis itu dengan suara serak sambil mengacung acungkan pecahan kaca yang dibawanya.

Sang ayah yang ketakutan kembali menarik tangan sang istri dan membawanya lari ke rumah tetangga yang kebetulan adalah seorang ustad. Tentu saja si pemilik rumah kaget bukan kepalang. Namun saat melihat keadaan si gadis yang sedang kesurupan, si ustadpun segera tanggap.

Dengan bantuan sang ustad, akhirnya gadis itu berhasil dijinakkan, meski setan yang merasukinya belum berhasil dikeluarkan. Dengan berbekal pengalamannya yang sudah beberapa kali menangani orang kesurupan, akhirnya ustad itu berhasil mengorek keterangan dari setan yang merasuki gadis itu.

Namanya Dewi, perempuan yang dulu mati gantung diri di pohon sengon yang sekarang sedang ditebang oleh orang orang suruhan ayah si gadis. Arwah atau setan Dewi ini tak terima pohon itu ditebang, karena pohon itu telah lama menjadi rumahnya. Dan ia bersumpah, tidak akan keluar dari tubuh si gadis, sebelum dibuatkan rumah pengganti yang baru.

Nasi telah menjadi bubur. Pohon itu sudah terlanjur tumbang. Mau tak mau, juragan peti mati itu harus menggantinya. Dibelinya bibit pohon sengon lalu ditanamnya di dekat pohon yang telah ditebang itu. Tak lupa juga ia mengadakan selamatan kecil kecilan disamping pohon yang ditanamnya. Ia juga berpesan kepada mbah Kromo, si pemilik ladang, agar menjaga dan merawat pohon yang ditanamnya itu agar tetap hidup. Sebab kalau sampai pohon itu tak terawat dan mati, maka arwah Dewi akan kembali menuntut balas.

Begitu acara selamatan selesai, anak gadis juragan peti mati itupun sadar. Arwah Dewi telah keluar dari raganya, dan pergi menempati rumah barunya. Sedang mbah Kromo hanya bisa pasrah. Mungkin sudah menjadi takdir, ladangnya menjadi tempat tinggal arwah si Dewi.

*****

***Jagong Ke Alam Gaib***

Hari masih pagi. Matahari baru menampakkan separuh wajahnya di ufuk timur. Udara dinginpun masih sangat terasa menggigit kulit. Meski begitu, sudah mulai nampak kesibukan di desa Kedhungjati.

Beberapa laki laki dewasa berjalan beriringan menuruni jalan Tegal Salahan, mengikuti langkah seorang laki laki asing yang mengenakan baju batik berlengan panjang.

Sampai di buk yang berada diantara tanjakan dan turunan jalan Tegal Salahan, mereka berbelok menuju ke arah timur, menyusuri tanggul kali kecil yang masih sedikit basah karena embun.

Sampai di sawah milik Mbah Wiryo yang jaraknya hampir duapuluh meteran dari jalan, mereka semua tertegun. Nampak di tengah sawah yang baru selesai dipanen itu sebuah mobil Carry berwarna merah teronggok diam. Keempat rodanya nyaris terbenam dalam lumpur. Sedang di tanggul yang ada di tepi sawah itu nampak beberapa orang dengan pakaian necis namun penuh lumpur duduk diam dengan wajah penuh kecemasan.

"Wah, gimana ceritanya ini? Kok bisa mobil ini sampai nyasar sejauh ini ke tengah sawah?" celetuk Kang Darso sambil geleng geleng kepala.

"Panjang ceritanya Pak, dan sulit untuk dijelaskan. Nanti saya ceritakan semua, setelah mobil ini bisa dikeluarkan dari sawah," sahut laki laki berbaju batik yang tadi datang ke desa untuk minta pertolongan.

"Lha terus gimana ini cara ngeluarinnya? Nggak mungkin kalau kita tarik, terlalu jauh dari jalan," kata Kang Bejo sambil mengamat amati mobil itu.

"Kita gotong rame rame saja gimana?" usul Kang Sukri.

"Gotong dengkulmu itu. Ini mobil Kri, bukan gelondongan kayu," seru Kang Mardi.

"Sepertinya harus ditarik pakai truk ini," kata Mas Yudi.

"Iya, betul, kita minta tolong sama Pak Kardi. Dia kan punya truk," sambung Mas Toni.

"Wah, tumben pagi pagi otak kalian sudah encer. Ya sudah, kalian berdua ke rumah Pak Kardi sana, bilang minta tolong gitu buat narik mobil ini. Bilang saja kalau aku yang nyuruh," perintah Mbah Mo kepada Mas Yudi dan Mas Toni.

"Yah, kenapa harus kita sih Mbah yang kesana? Takut aku sama guguk peliharaan Pak Kardi," kata Mas Yudi mencari alasan.

"Halah, kalian ini, disuruh orang tua kok banyak alasan. Kalian kan sudah bangkotan, masa sama guguk saja takut. Sudah, berangkat sana, kan cuma kalian yang bawa motor. Nanti tak beliin rokok seorang satu bungkus." hardik Pak Modin, membuat kedua pemuda itu segera beranjak dari tempat itu.

Dengan motor butut mereka, keduanya segera berangkat menuju ke rumah Pak Kardi. Tak lama, merekapun kembali, diikuti oleh Pak Kardi yang mengemudikan truk besarnya.

Beramai ramai, mereka segera mengikatkan tambang pada bumper mobil Carry itu, lalu disambungkan pada bumper belakang truk milik Pak Kardi.

Bukan perkara mudah untuk mengeluarkan mobil itu dari dalam sawah, meski sudah ditarik dengan menggunakan truk. Jarak yang lumayan jauh dari jalan, ditambah lumpur sawah yang lumayan dalam, membuat truk besar milik Pak Kardi sedikit terseok seok menariknya. Para wargapun beramai ramai membantu mendorong mobil merah itu.

Akhirnya, setelah hampir tiga jam bekerja keras, mobil itupun berhasil diangkat dari dalam sawah. Semua mengucap syukur. Wajah wajah lega menghiasi rombongan penumpang mobil itu.

Beramai ramai mereka membersihkan mobil itu dengan menggunakan air kali. Juga sekalian mandi dan membersihkan pakaian mereka yang penuh dengan lumpur. Beruntung mereka semua membawa baju ganti. Dan alhamdulillah, selesai dibersihkan, mobil itu tak mengalami masalah dan mesinnya berhasil dinyalakan.

Sampai tengah hari, Kang Sukri mengajak rombongan yang entah darimana datangnya itu untuk singgah ke rumahnya. Semua warga yang tadi ikut membantupun beramai ramai ikut berkumpul di rumah Kang Sukri. Jadilah istri Kang Sukri sibuk menyiapkan hidangan ala kadarnya untuk tamu tamu dadakan itu.

Setelah berbasa basi sebentar dan mengucapkan terimakasih, laki laki berbaju batik lengan panjang yang mengaku bernama Pak Yatmin itu menceritakan kronologis kejadian yang menimpa mereka sore kemaren.

Jadi, mereka adalah rombongan dari kota kecamatan J, yang hendak jagong (kondangan) ke desa Kedhungsono. Sekitar jam tiga sore, mereka sampai di area Tegal Salahan itu. Tak ada hal aneh yang mereka rasakan. Semua seolah berjalan lancar. Mobil yang mereka tumpangi melewati jalan turunan dan tanjakan itu seperti biasa, sampai dirumah orang yang punya hajat di desa Kedhungsono, disambut dengan suka cita oleh si tuan rumah yang masih saudara jauh dengan Pak Yatmin.

Dan seperti orang kondangan pada umumnya, mereka juga dijamu dengan makanan dan minuman seperti orang hajatan pada umumnya. Ada hiburan karawitannya juga. Pokoknya semua terlihat wajar, tak ada hal hal yang aneh yang mereka rasakan.

Dan karena mereka masih ada hubungan saudara dengan yang punya hajat, merekapun diminta untuk menginap. Sampai menjelang tengah malam dan pesta selesai, mereka belum merasakan hal yang aneh. Sampai mereka tidur di tempat yang telah disediakan, dan terbangun di pagi hari, barulah mereka sadar kalau mereka tidur di atas lumpur di tengah sawah. Jadi mereka sama sekali belum pernah sampai di rumah saudara mereka yang sedang hajatan itu.

"Saya masih belum mengerti Pak, kenapa mobil saya bisa sampai melenceng sejauh itu dari jalan dan masuk ke dalam sawah. Sangat tidak masuk akal menurut saya. Dan saya sama sekali tak menyadari kalau ternyata saya dan rombongan ini tersesat di tengah sawah. Juga pesta yang kami hadiri kemarin itu, benar benar sama persis dengan pesta saudara saya, tuan rumahnya, pengantinnya, suasana rumahnya, semua sama persis dengan saudara saya." Pak Yatmin mengakhiri ceritanya sambil geleng geleng kepala.

"Sampeyan pasti tidak membunyikan klakson ya pas mau melewati jalan turunan itu?" tanya Pak Modin.

"Ya saya ndak tau kalau ada aturan semacam itu Pak. Seandainya saya tahu, pasti saya klakson dulu sebelum lewat," jawab Pak Yatmin.

"Jalan Tegal Salahan itu memang angker Pak. Jangankan bapak yang orang luar, kami saja yang warga asli desa ini sering diganggu kok. Tapi syukur, nggak sampai ada korban. Anggap saja sebagai pengalaman. Jarang lho ada orang yang jagong ke alam gaib," seloroh Mbah Mo, yang membuat seisi rumah tertawa.

"Lha terus sekarang gimana, sampeyan mau melanjutkan ke Kedhungsono atau balik pulang?" tanya Pak Modin lagi.

"Ya sepertinya mau ke Kedhungsono dulu Pak, nggak enak kan kalau nggak jadi jagong, meski pestanya sudah selesai." jawab Pak Yatmin.

"Ya sudah, silahkan kalau mau melanjutkan perjalanan. Tapi hati hati, klakson dulu sebelum memasuki turunan itu. Dan nanti pulangnya lebih baik memutar saja lewat desa Patrolan. Daripada nanti lupa klakson lagi dan digangguin dhemit Salahan, kan repot jadinya." kata Mbah Mo memberi saran.

Akhirnya, setelah beberapa kali mengucapkan terimakasih, Pak Yatmin dan rombonganpun pamit. Sempat ia ingin menyelipkan sebuah amplop berisi uang kepada Pak Modin, namun ditolak dengan tegas. Bahkan sekedar uang bensin untuk Pak Kardipun ditolak. Mereka menolong benar benar ikhlas, tanpa pamrih, dan tanpa mengharap imbalan apapun. Satu sifat dari warga desa Kedhungjati yang patut untuk dijadikan contoh.

Semenjak kejadian itu, dipinggir jalan sebelum turunan Jalan Tegal Salahan dipasangi rambu sederhana dari papan dengan tulisan "AREA BERBAHAYA! BUNYIKAN KLAKSON SEBELUM MELINTAS!"
[BERSAMBUNG]

*****
SELANJUTNYA

*****
SEBELUMNYA
close