Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

TEGAL SALAHAN (Part 2)


***Yu Sunthi Jadi Kunti, (Katanya)***
JEJAKMISTERI - Banyak orang yang bilang, kalau seorang perempuan meninggal saat sedang melahirkan, atau dalam istilah jawanya sering disebut mati kunduran, maka arwahnya tidak akan tenang dan bergentayangan menjadi sosok kuntilanak atau sundel bolong. Entah benar atau tidak, tapi kejadian seperti itu juga pernah terjadi di desaku.

Sebut saja namanya Yu Sunthi, beliau ini adalah tetanggaku, dan seperti yang aku ceritakan di atas, beliau meninggal saat sedang melahirkan anak ketiganya.

Ada kisah pilu dibalik meninggalnya Yu Sunthi ini. Dimana, saat beliau sedang hamil, di saat itulah ia mulai mengetahui perselingkuhan Kang Marto, suaminya, dengan Yu Senuk, janda beranak satu yang tak lain adalah tetangganya sendiri.

Sedikit gila memang, berselingkuh dengan tetangga yang rumahnya hanya terpaut satu pekarangan, dengan kondisi istri yang sedang hamil pula. Tapi begitulah kenyataannya.

Sejak mengetahui perselingkuhan sang suami, Yu Sunthi mengalami guncangan jiwa yang sangat hebat. Namun perempuan yang memang pendiam dan penurut itu hanya memendam perasaannya dalam hati. Tak sekalipun ia mengungkit ungkit masalah perselingkuhan sang suami. Bahkan saat bertemu dengan Yu Senukpun, yang sudah jelas jelas kelihatan berselingkuh dengan suaminya, Yu sunthi masih tetap bersikap ramah dan saling bertegur sapa.

Namun, sepandai pandainya ia menyimpan perasaan, toh penderitaan yang ia rasakan terlihat juga dari kondisi fisiknya. Selama mengandung, tubuh Yu Sunthi semakin lama semakin terlihat kurus. Wajahnya yang biasa terlihat cerah ceria kini sering terlihat pucat. Setiap orang yang melihatnya pasti merasa iba.

Para tetangga mulai kasak kusuk, memberi saran ini dan itu, demi kebaikan Yu Sunthi. Namun saran tinggal saran, entah karena sangking cintanya dengan sang suami atau memang ia tak mau ada keributan, Yu Sunthi tetap memilih untuk diam.

Sampai puncaknya, saat tiba waktunya melahirkan, terjadilah kejadian yang mengenaskan itu. Kejadiannya malam hari, dan pas hujan lebat pula. Yu Sunthi merasakan sudah saatnya ia untuk melahirkan. Iapun segera meminta sang suami untuk memanggil dukun beranak yang biasa membantu orang melahirkan. (saat itu masih biasa orang melahirkan dengan mengandalkan bantuan dukun beranak, belum banyak bidan kayak zaman sekarang). Namun, alih alih memanggil dukun beranak, Kang Marto justru memanggil Yu Senuk, yang tak lain adalah perempuan selingkuhannya. Entah apa maksudnya, dan entah apa juga yang dilakukan keduanya terhadap Yu Sunthi. Yang jelas, saat kondisi Yu Sunthi sudah parah dan mengalami pendarahan hebat, barulah mereka memanggil dukun beranak.

Tapi semua sudah terlambat. Dukun beranak memang bisa menyelamatkan bayi dalam kandungan Yu Sunthi, tapi tidak dengan si ibu. Perempuan itu menghembuskan nafas terakhirnya beberapa detik setelah sang bayi keluar dari rahimnya.

Jerit tangis kedua anak Yu Sunthi dan tangisan sang bayi mengundang perhatian para tetangga. Namun tak banyak yang bisa mereka lakukan. Mereka hanya bisa menyaksikan jasad Yu Sunthi yang telah terbujur kaku dengan tubuh membiru. Timbul bisik bisik bahwa Yu Senuk dan Kang Marto sengaja melakukan sesuatu pada Yu Sunthi. Tapi tuduhan itu tak disertai dengan bukti yang kuat, sehingga sampai saat ini tak ada yang tau apa yang sebenarnya mereka perbuat pada perempuan malang itu.

Keesokan harinya, jenazah perempuan malang itupun dikebumikan di pemakaman desa. Dan sejak saat itulah mulai timbul desas desus, bahwa arwah Yu Sunthi tidak tenang dan bergentayangan di sekitaran desa.

Kang Samin, salah seorang tetanggaku pernah saat malam malam pulang dari jagong bayi, melihat sosok bayangan putih yang melayang di kebun samping rumah Yu Sunthi. Kang Samin yang memang terkenal penakut inipun segera lari tunggang langgang sambil berteriak teriak minta tolong, membuat heboh warga sekampung.

Beberapa pemuda yang pemberani mencoba mengecek kebenaran cerita Kang Samin. Dan ternyata benar, bayangan putih yang melayang itu masih ada. Tapi bukan sosok pocong atau kuntilanak, melainkan karung bekas pupuk urea yang disangkutkan di ranting pohon jambu, dan terlihat bergerak gerak karena tertiup angin.

Lain Kang Samin, lain pula yang dialami oleh mBah Wiro. Beliau seperti mendengar suara perempuan menangis saat malam malam lewat depan rumah Yu Sunthi. Namun, mBah Wiro hanya tak mengindahkan suara itu. Ia terus saja berjalan dan baru menceritakan kejadian itu keesokan harinya.

Masih banyak lagi kejadian aneh yang dialami oleh beberapa orang warga desaku, dari yang melihat sosok perempuan berbaju putih, mendengar suara perempuan yang merintih dan menangis, dilempari pasir dan kerikil saat lewat depan rumah itu, dan masih banyak lagi.

Aku sendiri yang saat itu baru berumur belasan tahun, tak begitu percaya dengan cerita orang orang. Rumah Yu Sunthi sangat dekat dengan rumahku, bahkan nyaris berhadap hadapan. Setiap malam, pulang dan pergi ke mushalla aku lewat depan rumah itu, dan tak pernah mengalami kejadian apa apa.

Hingga pada suatu malam, seperti biasa aku berjalan sendirian pulang dari mushalla. Rumahku memang terletak di ujung desa. Jadi, sudah biasa pulang dari mushalla sendirian. Awalnya sih, dari mushalla rame rame, tapi satu persatu mulai berbelok ke rumah masing masing, hingga aku yang paling terakhir, berjalan sendirian menuju ke rumahku.

Saat melintas di depan rumah Yu Sunthi, aku melihat ada sosok putih berdiri mematung di depan pintu rumah itu. Timbul niat isengku. Pikirku, sosok itu adalak Mbak Asih atau Mbak Yanti, anak Yu Sunthi yang juga baru pulang dari mushalla danasih mengenakan mukena.

Jadi dengan mengendap endap, aku mendekati sosok itu, bermaksud untuk mengagetkannya. Aku memang sangat akrab dengan Mbak Asih dan Mbak Yanti, jadi tak heran kalau saat itu timbul niat isengku untuk mengagetkannya.

Sebenarnya, sudah ada yang aneh saat itu, kalau saja aku menyadarinya. Ada bau wangi yang jelas bukan bau parfum kedua anak Yu Sunthi itu. Aku hafal betul dengan bau wangi parfum mereka. Yang aku cium waktu itu seperti bau wangi kapur barus bercampur dengan bau wangi minyak serimpi. Tapi entah mengapa saat itu aku tak begitu memperdulikan keanehan itu.

Aku baru sadar kalau sosok yang ada di depanku itu makhluk halus, saat aku berdiri tepat di belakangnya. Bahkan kedua tanganku sudah terangkat, siap menepuk sosok yang kukira anak Yu Sunthi itu, sambil bersiap siap juga untuk berteriak untuk mengagetkan, saat tiba tiba sosok itu bergerak, bukan bergerak, sosok itu diam tapi bergerak maju, ah, mungkin melayang, karena kakinya nggak kelihatan.

Sosok itu melayang menembus pintu. Benar benar menembus pintu yang tertutup rapat itu, dan lenyap begitu saja dari pandanganku. Saat itulah aku baru sadar kalau yang barusan ingin aku isengi itu bukan Mbak Asih atau Mbak Yanti. Entah siapa, yang jelas saat itu aku merasa takut dan merinding, lalu segera berbalik dan berjalan cepat kerumahku yang tinggal beberapa langkah lagi.

*****

***Mancing***

Malam itu, Mas Yudi mengajak temannya, Mas Toni, untuk memancing di Kali Tempuran. Kedua pemuda asal desa Kedhungjati itu memang sangat gemar memancing. Tak peduli waktu siang atau malam, cuaca cerah atau mendung, bahkan lokasi mancing yang terkenal angkerpun pasti akan mereka datangi jika hasrat memancing mereka sedang kambuh.

Kali Tempuran sendiri merupakan pertemuan antara Kali Kecil Tegal Salahan, yang mengalir di sebelah barat desa, membujur dari utara ke selatan, lalu berbelok ke arah timur, untuk selanjutnya bertemu dengan Kali Bagor yang mengalir di sebelah timur desa.

Jam sembilan malam mereka berangkat menuju ke kali di sebelah selatan desa itu. Awalnya Mas Toni sempat ragu, mengingat malam itu adalah malam jum'at, dan Kali Tempuran menurut cerita orang orang terkenal sangat angker. Namun bujuk rayu Mas Yudi akhirnya bisa meluluhkan keraguannya. "Semakin angker tempatnya, maka semakin banyak ikannya, karena jarang dipancingi orang," demikian kata Mas Yudi.

Jadilah akhirnya mereka berdua, dengan berbekal lampu senter dan peralatan mancing lengkap mereka berangkat. Cuaca cukup cerah. Bulan separuh bersinar terang di langit malam, ditemani bintang gemintang yang gemerlapan.

Sampai di lokasi, Mas Yudi segera memilih tempat di bawah pohon beringin besar yang ada di pinggir kali itu. Kebetulan ada akarnya yang sedikit menjorok ke tengah Kali, sangat cocok untuk dijadikan tempat duduk. Sedangkan Mas Toni memilih tempat agak le hulu, duduk di bawah pohon sengon yang juga lumayan besar.

Tak menunggu lama, merekapun mulai sibuk dengan pancingannya. Umpan dipasang, dan kailpun dilempar. Sambil menunggu umpan disambar ikan, Mas Yudi menyalakan sebatang rokoknya. Lumayan, bisa sedikit mengusir hawa dingin dan nyamuk nyamuk yang mulai berdatangan.

Belum sampai lima menit, joran Mas Yudi bergetar, tanda umpan disambar ikan. Segera Mas Yudi menarik kailnya. Dan seekor ikan lele yang lumayan besar berhasil ia angkat.

"Dapat Yud?" seru Mas Toni dari tempatnya duduk.

"Lumayan, lele Ton," jawab Mas Yudi setengah berteriak sambil memasukkan hasil tangkapannya ke dalam ember. Ia lalu kembali memasang umpan dan melempar kail. Lagi lagi, tak perlu menunggu lama, umpannya kembali disambar. Kali ini seekor ikan gabus yang juga lumayan besar berhasil ia angkat.

"Asem, kok umpanku nggak dimakan makan ya," gerutu Mas Toni. Rupanya sejak tadi belum seekor ikanpun yang berhasil ia pancing, sedangkan Mas Yudi sudah beberapa kali mendapatkan ikan.

"Sabar Ton, nanti juga dimakan kalau sudah waktunya. Ingat, memancing itu melatih kesabaran," kata Mas Yudi sambil kembali melemparkan kailnya ke tengah sungai.

"Ah, nggak seru lah, aku mau pindah saja," akhirnya Mas Toni membereskan peralatan pancingnya, dan berpindah tempat agak ke hulu.

"Jangan jauh jauh Ton," seru Mas Yudi yang melihat Mas Toni pindah agak jauh dari tempatnya semula.

"Kenapa? Kamu takut ya?" ledek Mas Toni sambil memasang umpan.

"Enggak, aku justru takut kalau nanti kamu disamperin mbak Kunti aku nggak tahu," Mas Yudi balas meledek.

"Hush, jangan sembarangan kalau ngomong, kita di tempat angker nih," gerutu Mas Toni. Tidak seperti Mas Yudi yang sangat pemberani, Mas Toni memang sedikit penakut.

"Nah, kan, kamu yang takut to?" Mas Yudi tergelak, membayangkan Mas Toni yang ketakutan.

"Bukannya takut, tapi kata orang, kalau berada di tempat angker jangan sekali kali ngomongin soal makhluk halus. Itu sama saja mengundang mereka." seru Mas Toni lagi. Mereka bercakap cakap dengan suara yang agak dikeraskan, mengingat posisi mereka kini agak berjauhan.

"Malah kebetulan to, kalau mereka datang, kita jadi ada teman. Siapa tahu saja kuntinya cantik, kan lumayan, hahaha ..." gurau Mas Yudi lagi.

"Sialan kamu. Sudah dibilangin .... Nah, akhirnya ...." Mas Toni tak meneruskan kata katanya, karena merasakan tarikan di joran yang dipegangnya. Segera disentakkannya joran yang ia pegang. Namun sayang, mungkin karena ia terlalu keras menyentakkan joran, ikan yang sudah di permukaan air itu terlepas.

"As*!" umpat Mas Toni kesal.

"Kenapa Ton?" tanya Mas Yudi.

"Lepas Yud. Padahal lumayan besar. Lele lagi kayaknya."

"Hahaha ..., belum rezekimu kali Ton."

Sambil menggerutu panjang pendek, Mas Toni kembali memasang umpan. Kini giliran Mas Yudi yang merasakan getaran di jorannya. Segera ia menyentakkan kailnya. Namun, baru saja ia hendak meraih ikan yang tergantung di senar pancingnya, tiba tiba ....

"Pyuuuuurrrr.....," butiran butiran pasir menyiram tepat di kepalanya. Kaget, Mas Yudi terlonjak, sampai ikan yang sudah hampir di genggaman itu lepas dan jatuh kembali le sungai.

"Woiiii!!! Ton! Nggak usah iseng gitu dong!" teriak Mas Yudi kesal.

"Iseng kenapa to?" balas Mas Toni dari sebelah hulu.

"Halah, pakai nanya lagi. Kamu kan yang ngelempari aku pasir?"

"Pasir apaan? Ngawur kamu. Mana sampai aku ngelempar pasir ke situ?!"

Eh, benar juga ya, pikir Mas Yudi sambil celingak celinguk. Posisi Mas Toni kan lumayan jauh, tak mungkin dia bisa melempar pasir sampai ke tempat ini. Jangan jangan .... Ah, sudahlah, mungkin pasir yang terbawa angin, pikir Mas Yudi sambil kembali memasang umpan.

"Kenapa to Yud? Kok diam?" tanya Mas Toni lagi.

"Ndak papa. Tangkapanku juga lepas barusan," jawab Mas Yudi sambil kembali melempar kail.

"Hahaha, sukurin. Makanya jangan suka meledek orang," Mas Toni tertawa puas.

Mas Yudi diam. Ia mulai berkonsentrasi pada kailnya. Namun kali ini perasaannya mulai tak enak. Ia merasa seperti ada yang sedang memperhatikannya. Namun saat ia celingak celinguk mencari, tak ada siapa siapa di sekitar tempatnya duduk. Bulu kuduknya mulai meremang. Jangan jangan benar apa yang dibilang Mas Toni tadi, kata katanya tadi benar benar mengundang ....

Lamunan Mas Yudi buyar saat kembali merasakan getaran joran pancingnya. Segera ia menyambar joran itu. Wah, lumayan besar ini kayaknya, harus hati hati biar nggak lepas lagi.

Pelan pelan Mas Yudi menarik senar pancingnya. Dan benar saja, seekor ikan lele yang lumayan besar mulai nampak di permukaan. Pelan pelan Mas Yudi mencoba mengangkatnya, lalu ....

"Byuuuurrrr ....!!!" ada yang melempar batu sebesar kepalan tangan, tepat dimana ikan hasil tangkapannya itu nyaris ia pegang.

"Djanc*k! Jangan keterlaluan becandanya Ton! Lepas lagi nih tangkapanku!" kesal, Mas Yudi membanting jorannya, lalu berdiri.

"Becanda apaan to? Aku nggak ngapa ngapain lho. Sumpah! Orang sejak tadi aku diam disini kok." Mas Toni juga berteriak kesal. Sejak tadi Mas Yudi menuduhnya iseng. Padahal ia benar benar tidak melakukan apa apa.

"As*! Dhemit edan! Berani beraninya menggangguku!" umpat Mas Yudi sambil berbalik, mencoba mencari siapa sebenarnya yang telah mengganggunya. Namun, belum sempat ia membalikkan badannya, tiba tiba ....

"Whuaaaassssssuuuuu....!!! Byuuuuurrrrr.....!!!!" Mas Yudi merasakan ada yang mendorong punggungnya dari belakang. Tak ayal, ia yang sedang berdiri di atas akar pohon beringin itu kehilangan keseimbangan. Tubuhnya yang gempal itu oleng lalu tanpa ampun lagi melayang jatuh ke dalam sungai.

"Hahaha...!!! Lha kok malah nyemplung to Yud?" Mas Toni tertawa terbahak bahak, mengira kalau Mas Yudi sengaja nyemplung karena sangking kesalnya.

"Nyemplung gundulmu!!! Temennya celaka kok malah diketawain! Buruan sini, tolongin aku!" bentak Mas Yudi sambil berusaha berenang ke tepi.

Mas Toni yang menyadari bahwa Mas Yudi tidak sedang bercanda, segera meninggalkan pancingannya, dan berlari lari kecil menghampiri Mas Yudi.

"Gimana ceritanya to? Kok sampai bisa nyemplung gitu?" Mas Toni mengulurkan tangannya, mencoba meraih tangan Mas Yudi.

"Sudah, jangan banyak tanya. Bantu aku naik," Mas Yudi meraih tangan Mas Toni. Namun belum sempat Mas Toni menarik Mas Yudi, ia merasa seperti ada yang sedang memperhatikannya dari belakang. Ia segera menoleh, dan benar saja. Di atas dahan pohon beringin yang menjuntai rendah, nampak sosok perempuan berbaju putih duduk ongkang ongkang kaki sambil tertawa mengikik.

"Hihihihihihihihihi ...!!!"

"Whuaaaaaaaa ...!!!"

Kaget dan takut, Mas Toni bukannya segera menarik Mas Yudi naik, tapi justru ikut melompat terjun ke dalam kali.

"Hihihihihihihihi ....!!!" kembali sosok perempuan berbaju putih itu tertawa mengikik, seolah olah mentertawakan kedua pemuda itu yang kini basah kuyup berendam di dalam sungai itu.

"Whuaaaa ....!!!! Kunti Yud! Kunti beneran itu! Kabur Yud! Kabur!" sontak keduanya berenang sekuat tenaga ke arah hulu, menjauh dari pohon beringin itu. Begitu sudah agak jauh, mereka segera menepi, lalu merangkak naik dan akhirnya lari tunggang langgang, tanpa memperdulikan alat pancing dan ikan yang telah mereka dapatkan.

*****

***Memedi Sawah***

Ini masih cerita dari Mas Yudi dan Mas Toni. Kejadiannya, hanya selang beberapa hari setelah mereka diganggu perempuan berbaju putih di Kali Tempuran.

Malam itu, mereka ikut nimbrung dengan bapak bapak yang mendapat jatah ronda di poskamling. Sebagai pemuda pemuda pengangguran yang tak mempunyai kesibukan, kegiatan mereka memang tak jauh dari nongkrong nongkrong atau keluyuran nggak jelas gitu.

Bapak bapak ronda di poskamlingpun sudah hafal dengan kehadiran mereka berdua. Dan mereka justru senang, karena ada yang bisa disuruh suruh jika mereka perlu sesuatu.

Seperti malam itu, berawal saat Mas Yudi dan Mas Toni dengan antusias menceritakan kesialan mereka saat memancing di Kali Tempuran. Dan, ternyata bukan simpati yang mereka terima dari bapak bapak yang sedang ronda itu, tapi mereka justru menjadi bahan tertawaan.

"Mangkanya, kalau berada di tempat angker tuh jangan suka asal kalau ngomong," celetuk Kang Darso sambil melinting tembakau.

"Bukan aku yang asal Kang, tapi si Yudi tuh. Sudah aku bilangin, tapi masih ngeyel juga," sahut Mas Toni dengan nada kesal.

"Ah, memang lagi sial saja kita waktu itu. Biasanya juga aku mancing disitu nggak pernah ada yang gangguin," MasYudi membela diri, sambil meraih slepen tempat tembakau milik Kang Darso. "Bagi tembakaunya ya Kang."

"Itu karena kamu sompral. Nggak ingat saat itu kamu ngomong apa?" Mas Toni masih tetap menyalahkan Mas Yudi.

"Sudah sudah, kok malah pada ribut lho," sela Mbah Mo yang paling tua diantara mereka. "Daripada ribut, lebih baik kalian nyari apa gitu, buat teman ngopi nanti malam."

"Wah, simbah ini, sudah tua tapi masih gaul," ledek Mas Yudi sambil tergelak. "Mau ngopi saja kok pakai nyari teman segala. Tak panggilin Yu Sinah mau mbah? Janda tetanggaku itu pasti mau kalau cuma nemenin ngopi."

"Hush, lambemu!" hardik Mbah Mo yang merasa diledek oleh Mas Yudi. "Maksudku nyari cemilan gitu, buat dimakan sambil ngopi."

"Oh, bilang dong dari tadi mbah. Kalau soal nyari cemilan gampang mbah, yang penting ada ininya," Mas Toni menggesek gesekkan ujung jari telunjuk dan jempolnya.

"Halah, kalian ini lho, sudah pengangguran kok masih saja mata duitan," sela Kang Mardi. "Kalian ke sawahku saja, ambil talas. Banyak tuh aku tanam di pematang sawah. Nanti bisa kita bakar buat teman ngopi."

Usul yang bagus. Berbekal lampu senter milik mbah Mo, merekapun berangkat menuju ke sawah milik kang Mardi yang jaraknya tak begitu jauh dari batas desa.

"Ingat Yud, nanti di sawah jangan asal lagi kalau ngomong. Aku nggak mau kalau sampai nanti diceburin kesawah sama kunti." kata Mas Toni di tengah perjalanan.

"Lha itu, belum apa apa malah kamu yang sompral, pakai ngomongin soal kunti segala," sahut Mas Yudi.

"Ya pokoknya nggak usah macam macam lah. Kita ambil talas, habis itu langsung balik lagi." tegas Mas Toni.

"Itu sih tergantung. Kalau nanti disawah ketemu yang cantik cantik ya nggak langsung pulang," canda Mas Yudi.

"Kau pikir kita mau ke pasar, bisa ketemu yang cantik cantik," gerutu Mas Toni.

"Emang di pasar doang ada yang cantik cantik."

"Di sawah mana ada yang cantik cantik, kecuali dhemit yang nyaru jadi gadis cantik."

"Dhemit juga nggak papa asal cantik."

"Lambemu!"

"Hahaha ...."

"Eh, kita sudah sampai nih," Mas Toni mengarahkan sorot senternya ke arah sawah kang Mardi. Nampak hamparan tanaman padi yang sudah mulai menguning. "Tapi tanaman padinya sudah tinggi Yud, bisa gatal gatal kita kalau kita nekat menerabasnya."

"Kita sibakkan saja tanaman padinya ke tengah, biar kita bisa lewat dan nggak gatal gatal," usul Mas Yudi.

"Jangan! Nanti kang Mardi marah kalau tanaman padinya rusak," cegah Mas Toni.

"Ndak papa. Kang Mardi nggak bakalan tau ini. Lagian juga kan nggak banyak yang kita rusak."

"Kalau ternyata sawah ini ada yang menunggu gimana?"

"Siapa juga yang mau bersusah payah menunggu sawah malam malam begini."

"Maksudku siapa tau ada penunggunya. Makhluk halus gitu."

"Halah, kamu ini, mesti mikirnya yang macem macem. Sudah, ayo kita ambil talasnya. Kamu senterin, biar aku yang mengeksekusi." Mas Yudipun segera beraksi. Disibakkannya tanaman padi yang menghalangi langkah mereka hingga sedikit rebah, lalu sambil menyusuri pematang sawah ia mencabut beberapa batang tanaman talas yang sekiranya berumbi besar. Sedangkan Mas Toni mengikuti dari belakang sambil menerangi denga lampu senter yang ia bawa.

"Eh, sebentar Yud," tiba tiba Mas Toni menghentikan langkahnya, lalu mengarahkan lampu senternya ke arah rumpun pohon pisang yang ada di pinggir sawah itu.

"Ada apa sih?" tanya Mas Yudi.

"Itu, seperti ada orang," kata Mas Toni sedikit berbisik.

"Dimana?"

"Itu, di balik rumpun pohon pisang," Mas Toni kembali mengarahkan lampu senternya ke arah rumpun pohon pisang itu. Mas Yudipun segera mengalihlan pandangannya, mengikuti sorot lampu senter di tangan Mas Toni.

Memang samar samar nampak sosok seperti manusia berdiri dibalik rimbunan pohon pisang itu. Tak begitu jelas, karena sorot lampu senter terhalang rimbunnya tanaman pisang.

"Orang gundulmu! Itu kan memedi sawah!" (orang orangan sawah) gerutu Mas Yudi.

"Beneran Yud? Tapi tadi kayaknya bergerak gerak gitu lho. Jangan jangan...?" Mas Toni tak berani melanjutkan ucapannya.

"Jangan jangan apa? Hantu? Dhemit? Dasar kamu penakut. Bisa saja kan itu memedi sawah yang kena angin, mangkanya bergerak gerak." timpal Mas Yudi.

"Bukan bergerak gitu Yud, tapi kayak berjalan. Tadi kayaknya agak jauh dibelakang pohon pisang, sekarang kok jadi tepat di bawah pohon pisang." Mas Toni masih mengarahkan lampu senternya ke arah sosok itu. "Jangan jangan maling Yud?"

"Ngawur kamu, mana ada ...."

"Hei, sinten nggih?!" (Hei, siapa ya?) setengah berteriak Mas Toni memotong ucapan Mas Yudi, berusaha memanggil sosok yang ia kira orang itu. Tak ada jawaban.

"Sinting kamu Ton! memedi sawah kok diajak ngobrol," sungut Mas Yudi sambil kembali asyik mencabut batang pohon talas. Mas Toni yang masih penasaran, lalu mengambil sebongkah tanah kering, lalu melemparkannya tepat ke arah sosok itu. Dan ....

"Yud, ii ..., itu beneran bukan memedi sawah. Barusan aku lempar bisa mengelak lho," bisik Mas Toni dengan suara gemetar.

"Yang benar Ton?" tanya Mas Yudi mulai ikut penasaran.

"Iya, aku yakin. Ia mengelak saat kulempar tadi." Mas Toni meyakinkan.

"Ayo kita dekati. Kalau beneran maling kita gebukin saja sekalian," geram Mas Yudi sambil bergegas melangkah mendekati sosok itu, diikuti oleh Mas Toni.

"Semprul kamu Ton," seru Mas Yudi begitu sampai di bawah pohon pisang. Ternyata benar, sosok yang dikira Mas Toni manusia itu ternyata memang hanyalah sebuah memedi sawah. "Lihat nih, buka matamu lebar lebar. Ini hanya memedi sawah."

Kesal, Mas Yudi mencoba mencabut benda yang tertancap di pematang sawah itu. Namun, baru saja tangannya hendak menyentuh benda itu, memedi sawah itu tiba tiba tercabut dengan sendirinya, lalu melayang sampai setinggi hampir dua meter. Bagian kepalanya yang terbuat dari jerami kering yang diikat dengan tali dari serat gedebog pisang memancarkan dua sinar kecil berwarna merah, persis seperti sepasang mata.

Mas Yudi tertegun. Mas Toni terkesiap. Sosok memedi sawah itu tiba tiba melesat ke arah mereka, sambil mengeluarkan suara menggeram.

"Sapa sing mbalang aku mau!!! (siapa yang melemparku tadi!!!) Tanpa dikomando, kedua pemuda itupun segera lari terbirit birit, begitu menyadari bahwa yang mereka temui bukanlah memedi sawah, tapi benar benar memedi (hantu, makhluk halus).

*****

***Digandhuli Peri***

Ini masih cerita dari Mas Yudi dan Mas Toni.

Jadi, malam itu, kebetulan pas malam minggu, Mas Yudi mengajak Mas Toni untuk menemaninya apel. Entah benar atau tidak, katanya Mas Yudi ini baru saja dapat kenalan cewek cantik anak desa Kedhungsono.

Awalnya Mas Toni segan. Apel kok minta ditemani. Nggak gentle blas. Situ enak nanti, bisa nganu nganu sama cewek, lha aku, disana paling cuma jadi obat nyamuk. Enak dikamu nggak enak di aku dong, demikian kira kira diplomasi Mas Toni untuk menolak ajakan Mas Yudi.

Namun bukan Mas Yudi namanya, kalau tidak bisa membujuk dan merayu sahabatnya itu. Cukup dengan diiming imingi sebungkus rokok gratis plus seliter bensin, Mas Tonipun dengan cepat merubah keputusannya. Kapan lagi bisa dapat sebungkus rokok dan seliter bensin gratis, pikir Mas Toni.

Akhirnya, dengan motor butut mereka masing masing, keduanya berangkat menuju ke pasar kota kecamatan, untuk sekedar membeli beberapa bungkus makanan kecil kesukaan calon mertua. Hebat juga Mas Yudi ini, belum lama kenal sama cewek, tapi sudah tau makanan kesukaan bapaknya si cewek. Lebih hebat lagi karena Mas Yudi dengan pedenya menyebut bapak si cewek dengan sebutan calon mertua.

Tapi peduli amat, batin Mas Toni. Bukan urusannya ini. Yang penting malam ini ia dapat rokok dan bensin gratis. Meski nantinya ia harus rela menjadi umpan nyamuk.

Selesai belanja, merekapun segera meluncur ke arah selatan, melewati desa Patrolan, tembus sampai desa Mojoretno, lalu berbelok ke arah timur, menuju desa Kedhungsono, tempat dimana rumah si cewek itu berada.

Singkat cerita, Mas Yudipun segera asyik berduaan dengan cewek kenalan barunya itu. Sedang Mas Toni lebih memilih untuk menunggu diatas motornya yang diparkir di depan rumah si cewek.

Cukup lama juga ia menunggu, sampai habis beberapa batang rokok, barulah Mas Yudi nampak keluar dari rumah si cewek.

"Lama banget sih Yud?" gerutu Toni sambil menggaruk garuk lengannya yang bentol bentol karena digigiti nyamuk.

"Lama apanya, baru juga dua jam," sahut Mas Yudi sambil nangkring ke atas motornya.

"Wedhus! ngapain aja kamu dua jam berduaan sama cewek?"

"Jangan ngeres! Aku cowok baik baik bro! Sudah, cabut yuk, sudah malam nih. Kita lewat Tegal Salahan saja, biar cepet," ujar Mas Yudi sambil menyelah motornya.

"Serius mau lewat sana?" tanya Mas Toni sedikit ragu.

"Iya, daripada muter lewat Patrolan, kejauhan."

"Tapi kan, ini sudah hampir tengah malam Yud. Berani kamu lewat sana?"

"Sudah, tenang saja. Asal nggak macem macem kita pasti aman kok."

"Halah, kamu aja habis macem macem kok sama cewek, bilang nggak macem macem."

"Lambemu! Sudah, percaya sama aku. Nanti kalau ada yang ganggu biar aku yang menghadapi."

Mas Tonipun akhirnya hanya bisa ngikut. Memang hari sudah larut. Matanyapun sudah mulai mengantuk. Terlalu lama jika harus memutar lewat desa Patrolan.

Akhirnya, merekapun menjalankan motornya pelan pelan lurus ke arah utara, melewati area Tegal Salahan. Suasana malam terasa sangat sunyi, hanya ada suara binatang malam yang menyelingi suara deru motor mereka. Kiri kanan jalan terlihat gelap gulita. Sorot lampu motor butut mereka yang reduppun seolah tak mampu menerangi jalanan berbatu itu.

"Hati hati Yud, gelap begini jalannya," Mas Toni setengah berteriak mengingatkan Mas Yudi yang berjalan di depan.

"Tenang, aku sudah hafal jalanan disini. Ikuti saja jejak motorku," balas Mas Yudi juga dengan setengah berteriak, mengimbangi deru motor dua tak mereka yang memang lumayan berisik.

"Klakson Yud, klakson!" seru Mas Toni saat mereka mulai memasuki turunan jalan.

"Kamu aja yang Klakson! Klaksonku mati!" jawab Mas Yudi.

"As*! Kenapa nggak bilang dari tadi? Klaksonku juga mati!" umpat Mas Toni mulai panik. Bisa gawat urusannya kalau lewat tempat itu tanpa membunyikan klakson.

"Klakson pakai mulut saja!" seru Mas Yudi lagi.

"Edan kowe! kau pikir mulutku ini toa!" gerutu Mas Toni.

"Amit mbah! Ndherek langkung! Cucumu numpang lewat! Ampun diganggu nggih!" alih alih menanggapi gerutuan Mas Toni, Mas Yudi malah meneriakkan kata kata itu. Mau tak mau Mas Toni ikut mengucapkan kata kata yang kacau itu.

"Ndherek langkung Mbah! Numpang lewat! Ampun diganggu nggih!" komat kamit Mas Toni mengucapkan kalimat itu tepat saat mereka melintasi buk yang ada diantara turunan dan tanjakan jalan Tegal Salahan.

"Bruuukkkk!"

"As*!"

Spontan Mas Yudi mengumpat saat tiba tiba sebongkah tanah kering seukuran kepala orang dewasa jatuh tepat di depan motornya yang melaju pelan. Refleks Mas Yudi menarik tuas rem sampai motor berhenti mendadak.

"Ojo misuh misuh c*k! tempat angker ini!" Mas Toni ikut menghentikan motornya.

"Ada yang melemparku Ton," kata Mas Yudi sambil mengarahkan sorot lampu motornya tepat ke arah bongkahan tanah itu tadi jatuh.

"Kubilang juga apa, tadi mending kita lewat Patrolan saja," lagi lagi Mas Toni menggerutu.

"Lha kukira klakson motormu hidup, makanya aku ngajak lewat sini," Mas Yudi membela diri.

"Semprul! Kenapa tadi nggak nanya dulu. Motorku kan sama jadulnya sama motormu," lagi lagi Mas Toni menggerutu.

"Sudah lah, lanjut saja. Nanggung sudah sampai disini," Mas Yudipun kembali menjalankan motornya. Mau tak mau Mas Tonipun mengikuti dari belakang.

Selepas melewati buk, mereka dihadapkan pada tanjakan yang lumayan terjal. Merekapun menarik tuas gas lebih dalam lagi. Deru Motor mereka memecah kesunyian malam.

"Wedhus! kenapa motorku jadi berat begini. Jangan jangan ....!"

"Yud, turun Yud! Naik ke boncenganku! Tinggalkan saja motormu disini!" Mas Toni memotong ucapan Mas Yudi dengan nada panik.

"Ditinggal gundulmu! ini motorku satu satunya. Kalau ...."

"Sudah! Nurut saja! Nanti aku jelasin! Kalau nggak mau tak tinggal kamu! Biar dimakan dhemit disini!" ancam Mas Toni sungguh sungguh.

Dan benar saja, baru selesai Mas Toni bicara, Mas Yudi merasakan motornya oleng. Seperti ada yang menggoyang goyangkannya ke kanan dan ke kiri. Meski ia telah berusaha untuk mengendalikan motor tua itu, namun akhirnya motor itu tumbang juga.

"Gusraaakkk!!!"

"Wedhus!!!"

Mas Yudi memaki keras saat motor yang ia kendarai oleng dan meluncur ke semak semak di pinggir jalan, membawa serta tubuh gempalnya nyungsep ke semak berduri itu.

"Hihihihihihi ...!!!" baru saja Mas Yudi berusaha untuk bangkit, terdengar suara tawa mengikik, disertai aroma bau harum yang menusuk hidung.

"As*!" kembali Mas Yudi memaki, saat melihat dua sosok bayangan wanita cantik berpakaian serba putih melompat lompat (atau lebih tepatnya menginjak injak) motor bututnya yang telah terjengkang itu.

"Cepet Yud! Naik ke boncenganku! Soal motormu kita urus besok saja!" teriak Mas Toni.

Tanpa menunggu diperintah untuk kedua kalinya, Mas Yudipun segera melompat naik ke boncengan motor Mas Toni. Begitu Mas Yudi naik, Mas Tonipun segera tancap gas.

"Wedhus! Dhemit opo kuwi mau Ton?" bisik Mas Yudi sambil memeluk erat pinggang Mas Toni.

"Kayaknya Peri Yud, wangi banget baunya!" jawab Mas Toni sambil terus memacu motornya.

"Wes, kelakon ajur tenan motorku. besok temani aku ya, ngambil motor itu. Mudah mudahan masih bisa diselamatkan."

"Sudah, nggak usah mikirin motor. Yang penting kita selamat dulu."

Keesokan harinya, mereka berduapun kembali ke tempat itu. Dan alhamdulillah, motor butut itu masih bisa diselamatkan, meski kondisinya sudah sangat mengenaskan. Tergeletak di tengah semak semak berduri. Mas Yudipun bisa menarik nafas lega.
[BERSAMBUNG]

*****
SELANJUTNYA
TEGAL SALAHAN (Part 3)

*****
SEBELUMNYA

close